Jatilan Turonggo Mudho Tri Manunggal dan Upaya Pelestarian Budaya

Salah satu pemain jatilan putra sedang menari mengikuti irama lagu gamelan di Pagelaran Kesenian Jathilan Turonggo Mudho Tri Manunggal pada Sabtu (10/06). Acara tersebut diadakan di bumi perkemahan Dewi Tanggalsari, Duwet, Wukirsari, Sleman. Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi
Tampak depan Pagelaran Kesenian Jathilan Turonggo Mudho Tri Manunggal di bumi perkemahan Dewi Tanggalsari. Terlihat acara tersebut dipadati warga yang menonton di luar pagar bambu. Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi

Pawang jatilan, Parman (65) melakukan ritual panyuwun sebelum pementasan tarian jatilan di bumi perkemahan Dewi Tanggalsari pada Sabtu (10/06). Ritual tersebut dimaksudkan untuk mengirim doa kepada nenek moyang dan meminta restu kepada Tuhan demi kelancaran acara pementasan. Foto: Magang Himmah/Reza Sandy Nugroho

Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri

Pawang jatilan, Parman (65), sedang berinteraksi dengan roh yang merasuki salah satu pemain jatilan putri pada Pagelaran Kesenian Jathilan Turonggo Mudho Tri Manunggal, Sabtu (10/06) di bumi perkemahan Dewi Tanggalsari. Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi

Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri

Penampilan kreasi jatilan putri pada Pagelaran Kesenian Jathilan Turonggo Mudho Tri Manunggal di bumi perkemahan Dewi Tanggalsari, Sabtu (10/06). Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi

Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri

Drama pertarungan jatilan putra bersama pawang jatilan, Ngatno, pada Pagelaran Kesenian Jathilan Turonggo Mudho Tri Manunggal di bumi perkemahan Dewi Tanggalsari, Sabtu (10/06). Foto: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi

Himmah OnlineWaktu magrib sudah terasa. Tepat pukul 17.00 WIB, para pedagang kaki lima mulai memasuki kawasan pertunjukan. Satu persatu dari mereka bersiap membuka lapak untuk acara jatilan malam itu, Sabtu (10/6). Seketika itu juga bumi perkemahan Dewi Tanggalsari, Duwet, Wukirsari, Kabupaten Sleman tampak gemerlap dengan lalu-lalang pedagang, gaung sound system, dan lampu sorot beraneka warna.

Dengan tajuk Pembinaan Kesenian Jaranan Turonggo Mudho Tri Manunggal, acara ini dimaksudkan sebagai ajang pelestarian budaya. “Daripada temen-temen anak muda malam minggu ngga jelas mending ke sini dengan syarat dengan tertib, menjaga keamanan bersama-sama,” jelas Totok (35) selaku kepala Dukuh Gungan, Wukirsari, Cangkringan.

Turonggo Mudho Tri Manunggal adalah kelompok jatilan yang tampil kali ini. Mereka juga yang sekaligus menjadi penyelenggara utama dari acara tersebut. Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) turut berpartisipasi melalui Dana Keistimewaan.

Selain itu, pihak bumi perkemahan juga membebaskan biaya sewa lahan atas terselenggaranya acara ini. Mereka hanya mengenakan retribusi sewa pada warga non-lokal desa. “Sekali lagi tujuannya, kan, untuk masyarakat. (Kami) takut membebani. Dan jatilan juga (berasal dari) kelompok kita sendiri,” jelas Anwar (49) sebagai pengelola lahan bumi perkemahan.

Selama acara terselenggara, ia terlihat mondar-mandir demi memastikan semuanya berjalan sesuai dengan arahan. Keamanan acara menjadi urusan paling vital yang ia tangani.

Parman (65), ketua paguyuban jatilan, juga ikut berkeliling. Ia berjalan dari ruang ganti pemain, lalu ke panggung pentas, kemudian menyapa orang-orang yang ia temui.
Kelompok jatilan ini bertempat di Padukuhan Gungan (Huntap Dongkelsari), Wukirsari, Cangkringan. Usia paguyuban ini “Kurang luweh itu wis meh 20 tahun (red-kurang lebih itu sudah hampir 20 tahun),” tutur Parman.

Babak Pentas

Pukul 20.24 WIB, kendang ketipung ditabuh dari atas panggung. Penonton berduyun-duyun mengelilingi sasana pementasan yang terletak tepat di bawahnya—di sepetak tanah berbentuk persegi yang dipagari oleh bambu.

Pengunjung tampak ramai dan penuh sesak memadati area pentas. Mereka menunggu empat babak yang akan ditampilkan malam itu, yaitu kreasi putra, kreasi putri, mataraman, dan blendrong.

Mula-mula, Parman memimpin upacara panyuwun. Dia duduk di tengah kuda-kuda tiruan. Terlihat asap kemenyan membumbung tinggi. Tak lama, ia bangkit memecut langit dari empat penjuru. Kemudian memercikkan seluruh properti jatilan dengan minyak wangi.

Babak pertama ialah kreasi putra. Diawali dengan masuknya dua pemuda bertopeng buto. Lalu disusul enam pemain yang masuk perlahan dengan tarian yang tegas. Mereka menenteng anyaman bambu berbentuk kuda sembari membawa sepotong bambu di tangan kanannya. 

Usai kreasi putra, babak kedua diisi oleh kreasi putri. Enam pemudi memasuki arena dengan anggun. Berbeda dengan putra, kreasi ini tak membawa senjata apapun. Hanya ada kuda tiruan di antara kedua tangan mereka.

Sesi mataraman kembali diisi oleh delapan pria. Kali ini, mereka berdandan lebih sangar. Penunggang kuda jatilan juga lebih matang dalam tariannya. Kuda jatilan diangkat ke langit sembari mereka memasuki lapangan. Tak lupa juga dengan sebilah bambu tumpul.

Partai terakhir adalah yang paling menarik. Secara fisik, delapan pemain itu tampak lebih tua dari tiga babak sebelumnya. Kuda lumping sudah tertata sebelum mereka mulai masuk dan menari. Tariannya juga lebih rapi dan terarah.

Tiga babak yang diisi oleh pria mengalami kerasukan setelah adegan pertarungan. Hal ini tidak ditemui di penampil putri. Mereka kerasukan hanya dengan sentuhan tangan dari satu orang yang terlebih dulu kerasukan.

Secara alur cerita, jatilan diambil dari salah satu bagian reog ponorogo. Tapi, jatilan juga dapat menggambarkan situasi peperangan antara Arya Jipang dengan Danang Sutawijaya, dan bahkan perang Diponegoro. “Itu (red-cerita) mung digabungke (red-hanya dipadukan) untuk (sebuah) garapan,” tutur Parman.

Para pemain merupakan gabungan dari tiga padukuhan, yaitu Gungan, Cakran, dan Srodokan. Melalui paguyuban jatilan ini, Parman berharap adanya persatuan antar pemuda dari ketiga Dukuh tersebut. “Dadi (red-jadi) saling menjaga, saling menolong,” pungkas Parman.

Reporter: Himmah/R Aria Chandra Prakosa, Himmah/Muhammad Fahrur Rozi, Magang Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Magang Himmah/Reza Sandy Nugroho

Editor: Jihan Nabilah

Terbaru

Skip to content