Konflik Agraria Terjadi Karena Negara Lebih Berpihak ke Pemodal

Himmah Online, Yogyakarta – Dalam peringatan hari HAM Internasional tahun 2020, Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (KAHAM UII) menggelar diskusi bertajuk “Konflik Agraria dalam Perspektif HAM” pada Sabtu (19/12).

Dalam diskusi yang digelar di Kolektif Collaboraction Space, Muhammad Fakhrurrozi dari Social Movement Institute (SMI) menuturkan, bahwa penyebab konflik agraria di Indonesia terjadi karena negara lebih berpihak terhadap para pemodal atau oligarki.

“Penyebab konflik agraria di Indonesia terjadi karena keberpihakan negara bukan ke rakyat tapi ke pemodal,” tegas Fakhrurrozi.

Menurut Fakhrurrozi terdapat dua jenis pemodal, yaitu pemodal yang bekerja dalam saluran swasta seperti perusahaan pabrik semen, tambang pasir besi, dan yang kedua adalah pemerintah itu sendiri. Kedua pemodal besar tersebut yang sering disebut sebagai oligarki.

Fakhurrozi juga menambahkan, bahwa tanah adalah salah satu sumber penghidupan yang sangat fundamental bagi para petani. Ketika tanah tersebut dirampas atau dialihfungsikan dalam bentuk infrastruktur atas nama kepentingan umum yang sebenarnya kepentingan modal akan menghilangkan sumber penghidupan dan mengubah struktur sosial masyarakat.

Marsen Benedictus Sinaga dari Insist Press menjelaskan bahwa HAM dalam penegakannya hanya bisa berjalan jika ada negara yang bisa dipercaya.

“Kita lihat apa artinya HAM, bagaimanapun HAM hanya bisa berjalan kalau ada negara yang bisa dipercaya, yang bertanggung jawab menjalankan HAM adalah negara, rakyat hanya punya hak, yang memastikan memberi hak adalah negara,” ujar Marsen.

Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Fakhrurrozi, bahwa kewajiban negara terhadap HAM paling tidak ada tiga, yaitu menghormati, melindungi, dan memenuhi.

Dalam diskusi peringatan hari HAM yang diadakan oleh KAHAM UII turut hadir dua aktivis Urutsewu Kebumen, Seniman MD dan Widodo Sunu Nugroho. Dalam paparannya, Seniman memaparkan upaya TNI yang sudah mulai melakukan sertifikasi di Urutsewu sejak tahun 2010.

“2010 TNI sudah berupaya melakukan sertifikasi, bahkan ada yang atas nama perorangan, dokumennya ada di kami. Itu dilakukan oleh tentara dan itu atas dasar komunikasi dengn BPN,” ujar Seniman ketua koordinator FPPKS (Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan).

Di sesi selanjutnya, Widodo salah satu aktivis Urutsewu berharap pemerintah mengembalikan itikad baiknya untuk mengabdi kepada rakyat dan melakukan pemahaman bahwa peraturan dibuat untuk kesejahteraan rakyat.

“Saya kira poin terakhir ini yang kita butuhkan saat ini, jadi itikad baik pemerintah untuk mengabdi kepada rakyat yang harus kita kembalikan, dan pemahaman bahwa peraturan itu dibuat untuk kesejahteraan rakyat,” pungkas Widodo.

Dalam catatan Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), dalam rentang waktu Maret sampai September 2020, telah terjadi 35 konflik agraria di Indonesia. Konflik tersebut mulai dari perampasan tanah, penggusuran, intimidasi, hingga penangkapan.

Penulis dan Reporter : Pranoto

Editor : Muhammad Prasetyo

Skip to content