Arsi terbangun dari tidur karena bertemu ibunya di dalam mimpi. Hal itu membuatnya teringat akan rumah, apalagi ia tak pulang selama tiga tahun. Ketidakpulangan Arsi disebabkan oleh wabah yang mengerikan. Arsi tak mampu melakukan apa-apa, kecuali menunggu keajaiban.
Banyak masyarakat yang terjangkit penyakit tersebut. Kehilangan merupakan kudapan utama hampir setiap hari. Bunyi sirene ambulans ramai dari pagi hingga pagi lagi. Pemberitaan riuh di teve-teve. Itulah yang terjadi, fenomena yang tak bisa dihindari Arsi.
Kenyataan lain yang ia harus hadapi adalah satu per satu teman kosnya telah kembali ke kediamannya, berkumpul dengan orang-orang terkasih. Kini ia hidup sendiri. Rasa iri menusuk batin. Saat ini, isi kepalanya tertanam rasa ingin bersua dengan keluarga, ditambah hari raya akan tiba. Meski begitu, waktu untuk mereka tidaklah reda. Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan ialah berkabar lewat media sosial.
“Sudah makan belum, Nak?”
Kata-kata ibu hampir setiap hari ada di obrolannya. Bagi orang lain, mungkin terasa basi. Namun, pertanyaan itu bagaikan kalimat sakti yang mampu mengobati kerinduan Arsi.
Selain komunikasi jarak jauh, Arsi senang sekali membuka galeri ponselnya. Pagi itu, pada saat jarinya tengah mengusap layar ponsel, tiba-tiba matanya mengarah pada satu foto lama. Terdapat ayah, ibu, dan adik kedua Arsi yang berumur lima tahun tengah melakukan pose bebas. Ketika melihat foto tersebut, Arsi tertawa kecil secara spontan.
Ia fokus dengan noda yang menempel di lengan kiri baju bapak dan gigi bagian tengah adiknya yang ompong. Yang dia ingat, baju bapak kotor karena kopi tumpah akibat senda gurau mereka yang renyah.
Tak terasa mata Arsi berkaca-kaca. Timbul hasrat ingin berhenti untuk melihat kumpulan foto tersebut. Namun, seperti ada tangan yang menuntunnya agar tidak menyudahi. Jari jemari itu terus menggoda layaknya wanita muda. Peluh mengucur. Akhirnya, Arsi tak sanggup.
Kemudian, Arsi mencari foto yang lain. Foto tersebut adalah kenangan dari pernikahan adik pertamanya. Pemuda itu tersenyum bersama istri dan keluarga mereka. Hal tersebut membuat Arsi terbawa ke kejadian dua tahun yang lalu. Ia sangat ingat ketika pertama kali bapak dan ibu menceritakan perihal rencana pernikahan adik pertamanya—kali terakhir ia pulang ke rumah.
Sebuah ruangan dengan gemerlap doa dan harapan tergambar di kepalanya. Air mata bahagia yang tumpah tanpa cela. Sayangnya, lukisan itu terhapus oleh pandemi yang melambung tinggi. Akhirnya, pernikahan tetap terlaksana secara sederhana. Namun, tanpa kehadirannya.
Kekecewaan tampak dari mimiknya saat Arsi merasa tak direstui Tuhan. Ia hanya mampu mendoakan dan memberi senyum emoji. Emoji yang tak sesuai hati, hasil manipulasi.
Telepon berdering. Tertera nama “Ibu” pada layar ponsel berlatar hijau. Arsi pun menerima panggilan tersebut tanpa pikir panjang. Suara ibu di ujung telepon membuat Arsi gembira bukan kepalang.
Ibunya memberi kabar bahwa tahun ini pemerintah memperbolehkan masyarakat untuk mudik, sebab kasus-kasus pandemi sudah tak mencekik. Arsi yang kesehariannya jarang membaca berita pun bahagia, jantungnya berdetak kencang, dan bibir yang merana berubah jadi ceria. Pada akhirnya, doa Arsi diijabah oleh Tuhan.
“Kami sudah tidak sabar menunggu kedatanganmu, Nak. Hati-hati di jalan. Kamu bilang sama supirnya, jalannya pelan-pelan saja. Ibu enggak mau ketampanan anak Ibu tergores.” Arsi mengiyakan dan tertawa, disusul tawa ibunya.
***
Sekian lama Arsi menanti kesempatan, akhirnya pulang juga. Perjalanan panjang benar-benar membuat Arsi lelah. Sekonyong-konyong pandangannya tertuju pada sesuatu yang terikat di tiang listrik. Saat melihat benda itu, seketika ia merasakan firasat buruk—bacaan doa-doa terdengar dari rumahnya. Dengan tergesa-gesa, Arsi berlari seraya berharap bahwa perasaannya salah.
Setibanya di sana, ia melihat banyak warga tengah ramai berkumpul memenuhi rumahnya. Seketika Arsi merasakan sakit di bagian perut. Tanpa pikir panjang, ia melewati orang-orang yang tengah membaca doa. Ia pun disambut sang bapak. Lelehan air mengalir dari matanya.
“Ada apa, Bapak? Siapa yang….” Arsi memeluk bapak sembari menepuk bahunya perlahan untuk menenangkannya, “Di mana Ibu?” tanyanya kemudian.
Bapak pun membawanya ke ruang tengah. Adik-adik beserta sebagian keluarganya yang lain tampak terduduk lesu. Di hadapannya kini, terdapat sesuatu yang terbungkus kafan dengan lapisan kain coklat bermotif batik. Arsi tersadar bahwa ibu tidak ada di sana. Ia pun membuka kain tersebut, disusul bapak yang merangkulnya kemudian. Pada hari itu, lautan air mata memenuhi kediaman Arsi.
Setelah hari di mana ia kehilangan malaikat pelindungngya, Arsi memutuskan mengurung diri. Satu-satunya momen saat Arsi keluar hanyalah berziarah ke makam ibunya pada sore hari—ia memeluk nisan seolah berdekapan dengan ibu. Tak ada lagi: senyum yang menggantung pada bibirnya; tertanam penyesalan; dan kepulangan menjadi kesia-siaan.
Arsi sering kali mencoret-coret dinding. Tulisan ibu, rindu ibu, bahagiakah ibu di sana? memenuhi semua sudut tembok kamar. Lelaki itu pun selalu memukul-mukul dada, bahkan di hadapan bapaknya. Bapaknya tak tega melihat Arsi berbuat demikian. Banyak nasihat yang diberikan oleh bapak untuk Arsi. Meski gagal, ia tak putus asa.
Pada suatu waktu, bapak teringat pesan suara yang pernah dibuat istrinya saat melihat ruang obrolan Arsi dengan ibunya di media sosial—rekaman yang belum sempat diberikan istrinya. Akhirnya, ia berniat memperdengarkan pesan itu kepada Arsi agar tak tenggelam dalam duka. Butuh waktu sekitar tiga puluh menit bagi bapak dalam meyakinkan Arsi agar mau membukakan pintu.
“Nak, ada seseorang yang ingin menyampaikan pesan kepadamu.” Arsi yang tengah duduk dengan tangan yang menyilangi lutut pun tak peduli perkataan bapaknya.
“Arsi….” Arsi menoleh ketika bapak memutar pesan di ponsel ibu, “Ibu?” ucapnya.
“Bagaimana kabarmu, Nak? Semoga baik-baik saja. Walaupun kami belum bisa melihatmu, kami sudah senang ketika tahu kabarmu. Kami bahagia jika kamu bahagia. Arsi sabar, ya, sebab yang kita inginkan di dunia memang tak selalu sesuai ekspektasi. Langit tak selalu biru, badai yang hadir pasti berlalu. Begitu pun apa yang kita mau, semua pasti ada waktu. Percaya sama ibu. Terima saja dulu. Kami menyayangimu.”
Pintu hati Arsi terketuk. Ia mulai sadar sesudah dengar pesan dari ibu: sadar bahwa takdir menjadi ketetapan setiap manusia, waktu tidak bisa diputar mundur, dan diam mampu menjadi bom waktu bila tak punya kemauan untuk maju.
Arsi dan bapak pun saling menatap. “Pak, Arsi minta maaf. Maaf sudah merepotkan Bapak yang rela membanting pikiran demi Arsi,” ucap Arsi dengan terbata-bata, “Terima kasih, Pak,” sambungnya.
“Tidak masalah, Nak. Selain ibu, itu sudah tugas bapak sebagai orang tua.”
Saat bapaknya berkata demikian, di manik mata bapak yang sudah tak muda itu, Arsi seperti menangkap sosok ibunya. Lelaki itu pun menangis sejadi-jadinya, menyesali sikapnya. Ia mulai mengikhlaskan ibunya dan berdamai dengan diri sendiri.