Sebuah pagi di awal bulan Oktober yang diguyur hujan untuk membasuh bumi. Musim penghujan tahun ini telah datang membawa setangkup rasa sedu yang terkubur dalam.
Tetes air hujan tak hanya jatuh dan membasahi permukaan genteng dan dedaunan, akhir-akhir ini ia jatuh di pipi keriput petani dan buruh.
Satu jam berlalu Kyo duduk di sofa bersama ayahnya, di depan sebuah televisi empat puluh inch, di sebuah ruangan yang tak begitu besar tanpa dinding pemisah antara meja televisi dengan dapur.
Kyo merupakan bocah yang dapat dibilang cepat dan tanggap dalam hal membaca dan menulis, terbukti bahwa saat ini ia begitu pandai membaca dan menulis.
Sudah setahun terakhir Kyo meniru kebiasaan ayahnya yang hampir tiap pagi menghabiskan waktu beberapa jam untuk menonton berita di televisi.
Ia juga memiliki hobi baru setelah menirukan ayahnya selama beberapa waktu terakhir, membaca koran. Meski ia tak begitu memahami maksudnya, tapi ia suka membacanya.
Mata sipit Kyo beberapa kali menatap jam dinding yang tergantung tepat dua meter di atas televisi, pukul 06.30.
Sesekali tatapan mata itu berpindah bergantian antara jam dinding dengan ayahnya yang duduk di sebelahnya. Kun namanya. Seorang pria yang bertubuh tanggung dengan perut sedikit buncit.
“Ayah, ini hari Senin. Ayah tidak pergi ke kantor? Sekarang sudah jam setengah tujuh!”
Kun tersenyum dengan tangan mengelus rambut halus bocah kelas lima Sekolah Dasar yang ada di sampingnya. “Ayah nanti berangkat ke kantor agak terlambat, ada rapat yang sedikit membosankan.”
Tanpa respon berlebihan, Kyo hanya menatap mata ayahnya dan mengangkat salah satu alisnya untuk menyelidik.
Ayahnya hanya menatap matanya datar, Kyo membuang muka dan kembali fokus untuk nonton televisi.
Dalam tayangan televisi pagi, ia hanya melihat berita tentang gubernur, demo kakak mahasiswa, kasus pembunuhan, maupun orang menangis karena rumahnya dibongkar paksa. Ia tak mengerti banyak tentang semua itu.
Dulu, saat Kyo duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar, ia tak mengerti apa pekerjaan ayahnya.
Ia juga tak mengerti mengapa di suatu waktu, hampir setiap orang yang bertemu dengan ayahnya bila berkunjung di suatu tempat selalu dielu-elukan dan orang-orang meminta untuk berjabat tangan.
Tak lama setelah itu, ia mengikuti ayahnya ke sebuah gedung yang katanya diimpikan oleh segelintir orang untuk bekerja di dalamnya.
Sebuah gedung kuno berwarna putih peninggalan belanda yang memiliki sisi kemewahan tempo dulu.
Waktu itu, Kyo dan ibunya hanya duduk dan melihat dari belakang ketika ayahnya berdiri bersama puluhan orang dengan salah satu orang memegang kitab yang diacungkan di atas kepala.
Kemudian ayahnya serta puluhan orang lainnya menirukan ucapan seorang pria yang berdiri di depan mereka.
Kini setelah Kyo meniru kebiasaan ayahnya, dan sesekali ia menanyakan pada ayah atau ibunya, ia baru mengetahui apa pekerjaan ayahnya.
Kata ibunya, ayahnya bekerja sebagai wakil dari semua orang yang ada di negara Indonesia.
Pada dasarnya, Kyo kurang menyukai bila ayahnya menjadi wakil rakyat. Ibunya pernah bilang kalau menjadi anak wakil rakyat harus bertindak dan bertutur baik, karena semua gerak geriknya akan menjadi sorotan orang-orang sekitar.
Pada dasarnya, Kyo tak menyukai omongan dan pandangan tak enak dari orang lain nantinya, terlebih bila mengetahui bahwa ia merupakan anak wakil rakyat.
“Ayah, bagaimana sih rasanya jadi seorang wakil dari semua orang di negara ini?”
“Rasanya? Hmm, seneng.”
“Kenapa ayah merasa seneng? Kan sekarang jadi jarang ada waktu lagi buat Kyo.”
Kun menatap sayu mata anaknya yang protes. Ia tak dapat menjawab pertanyaan itu, ia membiarkan pertanyaan itu menguap di udara.
Ketika pertanyaan itu menguap dan menggantung di atas mendung, ibunya memberikan secangkir kopi untuk ayahnya dan segelas susu untuknya, sebuah bahasa cinta dari ibu untuk anak dan suaminya.
Pertanyaan Kyo benar-benar menguap bagai kepulan uap air panas yang ada dalam secangkir kopi buatan ibunya. Kali ini ia tak memusingkan hal tersebut, dan mengganti dengan pertanyaan lain.
“Ayah, apa sih tugasnya wakil dari orang se-Indonesia?”
“Tugasnya itu menyampaikan keinginan mereka, Nak. Kalau mereka menginginkan suatu hal yang baik untuk orang banyak, maka ayah dan teman teman ayah akan mengupayakan sesuatu untuk memberikan apa yang mereka butuhkan.”
“Oh begitu ya Yah, terus kenapa kakak-kakak itu banyak yang demo Yah? Demo itu apa sih Yah?” Kyo menunjuk ke arah televisi yang menampilkan berita yang tertulis ‘Demo Tolak Omnibus Law’.
“Demo itu, upaya kakak-kakak dan masyarakat untuk menyampaikan keinginannya Nak, mereka membahas hal apa saja yang akan disampaikan sesaat sebelum mereka melakukan demo tersebut …”
Kalimat yang disampaikan Kun terpotong oleh tayangan berita yang menunjukkan upaya mahasiswa untuk orasi di depan gedung DPR di salah satu provinsi.
“Mengapa Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan untuk mengesahkan peraturan ini? Yang jelas mencederai dan ditolak oleh sebagian besar rakyat Anda?” Teriak salah satu orator aksi di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat.
“Jika memang ini merupakan terobosan untuk kesejahteraan rakyat, maka rakyat mana yang anda berikan terobosan tersebut? Kami tidak pernah mengamanahkan hal ini kepada dewan!” Teriak orator lain.
“Mengapa kalian selama ini seolah buta, tuli atas segala keluh kesah rakyatmu? Mengapa kalian begitu terburu-buru untuk mengesahkan undang-undang tersebut tanpa melibatkan elemen masyarakat? Mengapa kalian akan menggunduli alam dan lingkungan dengan cara mengebiri birokrasi yang berpotensi akan menjadi tumpangan segelintir pengusaha? Mengapa oh mengapa hai Dewan Perwakilan Rakyat yang entah mewakili rakyat yang mana?” Teriak lantang orator bergantian.
“Bila benar engkau tak peduli dengan keberadaan kami, maka tolong dengarlah seruan atas keinginan maupun kritik kami!”
“Tak perlu kalian berpikir dan menyusun berbagai macam program kerja yang kami tak tau diperuntukkan untuk siapa, cukup kalian dengarkan kami dan penuhi permintaan maupun hal yang kami butuhkan!”
“Kami rakyatmu yang dulu kau temui di pelosok desa untuk meminta kami memilihmu, mengapa kini engkau tuli dan membisu?”
Orasi itu terdengar bersahutan dalam cuplikan video pemberitaan berita.
Dalam beberapa menit kemudian, Kyo kembali membaca teks dalam sebuah berita, ‘Polisi menghalau demonstran agar membubarkan diri’.
Kyo melihat bagaimana sebagian rakyat yang menyampaikan keinginannya ditembak menggunakan semacam senapan yang pelurunya mengeluarkan gas berwarna putih mengepul, yang membuat mereka lari berhamburan.
Kyo juga melihat bagaimana sebagian rakyat yang menyampaikan aspirasinya disiram menggunakan mobil khusus yang memiliki semprotan air di atasnya.
Dalam pikirnya terus timbul tanya mengapa dan mengapa?
Kyo terdiam dan memandang wajah ayahnya penuh tanya. Mengapa hal yang dikatakan oleh ayahnya dan apa yang dikatakan oleh kakak-kakak itu berbeda.
“Ayah, mengapa kakak-kakak itu menanyakan alasan wakil rakyat tidak mendengar keinginan mereka? Apakah cara menyampaikan keinginan seluruh warga Indonesia harus dengan cara seperti itu? Berteriak-teriak di jalan karena tak didengarkan? Dan dibubarkan dengan cara disiram?” Tanya Kyo yang membuat wajah Kun sedikit merah.
Kun meninggalkan Kyo dengan pertanyaan yang kembali menguap tanpa jawab. Dari atas sofa ia melenggang menuju kamar untuk mengganti baju lalu menyantap separuh porsi nasi goreng yang dimasak oleh istrinya. Lalu ia pergi untuk mendatangi rapat yang katanya membosankan.
“Mengapa ayah selalu menghindari pertanyaan tentang hal-hal yang diberitakan di televisi? apakah mungkin ayah tak mau menjawab juga bila di tanya oleh om-om wartawan hingga aku tak pernah melihat ayah sekali saja tampil di televisi?” Batin Kyo berkecamuk.
Kun merupakan sosok ayah yang begitu bekerja keras, hingga kerja kerasnya berbuah manis dan membuat dia menjadi seorang pengusaha dan politikus yang cukup tersohor di kotanya.
Namun semua kegigihan dan kerja keras itu seolah luntur bila dilihat dari waktu bekerjanya, terutama saat ia terpilih menjadi wakil rakyat. Dulu ia sanggup bekerja dari pagi hingga petang menjelang. Kini, ia pergi pagi, lalu dua atau tiga jam kemudian sudah pulang.
Jam kerjanya seolah sudah menjadi pola yang begitu mudah ditebak oleh istrinya, terutama ketika ia mengatakan akan ada rapat membosankan. Hampir dapat dipastikan bahwa ia akan pulang dua atau tiga jam kemudian.
Pukul 9.25, suara mobil kun terdengar meraung di depan rumah, tak lama kemudian Bu Kusti yang setiap hari membersihkan rumah membukakan pintu gerbang.
“Pulang cepat lagi yah?” Tanya istrinya.
“Iya, aku sebel sama orang-orang bodoh yang menolak tawaran investasi dari luar negeri yang bisa membuat negara kita kaya,” jawab Kun ketus.
Kyo mendengar obrolan ayah dan ibunya yang mendorong untuk menanyakan kembali pertanyaan yang menguap pagi tadi.
“Sudahlah Kyo, kamu belajar saja yang tekun dan jangan berbuat macam-macam seperti mereka yang sok pintar dan menggurui!” Jawab Kun memotong dengan nada sedikit meninggi.
Kyo menyesal telah melempar tanya kepada ayahnya dan berharap pertanyaannya dijawab seperti dulu, tanpa menggunakan emosi dan nada tinggi. Kini ayahnya telah berubah setelah menjadi wakil rakyat. Ia sekarang menjadi lebih mudah tersinggung dan susah untuk diajak berdiskusi.
Kenyataan itu membentuk sebuah opini bahwa menjadi wakil rakyat akan merubah tabiat seseorang, tak pernah pandang bulu siapakah dia. Bahkan ayahnya saat ini berubah seperti orang yang tak ia kenal sebelumnya.
Di usianya yang baru kelas lima Sekolah Dasar, ia telah memilih untuk menghapus impian anak seusianya yang menginginkan untuk menjadi presiden atau wakil rakyat jika ia besar nanti. Ia menghapus impian itu karena alasan yang kuat dan bulat, tak mau menjadi orang yang suka tersinggung dan kolot untuk berdiskusi seperti ayahnya saat ini.