Kado Coklat Dari Kakek

Oleh: Ruhul Auliya

                Terik matahari menyinari kota jogja siang itu. Sangat panas terasa membakar kulit. Peluh bercucuran di pelipis. Ku usap perlahan. Perutku terasa lapar siang itu setelah pulang dari kantor. Sejak pagi aku memang belum makan apapun. Saat ku hentikan motor tepat di dekat lampu merah, tak sengaja mataku tertuju pada sebuah toko dunkin’ donuts yang berada tepat di depan Mirota Kampus. Ku lihat donat coklat yang sangat menggoda di etalase. Kuputuskan untuk membelokkan motorku dan marus ke toko tersebut. Ku beli 2 buah donat coklat. Untukku dan untuk anakku.

Setelah membeli donat, aku langsung melajukan motorku untuk pulang. Namun sayang, hari itu benar-benar macet. Aku terjebak lampu merah lagi. Aku merutuk kesal sekali lagi. Ku edarkan pandanganku untuk mencari celah untuk menyerobot. Namun, seketika itu juga aku terpaku. Tepat di sudut pinggir jalan yang begitu terik, ku lihat seorang pengemis tua duduk berpeluh sambil mengusap keringat yang bercucuran. Aku terkesima. Entah mengapa kurasakan perih yang begitu dalam merasukiku. Tiba-tiba, wajah yang selalu ku rindu merasuki fikiranku. Kakek.

15 tahun yang lalu…..

Aku pulang dengan wajah lesu. Tas punggung sobek bertengger di pundakku.  Baju merah putihku juga masih melekat sempurna. Aku duduk di sebuah kursi reot depan rumah. Aku baru saja pulang sekolah. Rasanya benar-benar capek setelah berjalan kaki dari SD ku yang berjarak 2 kilo dari rumahku. Namun bukan itu yang membuatku lesu kali ini.

“ Onten nopo si ndok?” Tanya nenek yang baru keluar dari dalam rumah sambil membelai rambutku. Aku diam tak menjawab. Kulihat kakek duduk lesu di atas tumpukan kayu yang ada di depan rumah. Beliau baru saja pulang dari memulung plastic bekas. Beliau terlihat lesu. Ku gelengkan kepala.

“ Kamu lapar? “ Tanya nenek sekali lagi. Aku menggeleng sekali lagi. “Terus kenapa toh ndok?”

“Nanda mau coklaatttt…!!!” Tangisku mulai pecah. “ Tadi, temen Nanda ulang tahun. Terus papanya kasih hadiah boneka sama coklat. Huuu..uuu…!! Nanda pengen coklaattt…” Aku menangis dan merengek. Jika kalian bertanya mengapa aku merengek pada mereka, it karena aku tidak punya ayah dan ibu. Orang tuaku meninggal sejak kejadian merapi beberapa tahun yang lalu. Aku tinggal dengan kakek dan nenek yang rela mengangkatku menjadi cucu mereka. Kakek dan nenek yang sungguh sangat tua.

Kakek menatapku sedih. Begitupun nenek. Nenek mengusap air mataku .“ Jangan nangis toh ndok. Nenek sama kakek belum punya uang. Nanti ya….kalo kakek dan nenek sudah punya uang?” Ujar nenekku lagi berusaha menenangkanku. Diusapnya air mataku. Aku mengangguk perlahan.

“ Nanda mau ikut kakek mulung?” Tanya nenek. Aku mengangguk senang membuat gigiku yang ompong terlihat. Kakek tersenyum. Beliau berdiri dan mengambil keranjang tempat menaruh hasil memulung.

Aku dan kakek pergi memulung hingga menjelang maghrib. Hasil memulung kami hari ini cukup banyak. Kami pergi ke pengepul plastic. Kami mendapatkan 5 kilo. Kakek mendapatkan upah cuma 25 ribu. Kakek tersenyum tipis. Di gandengnya aku pulang. Saat kami dalam perjalanan pulang, kakek tiba-tiba mengajakku ke sebuah kios kecil. Nampak mencari sesuatu. Sesaat, beliu telah menggenggang sebatang coklat murah seharga 500 rupiah. Diambilnya 5 batang coklat dan merogoh kantong, mengambil uang 5000 an dan menyerahkannya kepada si penjual. Diserahkannya 5 batang coklat tersebut kepadaku. Aku sangat senang waktu itu. Aku tersenyum lebar. Beliau hanya tersenyum lembut kepadaku. Senyumnya memperlihatkan gigi ompongnya yang sama sepertiku saat itu. Hujan turun perlahan. Di payunginya aku dengan keranjang tempat menaruh hasil memulung. Sampai akhirnya kamipun tiba di rumah.

Keesokan harinya, kakek pun sakit. Kakek terkena demam. Kakek meninggal saat aku berumur 9 tahun. Dan kini aku sangat merindukannya.

Hari ini….

Aku masih terpaku. Entah mengapa air mataku tiba-tiba mengucur dari sudut mataku. Ku hapus perlahan. Sementara lampu hijau telah menyala. Ku belokkan motorku menepi. Banyak orang yang mencaci makiku karena hal itu. Namun aku tidak peduli. Ku hentikan motorku kemudian berjalan kearah pengemis tua tersebut. Ku dekati perlahan.

“ Kakek sudah makan?” Tanyaku kepada pengemis tua tersebut.

“ Belum nak….saya belum makan.” Ucapnya parau. Air mataku ingin meleleh kembali. Namun ku tahan.

“Ini ada donat buat kakek.” Ucapku tertahan sembari menyodorkan donat yang ku beli tadi. Kemudian aku mohon pamit dan pergi. Aku menangis tersedu-sedu. Jika seandainya itu adalah kakekku, betapa sedihnya aku. Ingin rasanya ku peluk dan ku ajak pulang. Menikmati uang hasil dari keringatku. Aku merindukan sosok itu. Ku tengok kembali kearah pengemis tua itu. Kulihat di bagikannya donat yang ku berikan kepada anak-anak kecil yang sedang mengemis di pinggir jalan. Ku hapus air mataku dan pergi melanjutkan perjalananku.

 

 

Skip to content