Nasihat Pernikahan

Lagi, seseorang datang ke rumah Rianti untuk mengantar undangan pernikahan dari salah satu teman kuliahnya. Bila dihitung, sejak lulus SMA hingga dia berhasil meraih gelar sarjana, bahkan ketika dia sudah bertahun-tahun berprofesi sebagai guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Negeri di kota kelahirannya, sudah ratusan kali dia mendapat undangan pernikahan dari teman-temannya.

Ada yang terasa sesak dan ngilu dalam dada acap Rianti mendapat undangan pernikahan itu. Mengingat usianya yang pada tahun ini telah memasuki angka 39 dan belum kunjung bertemu jodohnya.

Rasa ngilu itu semakin menjadi-jadi saat ia menghadiri undangan pernikahan dan bertemu dengan teman-teman lamanya yang sudah berkeluarga. Biasanya, mereka datang bersama pasangan masing-masing. Bahkan ada juga yang membawa serta momongan mereka.

“Eh, Rianti kapan kamu nyusul, kita sudah punya dua krucil, nih,” bukan kali ini saja Lidia, teman kuliah Rianti, menanyakan hal serupa kepadanya.

Maka tak heran bila Rianti merasa kesal dengan pertanyaan itu-itu saja dan selalu diulang-ulang tiap bertemu Lidia. Pertanyaan tak berkualitas serta menyebabkan hati orang lain tersakiti. Sejatinya Rianti ingin marah, tapi alih-alih yang terpasang di raut wajahnya adalah senyum yang pastinya terasa kecut.

“Doain aja,” Rianti menjawab singkat. Berharap Lidia berhenti mencecar.

“Kalau soal doa, aku sudah berusaha ngedoain kamu tiap hari, mestinya kamu usahanya lebih tekun, biar doanya dikabulkan sama Allah. Rianti, kamu ini cantik, masa sih nggak ada laki-laki yang mau sama kamu, nikah itu sunah, lho?” Tak dinyana jawaban singkat Rianti dibalas deretan kata-kata serupa nasihat pernikahan yang biasa dilontarkan oleh para ustaz dan kiai saat mengisi ceramah.

“Hukum nikah itu ada lima, Lid. Mubah, makruh, sunah, wajib, dan ada kalanya haram; tergantung tujuan dan kondisi masing-masing orang!” teriak Rianti dalam hati. Ya, hanya dalam hati. Tak kuasa tertutur lewat bibir tipisnya.

“Jangan terlalu pemilih, nggak ada laki-laki sempurna di dunia ini,” Retno, teman SMA yang kini sudah memiliki tiga anak ikutan menambahi, membuat telinga dan hati Rianti seperti terbakar. Hal-hal semacam inilah yang membikin Rianti malas mendatangi undangan pernikahan teman-temannya.

Sialnya, dia harus berusaha menahan rasa malas itu karena memenuhi undangan itu. Sebagaimana kata guru agamanya dulu, wajib hukumnya dengan catatan selama tidak ada aksi kemungkaran dalam acara tersebut.

***

Rianti merasa yakin, bila dia menghadiri undangan pernikahan Anto, teman kuliah yang masih satu kota dengannya itu, dia bakal diceramahi habis-habisan oleh teman-temannya dengan sederet nasihat pernikahan yang membuat dadanya terasa ngilu seperti dihantam ribuan palu seperti yang telah lalu.

Sebenarnya, mulai tahun ini Rianti sudah menyiapkan trik khusus saat mendapat kiriman udangan pernikahan teman-temannya. Trik yang menurutnya cukup ampuh untuk menghindari kenyinyiran teman-temannya.

Rianti memang tetap akan datang untuk mengucapkan selamat kepada teman yang menikah, tapi dia datang tidak pada saat hari pernikahan berlangsung, melainkan setelah acara usai, yakni sehari setelahnya.

Trik khusus yang baru dua kali Rianti praktikkan itu ternyata cukup manjur. Dia tak mendapat berondongan pertanyaan dan sederet nasihat pernikahan dari teman-temannya. Ya, tentu saja. Karena dia tak bertemu dengan mereka yang rata-rata datang saat acara resepsi pernikahan digelar.

Kendati pertanyaan tentang “kapan menikah” masih tetap dia dengar dari kedua mempelai, tapi bagi Rianti itu tak terlalu dia pikirkan dan rasanya tak seperih saat dirinya diberondong dengan pertanyaan serupa oleh teman-temannya.

Sayangnya, pada undangan pernikahan kali ini Rianti bakal gagal mempraktikkan triknya lagi. Mau tidak mau dia harus datang saat acara resepsi pernikahan Anto digelar. Karena dalam undangan tersebut ada keterangan bahwa Anto dan istrinya akan langsung pindah ke rumah barunya di luar kota usai resepsi pernikahan mereka. Terlebih, Anto adalah teman Rianti yang terbilang cukup dekat, tepatnya saat dulu sama-sama menjadi anggota BEM. Jadi, rasanya tak enak juga bila Rianti datang seusai acara.

***

Pada Minggu pagi yang cerah, resepsi pernikahan Anto digelar di sebuah gedung serbaguna yang biasa dipakai untuk menggelar resepsi di pusat kota.

Sebagaimana yang telah diperkirakan, Rianti kembali mendapatkan pertanyaan senada dan deretan nasihat pernikahan dari teman-temannya. Meski sudah terprediksi, tapi rasa ngilu itu tetap saja datang seperti biasanya. Bahkan kian menjadi-jadi hingga membuat dadanya sesak seolah ingin meledak.

“Yah, ketemu Rianti lagi, deh. Mana pasangannya, kok nggak dibawa?”

“Buruan nikah, Ri. Kalau udah ketuaan, repot nanti pas hamil dan ngurus anaknya, lho.”

“Nunggu apa sih, Ri, perempuan itu kan ada masa kedaluwarsanya.”

Ketika mendengar kata ‘kedaluwarsa’ yang Rianti yakin konotasinya mengarah pada menopause, meledaklah tawa teman-teman Rianti yang sedang mencicipi aneka hidangan di ruang prasmanan. Rianti hanya bisa menahan amarah sambil tersenyum kecut saat mendengar kenyinyiran dan candaan teman-temannya yang sama sekali tak lucu.

***

Penderitaan Rianti ternyata belum berakhir. Dia harus menahan diri untuk tidak secepatnya pulang. Karena dalam resepsi pernikahan tersebut ada acara pengajian yang diisi oleh kiai muda dari kota sebelah.

“Menikah adalah sebuah sarana untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan menikah, Insya Allah kita akan dibukakan pintu rezeki yang sangat luas oleh-Nya.

Menikah itu termasuk sunnah Nabi. Beliau pernah bersabda, yang artinya kira-kira seperti ini, ‘Menikah adalah sunahku, barang siapa yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk ke dalam umatku’,” terang kiai muda itu saat sedang berceramah di atas mimbar.

“Tuh, dengerin, Ri! Orang yang nggak nikah itu bukan termasuk umat Nabi,” bisik Ririn, salah satu teman kuliah Rianti yang kebetulan duduk bersebelahan dengan Rianti.

Rianti hanya melirik ke arah Ririn sekilas. Seperti biasa, dia hanya tersenyum kecut. Ingin rasanya Rianti bilang pada Ririn, bahwa kiai muda di depan sana hanya pandai memotong hadis saja. Juga tanpa menjelaskan lebih detail perihal latar belakang hadis tersebut.

Rianti masih ingat, dulu guru ngajinya pernah menjelaskan dengan cukup detail tentang hadis yang kerap dijadikan dalil untuk menyudutkan para jomblo oleh sebagian orang, termasuk para pemuka agama.

Seingat Rianti, hadis tersebut ditujukan kepada para sahabat Rasulullah Saw. yang sebenarnya mampu menikah tapi tidak mau menikah dengan alasan hanya ingin beribadah kepada Allah saja. Maka, keluarlah hadis tersebut untuk mereka, demi menegaskan bahwa nabi juga seperti manusia pada umumnya, beribadah dan juga menikah.

Sayangnya, selama ini Rianti belum pernah mendengar nasihat pernikahan dari ustaz atau kiai hingga sedetail ini. Yang mereka gembar-gemborkan hanyalah nikah itu sunnah, yang tidak menikah bukan termasuk umat nabi.

Sebenarnya, Rianti ingin sekali membalas perkataan Ririn, “Rin, menurut pemahamanku, yang bukan termasuk umat nabi itu adalah orang yang mampu menikah tapi dia nggak mau menikah dan malah membenci pernikahan, sementara aku sama sekali nggak benci menikah, aku belum menikah karena memang aku belum menginginkannya,” namun Rianti hanya bisa mengucapkan kata-kata itu dalam hati.

“Coba sekarang saya mau tanya, di antara para hadirin dan hadirat, apakah ada yang belum menikah?” tanya kiai muda yang memiliki wajah rupawan itu. Tapi di mata Rianti tiba-tiba kiai itu berubah menjadi sosok monster menyeramkan.

Pertanyaan tersebut ibarat belati tajam yang ditebaskan tepat ke dada Rianti. Ngilu sekali rasanya. Bahkan, Rianti merasa ini kejadian paling menyakitkan yang pernah dialaminya. Terlebih teman-temannya yang duduk bergerombol tanpa dikomando langsung memandang ke arah dirinya sambil senyam-senyum nggak jelas, sebagian mereka malah tertawa cekikikan.

Rasanya, Rianti ingin lekas berdiri, meninggalkan tempat duduknya, lalu lari sekencang-kencangnya dari resepsi pernikahan yang membuat dirinya merasa sangat tidak nyaman itu.

Rasanya, dia ingin menghampiri kiai muda itu dan menampar wajah dan mulutnya yang telah tega mempermalukannya di hadapan publik. Tapi itu tentu sangat mustahil Rianti lakukan dan akan terlihat sangat kekanak-kanakan.

Selanjutnya, yang Rianti lakukan hanyalah berusaha memupuk kesabaran, menahan diri, meredam emosi, menundukkan kepala dalam-dalam, sambil meremas botol air mineral di tangannya hingga mengeluarkan bunyi gemeretak.

“Baiklah, tenang para hadirin. Bila ada, mari kita doakan sama-sama, semoga yang belum menikah segera dipertemukan dengan jodohnya,” kiai muda itu melanjutkan ceramahnya seraya berusaha menenangkan suasana yang barusan mendadak riuh akibat pancingan pertanyaan yang tak bermutu itu.

Mungkin bagi sang kiai, pertanyaan tersebut sekadar banyolan untuk menghangatkan suasana. Padahal, apa yang dia lontarkan nyatanya langsung merobek dan menorehkan luka salah satu tamu undangan yang hadir di sana.

Tanpa dikomando, para tamu undangan yang hadir serempak mengucapkan kata ‘amin’ kecuali Rianti. Ya, kecuali Rianti yang tetap terdiam dengan bibir gemetar. Kepalanya tertunduk. Sementara kedua tangannya sibuk meremas-remas botol air mineral sambil meredam rasa ngilu di dada.

***

Skip to content