Beranda blog

Menilik Perjuangan Pepe Mujica dalam Nobar Film El Pepe: A Supreme Life

Himmah Online – Ketika di bawah kekuasaan junta militer, Uruguay pernah menjadi negeri yang timpang dan menjadi penyokong utama kapitalisme pada tahun 60-an. Kehidupan José Alberto Mujica Cordano alias Pepe pada masa itu, disebut penuh dengan keberanian. “Pepe bukan tipe aktivis yang hanya menulis pidato. Ia juga turun ke aksi lapangan, bahkan ikut merampok bank,” ujar Djoko Srowot dalam Nobar & Diskusi film El Pepe: A Supreme Life di Sekretariat Social Movements Institute (SMI), Rabu (11/6).

Menurut Djoko, banyak orang saat itu memandang aksi gerilya kelompok Tupamaros—organisasi pemuda yang memiliki keyakinan untuk memperjuangkan keadilan dan pemerataan kekayaan di Uruguay—sebagai bentuk kejahatan. 

“Pepe pernah ditanya wartawan Al-Jazeera, apakah mantan gerilyawan yang merampok dan membunuh layak jadi presiden. Ia menjawab, ‘Aku tidak membunuh orang, aku tidak mengambil yang bukan milikku. Kami merampok bank karena pada saat itu bank adalah alat untuk merampok rakyat kecil. Ia menjadi penyumbang energi dan darah bagi kapitalisme serta junta militer yang menindas rakyat,’” tutur Djoko.

José Alberto Mujica Cordano merupakan mantan presiden Uruguay yang menjabat dari 2010 hingga 2015. Media kerap mem-framing Pepe sebagai presiden yang sederhana bahkan termiskin di dunia. Pada 13 Mei 2025, Ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang melawan kanker tenggorokan.

Kisah Pepe dikenang pada acara Diskusi dan Nobar bertajuk “Inilah Presiden Progresif” yang diselenggarakan SMI bersama Aksi Kamisan Jogja. Pada pukul 18.30, acara dimulai dengan nonton bareng film dokumenter berjudul El Pepe: A Supreme Life tahun 2018 yang disutradarai oleh Emir Kusturica. Film ini menceritakan pandangan politik serta perjalanan kehidupan Pepe sejak menjadi gerilyawan sampai menjadi presiden.

Dalam sesi diskusi, Djoko menceritakan lebih lanjut bagaimana perjalanan perjuangan Pepe bersama organisasi Tupamaros. Pepe berakhir dipenjara selama 13 tahun kemudian mendapat amnesti dan bebas dari penjara pada tahun 1985.

Selain pemaparan perjalanan Pepe selama menjadi gerilyawan Tupamaros, Djoko juga menyampaikan pendapatnya tentang Pepe ketika menjabat menjadi presiden. Menurutnya, Pepe adalah sosok Abu Dzar Al-Ghifari modern, seorang sahabat Nabi Muhammad saw yang terkenal dengan kesederhanaannya. Ia memiliki kesamaan prinsip hidup anti kemewahan, dan komitmennya terhadap aspek sosial. 

“Saya membayangkan Pepe itu seperti Abu Dzar Al-Ghifari (karena) kesederhanaannya, keteguhannya,” tuturnya.

Pada masa Pepe menjadi presiden, ia menolak untuk memiliki pesawat kepresidenan. Pepe menolak dengan alasan pesawat Air Uruguay masih dapat dengan nyaman membawanya kemana-mana. “Anggaran untuk pesawat kepresidenan, kita belikan helikopter medis dengan peralatan canggih,” ujar Djoko seolah-olah menirukan Pepe.

Diskusi juga sedikit membahas kondisi politik Indonesia di masa kini, ketika anak muda dianggap pragmatis dan kehilangan idealisme, tidak seperti Pepe Mujica. “Apa yang akhirnya sedikit banyak mempengaruhi pragmatisme manusia modern?” tanya salah satu peserta.

Djoko mengatakan bahwa kehidupan manusia saat ini telah dikonstruksi oleh sistem yang konsumtif, di mana orang didorong untuk membeli berbagai hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Menurutnya, hal tersebut perlahan mengikis idealisme, karena hidup akhirnya hanya berfokus pada upaya bertahan, bukan lagi untuk memperjuangkan sesuatu.

“Kita mungkin tidak akan lagi melihat pemimpin seperti José Mujica di waktu-waktu yang akan datang, tetapi semoga, dari tempat sederhana, ruang-ruang kecil, dan diskusi tanpa protokol seperti ini, bisa tumbuh Pepe-Pepe baru,” pungkas Djoko.

Reporter: Himmah/Muhammad Nawal Haq Al Buny, Tazkiyani Himatussoba, Muhammad Beltsazar Rosaldi, Marsyalina Dwi Putri Amniarti

Editor: Farhan Mumtaz

Sepiring Kebaikan di Malam Waisak

Himmah Online – Malam menyelimuti pelataran Candi Borobudur saat umat Buddha dan pengunjung berkumpul dalam perayaan Tri Suci Waisak 2569 Buddhist Era (BE). Di tengah suasana khidmat yang diiringi doa-doa dan prosesi pelepasan lampion, ada satu kegiatan yang menghadirkan kehangatan: berbagi makanan.

Sebanyak 15.000-20.000 porsi makanan disajikan secara prasmanan—mudah, terbuka, dan merangkul semua. Tidak hanya umat Buddha, pengunjung dan relawan turut menikmati sajian ini. Menu yang disajikan adalah menu vegan, tanpa daging. Hanya sayur-sayuran seperti jamur, tahu, dan kol yang diolah dengan sajian sederhana agar dapat diterima oleh semua kalangan, baik umat Buddha maupun non-Buddha.

Menu tahu bacem dan sayur jamur
Tumis jamur dan tahu bacem menjadi menu yang dihidangkan bagi para jamaah dan wisatawan dalam acara Tri Suci Waisak, Senin (12/05) Foto: Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Umat Budha dan pengunjung terkadang datang dengan persiapan yang minim dan tidak membawa bekal sehingga Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia terpanggil untuk menyiapkan makanan bagi mereka.

Proses persiapan kegiatan memasak berlangsung sekitar dua minggu hingga satu bulan, melibatkan relawan dari berbagai daerah seperti Jlegong Temanggung, Boyolali, Jepara, dan Jakarta. Relawan dari Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia terbagi atas dua tim, pertama untuk mendekorasi altar di Candi Mendut dan kedua untuk memasak. 

Kedatangan isi ulang makanan
Para relawan bergotong royong mengangkat wadah berisi hidangan yang akan disajikan untuk para jamaah dan wisatawan di tenda pembagian konsumsi, Senin (12/05). Foto: Himmah/Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah
Pembagian Air Mineral oleh relawan Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia
Seorang relawan dari Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia sedang membagikan air mineral kepada para jamaah dan wisatawan pada saat acara Tri Suci Waisak, Senin (12/05). Foto: Himmah/Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Tahun lalu, lokasi memasak berada di luar area Borobudur sehingga kesulitan untuk mobilitas isi ulang makanan. Berbeda dengan tahun ini, tempat memasak makanan berada di dalam area Borobudur sehingga memudahkan mobilitas isi ulang makanan, meskipun masih terdapat hambatan pada keramaian pengunjung.  

Dana pembagian makanan berasal dari donasi umat dan masyarakat yang tergerak untuk membantu. Sebagian bahan makanan datang dari para petani, sumbangan kol sebanyak 20–30 kg, kacang panjang, dan sayuran lainnya diberikan sesuai dengan kemampuan mereka.

Bagi umat Buddha, berdana—baik berupa uang, barang, tenaga, atau semangat—merupakan cara untuk menanam kebaikan. Karena mereka percaya, setiap niat baik akan kembali sebagai karma baik. 

Pembagian makanan parasmanan
Seorang jamaah menyodorkan piring plastik sebagai wadah untuk santapan yang disajikan kepada para relawan Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia yang tengah berjaga di tenda konsumsi, Senin (12/05). Foto: Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Alih-alih menggunakan piring plastik sekali pakai, relawan memilih piring plastik yang dapat digunakan kembali untuk efisiensi dan efektivitas. Penggunaan piring reusable (penggunaan ulang) ini juga menjadi bagian dari upaya umat Buddha untuk mendukung gerakan ramah lingkungan dan mengurangi dampak perubahan iklim. 

“Kami ingin mendukung pencegahan pemanasan global, jadi kami berusaha untuk menggunakan barang yang bisa dipakai ulang dan mengurangi limbah plastik sekali pakai,” jelas Rudy, selaku Sekjen Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia.

Pengunjung sedang menikmati santapan
Seorang ibu dan anak tengah menyantap sajian yang diberikan oleh relawan dari Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia di depan tenda pembagian konsumsi. Senin (12/05) Foto: Himmah/ Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Bagi mereka yang hadir tanpa bekal, sepiring makanan hangat adalah berkah. Mereka terbantu dengan adanya pembagian makanan ini untuk sekadar mengisi perut di kala lapar.

Ikhwan (20), seorang mahasiswa asal Ngawi, yang sedang menikmati libur perayaan Waisak, juga mengungkapkan “Alhamdulillah terbantu, cuma ini memang makanannya vegetarian tanpa daging,” ujarnya, ia juga mengutip salah satu kalimat dari panitia yang membekas dalam ingatannya.

 “Satu butir nasi, satu juta keringat.”

Makanan ini adalah hasil gotong royong, wujud cinta kasih, dan bentuk penghormatan terhadap setiap proses yang dilalui: dari petani yang menanam, relawan yang memasak, hingga tangan-tangan yang menyajikan.

Para relawan Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia tengah berjaga di tenda konsumsi untuk melayani para jamaah dan wisatawan
Para relawan Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia tengah berjaga di tenda konsumsi untuk melayani para jamaah dan wisatawan, Senin (12/05). Foto: Himmah/ Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Perayaan Tri Suci Waisak di Borobudur tahun ini menyisakan lebih dari sekadar doa dan cahaya. Ia meninggalkan jejak rasa cukup, rasa syukur, dan harapan bahwa bentuk ibadah dan kebaikan dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan bermakna. 

“Cara mengamalkan ibadah itu banyak cara, ada yang dilakukan dengan cara berdoa, berceramah, dan ada yang melalui pelaksanaan ajaran-Nya. Semua cara itu sangat baik. Untuk kami, kami membagikan makanan sebagai bentuk pelaksanaan ajaran itu sendiri,” pungkas Rudy.

Reporter: Himmah/Hana Mufidah, Ayu Salma Zoraida Kalman, Fauzan Febrivo Azonde, Felita Nur Safira, Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Cahya Nurani Annisa Paradise

Editor: Abraham Kindi

Kebuntuan Aktivisme dan Munculnya Post-Activism

Misal saja kita kembali ke masa kecil. Di sana dunia diperlihatkan kepada kita begitu manis, empuk, dan lembut untuk dikunyah. Bila kita belajar dengan rajin dan giat, kita bisa mendapatkan nilai yang bagus di rapot kita. Lalu masuk perguruan tinggi, dan mendapatkan pekerjaan yang layak dengan kerja keras, dan merasa aman, terjamin. Lalu kita bertemu dengan pasangan kita, menikah dan bercinta. Begitu mudah kita memahami bahwa hal-hal tersebut adalah kebaikan.

Kita bisa makan pizza, burger, sushi, steak, cumi, lobster dan berbagai macam ragam kuliner lain yang telah begitu berlimpah di pasaran. Kita bisa makan ayam setiap hari. Minum susu setiap hari. Membeli pakaian model terbaru setiap minggu. Membesarkan massa otot. Dan menyaksikan sajian hiburan yang sudah begitu banyak dan mengantri di daftar putar. Atau kita bisa pergi berwisata ke tempat-tempat yang jauh, yang belum pernah kita injakan kaki di sana sebelumnya dan kita akan merasa bahagia, seperti tidak ada yang salah dengan semua itu.

Kita telah menempuh pendidikan dengan baik. Mematuhi hukum. Mencoblos calon pemimpin setiap kali ada pemilihan umum. Tidak telat membayar pajak. Serta berkontribusi meningkatkan perekonomian nasional. Instruksi yang begitu jelas dan mudah. Di ujung sana, kita akan sukses bila mematuhi aturan-aturan dan norma-norma sosial yang berlaku tersebut.

Namun, narasi-narasi tersebut tampaknya hanya jelas dan masuk akal dalam satu gelembung dominan itu saja. Ketika pengetahuan-pengetahuan lain di luar gelembung itu meletus dan sampai kepada kita, lalu kita menyadari bahwa narasi-narasi kebaikan tadi sebagian banyak mengandung ilusi.

Ulrich Brand dan Markus Wissen, sosiolog dari Jerman, menulis buku yang berjudul Imperiale Lebensweise: Zur Ausbeutung von Mensch und Natur im Globalen Kapitalismus (2017), atau Gaya Hidup Imperial: Tentang Eksploitasi Manusia dan Alam dalam Kapitalisme Global. 

Apa yang dimaksud Brand dan Wissen dari gaya hidup imperial adalah mengacu pada masyarakat global north yang bergantung pada produksi dan konsumsi skala besar yang didapatkan dari ekstraksi energi, sumber daya alam, dan para buruh dari global south. Atau dalam kata lain, kenikmatan dan kemudahan yang mereka alami dalam hidupnya itu ditopang oleh penderitaan-penderitaan masyarakat lain di Selatan. Persis seperti menari di atas penderitaan orang lain. 

Seperti fast fashion, aktivitas berbelanja pakaian bisa nyaris setiap bulan—untuk tidak mengatakan nyaris setiap minggu. Di satu sisi, terkesan baik, dengan membeli barang-barang tersebut kita seperti mendukung para penjual dan pengrajin, meningkatkan perekonomian. Namun, bila kita lihat bagaimana barang-barang tersebut diproduksi, kita akan melihat sesuatu yang lain. 

Contoh skala global, Bangladesh, adalah salah-satu produsen besar dalam industri garmen, fast fashion yang kita butuhkan—atau seolah-olah menjadi kebutuhan—dibikin dalam kondisi kerja yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2013 di Rana Plaza di Dhaka, sebuah bangunan besar yang menampung lima pabrik garmen runtuh, mengakibatkan lebih dari seribu nyawa melayang. 

Tidak hanya dari sisi buruh yang harus bekerja terus menerus untuk memenuhi permintaan yang begitu tinggi, lebih jauh, kapas yang digunakan untuk produksi pakaian di Bangladesh dibudidayakan oleh petani miskin di India yang harus bekerja di bawah suhu 40°C yang begitu panas.

Bahkan para petani itu tidak memiliki kedaulatan atas tanaman kapasnya. Dari permintaan yang terus meningkat di industri mode itu menyebabkan penggunaan tanaman kapas dimodifikasi secara genetik dan dipatenkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Para petani kehilangan kepemilikan atas benih yang dimodifikasi secara genetik itu, bersama dengan pupuk kimia dan pestisida. Bila mereka gagal panen, para petani bakal semakin banyak hutang untuk membayar modal benih, pupuk, dan pestisida yang sudah mereka beli sebelumnya.

Lingkaran penderitaan ini seperti sulit ditemukan ujungnya. Semakin meluasnya cakrawala pandangan, kita menyaksikan keganjilan-keganjilan yang begitu kentara. Kita mengetahui bahwa banyak rumah kosong yang tidak berpenghuni. Banyak apartemen yang tak terisi. Sementara itu di seberang gedung apartemen atau rumah-rumah kosong itu, berjejalan di trotoar para gelandangan yang tak memiliki rumah. Artinya bukan semata-mata ketiadaan rumah, melainkan ketiadaan akses untuk menempatinya.

Keganjilan-keganjilan tersebut telah mencemari pandangan masa kecil kita tentang dunia yang dikelilingi cerita bahwa semuanya baik-baik saja. Dunia berjalan pada koridor yang tepat dalam menyongsong kemajuan. Bahwa semuanya berjuang untuk hidup dengan mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku.

Adapun masalah-masalah yang ada hanyalah sekadar masalah yang terpisah-pisah yang bisa dipecahkan dan ditangani, atau dianggap sebagai masalah tabu, yang tak terselesaikan, dan baiknya diabaikan begitu saja. Pandangan masa kecil kita itu telah tercemari dan mulai berbisik lirih, dunia yang kita tinggali ternyata tidak baik-baik saja.

Setelah kita merasakan bahwa banyak hal berjalan secara ganjil, lalu kita merasa harus terlibat dalam melakukan perubahan bagi perbaikan kehidupan. Mungkin setelah lulus kuliah, kita tidak mengikuti petunjuk konvensional untuk bekerja dalam tujuan memperkaya diri atau mendapat kekuasaan, yang juga telah bercumbu dengan hasrat dasar untuk mengakumulasi dan mempertahankan kekayaan. 

Alih-alih, kita lalu mencari alternatif lain seperti bekerja di dunia pendidikan, sebab melihat bahwa pendidikan adalah dasar awal untuk perubahan itu. Sembari kita juga aktif di NGO, misalnya, mengerjakan proyek-proyek sosial yang berupaya menyelesaikan masalah-masalah tadi secara langsung. Atau kita bekerja di laboratorium-laboratorium, melakukan riset-riset yang bisa dengan efektif menyelesaikan masalah-masalah tadi.

Namun, setelah masuk di sana kita menyadari, lembaga-lembaga tersebut pun telah tercengkeram kuat oleh sistem tak terlihat yang melanggengkan keganjilan-keganjilan yang mengganjal pikiran kita. Pendidikan melanggengkan narasi dan cara pandang dunia yang terpisah-pisah, yang berupaya menaklukan alam dengan tangan-tangan besi teknologi. Pun demikian NGO, lembaga ini bergerak, sebagian banyak, oleh uang dari donor korporasi-korporasi besar yang ekstraktif dan destruktif, baik pada alam maupun pada buruh-buruhnya yang secara tidak langsung turut serta melanggengkannya. Menyadari ini, seakan-akan tidak ada tempat bagi kita untuk pergi.

Misal saja kita membuka jalan baru lewat upaya-upaya revolusi atau setidaknya terlibat aktif dalam aktivisme untuk reformasi. Namun, gerakan-gerakan sosial yang terfragmentasi tak memiliki dampak yang cukup, semisal untuk menghentikan kerusakan lingkungan atau krisis sosial. Konon menurut kalimat masyhur, seperti yang dikutip Charles Eisenstein, “you cannot change one thing without changing everything.

Misal saja dulu, industri bergantung sepenuhnya pada alam, seperti kertas yang berasal dari kayu. Kertas memang mudah dibentuk dan ringan, namun tidak kuat, tidak tahan lama, dan menghabiskan persediaan kayu yang penting bagi ketersediaan oksigen dan lingkungan. Lalu polimer sintetik atau lebih dikenal dengan plastik ditemukan dan berkembang pesat. Demikian plastik pada mulanya diciptakan, salah-satunya, sebagai solusi untuk menjaga ketersediaan sumber daya alami di bumi.

Upaya-upaya yang dilakukan dengan mengembangkan plastik, baik dengan alasan ekonomis maupun ekologis, sebagai solusi ternyata menjadi persoalan lain. Sampah plastik kini menjadi persoalan yang serius. Demikianlah, sebab plastik hanya mengubah satu hal, ia tidak mengubah semuanya.

Misal saja sekarang, upaya untuk beralih pada energi terbarukan tanpa mengubah sistem ekonomi yang menopangnya tidak akan merubah apa-apa. Peningkatan investasi dalam energi terbarukan terjadi di seluruh dunia. Namun, konsumsi bahan bakar fosil tetaplah sama untuk tidak menyebutnya meningkat. Sebab energi terbarukan tidak dikonsumsi untuk menjadi pengganti bahan bakar fosil. Energi terbarukan digunakan bersamaan dengan bahan bakar fosil demi memenuhi permintaan energi secara keseluruhan yang meningkat terus menerus karena pertumbuhan ekonomi.

Artinya untuk mengharapkan perubahan berarti adalah dengan merubah segalanya, termasuk gaya hidup kita hari ini. Gaya hidup yang telah begitu menubuh ini, yang telah menjadi kebiasaan dan sulit dilepaskan dalam kehidupan keseharian kita. Demikian di hadapan perubahan drastis tersebut kita dikepung oleh ketakutan. Ketakutan hilangnya segala yang telah akrab dengan kehidupan keseharian kita. Konsumsi energi, makanan, pakaian, dan segala sumber daya yang kita pakai dalam keseharian tentu perlu dievaluasi. Seakan kebahagiaan yang kita gantungkan pada konsumsi-konsumsi tersebut akan direnggut, dan kita takut untuk berubah.

Dalam sebuah wawancara Anja Steinbauer bersama Slavoj Žižek di Philosophy Now, filsuf asal Slovenia yang jenaka itu berbicara bahwa mungkin hari ini bukan saat yang tepat untuk mengubah dunia. Seperti seruan masyhur Karl Marx beberapa abad yang lalu “para filsuf sampai sekarang hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara; intinya, bagaimana pun, adalah mengubahnya,” tetapi sebaliknya, bagi Žižek masa sekarang adalah saat yang tepat untuk mundur beberapa langkah, tepatnya untuk berpikir ulang.

Dalam kalimat yang lebih lugas Žižek menyeru “Don’t act. Just think.” Žižek seperti melihat bahwa upaya-upaya yang kita lakukan tak cukup. Apa yang kita lakukan dengan bersikap aktif dan ingin berpartisipasi, hanya sekadar untuk menutupi kehampaan saja dari apa yang terjadi. Pseudo-activity. Žižek melihat orang-orang selalu ingin campur tangan, untuk melakukan sesuatu, membuat langkah-langkah kecil, akademisi yang berpartisipasi dalam ‘debat’ yang tidak berarti, dsb; namun hal yang benar-benar sulit adalah untuk mundur, dan menarik diri dari semua keganjilan ini.

Seturut dengan semangat itu, Bayo Akomolafe, filsuf dari Nigeria yang sangat puitis itu menguji dan menantang cara berpikir tradisional kita tentang aktivisme. Misal saja cara-cara umum dalam aktivisme seperti protes, reformasi kebijakan, atau menumbangkan orang-orang jahat. Bayo bertanya bagaimana jika metode-metode yang biasa kita lakukan dalam aktivisme itu berakar pada pola pikir yang sama, yakni kontrol, urgensi, biner, yang menjadi akar awal dari krisis-krisis yang ada?

Kita perlu terus menerus bertanya, seperti halnya pertanyaan Bayo Akomolafe. Ia membayangkan bahwa kerja-kerja aktivisme seperti halnya sebuah palu, yang tentu berguna pada situasi-situasi tertentu. Tapi Bayo bertanya, apakah kita salah mengira kalau setiap masalah itu seperti paku yang perlu dipalu? Bagaimana jika dunia lebih seperti hutan daripada mesin yang rusak? 

Bayo Akomolafe mengingatkan kita untuk lebih pelan, slow down. Sebagaimana Žižek, kita perlu memikirkan kembali apakah kita telah tepat dalam mendefinisikan dan merumuskan masalah. Agar kita tidak kembali menyusun solusi yang kelak berganti wajah di kemudian hari, menjadi krisis baru. 

Bayo Akomolafe membuat istilah yang ia namakan dengan post-activism. Alih-alih dengan jawaban dan solusi, post-activism, menekankan kita untuk mampu bertanya, dalam nada yang lembut dan intim, tentang horison-horison yang mungkin luput dan terabaikan.

Bagi Bayo Akomolafe, post-activism ini tidak ditujukan sebagai bentuk baru yang lebih unggul yang menjamin solusi. Bukan pula post-dalam arti menjadi narasi penerus, kebenaran yang lebih dalam, jalur yang lebih pasti menuju dunia utopis atau formula tepat untuk menyelamatkan dunia.

Sebaliknya, post-activism alih-alih berusaha mendominasi atau mengatasi masalah yang kita hadapi. Kita harus belajar mendengarkan dengan seksama berbagai suara dan merangkul kompleksitas, ketidakpastian, dan berbagai perspektif.

Ketidakpastian yang begitu ditakutkan oleh kita mungkin adalah kepastian yang lain. Post-activism tidak mendorong untuk sekadar mengandalkan fakta-fakta dan logika, yang sepertinya bukan alat yang cukup untuk mengurai kompleksitas. Ia melangkah lebih jauh, untuk kita mulai menggunakan kembali perangkat-perangkat seperti mitos, ritual, mimpi dan cerita, hal-hal yang telah dikubur dalam-dalam oleh modernitas.

Dalam sejarah panjang cara kita berpikir, setidaknya ada dua cara berpikir, berbicara, untuk menjelaskan tentang dunia, yakni mitos dan logos. Walau mitos mulai tersisihkan sebagai metode untuk memahami dan menjelaskan realitas, namun keduanya merupakan modus-modus yang saling melengkapi. Bila logika berkenaan dengan hal-hal praktis. Maka mitos berkenaan dengan makna, memberi arti dan nilai.

Menurut Karen Amstrong dalam buku Sacred Nature, mitos adalah sebentuk psikologi kuno. Lewat cerita-cerita yang tak masuk akal itu, mitos sebenarnya sedang mengungkapkan perasaan-perasaan, seperti takut dan hasrat. Yaitu wilayah-wilayah gelap pikiran bawah sadar, yang tidak dapat dijangkau oleh penyelidikan logis murni, tetapi memiliki efek mendalam bagi pengalaman dan perilaku kita.

Lebih lanjut Karen menekankan bahwa mitos tidak bisa disampaikan sekadar melalui bukti rasional; sebab wawasannya bersifat intuitif, seperti halnya seni. Mitos hanya menjadi realitas jika diwujudkan dalam ritual dan upacara. 

Seperti halnya mitos yang masih diimani oleh masyarakat adat, bahwa alam adalah sosok Ibu, atau entitas yang perlu dihormati dan diselubungi kesucian, yang-sakral. Mitos bukan sekadar kisah atau cerita, mitos harus diungkapkan dalam tindakan, dalam ritual. Ritual tidak hanya semata-mata urusan spiritual, ia melibatkan pula tubuh, dan melalui tubuh, melibatkan emosi. Membentuk cara-pandang dan sikap terhadap dunia. Membentuk tata aturan yang melaraskan kepentingan berbagai cerita, melalui pamali dan pantangan-pantangan lainnya, yang menubuh dan tertaut secara batiniah.

Pengalaman estetis dan spiritual melalui ritual-ritual, mitos maupun seni, lebih optimal dalam memunculkan perasaan empati terhadap krisis lingkungan, atau krisis-krisis yang lain. Para ahli neurofisika mengatakan bahwa pengalaman estetis lebih efektif untuk membangkitkan apresiasi terhadap penderitaan daripada pendekatan kognitif yang lebih objektif.

Upaya-upaya tradisional dalam aktivisme, seperti protes dan kampanye isu-isu, walau sering mengalami kebuntuan, tentu tetap penting untuk dilakukan. Namun, kita perlu menyusun alat-alat dan perangkat lain. Misal saja, seni yang secara tradisional digunakan untuk memberi pesan, kritik, dan propaganda, kita lambungkan lebih jauh, seperti seni sebagai portal untuk memasuki dunia baru, yang diisi oleh mitos-mitos baik. 

Yang merekatkan kembali keterpisahan kita sebagai individu-individu yang tercerai-berai, kembali menjadi masyarakat yang terikat dan saling terlibat. Yang mendorong manusia kembali masuk pada lantai dansa semesta, bahwa kita adalah bagian dari alam, yang perlu terus menyesuaikan ritme ketukan dalam tarian semesta. Bukan makhluk yang terpisah dari semesta.

Mendasarkan ikatan relasional antara manusia dan manusia, antara manusia dan alam, secara etis, resiprokal dan bertanggungjawab. Jauh dalam hati kita tahu bahwa hal-hal itu sangat mungkin. Kita akan ke sana.

Hari Terakhir Perayaan Tri Suci Waisak 2569 BE

Para Bhikkhu memercikkan air suci kepada para pengunjung yang hadir dalam prosesi kirab pada perayaan Tri Suci Waisak 2569 BE di atas kendaraan, Senin (12/05). Foto: Himmah/Cahya Nurani Annisa Paradise

Seorang Bhikkhu meminta para jamaah untuk menyebutkan nama masing-masing dalam kegiatan meditasi bersama, pada malam perayaan Tri Suci Waisak 2569 BE, Senin (12/05), di pelataran Candi Borobudur. Foto: Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Seorang peserta melambaikan tangan ke lampion yang baru saja dilepaskannya ke langit saat malam perayaan Tri Suci Waisak 2569 BE di Candi Borobudur, pada Senin (12/05) Foto: Himmah/Fauzan Febrivo Azonde

Ribuan lampion menghiasi langit di atas Candi Borobudur. Ribuan umat Buddha dan pengunjung turut serta dalam prosesi perayaan Tri Suci Waisak 2569 BE, Senin (12/05) Foto: Himmah/Fauzan Febrivo Azonde

The Importance of Habits: Kesuksesan dan Kegagalan Ditentukan oleh Kebiasaan

Identitas Buku

Judul : The Importance of Habits

Penulis : Listiana S

Penerbit : Desa Pustaka Indonesia

Tahun Terbit : 2019

ISBN : 9786232381315

Setiap manusia diciptakan untuk menentukan pilihan, entah pilihan yang tepat atau keputusan yang nekat. Pilihan dan keputusan itulah yang berperan penting dalam kegagalan atau kesuksesan seseorang. Listiana dalam bukunya yang berjudul The Importance of Habits memberikan sebuah penyadaran (sekaligus perenungan) bahwa jika kesuksesan adalah sebuah pilihan, maka kegagalan juga demikian. Satu hal yang menjadi jurang pemisah antara kegagalan dan kesuksesan menurut Listiana adalah habits (kebiasaan). Melalui The Importance of Habits, Listiana ingin menunjukkan bahwa realita di lapangan telah menjadi bukti bahwa kesuksesan seseorang dapat ditentukan berdasarkan kebiasaan yang dilakukan. 

Buku The Importance of Habits terdiri atas 4 bab yang dibuka dengan alasan kuat mengapa kebiasaan menjadi modal kesuksesan, lalu penjelasan teoritis tentang bagaimana kebiasaan bisa terbentuk di bab 2, kemudian kisah-kisah orang sukses dengan kebiasaan yang dilanggengkan di bab 3, dan ditutup cara membentuk kebiasaan baru agar bisa mengubah kebiasaan lama (yang buruk). Secara keseluruhan, bagian yang paling unggul dari buku The Importance of Habits adalah cara Listiana menyajikan gagasan yang berorientasi kisah serta pola deskripsinya yang ‘mirip’ karya ilmiah. Sementara bagian ‘yang lain’ adalah tentang penyusunan sub-bab yang agak kacau, pengulangan kisah, dan penggunaan kata yang kurang tepat.

Berorientasi Kisah dan Berpola Karya Ilmiah

Kisah membuat seseorang lebih peka, karena dihadirkan contoh praktis, bukan sekadar narasi-narasi teoretis. Sama halnya dengan masa anak-anak yang terasa meneduhkan sekaligus menyenangkan dengan buaian dongeng sebelum tidur. Entah mau diakui atau tidak, kisah; cerita; maupun dongeng terasa lebih mudah menyentuh daripada poin-poin peraturan yang secara eksplisit mengajarkan nilai-nilai moral. Hal seperti inilah yang saya temui kala membaca buku The Importance of Habits. Listiana menyampaikan urgensi kebiasaan sebagai modal menggapai kesuksesan dengan rentetan kisah-kisah orang sukses seperti Bill Gates, Steve Jobs, Michael Jordan, dan beberapa tokoh besar yang lain. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini,

“Anda tentu mengenal legenda basket dunia, Michael Jordan……..Kalau orang menganggap kesuksesan Jordan hanya karena bakatnya, maka anggapan itu akan tertolak mentah-mentah. Michael Jordan, seperti diungkapkan Phil Jackson, orang yang pernah melatihnya cukup lama, adalah sosok pekerja keras. Jordan butuh kerja sangat keras hingga ia bisa menjadi legenda NBA,” (halaman 23)

Setiap argumentasi Listiana yang diperkuat dengan kisah-kisah orang sukses, membuat saya menjadi lebih mudah percaya bahwa kebiasaan berlatih dengan keraslah yang membuat Michael Jordan meraih kesuksesan dalam karirnya. Lain halnya jika Listiana hanya menyampaikan argumentasi tanpa kisah, tentu saya akan bertanya di dalam hati: memang buktinya apa?

Selain berorientasi kisah, Listiana juga menyajikan paparan gagasannya ‘mirip’ dengan karya ilmiah. Bab 1 seolah menjadi bagian latar belakang karena berisi tentang urgensi kebiasaan dalam kesuksesan seseorang, kemudian di bab 2 seolah menjadi kajian pustaka yang menampilkan paparan teoretis lewat teori repetisi. Berlanjut ke bab 3 yang seolah menjadi hasil penelitian karena mendeskripsikan temuan-temuan tentang orang-orang yang sukses gegara menjaga kebiasaan (baik). Ditutup dengan bab 4 yang seolah menjelma diskusi penelitian karena menghadirkan konstruksi tentang cara membentuk kebiasaan baru (yang baik) dengan cara mengubah kebiasaan lama (yang buruk). Sajian paparan yang berorientasi karya ilmiah ini pada akhirnya menyisakan kesan yang reliabel dan valid.

Sebuah Saran: Beberapa Kekurangan Ringan

Tak ada keunggulan yang ‘murni unggul’, pun tak ada pula kelemahan yang ‘murni lemah’. Di balik keunggulan yang telah disebutkan, buku The Importance of Habits tetaplah karya seorang manusia yang tidak bisa bebas-kritik. Beberapa kekurangan ringan menjadi bukti bahwa buku ini benar-benar ditulis oleh seorang manusia, bukan malaikat tanpa cela. Kekurangan-kekurangan ini disampaikan sebagai bagian dari saran untuk bahan pertimbangan di karya-karya masa depan. 

Kekurangan tersebut yaitu penyusunan sub-bab yang agak kacau, yakni sub-bab dari bab 3 yang terdiri atas A hingga W⸻untung tidak lebih dari Z. Ada beberapa sub-bab yang seharusnya bisa dijadikan satu (tidak berdiri sendiri-sendiri), sehingga terasa lebih efektif dan efisien. List sub-bab yang terlalu panjang menimbulkan kesan bertele-tele yang pada akhirnya berujung pada mengulang penjelasan yang sebelumnya sudah ada. Pengulangan ini saya temui pada bagian pengulangan kisah Sylvester Stallone di halaman 87 yang telah dikisahkan sebelumnya di halaman 71. Selain kekacauan penyusunan sub-bab dan pengulangan penjelasan, Listiana juga luput dalam memilih kata merubah di bagian judul sub-bab Bersabar dalam Proses Merubah Kebiasaan (halaman 146). Kata yang tepat seharusnya mengubah, bukan merubah, karena mengubah berarti menjadi ubah dengan kata dasar ubah, sedangkan merubah berarti menjadi rubah dengan kata dasar rubah

Dengan memertimbangkan aspek keunggulan dan kekurangan sebagaimana yang telah disebutkan, buku The Importance of Habits tetaplah menjadi buku yang layak dibaca sebagai referensi buku motivasi. Meskipun ada beberapa kekurangan, buku The Importance of Habits tetap memiliki konten yang menginspirasi. Satu hal penting yang perlu saya ulang kembali adalah jika kesuksesan adalah pilihan, maka kegagalan juga demikian. Lalu, kita memilih yang mana?

Cerita dari Jogja untuk Bumi: Upaya Pemberdayaan Masyarakat untuk Konservasi

Himmah Online – Tujuh Non-Government Organization berkolaborasi dalam acara Cerita dari Jogja untuk Bumi, untuk memperingati Hari Bumi Nasional yang jatuh setiap tanggal 22 April. Acara ini terdiri dari dua rangkaian: aksi kampanye di kawasan Malioboro pada 22 April 2025, dan gelar wicara bertajuk “Gen-Z dan Pemberdayaan Komunitas untuk Keberlanjutan Lingkungan” pada Jumat (9/5) di Auditorium Biologi Tropika, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.

Kegiatan ini diinisiasi oleh Javan Wildlife Institute (JAWI), Center for Orangutan Protection (COP), Swara Owa, Teman Berjalan, Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPJB), Yayasan Aksi Konservasi Yogyakarta (YAKY), dan Relung Indonesia.

Dalam gelar wicara ini, para narasumber membahas mengenai pentingnya konservasi lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat, khususnya pemuda sebagai strategi utama dalam perlindungan alam berkelanjutan. 

Menurut Farah Dini, perwakilan dari JAWI, pendekatan pemberdayaan dilakukan dengan menjadikan masyarakat sebagai mitra utama dalam konservasi hutan. Artinya, mereka tidak hanya dijadikan sebagai objek, tetapi juga berperan penting dalam konservasi yang diharapkan dapat membantu perekonomian masyarakat sekitar.

JAWI juga menjalankan program ekowisata sebagai solusi alternatif untuk mengurangi perburuan liar yang sering dilakukan masyarakat. Farah menyebut aktivitas tersebut dikarenakan terdapat kebutuhan dari masyarakat.

Ia menjelaskan, program ekowisata ini tidak hanya menekan angka perburuan, tapi juga membuka ruang keterlibatan aktif bagi pemuda desa dalam memajukan potensi lokal. “Semakin banyak yang mendukung program konservasi inklusif, semakin cepat pula tujuan pemberdayaan masyarakat itu tercapai,” ujar Farah.

Farah kemudian menegaskan bahwa masyarakat melakukan perburuan dan merusak hutan karena kebutuhan dan bukan karena kemauan mereka. Sehingga masyarakat perlu diberdayakan melalui program konservasi inklusif.

“Semakin banyak yang mendukung program konservasi inklusif, semakin cepat pula tujuan pemberdayaan masyarakat itu tercapai,” pungkas Farah.

Indira, perwakilan dari COP, organisasi yang berfokus pada penyelamatan dan rehabilitasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan, juga turut melibatkan relawan muda. Mereka dilibatkan dalam aktivitas konservasi, mulai dari patroli hutan hingga edukasi digital tentang penyelamatan dan rehabilitasi orangutan.

“Kami percaya bahwa konservasi tidak bisa berjalan tanpa dukungan generasi muda. Mereka adalah aktor penting, terutama dalam penyebaran kampanye di media sosial dan edukasi kreatif berbasis digital,” jelas Indira.

Salah satu bentuk peran kreatif generasi muda adalah dalam dokumentasi visual. Fotografer Satwa Indonesia, Ignas Dwi Wardhana menekankan pentingnya dokumentasi visual dalam menjaga keanekaragaman hayati. Menurutnya, edukasi visual dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap lingkungan.

“Kalau hanya bercerita, dampaknya terbatas. Tapi dengan gambar, pesan kita bisa menembus sekat-sekat geografis dan sosial,” pungkas Ignas.

Reporter: Himmah/ Aulia Rahmania, Zahrah Ibnu Salim

Editor: Hana Mufidah

Peringati Hari Buruh, Massa Aksi Turun dan Orasi Berbagai Tuntutan

Sopir becak berkumpul di Taman Parkir Abu Bakar Ali untuk memperingati Hari Buruh Internasional, Kamis (01/05) Foto: Himmah/Fauzan Febrivo Azonde.

Massa Aksi menyuarakan tuntutan terkait pemenuhan hak-hak pekerja melalui orasi di atas kendaraan komando di Taman Parkir Abu Bakar Ali pada Hari Buruh Internasional, Kamis (01/05) Foto: Himmah/Latifah Dwi Maharani

Massa Aksi Long March membawa spanduk berisi tuntutan “Buruh Bersatu Naikkan Upah Buruh 50% Perumahan untuk Buruh” menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dalam memperingati Hari Buruh Internasional, Kamis (01/05) Foto: Himmah/ Fauzan Febrivo Azonde

Perwakilan dari Pekerja Migran Indonesia sedang menyampaikan orasi di depan gedung DPRD DIY, Kamis (01/05) Foto: Himmah/ Fauzan Febrivo Azonde

Orasi seorang Ibu Rumah Tangga yang memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) di depan Gedung DPRD DIY, Kamis (01/05) Foto: Himmah/Latifah Dwi Maharani
Massa aksi berkumpul di titik akhir lokasi aksi Hari Buruh Internasional untuk melakukan orasi lanjutan dari DPRD DIY ke Titik Nol Yogyakarta, Kamis (01/05). Foto: Himmah/Fauzan Febrivo Azonde

Massa aksi berorasi di Titik Nol Yogyakarta setelah melaksanakan Long March dari gedung DPRD DIY, Kamis (01/05) Foto: Himmah/Fauzan Febrivo Azonde

Penolakan Penggusuran Taman Parkir Abu Bakar Ali Pada Aksi May Day di Yogyakarta 

Himmah Online-Kumpulan massa aksi yang terdiri dari para buruh, aktivis dan mahasiswa berkumpul di Taman Parkir Abu Bakar Ali (ABA) pada Kamis, (01/05) dengan membawa poster dan spanduk berisi berbagai macam tuntutan. Aksi ini sebagai peringatan Hari Buruh Internasional dengan membawa salah satu tuntutannya yakni menolak penggusuran Taman Parkir ABA.

Elanto Wijoyono, aktivis dari Forum Cik Di Tiro menjelaskan, tuntutan penolakan penggusuran Taman Parkir ABA dikarenakan tempat tersebut sudah sejak lama menjadi penghidupan masyarakat, mulai dari pekerja di taman parkir, pedagang kios, Pedagang Kaki Lima (PKL), sopir becak, serta masyarakat sekitar yang ikut diuntungkan dengan adanya area parkir ABA.

“Jika area Abu Bakar Ali tutup atau digusur, maka akan banyak orang yang kehilangan potensi pendapatan,” ungkap Elanto.

Elanto menambahkan, sebaiknya penggusuran Taman Parkir ABA tidak dilakukan, karena proses relokasi dari penggusuran Taman Parkir ABA terkesan tidak terencana dan cenderung sporadis. Ia juga menyoroti terkait agenda penggusuran oleh pemerintah belum cukup jelas, sehingga belum ada kepastian para pekerja ketika dipindah ke tempat lain akan mendapatkan penghasilan layak atau tidak.

“Jangan sampai kemudian kasus Abu Bakar Ali ini menjadi perulangan dari kasus penggusuran PKL di Malioboro yang sekedar digusur tanpa solusi tetapi juga lebih mendasar lagi digusur tanpa ada kejelasan rencana pembangunan yang melibatkan warga sebagai subyek,” ujarnya.

Elanto mengatakan, sudah ada proses advokasi yang dilakukan terkait isu penolakan penggusuran ABA, namun terdapat kesulitan karena pemerintah daerah sejak awal tidak terbuka terkait rencana penggusuran dan relokasi warga.

“Tetapi sayangnya memang proses advokasi ini memang akan menjadi sulit untuk bisa mendapatkan capaian yang lebih progresif karena sejak awal pemerintah daerah itu tidak cukup terbuka dengan rencana pembangunan,” ujarnya.

Hidayatullah, selaku koordinator lapangan aksi menyebut pemerintah dalam upaya relokasi penggusuran ABA tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan tidak ada ruang demokrasi yang dibangun dari perencanaan tersebut.

Senada dengan itu, Ray Herjuno, salah satu peserta aksi menyatakan rencana pemerintah untuk melakukan penggusuran ini harus melibatkan masyarakat. 

“Jika penggusuran Abu Bakar Ali ini merupakan langkah yang tidak bisa dihindari pemerintah, pemerintah harus melakukan dialog yang seimbang antara rakyat dan pemerintah,” pungkas Ray.

Reporter: Himmah/Dinda Ratu Nur Fatimah , Ayu Salma Zoraida Kalman, Fauzan Febrivo Azonde, Zahrah Ibnu Salim, Latifah Dwi Maharani

Editor: Farhan Mumtaz

Dosen UGM Ungkap Adanya Diskriminasi Terhadap Kebebasan Akademik

Himmah Online – Noer Khasanah, dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), mengaku mengalami diskriminasi akademik. Hal ini ia sampaikan dalam konferensi pers bertajuk “Perjuangan Menjaga dan Integritas Akademik: Sidang Etik yang Maladministrasi dan Jalan Terjal Meraih Guru Besar”, yang digelar oleh Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta pada Selasa (29/04). Acara ini juga dihadiri Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Serikat Pekerja Kampus.

Noer mengungkapkan bahwa dirinya mengalami pembatasan hak-hak akademik secara sistematis oleh Departemen Perikanan UGM. Ia tidak diberi tugas mengajar dan menguji mahasiswa, serta diputus aksesnya terhadap berbagai aktivitas akademik lainnya.

“Sejak 2016 saya tidak diberi tugas mengajar S2 dan S3, tidak diberi tugas menguji mahasiswa dalam satu tahun, kemudian saya dibatasi dalam Kredit Unit Minimal (KUM) mengajar. Nah itu kan diskriminasi jelas terlihat di situ,” ujar Noer.

Tidak linearnya bidang ilmu kerap digunakan sebagai alasan oleh departemen untuk menolak kenaikan pangkatnya sebagai guru besar. Departemen Perikanan Fakultas Pertanian UGM menilai bahwa latar belakang pendidikan Noer yang berasal dari farmasi tidak sejalan dengan departemen perikanan. Akan tetapi, dalam siaran pers yang dirilis UGM disebut bukan itu penyebabnya. “Jadi saya rasa departemen twisting the word (memutarbalikan kata),” ujar Noer.

Noer juga menunjukkan dokumen dan kronologi lengkap sebagai respons atas rilis resmi kampus dan Surat Keputusan (SK) Etik UGM Nomor 1554/UN1.P/KPT/DSDM/2024 yang menurutnya penuh ketidaksesuaian dan manipulasi. Ia mengaku tidak diberi akses terhadap dokumen penilaian yang ia minta sendiri.

“Saya meminta penilaian, yang dinilai saya, yang meminta saya, tapi tidak boleh. Tidak boleh dan mereka tidak akan mengeluarkan penilaian saya,” ujarnya.

Dian dari KIKA, menilai bahwa apa yang terjadi pada Noer Khasanah adalah bentuk kekerasan terhadap kebebasan akademik. Terdapat pembungkaman penyampaian pendapat, penyensoran terhadap riset dan publikasi, dan diskriminasi berupa perlakuan yang tidak menghargai kompetensi dan kapasitas akademik.

“Ada juga disinformasi dan intervensi dari pejabat kampus, yang menunjukkan relasi kuasa yang timpang,” ungkap Dian.

Ia juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap kebebasan akademik sesuai dengan Surabaya Principles on Academic Freedom 2017 (SPAF). Tentang bagaimana sebetulnya ada pembebasan penuh dalam mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 

Sementara itu, Luthfi Kalbu Adi dari Departemen Bantuan Hukum, Serikat Pekerja Kampus mengkritisi proses sidang etik yang disebutnya sering tidak prosedural dan cenderung reaktif. Menurutnya, proses seperti ini membuka celah bagi keputusan yang berat sebelah dan berujung pada ketidakadilan.

“Karena dilakukan secara reaktif atau latah biasanya praktiknya pun dilakukan tanpa prosedur yang berlaku, atau bahkan tidak memiliki SOP (Standard Operating Procedure) sama sekali,” ujar Luthfi.

Terlepas dari tekanan yang dihadapi, Noer tetap menunjukkan sikap tegas. Ia membawa kasusnya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman DIY, dan Komisi Informasi Pusat (KIP), yang hasilnya menyatakan bahwa informasi terkait kenaikan pangkat adalah hak yang seharusnya terbuka.

“Sejak menunjuk kuasa hukum, maka saya sudah bertekad bulat untuk mengorbankan waktu dan diri saya untuk berjuang, bukan hanya untuk diri saya, tetapi agar orang lain tidak mengalaminya,” pungkas Noer.

Reporter: Himmah/Hana Mufidah, Reza Sandy Nugroho, Marsyalina Dwi Putri Aminarti, Septi Afifah

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Digdaya Industri Rokok: Segala Upaya Dihalalkan, Anak-anak dan Remaja jadi Korban

Himmah Online – Rokok saat ini dianggap sebagai barang lumrah dan dijual secara masif sebagai produk komersial yang membahayakan kesehatan masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Novita Sari dalam diskusi publik dan bedah buku A Giant of Pack of Lies Part 2 bertema “Membongkar Kebohongan Besar Industri Rokok: Menyelamatkan anak Indonesia dari cengkraman Zat Adiktif” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Hotel Grand Keisha, Yogyakarta, pada Sabtu (26/04).

Acara ini dihadiri oleh Novita Sari Simamora, selaku penulis buku, Emma Rahmi Aryani, Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Yayi Suryo Prabandari, Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Asrul Pitri, Wakil Direktur dan Program Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA), dan Januardi Husin, dari Aji Yogyakarta selaku moderator.

Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2023, prevalensi perokok aktif mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya adalah perokok berusia 10-18 tahun. Meskipun turun dari angka 9,1% berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, penurunan tersebut tidak signifikan dan masih memprihatinkan.

“Pengawasan untuk anak sangat sulit, butuh pengertian dan penjelasan yang lebih banyak dibandingkan orang dewasa,” ungkap Novita.

Melansir Halodoc, konsumsi rokok mempunyai dampak yang sangat buruk bagi anak. Konsumsi nikotin sejak dini akan menyebabkan kerusakan Prefrontal Cortex (PFC) secara permanen. PFC adalah otak bagian depan yang berperan terhadap kemampuan kognitif, pengambilan keputusan, kemampuan analisis, dan stabilitas emosi.

Menurut Novita, hal yang paling berpengaruh terhadap maraknya budaya merokok bagi kelompok anak dan remaja adalah gengsi. “Waktu di tongkrongan, banyak orang yang merokok. Ketika melihat sekitar, tertanam, ngga berasap ngga keren nih,” ungkap Novita.

Yayi menambahkan, bahwa strategi manipulasi media melalui iklan yang dilakukan industri rokok juga berdampak dalam persebaran tren buruk ini. Menurutnya, terpaan iklan dan promosi rokok yang dikenal sejak dini meningkatkan persepsi positif dan kecanduan atas rokok.

“Salah satu penelitian saya ada yang menyatakan, bahwa ada hubungan antara iklan rokok dengan inisiatif merokok,” ujar Yayi.

Yayi mengungkapkan, industri rokok akan terus menjalankan inovasi bisnisnya bagaimanapun caranya. Salah satu caranya adalah dengan memasarkan produk vape yang ditawarkan sebagai alternatif bagi perokok tembakau yang ingin berhenti merokok. Jika ditinjau dari ilmu kesehatan, Yayi mengungkapkan bahwa hal ini sebenarnya semakin memperburuk kesehatan perokok.

“Walaupun vape kandungan racunnya lebih sedikit daripada rokok kretek, namun tetap memberikan dampak. Yang ngerokok kretek dan vape, akibatnya jadi double,” ucap Yayi.

Novita menambahkan, selain bekerja sama dengan pihak pemerintah melalui regulasi, cara yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi budaya merokok di kalangan anak dan remaja adalah melalui media sosial. Dalam hal ini, media sosial harus ikut andil dalam memberikan pemahaman dan konten-konten edukatif.

“Kapitalis (industri rokok) ini bisa dilawan oleh masyarakat secara keseluruhan. Buat gerakan-gerakan kecil, masif, bergerilya melalui media sosial melalui konten-konten edukatif,” pungkas Novita.

Reporter: Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Mochammad Alvito Dwi Kurnianto

Editor: Hana Mufidah