Pada tanggal yang sudah saya lupa (mengingat dalam kisah ini, hari dan tanggal seolah telah mati), Pimpinan tertinggi Serikat Sabda Allah di Roma mengeluarkan sebuah surat. Sejak menjadi seorang biarawan SVD (Societas Verbi Divini), belum pernah saya mendapat surat seperti itu. Kekagetan saya memuncak ketika pada surat tersebut ditulis bahwa saya dipindah tugaskan ke Indonesia.
Meskipun kaget dan takut, saya akhirnya menerima dengan hati yang lapang. Selain menekankan aspek kemurnian dan kemiskinan, menjadi seorang pastor dalam kongregasi tersebut juga berarti harus taat.
Sebagai manusia biasa, saya khawatir luar biasa. Alasan terkuat yang menyebabkan saya belum berani tinggal di negara dengan bendera kebangsaan berwarna merah putih itu yakni: Pertama, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Kedua, dalam masa-masa ini, negara tersebut sedang dalam situasi pergolakan.
Sebagai orang Belanda, otomatis saya tentu dimusuhi. Apalagi dalam kondisi demikian, di mata masyarakat Indonesia, bangsa Belanda dimeterai sebagai penjajah dan musuh kelas wahid yang mesti diusir atau dibasmi sampai ke akarnya.
Atas pertimbangan serasional mungkin, saya akhirnya memutuskan pergi ke Indonesia. Beberapa tahun hidup di negara tersebut, saya seperti menemukan alasan di mana hati saya mulai tertambat.
Kota itu tidak terlalu besar. Letaknya di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mayoritas penduduknya bertani atau bekerja di ladang, selain beberapa yang melaut sebagai nelayan. Jumlah pegawai yang bekerja di perkantoran pun tidak terlalu banyak. Mungkin bisa dihitung dengan jari.
Dengan kata lain, kota itu lebih mirip sebuah desa. Karena tuntutan administratif beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 14 Desember 1958 disebut sebagai kota kabupaten.
Hingga pada suatu hari, tepatnya pada bulan Februari 1934, datanglah sebuah kapal yang beberapa saat kemudian dikenal dengan nama Jan van Riebeeck. Tiang setinggi empat meter tertanam di buritan. Pada ujung tiang itu, tersemat sebuah kain yang mengingatkan saya pada Negeri Tulip, daerah di mana saya berasal.
Karena tinggal di sebuah kamar yang terletak di ketinggian pada sebuah bukit, cukup mudah bagi saya mengawasi pemandangan lautan atau deretan rumah penduduk yang berjejer tak beraturan di bawah kaki Gunung Meja.
Lima belas menit kemudian, kapal itu bersandar di dermaga. Sekitar lima kilometer jarak antara tempat saya tinggal dan dermaga tersebut. Rakyat Ende lebih mengenal tempat ini sebagai Biara Santo Yoseph.
Letaknya bersisian dengan sebuah Gereja Katedral milik para pastor diosesan. Dimana pada hari Minggu, umat Katolik yang hendak merayakan Ekaristi berkumpul, membuat halaman Katedral dipenuhi ribuan manusia.
Menjelang senja, pada hari yang sudah saya lupa, pintu kamar saya diketuk. Belum sempat bertanya tentang siapa yang datang, terdengar sebuah suara asing di sisi luar pintu dengan aksen bahasa Belanda yang cukup fasih.
Awalnya saya cukup kaget ketika menyaksikan sosok seorang yang berdiri di luar. Pemuda yang saya taksir berusia sekitar 30-an tahun itu berpakaian begitu rapi, tidak seperti masyarakat asli daerah ini. Ia mengenakan setelan jas berwarna putih pucat dengan menggenggam sebuah tongkat pada bagian kanan tangannya.
Setelah memperkenalkan diri masing-masing, kami lalu duduk bercakap-cakap dalam bahasa Belanda yang canggung. Pertama-tama, ia menjelaskan alasan utama kedatangannya ke Ende dan bagaimana kondisi tempat tinggalnya di sisi barat daerah tersebut.
Menurut dia, warga di Ende begitu ramah dan mudah diajak kerja sama. Selanjutnya, topik pembicaraan kami beralih pada konstelasi politik di Indonesia khususnya pemetaan kekuasaan adat di wilayah Ende. Dari penuturannya, menurut saya orang ini cukup cerdas mengingat meskipun belum lama berada di wilayah ini tetapi pemahamannya tidak bisa dianggap remeh.
“Pantas saja orang ini dinobatkan sebagai pemimpin berjiwa revolusioner.” Saya bergumam dalam hati seolah-olah sedang meyakinkan diri sendiri. Pemuda itu lalu pamit pulang ketika hari hampir gelap.
Setelah hari itu, sesering mungkin kami berjumpa. Hal lain yang membuat saya cukup tertarik dengan pemuda tersebut yakni, selain penulis naskah drama yang piawai, ia lawan debat yang cukup fasih.
Sayangnya, delapan dari dua belas naskah dramanya hilang antara lain, “Rendo”, “Joela Goebhi”, “Koetkoetbi”, “Hantoe Goenoeng Boengkoek”, “Si Ketjil (Kleinduimpje)”, dan “Maha Iblis”. Sedangkan naskah yang berhasil diselamatkan yakni “Dokter Sjaitan”, “Aero Dijnamiet”, “Anak Haram Djadah”, dan “Rahasia Kelimoetoe”.
Dalam lakon “Dokter Sjaitan” dan “Aero Dijnamiet”, sang penulis naskah mengingatkan pentingnya kearifan lokal manusia dalam menyikapi perkembangan sains dan teknologi. Lewat tokoh Ayah dan Ibu dalam lakon “Dokter Sjaitan” misalnya, ia mengingatkan generasi muda agar lebih arif terutama dalam menghayati aspek-aspek keilahian.
Hingga pada bulan Februari tahun 1938, ia meninggalkan Ende, dengan kapal De Klerk bertolak menuju Surabaya. Beberapa tahun kemudian, datanglah kapal perang Jepang yang memporakporandakan hampir seluruh wilayah Pulau Flores tak terkecuali Ende.
Setelah melewati perundingan yang cukup alot dan lama, sesudah dideportasi oleh prajurit Jepang, saya mendengar kabar, ia menciptakan sejarah paling penting dalam kehidupan bangsa Indonesia.
***
Seandainya lelaki itu punya kesempatan kembali lagi ke Flores, tentu saja ingin sekali ia kunjungi kota itu. Tanpa Ende yang kadang tak terjamah itulah, nama Pancasila dikenang.
Sayangnya, kondisi tubuhnya tak setangguh harapan yang bergelora di balik dada. Sejak Agustus 1965, ia nyaris tak mampu berjalan. Setahun sebelumnya Professor K. Fellinger dari Wina menyarankan agar bagian kiri ginjalnya diangkat jika ingin kesehatannya lekas pulih.
Namun sebagian dirinya yang lain menolak anjuran tersebut. Entah mengapa, ia lebih menyukai pengobatan tradisional. “Bukan karena saya keras kepala. Bukan! Tubuh saya pulih dari serangan malaria di Ende justru karena pengobatan tradisional,” demikian bunyi salah satu suratnya. Seperti ada batas yang kabur antara keras kepala dan nasionalisme dalam setiap alasan yang ia sampaikan.
Hingga dua puluh sembilan tahun kemudian, tepatnya 10 Desember 1967, barulah lelaki itu sadar. Tidak ada tindakan besar yang datang dari tubuh yang ringkih, sakit-sakitan, dan yang terpenting, dikucilkan oleh negara. Setelah ditetapkan sebagai tahanan politik oleh negara, hatinya hancur berantakan.
Pada suatu sore, lelaki itu duduk di depan teras Wisma Yaso, memikirkan semuanya sambil menangis tanpa air mata. Sementara itu, empat orang penjaga bersenjata lengkap berdiri mematung. Dua orang di gerbang wisma dan duanya lagi di sisi kanan dan kiri rumah. Diam-diam, hatinya mendadak makin hancur. Rupanya ramalan tentang ‘jauh lebih berat dijajah oleh bangsa sendiri’ sungguh-sungguh terjadi, sekarang, dan di sini.
Ingin rasanya lelaki itu berteriak sekeras-kerasnya sekadar mengurangi rasa sesak di balik dada. Namun sebelum membuka mulut, sebuah tangan memegang pundaknya dengan lembut. Ia menoleh sebentar dan melihat seorang pria sedang menatap matanya.
Perlahan ia tersenyum. Seakan-akan bersyukur karena hingga saat ini ia masih memiliki ajudan yang setia seperti Sidarto. “Tapi catat ya, To,” ujarnya seraya menatap mata Sidarto dengan sesekali mengerling ke arah dua orang penjaga, “Jiwa, ide, ideologi, dan semangat tidak akan dapat dibunuh!”
Melihat lelaki itu dan Sidarto berbicara setengah berbisik, dua orang penjaga berjalan mendekat. Sidarto tidak sempat mengatakan apa-apa sebelum ia diusir ke luar wisma dan dilarang datang kembali. Dan sejak saat itu, tinggalah lelaki itu sendirian menderita sakit dan kesepian yang maha hebat.
***
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Juni 1970, karena sakit yang makin parah dan nyaris hampir mati, lelaki malang itu dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta. Masih dalam kesepian dan penderitaan dengan kadar yang semakin hebat, ia terkenang akan Ende.
Di bawah kaki Gunung Meja, dengan pantai yang landai, kota itu tampak begitu menawan. Dari sanalah cerita tentang perjuangan berawal. Kalau bukan karena Ende, mungkin saja ia sudah tewas lebih awal di Bengkulu.
Di kota kecil itulah, ia pernah mati dan bangkit lagi. Keputusan membuang lelaki itu ke Ende memang pilihan paling strategis yang pernah dibuat Belanda. Di sana, jangankan penerangan listrik, jaringan komunikasi benar-benar tidak ada.
Bahkan ia pernah melukiskan tempat itu melalui surat kepada Samuel Koperberg “betapa cuaca di sini mulai menjadi tidak ramah. Setiap hari terasa seperti kemarau. Apakah kamu pernah mengalami temperatur dari 95 derajat fahrenheit?”
Namun berkat Inggit, lelaki itu mampu melewati semuanya. Tidak ada perempuan setangguh dan sesetia istrinya itu. Sampai-sampai kata-katanya kembali terngiang di kepala. Kalau bukan Inggit, mungkin ia sudah menyerah sebelum bertanding.
“Cinta saya kepada Ngkus tak bisa diukur hanya dengan ikut Ngkus ke tanah buangan. Saya bahagia karena bisa berbakti dengan suami. Saya bahagia. Tapi Ngkus janji ya, Ngkus harus bangkit,” ucap perempuan itu sambil menyeka tetesan air mata yang sejak tadi mendekam di balik kelopak mata sang lelaki itu. Sungguh, pada waktu itu, ia merasa paling terberkati di antara para lelaki di seluruh dunia.
Ingin rasanya ia kembali ke Ende dan menikmati semua kenangan itu, terutama bagaimana rasanya gelora hidup kembali setelah mati. Itu memang terjadi. Lima hari kemudian, sebelum pandangannya menjadi kabur dan gelap, ia merasakan keheningan puncak gunung Kelimutu yang disentuh kabut. Sementara itu, terdengar isak tangis pecah di segala penjuru ruangan.
Lelaki itu tidak tahu mengapa mereka menangis. Satu-satunya hal yang saya tahu pasti, beberapa jam kemudian, di headline media massa tertulis: “Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, Wafat”.