Suara Pembaca: Bukan Catatan Akhir Tahun

“Kapal di pelabuhan memang aman tetapi bukan itu kegunaan kapal” – John A Sheed

Sebelum saya mengulas secara garis besar apa yang telah dilakukan Himmah tempo lalu, izinkan saya untuk memberikan apresiasi terhadap segala hal yang telah dikerjakan Himmah hingga saat ini. Tak berlebihan rasanya jika mengatakan bahwa saat ini Himmah dalam ruang lingkup pers Mahasiswa di Jogja pada umumnya dan khususnya UII masih dinilai kredibel serta up to date. Atas dasar itulah saya bersedia memenuhi permintaan untuk menulis tentang kesan pembaca terhadap Himmah. 

Tulisan ini lahir di saat saya hendak meninggalkan dunia mahasiswa. Dunia yang dihiasi dengan imajinasi dan pengetahuan yang bertaut dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dunia yang tak membuat saya kaya dengan piagam atau piala melainkan tumbuh bersama solidaritas, gagasan, pemikiran dan tentunya pengalaman. Dunia yang juga dibangun berdasarkan pondasi keyakinan melalui diskusi, menulis, advokasi, hingga aksi. Disemai kepekaan sosial melalui membela mereka yang lemah, menolong mereka yang tak mendapatkan akses akan keadilan dan menemani orang yang dicap hina bahkan durjana.

Terdapat hal yang tak mampu terwujud ketika menyelami dunia mahasiswa tersebut, yakni bergelut dan mengabdi pada Lembaga Pers Mahasiswa kampus. Sebuah penyesalan yang saya harap tak terjadi pada mahasiswa lainnya. Bukan tanpa sebab, keyakinan akan kekuatan tulisan sudah saya rasakan ketika mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer dengan Bumi Manusia-nya, Tan Malaka bersama Madilog, Andreas Harsono melalui Agama Saya Adalah Jurnalisme, wartawan Udin atas keberaniannya, hingga Douwes Dekker dengan maha karya Multatuli.

Sesuatu yang tak perlu diragukan juga tentang kekuatan Lembaga Pers Mahasiswa yang acap kali dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan. Rekaman peristiwa tentang sensor hingga pembredelan adalah bukti nyata betapa gaung Lembaga Pers Mahasiswa mampu memukul penguasa. Sejarah pada tahun 1982 dapat memperkuat bukti itu semua. Rentetan peristiwa lain juga hadir dalam perjalanan lembaga pers mahasiswa di UII. Hal itu tentu meneguhkan keyakinan bahwa petualangan yang dilalui oleh seorang mahasiswa yang menceburkan diri ke lembaga pers kampus kaya akan pengalaman dan belum tentu diperoleh oleh mereka yang disibukkan dengan lomba maupun pelatihan wirausaha. 

Lantas apa yang dilakukan Himmah belakangan ini? Jawaban yang diberikan tentu berdasarkan kaca mata seseorang yang berada di luar lembaga tersebut. Pertama, lahirnya Himmah Podcast. Kedua, proses digitalisasi berbagai tulisan dan karya Himmah. Hal-hal lain seperti liputan, kajian hingga membuat majalah adalah aktivitas yang tak asing dikerjakan lembaga pers. Sejatinya rancangan program apapun tak akan menjadi persoalan selama mampu mengantarkan petualangan dengan menimba pengalaman sebanyak-banyaknya.

Bagaimana dengan independensi? Persoalan independensi bagi saya bukan sesuatu yang menarik untuk dibicarakan, sebab saya percaya selama akar organisasi ini kuat dengan nilai yang menjadi landasannya, hal-hal teknis lain akan mengiringinya. Perkara keberpihakan juga demikian, Himmah memiliki tonggak yang tak begitu rapuh sebab keberagaman yang ada pada tubuh organisasinya memperkuat itu semua. Tak seperti beberapa lembaga pers fakultas yang identik dengan satu warna. 

Jika ragu akan independensi atau keberpihakan silakan menelusuri jejak Himmah dalam merekam persekongkolan politik najis yang dilakukan oleh negara, kampus, maupun lembaga mahasiswa. Bukan pekerjaan mudah apa yang telah mereka lakukan. Hingga timbul pertanyaan dalam benak saya, ramuan apa yang mampu membuat Himmah bersedia melakukan tindakan yang tak jarang membahayakan status mahasiswa hingga nyawa. Apa benar ini merupakan kekuatan cinta dalam apa yang dikerjakan? Jalaluddin Rumi melukiskan melalui puisi nan indah arti kekuatan cinta:

Dengan cinta,

yang pahit menjadi manis.

Dengan cinta,

tambang menjadi emas.

Dengan cinta,

sampah menjadi jernih.

Dengan cinta,

yang mati menjadi hidup.

Dengan cinta,

raja menjadi budak.

Dari ilmu,

cinta dapat tumbuh.

Pernahkah kebodohan menempatkan orang

di atas takhta begini?

Barangkali bukan hanya ramuan cinta, bisa saja keyakinan akan keadilan dan keberpihakan pada kaum mustadh’afin lahir karena pekarangan Himmah diisi oleh nilai universal yang membebaskan. Pondasinya dibangun berdasarkan fungsi edukatif dan evaluatif, tak terjebak pada simbol atau jargon heroik yang miskin penerapannya. Satu sama lain berkelindan, dan itu yang membuat rumah bernama Himmah seperti yang digambarkan Ralph. W. Sockman: Ada bagian-bagian kapal yang jika berdiri sendiri-sendiri akan tenggelam. Mesin bisa tenggelam. Baling-baling bisa tenggelam. Tetapi, jika bagian-bagian kapal dibangun bersama-sama, kapal itu akan mengapung.

Artinya, seluruh elemen dalam organisasi merupakan penting. Tak ada satu bagian pun yang dapat diremehkan perannya karena pekerjaan sederhana, dan tak ada posisi yang merasa ia bagian terpenting. Jika hal ini terjadi sebaliknya maka tak heran melihat berbagai lembaga pers kampus pincang dalam berjalan serta jatuh ketika berhadapan dengan tantangan.

Selain itu terdapat beberapa hal penting yang saya rasa belum tampak pada wajah Himmah maupun lembaga pers fakultas di UII. Diskursus ini sebenarnya pernah disinggung oleh Dandhy Dwi Laksono dalam bukunya Indonesia for Sale. Ini berkaitan dengan peran lembaga pers dalam proses produksi maupun reproduksi ilmu pengetahuan, perdebatan atas berbagai peristiwa sosial selama ini. Wajah lembaga pers yang terkesan ‘hanya’ pembuat berita atau penyampai peristiwa perlu diperbaharui. Maksudnya, sudah waktunya lembaga pers tak melulu sebatas pencari atau pembuat berita namun lembaga ini hadir dalam arena pertarungan ide dan gagasan atas berbagai fenomena sosial.  Sehingga, stigma tersebut berubah dan lembaga pers mahasiswa tak hanya menjadi penonton namun mampu menjawab tantangan persoalan.

Bahkan, Himmah dapat melompat lebih jauh dengan memerankan sebagai lembaga pengawas atas keberlangsungan lembaga mahasiswa tingkat legislatif, eksekutif, rektorat, hingga yayasan di UII. Isu korupsi, penyalahgunaan wewenang, bobroknya sistem pekerja, hingga pelecehan seksual merupakan kabar burung yang kerap masuk ke telinga mahasiswa. Lantas, siapa yang dapat memberikan pencerahan atas tudingan itu semua? Salah satunya tentu lembaga pers mahasiswa. Langkah ini dilakukan agar Himmah tak bergantung pada isu populer semata dan mampu menembus jalan buntu yang menyesatkan sehingga dapat menggugah nalar kritis mahasiswa. Jika peran itu tak segera diambil dan ditekuni maka lantunan syair Rendra dalam “Sajak Anak Muda” akan terus relevan:

Mengapa harus kita terima hidup begini?

Seseorang berhak diberi ijazah dokter,

Dianggap sebagai orang terpelajar

Tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan

Dan bila ada tirani merajalela

Ia diam tak bicara

Kerjanya cuman menyuntik saja

Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja

Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum

Dianggap sebagai bendera-bendera upacara

Sementara hukum dikhianati berulang kali

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi

Dianggap bunga plastik

Sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi

Tak mungkin kita berharap pada lembaga atau institusi yang merasa benar dan percaya dengan keadaan yang baik-baik saja. Bersama Himmah-lah kita menggantungkan harapan beserta lembaga pers mahasiswa UII lainnya: Keadilan, Kognisia, Profesi, Cardios, Ekonomika, Linier, Solid, dan Pilar Demokrasi. Paling tidak melalui lembaga pers mampu membuat mahasiswa melompat lebih jauh: mengasah pena, merawat gagasan kemudian memengaruhi keadaan.

Tidak berhenti di situ, Himmah mestinya juga dapat menjadi pionir untuk mengkonsolidasikan lembaga pers yang berada di UII. Peran ini dilakukan bukan karena Himmah dalam struktur kelembagaan berada dalam lingkup universitas melainkan sebagai tanggung jawab moral yang mesti disadari sejak dini. Setahu saya telah terdapat ruang pertemuan antar lembaga pers di UII seperti Forum Komunikasi Pers Mahasiswa, namun tidak berhenti pada ada atau tidak forum tersebut melainkan seberapa berguna keberadaannya bagi dinamika lembaga pers di UII. Selain itu apakah forum tersebut mampu menjembatani segala bentuk keresahan lembaga pers yang mengisinya? Jika iya patut disyukuri, jika sebaliknya maka rumusan forum komunikasi perlu dirubah menjadi taman kolektif yang dapat mengatasi berbagai persoalan lembaga pers di UII.

Tanggung jawab yang tak kalah penting, Himmah harus mampu mendorong partisipasi mahasiswa untuk tetap merawat tradisi intelektual: berpikir, membaca, menulis, diskusi, debat, dan aksi. Bagian  ini dapat dilakukan oleh semua lembaga namun alangkah indah jika pionir itu lahir dari lembaga pers mahasiswa.

Saatnya Himmah berbenah dan kembali merancang langkah berikutnya, tradisi kuno organisasi yang dirasa menghambat lekas ditinggalkan, waktunya menemukan jalan baru yang mampu membuat organisasi ini lebih baik. Memang tak mudah namun perlu untuk dicoba sehingga tugas pers mahasiswa tak hanya menyampaikan kabar atau sekedar memoles kenyataan melainkan mampu menghidupkan harapan. Seperti halnya menanam, harapan sangat penting untuk kita rawat dan memastikan apa yang telah kita tanam akan bertumbuh dan kita mampu memetiknya. Mungkin bukan saat ini atau esok hari kita akan menuai hasil, paling tidak telah menanam untuk keadaan yang lebih baik. 

Terima kasih.

Skip to content