Sembari duduk memandang keluar jendela dari lantai empat, Siti bertanya dalam hati, mengenai suaminya yang lama tak jumpa. Apa yang sekarang sedang dilakukannya?
Di luar hanya sepi yang mengisi, orang berlalu lalang hanya sebatas hitungan jari. Kendaraan yang biasanya begitu berjubel hanya melintas satu dua tiga kali. Jalan benar-benar lengang. Begitu leluasa untuk balapan kendaraan.
Dua setengah bulan sudah Siti tidak bertemu suaminya. Pandemi membuatnya harus merawat rindu, menyiraminya dengan air mata sehingga rindu itu tumbuh subur di hatinya, hingga kemudian menjelma duri yang menyakitkan.
Ia tidak mungkin pulang, merasakan peluk suaminya hingga suntuk. Ia tidak ingin kemungkinan buruk menimpanya. Semua ini Siti lakukan juga untuk kemanusiaan.
Meski ia telah tahu kabar mengenai perawat yang viral di media sosial, karena membentangkan kertas bertuliskan, “Indonesia? Terserah!”, Siti tidak pernah mempunyai keinginan untuk mengakhiri perjuangannya merawat pasien-pasien yang terpapar Corona.
Ia selalu teringat pesan mendiang ayahnya, ketika di hadapanmu ada sesuatu yang dapat membuatmu berbuat kebaikan, jangan pernah dihindari.
Suaminya mendukung penuh Siti. Kepada Siti, ia juga mengatakan, bahwa ia merasakan hal yang sama dengan apa yang Siti rasakan. Namun, ia ingin Siti tetap bertahan di rumah sakit hingga kondisi memungkinkan untuk pulang.
Suaminya selalu berpesan untuk menjaga kesehatan dan hati-hati dalam bertugas, saat pembicaraan di telepon akan diakhiri. Dengan sikap suaminya yang seperti itu, Siti merasa beruntung.
Siti masih memperhatikan keadaan di luar jendela, ke arah bawah, ke jalan dan sekitarnya. Sepasang manusia melintas di trotoar jalan, di mana Siti memfokuskan pandangannya kini. Si lelaki merangkul si perempuan, penuh kemesraan. Umur mereka kira-kira rentang dua puluh lima hingga tiga puluh tahun. Siti merasakan ada sesuatu hadir ke dalam hatinya yang membuatnya tidak enak.
Siti beranjak dari duduknya, dan mendekat pada kursi yang bersanding dengan sebuah meja tidak jauh darinya. Ia duduk di kursi itu. Sepasang manusia yang baru saja melintas benar-benar membuat jiwanya terguncang.
Ia menjadi ingat saat-saat di mana ia meninggalkan suaminya. Siti berusaha kembali mencari sisa-sisa rasanya dipeluk sang suami tercinta di teras rumah, sebagai seremoni perpisahan untuk sementara itu. Kehangatan itu perlahan mulai dapat ia rasakan.
“Dengan kamu sementara di rumah sakit, itu bisa dihitung juga sebagai usaha melawan penyebaran Corona,” ucap suaminya melepaskan pelukannya. Di telinga Siti, kata-kata suaminya terdengar aneh. Karena?
“Kata-katamu tidak tepat. Masa melawan penyebaran Corona? Yang benar adalah mencegah penyebaran Corona. Sarjana sastra, kok dalam memilih kata tidak tepat! Pie to sampeyan iki?” Kata Siti nyengir.
Ya, suami Siti merupakan seorang sarjana sastra dan tekun menggeluti dunia perpuisian. Ia sedang merintis usaha penerbitan. Siti acapkali terkena getah kesarjanaan suaminya, yaitu berupa gombalan yang sebenarnya kerap kali hanya memamerkan bangkai keklisean.
“Aku memang sengaja memilih kata itu. Karena keadaan sekarang ini, kita ibarat di medan perang. Corona konon katanya adalah virus yang sengaja dibuat untuk kepentingan ekonomi negara adidaya,” ucap suami Siti.
“Kepentingan ekonomi? Bagaimana nalarnya?”
“Virus itu dibuat oleh negara adidaya, sekaligus penangkalnya. Mereka membiarkan terlebih dulu virus menyebar, menunggu banyak yang terpapar. Hingga kemudian pada saat yang tepat, mereka kemudian mengaku menemukan obat itu, mereka menjualnya ke negara-negara yang membutuhkan dengan harga mahal. Padahal obatnya sudah mereka buat sebelum pandemi.”
“Wah, masuk akal juga. Tetapi itu masih konon katanya, jadi meskipun bisa diterima otak, masih perlu ditelisik lagi kebenarannya.”
Lebaran kali ini, mungkin akan menjadi lebaran paling mengenaskan bagi Siti. Walaupun doa terus ia panjatkan; memohon kepada Tuhan agar sebelum lebaran, grafik kasus terjangkit virus Corona menurun atau bahkan rampung.
Melihat keadaan masyarakat yang bukan main sulitnya diatur, ia menjadi timbul pesimis bisa lebaran bareng keluarga. Terkadang ia membenarkan perawat yang viral membentangkan kertas bertulis, “Indonesia? Terserah!”.
Tenaga medis telah berada di garda depan, mengorbankan segalanya untuk merawat pasien, sementara masyarakat begitu sulit dikendalikan. Bukankah itu hanya kesia-siaan belaka?
Siti mengelus perutnya dengan wajah suaminya masih mengisi tempurung kepala. Air matanya pecah, mengalir di pipi, lalu jatuh di permukaan perutnya yang menonjol. Siti tidak mengusap air mata itu, meskipun beberapa saat yang lalu ia telah mencuci tangannya, setelah melepas hazmat dengan langkah sesuai protokol kesehatan.
Semenjak Corona masuk negeri ini, ia hampir tidak pernah mengelap wajah, tanpa didahului cuci tangan. Siti benar-benar serius dalam menjaga diri.
Sebentar lagi Siti kembali harus mengenakan hazmat, hingga berjam-jam ke depan. Menggunakan hazmat, mau tidak mau harus melawan rasa sesak. Selain itu, Siti harus menajamkan penglihatan, sebab penutup wajah yang mengembun akibat udara pernapasan. Keadaan yang demikian sudah ia lalui dua setengah bulan!
Dalam kesendirian seperti ini, Siti sering membayangkan hal buruk menimpa di hari-hari depan. Baginya, merawat pasien Corona seperti dihadapkan pada malaikat pencabut nyawa.
Ya, Siti sering membayangkan pasien Corona merupakan jelmaan malaikat pencabut nyawa, yang dengan sabar menunggu momen yang tepat melepaskan nyawanya. Lewat gawainya, Siti tahu, banyak tenaga medis yang meninggal dunia, tertular virus Corona yang melekat pada pasien.
“Kapan pandemi ini berakhir?” Tanya Siti dalam hati.
Siti pernah juga membayangkan dirinya, andai kata ia meninggalkan dunia untuk selama-lamanya dalam waktu dekat ini. Bayinya tidak selamat, umur kandungannya masih cukup jauh dari perkirakan dokter; waktu di mana Siti akan melahirkan. Suaminya akan kehilangan dua orang sekaligus. Siti miris. Hatinya terasa diiris-iris.
“Apakah suamiku cukup kuat menghadapinya bila itu benar terjadi?” Batinnya.
Namun Siti tidak pernah mempunyai prasangka buruk, seperti temannya yang sesama perawat, yang seusia Siti. Ia bernama Amel. Prasangka buruk yang dimaksud adalah prasangka terhadap pasangan.
“Jangan berpikir negatif seperti itu,” kata Siti, usai Amel menyampaikan isi hatinya. “Itu hanya akan membuat pikiranmu keruh. Sedangkan kita ini butuh pikiran yang jernih dalam situasi seperti ini.”
“Dua setengah bulan bukanlah waktu yang sebentar, Sit. Kau yakin laki-laki bisa mempertahankan komitmennya? Tahu sendiri kan bagaimana laki-laki itu kalau sudah menyangkut urusan kepuasan biologis?” Kata Amel penuh semangat.
“Kalau beneran menyeleweng bagaimana, Sit? Sementara kita di sini berjuang mati-matian, berhadapan dengan maut! Apa kamu tidak pernah membayangkan hal itu menimpa pada diri kamu?”
Siti lalu merespon kata-kata Amel dengan senyuman. Siti sama sekali tidak terpengaruh kata-kata Amel. Ia percaya suaminya bukanlah orang yang suka ‘jajan di luar’.
Siti melihat ke arah laci. Di tempat itu ponsel Siti berdiam diri. Terbersit di benaknya untuk mengambil ponsel, dan berkirim kabar kepada suaminya. Namun niat itu ia urungkan. Di siang hari hampir menyentuh sore ini, ialah waktu suaminya melepas penat. Ia tidak ingin menganggunya.
***
Siti tersenyum. Rindunya sedikit terobati setelah baru saja berbicara dengan suaminya lewat telepon. Ia meletakkan ponselnya di meja. Hari hampir tengah malam. Meski lelah, matanya tidak disengat kantuk.
Siti menyandarkan tubuhnya pada kursi. Kepalanya sedikit mendongak, menjala langit ruangan yang putih. Bintik-bintik keringat tampak di wajahnya. Siti masih merasakan gerah yang luar biasa, meskipun hazmat sudah ia lepas beberapa saat yang lalu dan ia sudah membersihkan diri.
Petang tadi, Siti mendapatkan informasi, bahwa seorang teman lamanya yang bertugas di kota lain meninggal dunia setelah gagal melawan Corona. Setelah itu, pikiran Siti menjadi tidak tenang. Maut terasa lebih dekat dengannya.
Di otaknya mulai berputar rangkaian peristiwa. Dimulai dari vonis dokter, ternyata dirinya terpapar Corona setelah dilakukan tes, lalu dirawat tanpa ada seorang pun yang menjenguknya. Pikirannya lalu tidak tenang.
Siti lupa dengan seruan yang mengharuskan pasien untuk tetap tenang saat diketahui terkena Corona. Akhirnya daya tahan tubuhnya menurun dan Siti meninggal dunia.
Jenazah Siti ditolak warga kampungnya, mereka melarang jenazah Siti disemayamkan di kuburan kampungnya, karena mindset negatif yang tumbuh di masyarakat. Bulu kuduk Siti berdiri. Siti berusaha keras menghilangkan rangkaian peristiwa itu dari pikirannya.
Tiba-tiba sebuah ketakutan yang akut hinggap padanya. Sebelumnya, ia tidak pernah merasakan ketakutan seakut sekarang ini. Bisa jadi hidupnya tidak akan berlangsung lama lagi.
Bisa jadi esok hari ia mendapati suhu tubuhnya tinggi dan batuk tidak henti-henti. Bisa jadi sekarang ini ia sudah terinfeksi virus Corona. Esok hari ia berada dalam ruang perawatan dan dirawat oleh temannya sendiri.
Tiba-tiba saja Siti ingin kembali menghubungi suaminya yang mungkin sudah tidur pulas di ranjang, dengan mimpi indah, bermimpi sedang berdua dengannya dan berada di suatu tempat yang indah.
Kemudian ia berdebat dengan suaminya, ketika bayi dalam kandungannya sudah lahir, akan mirip siapa? Lalu ia dan suaminya membahas mengenai nama yang sekiranya cocok untuk si bayi. Keinginan untuk menghubungi sama beratnya dengan rasa takut yang datang padanya; begitu besar, begitu akut.
Akhirnya Siti menyentuh-nyentuh dengan ujung jari layar ponselnya. Jantungnya berdegup kencang. Siti menempelkan ponselnya di telinga, dan ia menggigit bibirnya sendiri. Cemas menyelimuti. Ia ingin suaminya segera mengangkat teleponnya. Siti takut tidak bisa lagi berbicara dengannya esok hari.