Menjadi Api di Tengah Ladang Minyak

Jaka menutup pintu kamar kos setelah seorang tukang pos pergi. Sebuah surat yang cukup tipis. Dengan perangko berwarna oranye, bernilai 5 rupiah di pojok kanan atasnya. 

Tak seperti biasa, ia selalu mendapatkan surat yang cukup tebal, pastinya uang bulanan. Tapi kali ini, sepertinya tidak, hanya sepucuk surat yang dikirimkan bapaknya dari kampung. Segara ia mengambil kursi dan langsung membacanya:

Jaka anakku,

Bagaimana kabarmu, Le? Apakah kamu sehat? Bapak, Emak, dan adikmu juga sehat, Nak. Uang sakumu masih ada kan? Hemat-hemat ya, le.

Akhir dari cerita, petani di kampung halamanmu kini menganggur, Jak, termasuk bapakmu ini. Hanya tinggal uang kompensasi saja yang Bapak punya, itu pun untuk membayar adikmu sekolah. Rasanya, Bapak, Emak, tak lagi sanggup membayar kuliahmu.

Tapi, Le, jangan putus semangat. Jika kamu masih ingin mengejar sarjanamu, Bapak izinkan kamu untuk bekerja, asal halal. Jika berat, sudahi saja, lantas baliklah ke desa. 

Le, perusahaan itu sungguh Jahanam! 

Sudah lebih dari tiga tahun ini, petani di desa berjuang mempertahankan sawahnya. Menolak dipagar, menolak diberi uang saku, dan yang pasti juga menolak tunduk. 

Tapi yang didapatkan tidak sesuai dengan harapan. 

Masyarakat desa juga dijanjikan dana CSR sebanyak seribu lima ratus rupiah per kepala keluarga setiap bulannya. Bapak tidak tahu apa itu dana CSR. Kamu tahu kan, Le, kamu kan anak ekonomi? Jika kamu tahu, jelaskan ke Bapak, Bapak ini orang kampung, yang tidak tahu apa-apa. 

Kamu kan orang yang berpendidikan, Le, menurutmu, apa semua orang desa itu sampah bisa gusur sana-sini? Bisa pindah sana sini? Bisa mati berkali-kali? Apa mereka paham rasanya digusur itu tak enak?

Apakah orang kota itu tak cukup hidup sederhana saja? Kok mereka terlalu menyembah uang? Apa semua orang kota itu pikirannya hanya uang, uang, dan uang? 

Bapakmu sungguh tak paham pikiran orang kota. Mereka paham tidak jika tergusur dari tanah leluhur itu sungguh menyakitkan.

Le, Bapak, Emak, tak henti mendoakan atas kesuksesanmu. Bapak, Emak tetap mengharapkan jika kamu dan adikmu menjadi orang besar kelak. Jika sudah menjadi orang besar, jangan lupakan desamu, jangan lupakan masa lalumu, jangan pula lupakan perjuangan Bapak dan Emakmu. 

Doakan Bapak dan Emakmu semoga terus kuat, agar kamu dan adikmu tercukupi.

Jangan berkecil hati ya, Le, kalau bapakmu ini orang desa yang bodoh dan miskin. Jangan khawatirkan Bapak Emak, uruslah dirimu sendiri. Semoga kau tetap kuat hidup di tengah masyarakat serba uang ini, Jak. 

Dari Bapakmu.

16 September 1986

Jaka melipat kembali surat itu, dan berteriak: “Jahanaaam!!”

***

Aku memilih hidup karena Tuhanku berjanji untuk mencukupi seluruh kebutuhan makhluknya.

Bapak menganggur untuk beberapa hari ini. Uang kompensasi hanya tinggal sisa-sisa. Biaya sekolah Jaka dan Firman semakin meningkat. Kebutuhan pangan juga meningkat, dan lagi, uang yang tersisa hanya tinggal sisa-sisa.

Besar pasak daripada tiang. Bahkan tiangnya saja belum tentu ada.  

Semakin hari, tentu bapak semakin tua dan semakin berpenyakitan. Tapi kedua anaknya masih butuh bimbingannya. 

Jika aku mati hari ini, aku akan merasa berdosa. Mereka belum siap. Apakah sejatinya hidup adalah untuk uang? Tidak! Tuhanku menciptakan manusia tidak untuk uang, namun, untuk saling mengasihi.

“Pak…” suara dari belakang mengagetkannya. Mak’e duduk di kursi sebelah bapak dan menaruh secangkir kopi di meja. “Mikir opo to, Pak? Ini kopi. Gula habis, jadi rasanya pahit.”

“Engga apa, Mak’e,” bibirnya tepat menyentuh ujung gelas, dan ia meminum sedikit demi sedikit kopi yang masih panas. “Jaka piye yo, Mak’e? aku takut jika ia putus asa di kemudian hari. Ancen susah nek dadi orang miskin.”

“Huusss! Pak’e jangan begitu, serahkan semua ke Gusti, Pak. Jaka pasti kuat. Mak’e yakin, dia punya jalan hidupnya sendiri. Insya Allah.”

“Aku kok heran to, Mak’e. Semakin hari harga sembako semakin mahal saja. Zaman kita masih ada sawah, semua kebutuhan bisa tercukupi, kita hidup secara subsisten. Anak-anak kita bisa makan dengan cukup. Hidup sederhana. Coba perhatikan orang-orang desa semenjak semua sawah dirampas. Mereka hidup dengan pas-pasan.”

Yo, mboh, Pak’e. Kita ini wong cilik yang gak tau apa-apa. Sebenarnya, apa yang dikejar sama pejabat di Jakarta?”

“Yo sama, Mak’e. Aku yo gak paham.”

Mugo-mugo, besok ada jatah makan untuk kita semua.” Mak’e lekas kembali ke dapur, ia harus menyiapkan makan untuk bapak. 

Bapak masih saja duduk di ruang tamu, beralas karpet merah yang sedikit berlubang akibat abu rokok yang jatuh. Kini ruangan berukuran empat kali lima meter, dengan atap yang terbuat dari anyaman bambu yang sedikit jebol dan sawang yang bergelantungan seolah menjadi hiasan khas rumah-rumah di desa, seketika hening. Hanya suara napas bapak yang terdengar. 

Hufff…. 

***

Angin malam memeluk sekujur tubuh. Rambut terhempas, ada yang beberapa helai yang berdiri lalu kembali ke posisi semula, ada pula yang tetap bertahan. Pohon mangga di depan kamar pun ikut berdenyit kencang terkena terpaan angin yang tak tahu permisi.

Jaka duduk di dengklek depan kamar kos. Termenung seorang diri, berharap orang kaya yang telah menyapu sawah bapak lekas gulung tikar, lantas, angkat kaki dari desa. Menarik nafas sedalam-dalamnya dan menghembuskan sekencang-kencangnya. 

Jika Jaka tak menyelesaikan kuliahnya, ia takut suatu hari akan menyesal. Tapi untuk membayar semester saja Jaka harus membayar uang dua ribu rupiah. Belum lagi, harga kos lima ratus rupiah per bulan. 

Harga yang cukup tinggi untuk seorang pengangguran.

Angin semakin kencang, angin menerpa hingga masuk ke selah-selah baju dan sarungnya. Jam menunjukkan jam 11 malam. Jaka masuk kembali ke dalam kamar yang berukuran dua kali tiga meter. 

Membanting diri ke kasur, sembari membayangkan jika dunia ini tak menghendaki harta yang berlebih. Apa jadinya orang-orang kota yang mayoritas rumahnya terlampau besar dari orang desa dihanguskan. Mesin pabriknya diledakkan, pabriknya dibakar, uangnya disobek, mungkin, yang tersisa hanya dosa pemilik modal kepada buruhnya. Apa lagi? 

Lalu bagaimana dengan tentara yang setiap harinya melatih diri dan memperbesar otot-ototnya? Jaka teringat oleh gagasan dari Antonio Gramsci. Ia pernah menulis, bahwa pada mulanya, militer-militer disewa untuk menjaga harta orang-orang kaya. 

Suatu saat, orang-orang kaya tersebut berkumpul dalam satu meja dan berdiskusi tentang kekayaan-kekayaannya. Mereka memutuskan untuk menggabungkan bangsanya menjadi satu negara dan bersiap untuk mengeksploitasi bahan baku, termasuk tenaga manusia. 

Tentu, negara juga harus ada pengamannya. Yaitu, militer. Mereka dipekerjakan untuk terus menerus. Orang miskin yang mencoba bertahan hidup dengan cara mengambil kembali haknya, akan dilibas oleh militer. 

Tapi bagaimana jika militer yang berpihak kepada orang kaya tersebut mati membusuk? Anak-cucunya mati kelaparan selama tujuh turunan, seperti mitos orang Jawa. 

Aaah… Sepertinya, baru kali ini aku percaya dengan gagasan humanisme itu sendiri

Sedangkan orang kecil sepertinya, hidup bahagia dengan kesederhanaan. Andai saja! 

Jaka tersadar dari lamunan yang surgawi dan terlalu utopis untuk disegerakan. 

Teringat sebuah novel yang ditulis oleh Knut Hamsun. Seketika ia berdiri dan mengambil buku yang ada di tumpukkan buku pojok kamar. Membuka dan mencari dari bab per bab, halaman ke halaman, hingga akhirnya ia menemukannya: Masa depan manusia terletak pada imajinasinya.

Esok harinya, Jaka tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa, pergi kuliah. Tapi kali ini tampak tak seperti biasanya, lemas dan lesu. 

Tatapan matanya pun demikian, biasanya Jaka mencatat apa yang ia pahami dari apa yang diajarkan dosennya. Terkadang, ia juga sering mendebat karena berbeda pendapat dengan dosennya, tapi sekarang tidak. Jaka seolah tidak berada di ruang kelas, pikirannya terbang ke sana-kemari tak jelas.

Hingga kelas pun usai.

“Jaka,” Pak Bambang memanggilnya, dengan memasukkan buku-bukunya ke tas. “Setelah ini, saya tunggu di ruangan saya.”

“Baik, Pak.” 

Pak Bambang telah melangkah pergi meninggalkan kelas yang berukuran lima kali tiga belas meter. Teman-temannya mulai beranjak meninggalkan kelas. 

Kini, hanya Jaka seorang. Ia masih saja duduk di kursi yang ia tempati dari awal masuk kelas tadi. 

Suara kipas angin berdenyit dengan kencang, memutar dengan garangnya, seperti tiada takut akan rusak.

Tiba-tiba, jantungnya berdetak dengan kencang. Biasanya mahasiswa yang dipanggil oleh dosennya adalah mahasiswa yang bermasalah.

Pikirannya berkecamuk, antah-berantah, menebak-nebak. Ada apa ini? Salah apa aku? Apa nilaiku turun? 

***

Pagi-pagi sekali, tubuh tuanya masih kuat mengayuh Onthel yang telah berkarat. Sepeda tua itu seringkali lepas rantai, entah rantainya yang tak pernah lagi dilumuri oli atau girnya yang telah menumpul.

Rodanya pun tak lagi senter. Setelah dihitung-hitung, ternyata ruji roda belakangnya hanya tersisa 34. Padahal, jumlah dari keseluruhan Onthel merk Phoenix keluaran tahun 1930-an itu 37 ruji. Berarti 3 ruji hilang. 

Tapi jangan salah, roda-roda tua yang tak lagi sehat itu masih saja kuat melewati galengan yang becek karena tercampur air irigasi dan jalanan berbatu. Bahkan sepeda itu seringkali digunakan untuk mengangkat damen-damen dari sawah ke rumah untuk dijemur. Bak adu kuat antara si pemilik dan si ontel.

Bapak masih saja mengayuh ontel tuanya. Terlihat sangat jelas, pembuluh darahnya yang menonjol di kedua tangannya. Kulit tuanya telah berwarna kecoklat-coklatan, seperti menceritakan panasnya matahari yang tak lelah menyengat kulitnya.

Songkok hitam yang sedikit kemerah-merahan selalu menutupi rambut putihnya saat berpergian. Dan jika bapak pergi ke ladang, rambut putihnya selalu ditutupi caping yang terbuat dari anyaman bambu.

Tiba-tiba, bapak berhenti dan menyandarkan sepedanya. Lalu duduk di sebuah gubuk tua. Bambunya sedikit lapuk, tapi, masih cukup kuat untuk menahan beban yang cukup besar. Ternyata ia ingin bernostalgia.

Kala sawah-sawah masih di genggaman para petani, gubuk itu selalu menjadi tempat ternyaman untuk istirahat. Tempatnya pun tepat di antara pohon mangga dan pohon lamtoro. 

Gubuk itu menjadi saksi bisu di mana petani-petani di kampung berkumpul setelah berjam-jam mencangkul. Ada yang bercanda dan berbagi keluh kesah di tengah penantian masakan isteri-isteri kesayangan mereka datang, termasuk Bapak.  

Setelah makan, mereka sembahyang berjamaah. Biasanya, Cak Zainul yang menjadi imam.

Tapi itu dulu. Lain dengan sekarang. 

Kini, keberadaan sawah di kampung, lambat-laun akan menjadi sejarah, mungkin saja akan menjadi mitos. Lambat laun, sawah-sawah di kampung berubah menjadi bangunan besar yang mempunyai cerobong asap yang tinggi dan hampir setiap hari mengeluarkan asap hitam pekat.

Lambat laun, anak cucu mereka akan lupa, bahkan tidak tahu, bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah petani. Hingga pada akhirnya, mereka akan malu jika menjadi petani, karena petani dianggap kerjaan bagi orang-orang yang gagal menaklukkan kota.

Padahal cerita kembali dari perantauan adalah cerita yang wajib dalam petualangan setiap manusia. Bukankah pulang dan merawat alam adalah kewajiban setiap manusia? 

Bagi mereka hidup ini harus berguna untuk makhluk yang lain. Bagi mereka, hidup ini bukanlah seperti kisah spartan yang saling takluk-menaklukkan tanah jajahan. Bukan pula, kisah sukses atau gagal dalam memperebutkan singgasana kekuasaan. Bukan pula, ajang kontestasi, siapa yang paling kuat, atau siapa yang paling banyak membunuh.

Bagi mereka, hidup ini adalah sebuah kisah di mana setiap makhluk saling mengasihi makhluk yang lain. 

“Sudah lama di sini, Cak?” Kehadiran Cak Darmaji sungguh mengagetkan Bapak. Dulu sawah miliknya bersebelahan dengan sawah milik Bapak.

“Oh, sampean, tho. Paling lima belas menit yang lalu.” Bapak cukup kaget dengan kehadirannya. Tak seperti biasa, Cak Darmaji membawa rantang berisi makanan. “Lho, Cak, sampean bawa apa itu?”

“Halah, iki ngunu panganan,” sambil membuka rantang satu demi satu. “Aku sedikit bosan sarapan di rumah, jadi aku bawa ke sini. Seperti dulu.”

Cak Darmaji mengajak Bapak untuk sarapan bersama. Sembari makan, ia bercerita tentang keresahannya. “Lambat laun, aku semakin merasa jika kita ditipu.”

“Ditipu?” Dahinya mengkerut. “Ditipu bagaimana, Cak Ji?”

“Coba ingat-ingat,” sambil mengangkat jari telunjuknya, Cak Darmaji mulai menghitung penipuan-penipuan yang dilakukan perusahaan.

“Pertama, janjine seribu lima ratus per bulan, nyatanya, seribu lima ratus pun kadang untuk tiga bulan sekali. Kedua, katanya mau ganti rugi? Tapi mana? sampai sekarang mereka mengklaim bahwa angsuran itu udah jadi satu dengan uang CSR. Ketiga, ya meskipun ini asumsiku pribadi, menurutku perusahaan pasti untung berkali-kali lipat, sedangkan kita hanya diberi seribu lima ratus per bulan. Belum lagi, semakin tahun, semakin tinggi pula harga barang di pasar. Bukankah itu penipuan, Cak?” 

***

Jaka mengetuk pintu. Tiga kali ketukkan, tok…tok…tok…

Terdengar suara dari dalam, “Masuk!” 

Jaka mendorong pintu yang sedikit rusak. Suaranya sedikit berdenyit, maka dari itu, mendorongnya harus dengan kehati-hatian agar tidak mengganggu dosen yang lainnya. “Permisi, Pak.”

“Jaka, duduklah!” Pak Bambang melepaskan kacamatanya. Terlihat dengan jelas belang putih bekas kacamata di bagian kedua pelipis kepalanya. 

Jaka duduk di kursi yang telah disiapkan. Entah kenapa, tidak seperti biasanya saja. Kali ini hatinya terus berdebar-debar. Tak tenang. Gelisah. Seperti sampah yang tidak dibakar, setiap waktu semakin menumpuk, setiap waktu semakin menggunung.

“Jak,” dengan suara halus, Pak Bambang membuka percakapan. “Apa yang kamu pikirkan?”

“Oh tidak, Pak. Tidak ada,” wajahnya terlihat memucat.

“Sungguh?” Pak Bambang mengerutkan dahinya, mencoba mendesak psikis Jaka. “Tak ada yang kamu tutupi dari saya, kan, Jak? Sudah, ceritalah, saya akan merahasiakan semuanya.”

Jaka merasa sangat dekat dengan Pak Bambang kali ini. Ia merasa mempunyai tempat berbagi setelah berminggu-minggu memendamnya sendiri. “Sebenarnya ada, Pak. Ini tentang kelanjutan akademik saya.”

“Ada apa dengan kuliahmu, Jak?”

“Sepertinya, saya tak sanggup melanjutkan perkuliahan ini lagi, Pak. Saya tak cukup uang untuk membayarnya. Bapak saya sudah tak lagi membiayai saya. Sawah di kampung telah dirampas. Sepertinya saya akan balik kampung saja, Pak.” 

Pak Bambang cukup kaget dengan apa yang diceritakannya. Ia menyadari, dari raut wajahnya, sangat jelas jika Jaka sangat geram dengan ulah perusahaan yang ada di kampungnya. “Apa kamu yakin dengan keputusanmu, Jak? Kamu sebentar lagi akan sarjana, jika meneruskannya. Bertahanlah sedikit lagi!”

“Dengan uang apa saya akan membayar, Pak?” Suaranya sedikit meninggi. Terlihat juga, air yang membanjiri matanya. “Saya tak mau jika saya akan mengemis ke negara hanya untuk mendapatkan uang santunan.”

“Ikutlah dengan saya, Jak. Saya yang akan membantumu.”

Wajah pucatnya tersapu dengan harapan-harapan baru. Jaka merasa bahwa hari esok ia masih bertahan dan tetap hidup. “Apakah benar, Pak? Saya sangat berterima kasih.”

Pak Bambang tersenyum melihat semangat Jaka yang masih membara. Ia memaklumi, seumuran Jaka adalah umur-umur dimana seseorang mempunyai dada yang membara bagaikan api yang menantang air kala akan dipadamkan. 

Pak Bambang melihat ke mata Jaka. Ia melihat, bahwa tidak ada lagi ketakutan-ketakutan yang akan menghalangi langkahnya. 

Bukankah Tuhan-tuhan di semesta juga menciptakan makhluknya dengan diberi benih-benih keberanian di setiap dada mereka? Bukankah setiap makhluk harus melangkahkan kaki ke zaman yang terang-benderang dengan bermodal keberanian? 

Maka, Jaka lah, orang yang sedang mengasah keberanian dan berusaha menyingkirkan rasa takutnya.

Biarkan ruang berukuran tiga kali tiga meter itu menjadi saksi bisu, jika seorang pemberani pernah menitikkan air mata dan hampir mati di ambang keputusasaan. Di ruangan ini pula menjadi saksi, bahwa Tuhan menancapkan benih keberanian ke dalam dadanya tanpa ampun melalui perantara Pak Bambang.

***

Suara paku bumi memecah sepertiga malam. Duang… Duaanggg…Duangggg….

Setiap hari. Tak ada henti. Tak ada ampun.

Semua warga selalu terbangun dari tidurnya. Muka merah, mata merah, jantung berdebar. Apa artinya? Mereka marah. 

Bayi hingga anak kecil tak henti-hentinya menangis. Bagaimana tidak? Anak sekecil itu dipaksa bangun dengan keadaan kaget dan jantung yang berdegup kencang. Keringat dingin selalu mengucur deras dari seluruh tubuhnya. 

Orang-orang dewasa tak henti-hentinya mengutuk alat-alat berat. Semua jenis sumpah serapah pun keluar. Bahkan seluruh jenis hewan yang biasa digunakan untuk makian pun tak terbendung.

Asu kon, ngerti wayah ora?”

Sopan sedikit, jancok!

Lambemu gak tau disumpal sempak opo, cok!

Hampir setiap malam, di kampung selalu disuguhkan kondisi yang demikian. 

Bahkan setiap malamnya, bapak-bapak aktif melakukan ronda malam. Tapi mereka berkumpul bukan untuk menangkap maling, tapi untuk menghadang backhoe-backhoe yang lewat tak tau permisi. Itu dilakukan secara bergantian di persimpangan arah menuju perusahaan.

Jalanan kampung menjadi rusak karena backhoe. Apalagi sekarang musim hujan, tentu sangat membahayakan warga. 

Beberapa hari yang lalu, di dekat persimpangan, pengendara onthel terjatuh, ban depannya terperosok ke lubang besar yang tergenang air yang kecoklatan bercampur lumpur. 

Hanya luka ringan yang ia peroleh. Bagaimanapun juga, yang namanya jatuh ya tetap saja tidak enak. 

Tapi yang namanya perusahaan, ya harus serakah. Mana mau mereka mengganti aspal yang telah mereka rusak. Jika tidak serakah, untung perusahaan ya tidak banyak. Begitulah prinsip yang digunakan oleh para pengecut yang tidak mau bertanggung jawab.

Pagi harinya, sekitar jam delapan pagi, suara radio diputar keras-keras dari rumah Cak Sujali, lurah di kampung. Radio Republik Indonesia memberitakan tentang pelanggaran HAM atas pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh negara kepada Warga Talangsari.

Sebanyak 130 jiwa mati dibunuh ABRI. Tidak hanya membunuh, tapi kali ini ABRI juga menyiksa 46 orang lainnya. Selain itu, 53 orang dirampas kemerdekaannya oleh negara dan 77 orang dipaksa pindah.

Wes edan negoro iki, Asu!” Celetuk Cak Jali.

***

Empat tahun sudah Jaka menempuh pendidikannya. Kini ia menyandang gelar sarjana S.E.,Ak. dan saatnya pulang kampung dan mengabdi pada manusia.

Bukan seluruh manusia, tapi manusia yang dapat memanusiakan tepatnya.

Kini aku telah menjadi sosok yang telah mengikuti tradisi borjuis di tengah hiruk-pikuk masyarakat tanpa sentuhan pendidikan sarjana. Jika salah sedikit saja, aku akan menindas orang desa. Salah sedikit saja, aku sama sampahnya seperti mereka yang menganggap hidup adalah persoalan melulu tentang uang.

Menurut Jaka, ada tiga macam bentuk penindasan yang selama ini ia amini. Pertama, garis keturunannya. Andai saja bapaknya adalah seorang raja, maka anaknya akan ikut dihormati dan ditakuti oleh banyak orang, begitulah tradisi darah biru yang kental hingga hari ini. 

Kedua, hartanya. Dengan harta semua orang bisa patuh dan tunduk dengan iming-iming uang. Pemahaman orang desa ini masih saja masih langgeng dan lestari.

Dan yang ketiga, pendidikan. Orang yang mengaku kaum terdidik bisa saja menindas kala ia menggunakan dalih-dalih teori untuk membodohi orang yang tak tahu tentang apa pun.

Sedangkan Jaka sendiri merasa, bahwa dirinya termasuk orang yang terdidik. Padahal semua orang yang terdidik seharusnya mempunyai sikap. Tapi nyatanya, semua orang yang terdidik tidak selalu mempunyai sikap. 

Seperempat revolusioner, seperempat orang yang menghamba pada ide-ide kontra-revolusioner, dan dua per empat-nya mengaku tidak tahu apa-apa dan lebih tergiur oleh keindahan sementara yang ditawarkan oleh orang-orang yang kontra-revolusioner.

Andai saja hidup ini adalah permainan catur, maka orang-orang yang tidak tahu tentang apa pun itu bagaikan pion yang siap ditumbalkan kapan saja dan di mana saja. Tapi mereka juga sesekali mendukung kaum revolusioner kala nyawanya terancam oleh tuannya sendiri. Wadulan!

Tapi kali ini, Jaka mempunyai sikap tersendiri. Tentu sikapnya ini harus berlandas hasil analisis, apa yang akan ia bela; siapa yang akan ia bela; kapan ia harus membela; mengapa ia harus membela; dimana tempat yang strategis untuk dapat membela; dan bagaimana caranya untuk membela.

Saat di dalam bis menuju kampung halaman, harap-harap cemas ia ingin lekas sampai.

***

Tiga tahun sudah perusahaan itu berdiri. Mengganggu setiap malam dan merusak apa pun yang ada di sekitarnya. Masyarakat yang terusik seolah tak pernah absen dalam melemparkan sumpah serapah di setiap paginya. Mereka kelaparan, minum air yang tercemar, dan lemas tak berdaya.

Beberapa hari yang lalu, seorang bayi meninggalkan dunia tanpa pamit. Seorang ibu dengan tubuh kurusnya berkata, “Sudah beberapa minggu ini, tak ada setetes pun ASI yang keluar.”

Begitu juga seorang lelaki tua, yang dulu juga sahabat bapak, meninggal karena penyakit yang tanpa ampun. Seorang anak yang masih belia juga bilang, jika bapaknya seharusnya bisa disembuhkan, tapi, ia tak mempunyai cukup uang untuk beli obat.

Keresahan itu mulai terbentuk sendirinya. Saking jengahnya, masyarakat pun berkumpul. Tak ada yang absen kali ini, dari yang muda hingga yang tua, dari pria hingga perempuan, dari preman hingga kyai kampung. Mereka berkumpul atas kesadaran yang sama. Tersiksa.

Balai desa mendadak ramai seketika. Satu per satu, mereka saling melemparkan argumennya. Satu per satu, mereka melontarkan sumpah serapah. Malam yang cukup panas, bak Ababil yang membawa sebongkah batu dari surga dan bersiap untuk melemparkan ke pasukkan Abraham.

Tiba-tiba suara baru yang sebelumnya tidak terdengar sama sekali, Cak Rozak. “Lalu apa langkah kita selanjutnya?” Suara itu berhenti sejenak. “Apakah kita benar-benar akan menghancurkan perusahaan itu? Apakah itu tidak keterlaluan?”

Orang tak ada yang mampu menjawabnya, hening.

Tiba-tiba, dari sudut balai desa, seorang pria kurus dan rambut keritingnya dengan kacamata yang cukup tebal, itulah Jaka, dengan permisi ia mengangkat tangannya. 

“Apakah bapak ibu di sini masih ingat dengan kisah Nabi Khidir yang membunuh bocah yang tampaknya tak berdosa? Setelah ia membunuhnya, Nabi Khidir menjelaskan kepada Musa, bahwa suatu hari, anak itu akan durhaka kepada orang tuanya yang alim. Dari kisah ini, kita tidak bisa meniru apa yang Nabi Khidir ketahui, karena itu di luar kemampuan berpikir kita. Sedangkan hari ini, kita dihadapkan bencana yang lebih besar, dan kita sama-sama tahu dampak dari semuanya. Apakah kita masih saja diam?”

Cak Faqih, Kyai sepuh di kampung juga tiba-tiba menganggukkan kepala, seraya berkata, “Jika kita masih saja diam, jika kita masih saja takut, jika kita masih saja tunduk, artinya kita telah melakukan persekongkolan kepada mereka. Itulah yang diajarkan Mbah Hasyim kepadaku saat nyantri di Tebuireng kala Nippon membabi buta rakyat Hindia-Belanda dengan beringas!” 

Sambil memejamkan mata, ia melanjutkan perkataannya dengan nada menurun dan lembut. “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zalim, begitulah dawuhnipun kanjeng nabi.”

Semua sepakat untuk memaksa perusahaan itu angkat kaki dari desa. Semua sepakat, segala bentuk resiko akan ditanggung bersama. Semua sepakat, bersama-sama mereka akan menjemput takdirnya sendiri. Lantas, mereka pulang dengan hati yang penuh harapan.

***

Inilah harinya. 

Semenjak pagi, mereka berkumpul di gerbang perusahaan menuntut perusahaan itu angkat kaki dari desanya. Suara teriakkan dari seorang wanita paruh baya, menggema di seluruh telinga warga yang berkumpul di sana.

Polisi dengan persenjataan lengkap pun tak ketinggalan. Mereka membawa tongkat yang terbuat dari kayu dan tameng polisi dengan ukuran sebadan. Sedangkan masyarakat sendiri hanya membawa kentongan yang terbuat dari bambu.

Perusahaan itu berhenti total. Mesin produksi berhenti. Transportasi yang hilir keluar masuk terhenti. Buruh-buruhnya pun berhenti karena tidak ada yang dikerjakan. Perusahaan itu seperti berada kehampaan semesta.

Hingga malam buta, masyarakat tidak kunjung membubarkan diri. Bantuan berupa sembako datang beriringan dari desa lainnya, itulah bentuk solidaritas masyarakat desa. Begitulah budaya gotong royong.

Esok harinya, mereka masih berada di tempat yang sama. Stamina masyarakat telah terkuras habis. Akhirnya, Jaka berdiri di antara kerumunan masyarakat dan memberikan orasi-orasi yang membakar dada orang-orang di sekitarnya.

“Tak ada lagi kata ampun, tak ada lagi waktu untuk diam. Sekarang adalah waktunya merebut kembali apa yang telah mereka rampas. Sekarang waktunya untuk mewujudkan mimpi-mimpi manusia yang telah dizalimi. Sekarang waktunya untuk mengutuk pemimpin yang merampas kebahagiaan rakyatnya. Mereka harus membayar semua yang telah mereka rusak. Tunduk ditindas, atau bangkit melawan!”

Dengan kekuatan orasinya, masyarakat bergerak untuk membuka paksa gerbang perusahaan itu. Rantai besi seketika putus oleh kekuatan-kekuatan amarah. Semua masyarakat murka atas penghisapan yang dilakukan perusahaan. 

Masyarakat murka atas kerusakan alam yang selama ini dirusak oleh pabrik. Masyarakat desa menganggap bumi yang mereka pijak adalah ibu bumi. Bumi melahirkan tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan bagi produsen pada rantai makanan. Bumi pula yang memberikan air kepada seluruh makhluk yang ada di bumi. Tidak kurang baikkah bumi ini kepada manusianya? 

Belum sampai memasuki pagar, polisi-polisi merangsak untuk membubarkan paksa. Orang tua dipukul, wanita paruh baya diinjak, pemuda ditendang. Bahkan Kyai Faqih pun tak luput untuk dihajar. 

“Kyai Jahanam,” ucap seorang polisi yang menghajar Kyai Faqih.

Masyarakat berlarian tanpa arah, sebisa mungkin untuk menyelamatkan diri. Ada juga yang lari ke kebun, ada yang ke arah kuburan, ada juga masuk ke lubang-lubang selokan. Masyarakat yang berusaha menjemput cita-citanya, berakhir malang.

Namun, tak sadar, Jaka dan bapak pun hilang. Tak ada satupun yang mengetahui keberadaannya.

Tiga hari setelah aksi pengepungan di depan perusahaan, masyarakat masih merasakan kelelahan. Mereka membutuhkan pasokan logistik hingga medis. 

Sampai saat ini, Cak Faqih pun tak bisa jalan, bahkan untuk melakukan ibadahnya saja, ia lakukan di atas kasur.

***

Setelah kejadian itu, Cak Darmaji masih melakukan aktivitas yang sama, pergi ke gubuk. Terkadang ia hanya sekedar duduk, minum kopi, kadang juga bersantai. Tak ada yang berubah semenjak sawahnya dirampas oleh perusahaan. Hanya saja pemandangan yang dulu berupa sawah, kini berupa tembok-tembok yang tinggi dan kokoh.

Kala ia berjalan, ia mencium aroma tak sedap, semakin ia melangkah, semakin menyengat. “Wasyu, mambu opo iki!”

Ternyata, di bawah pohon lamtoro, tergeletak dua jenazah saling berdampingan, Jaka dan Bapak. Tertulis juga sebuah surat, dalang kerusuhan.

Cak Darmaji seketika kaget dan melompat mundur, lalu lari untuk mencari pertolongan warga.

Esok harinya, Bapak dan Jaka dimakamkan dengan layak dan berdampingan di tempat pemakaman umum.

Seperti biasanya, Cak Faqih yang memimpin doa di setiap prosesi pemakaman jenazah. Namun ada yang berbeda, pipinya basah karena air mata. Serasa, doanya di-aamiin-kan oleh seribu malaikat yang hadir.

“Di sini, tergeletak dua sosok pemberani yang mengorbankan diri mereka sendiri hanya untuk kita dan anak cucu kelak. Sekarang kita harus ikhlas, mereka hanya pulang untuk istirahat,” penutupnya.

Setahun setelah peninggalan Jaka dan bapak, kini Mak’e sakit-sakitan. Mak’e tak cukup uang untuk membeli obat. Setiap malam, ia selalu merintih kesakitan, suhu badannya terlampau tinggi, keringatnya dinginnya mengucur deras. Menggigil.

Biasanya, orang tua di sini jika sakit akan berujung meninggal. Alasannya pun sama, mereka tak cukup uang untuk periksa. Semua warga pasrah dan tak berdaya.

“Mungkin aku bakal menjemput Jaka dan Bapak. Aku melihat malaikat telah berdiri di sampingku,” kata Mak’e, lalu ia mengucapkan syahadat dan menghembuskan napas terakhirnya.

***

Mak’e, Bapak, Jaka mereka telah pergi ke surga. Mereka sudah bertemu dan saling berpelukan. Mereka tak lagi merasakan sakitnya hidup di dunia. Mereka akan tenang selama-lamanya di surga. Tuhan telah menempatkan ke tempat yang lebih indah ketimbang bumi para penghisap. 

Kini tinggal aku, anak ragil dari Bapak dan Mak’e. Aku terkantung-kantung hidup sendiri. Bertahan hidup sendiri. Rumah tak lagi selayaknya rumah. Desa kini menjadi mati. Semua sepi.

Aku harus bertahan hidup di dunia yang jahanam. Kini takdir Illahi telah dikalahkan oleh sebuah sistem penghisap. Sebuah sistem yang tak berkemanusiaan. Setelah ini, akulah yang akan menjadi korban berikutnya. “Kapitalisme Laknat!!!!!”

Baca juga

Terbaru

Skip to content