Beranda blog Halaman 2

Kabar dari Kaliurang KM 14,5: Catatan Kecil Si Pojok Merah

Tuan dan Puan yang terhormat dan kami hormat!

Satu periode telah berlalu. Kini waktunya Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Islam Indonesia periode 2023/2024 membuka dapur redaksi. Untuk memperlihatkan sedikit suasana dapur kami. Mengenai apa-apa saja yang telah dimasak dan tersaji kepada sidang pembaca sekalian.

Pada awal periode, tepatnya di rapat kerja, kami memutuskan untuk merawat konsistensi yang telah coba dipertahankan sejak periode sebelumnya, yaitu dua produk per minggu.

Total kami menargetkan 88 produk dalam satu periode. Target ini terhitung sejak awal periode kepengurusan tertanggal 28 Februari 2024 hingga akhir musyawarah anggota tanggal 7 Februari 2025.

Hasilnya, kami telah menerbitkan 98 produk yang tersebar di masing-masing sub-rubrik kecuali alih naskah dan digitalisasi arsip. Seluruh awak Himmah turut aktif dalam proses produksi seluruh karya tersebut, tak terkecuali awak magang. Total 19 awak Himmah turut aktif, dan 22 dari 33 awak magang berkontribusi dalam pembuatan produk.

Dalam laman website, kami menambahkan sub-rubrik baru yaitu Ilustrasi Tunggal. Sebelumnya, kategori ilustrasi telah dulu ada. Kami menyempurnakannya dengan menaikkannya pada sub-rubrik supaya sidang pembaca dapat mengakses dengan lebih mudah. Kami juga menghasilkan satu produk ilustrasi tunggal, yaitu “Daya Jual Pendidikan“.

Laporan utama periode ini membahas mengenai perkembangan isu di kampus. Laporan itu berjudul “Bukan Sekadar Surat Keputusan“. Beberapa laporan khusus mengenai kampus juga berhasil terbi, seperti “Dari BEH UII ke Satgas PPKS UII“, “Menelusuri Umpan Balik Mahasiswa dalam Survei Kinerja Dosen“, dan “Menilik Kinerja Setahun Satgas PPKS UII“.

Kami memandang bahwa situasi kampus juga perlu diperhatikan. Bahwa, Universitas Islam Indonesia juga dengan gencar mempromosikan capaiannya sebagai peraih peringkat satu dalam klasemen universitas Islam terbaik di Indonesia. Kami turut berbangga dengan capaian tersebut. Rasa itu memicu kami untuk lebih giat dalam menjaga kualitas UII,  melalui kerja-kerja kami: kerja jurnalistik.

Kami juga mulai mempelajari jurnalisme konstruktif pada periode ini. Jurnalisme konstruktif memungkinkan penulisan untuk tak hanya memberi kritik, tapi sekaligus memberikan tawaran maupun alternatif bagi penanganan isu tertentu.

Bersama Tempo dan beberapa Seniman, kami terlibat dalam satu agenda bernama Kawanua Project. Tiga tulisan yang terbit yaitu “Pariwisata Nasional Memapras Bukit Menoreh“, “Rapal Doa Komunitas Cagar Urip“, dan “Hilang Pelus Penjaga Mata Air Tulangan“. Seluruhnya terbit pada laman baru yang kami kembangkan beralamat kawanua.himmahonline.id.

Demikian adalah catatan kecil dari Si Pojok Merah: media yang logo—juga sekretariatnya—ada di pojok dan berwarna merah. Tentunya, seluruh capaian kami ini bukan tanpa cela. Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti digarap oleh lembaga ini. Mulai dari menurunnya diversitas dan kualitas produk yang telah terbit.

Walhasil, kami meminta maaf kepada sidang pembaca atas segala kekurangan selama kepengurusan LPM Himmah UII periode 2023/2024. Kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas rasa kepercayaan sidang pembaca yang diamanatkan pada kami. Serta kesetiaan sidang pembaca untuk menikmati hidangan kami. Kritik, saran, serta keterlibatan sidang pembaca tentu sangat kami nantikan.

Kami pamit undur diri. Sampai jumpa di periode depan. Salam!

Redaksi 2023/2024

Potensi Penyakit dan Etika Konsumsi Daging Anjing

0

Himmah Online – Konsumsi daging anjing berpotensi menularkan penyakit zoonotik. Hal ini diungkapkan Erwan Budi Hartadi dalam acara Sarasehan Lintas Iman; Guyub Wujudkan Jogja Tanpa Daging Anjing yang diselenggarakan oleh animal friends jogja dan Dog Meat Free Indonesia (DMFI) di Sarasvita FCJ Center, Yogyakarta pada Jumat (11/04).

Acara ini menghadirkan Fitri Nur M.P. sebagai moderator, Victor Indrabuana, pegiat perlindungan hewan dan pendiri Shelter Ron-Ron Dog Care, Erwan Budi Hartadi, peneliti di Pusat Kedokteran Tropis UGM, Wiji Nurasih dari jaringan Gusdurian, dan Suster Meita, tokoh agama.

Erwan menjelaskan di Indonesia diperkirakan sekitar satu juta anjing disembelih untuk dikonsumsi setiap tahunnya. Yogyakarta menjadi konsumen tertinggi ketiga di Pulau Jawa setelah Solo dan Jakarta.

“Diperkirakan sekitar 6.500 ekor anjing dikonsumsi setiap bulannya di Daerah Istimewa Yogyakarta,” jelas Erwan.

Pasokan anjing yang didapat untuk dikonsumsi berasal dari luar Yogyakarta. Salah satu daerah pemasok adalah Jawa Barat  yang beberapa kabupatennya masih belum bebas dari rabies.

Penyakit zoonotik seperti rabies, kolera, infeksi E. coli dan lain sebagainya, tidak hanya dapat menular lewat konsumsi, tetapi dapat juga melalui proses pengolahan yang tidak higienis dan memunculkan penyakit baru. Salah satu penyakit yang diduga berasal dari binatang adalah Covid-19.

 “Itu sampai sekarang belum tahu asalnya dari mana, terus munculnya itu seperti apa. Tapi dikasih indikasi itu bisa mengarah ke mungkin dari kelelawar, dari rubah dan lain sebagainya,” ungkap Erwan.

Dia mengungkapkan, pentingnya sistem kolaborasi lintas sektor melalui pendekatan One Health, yang mengintegrasikan kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan. Pendekatan ini berfungsi sebagai sarana dan ruang tanggung jawab antara pemerintah, NGO, akademisi, dan masyarakat untuk melindungi ketiga aspek tersebut secara berkelanjutan.

“Nah, tentu semua kalangan harus berpartisipasi, salah satunya adalah profesi untuk hewan terkait,” ungkap Erwan.

Selain aspek kesehatan, isu ini berkaitan dengan etika dan pandangan agama. Dalam sejarahnya, anjing didomestikasi sebagai pendamping manusia bukan sebagai hewan ternak, secara etika anjing tidak diperkenankan untuk dimakan. Hal ini tertera pada Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa hewan konsumsi berasal dari hewan ternak.

“Hanya satu in general saja, mungkin di Undang-Undang 18 tahun 2012 sampai itu masih berlaku. Konsumsi untuk sehari-hari, dari tumbuhan, dari hewan. Dan yang disebutkan di sini adalah hewan ternak,” jelas Erwan.

Namun undang-undang ini memiliki ambiguitas, karena apabila berniat untuk diternakan dan dikonsumsi artinya diperbolehkan. “Karena misalnya saya ada anjing, tapi ini tak (saya) ternakkan dan ternyata buat konsumsi. Berarti ngga papa dong,” ungkap Erwan.

Wiji Nurasih menjelaskan dalam perspektif Islam bahwa hewan anjing ada dalam surat Al-Kahfi, dijelaskan bahwa anjing merupakan teman dan pelindung bagi Ashabul Kahfi.

“Pemuda-pemuda yang kabur dan bersembunyi di gua, itu ditemani anjing mereka, anjing itu fungsinya adalah sebagai teman dan pelindung gitu,” jelas Wiji.

Suster Meita, menjelaskan dari perspektif Katolik, salah satunya tertera pada Laudato si no 67. interaksi makhluk hidup diatur satu sama lain membuat kehidupan yang harmoni. Manusia secara khusus diciptakan Allah secitra dengannya, namun bukan berarti manusia dapat memperlakukan ciptaan lain semena-mena. 

Harapannya, Undang-Undang yang mengatur pelarangan konsumsi daging anjing dapat segera disahkan. “Nah itu, makanya kita perlu dorongan bagaimana caranya supaya spesifik ada undang-undang,” pungkas Erwan.

Reporter: Himmah/ Ayu Salma Zoraida Kalman, Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Reza Sandy Nugroho

Editor: Hana Mufidah

Lembaga Khusus UII Tolak Statuta YBW UII Tentang Pengakuan HMI Sebagai Organisasi Eksternal Resmi UII

0

Himmah OnlinePada Kamis 30 Januari 2025, Rohidin, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni membuka forum bagi lembaga-lembaga di lingkungan Keluarga Mahasiswa UII (KM UII), membahas perubahan Statuta Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII yang telah disahkan pada 28-29 Desember 2024 lalu.

Statuta YBW UII merupakan peraturan tertinggi yang dikeluarkan oleh YBW UII dan berlaku bagi seluruh unit di bawah YBW UII, termasuk UII sebagai lembaga pendidikan perguruan tinggi di bawah YBW UII.

Diselenggarakan di Pawon Mbah Gito, Ngaglik, Sleman, forum tersebut dihadiri oleh Arif Fajar Wibisono sebagai Direktur Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan UII, Rafsan Jzani sebagai perwakilan Dewan Permusyawaratan Mahasiswa UII (DPM U), beberapa perwakilan dari Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (DPM F), Lembaga Khusus tingkat Universitas (LK U), dan calon legislatif terpilih.

Forum tersebut diadakan sebagai jawaban atas tuntutan DPM F kepada DPM U pada 27 Januari 2025. DPM F menuntut Rafsan sebagai DPM U untuk memberikan penjelasan terkait status Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam perubahan Statuta YBW UII.

Pada mulanya, sekitar bulan September 2024 telah beredar cuplikan draft Statuta YBW UII. Di dalamnya terdapat Pasal 58 ayat (3) yang menyatakan, HMI diakui sebagai wadah resmi organisasi ekstra kampus berdasarkan pertimbangan historis.

Selanjutnya, Pasal 58 ayat (4) menyebut HMI berhak atas akses fasilitas serta sarana dan prasarana kampus yang setara dengan lembaga intra kampus.

Terhadap pasal tersebut, Rohidin menyampaikan kepada Ketua Bidang Pendidikan YBW UII bahwa pasal yang memuat akses fasilitas yang didapatkan oleh HMI sebagai organisasi eksternal kampus yang setara dengan organisasi intra kampus, bermasalah.

“Pasal ini masalah, kalau kemudian ada berbagai fasilitas (untuk HMI). Karena fasilitas tidak hanya sebatas bangunan fisik, tetapi juga finansial,” ujar Rohidin.

Dalam perkembangannya, statuta yang telah disahkan oleh YBW UII pada bulan Desember 2024 lalu, hanya memberikan pengakuan kepada HMI sebagai wadah resmi organisasi ekstra kampus di UII berdasarkan faktor historis. Pengakuan tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 56 ayat (5) Statuta YBW UII terbaru.

“Tidak lagi mencantumkan tentang fasilitas yang sama dengan organisasi intra. Hanya pengakuan saja sebagai historis,” ungkap Rohidin.

Sopir becak berkumpul di Taman Parkir Abu Bakar Ali untuk memperingati Hari Buruh Internasional, Kamis (01/05) Foto: Himmah/Fauzan Febrivo Azonde.

Massa Aksi menyuarakan tuntutan terkait pemenuhan hak-hak pekerja melalui orasi di atas kendaraan komando di Taman Parkir Abu Bakar Ali pada Hari Buruh Internasional, Kamis (01/05) Foto: Himmah/Latifah Dwi Maharani

Massa Aksi Long March membawa spanduk berisi tuntutan “Buruh Bersatu Naikkan Upah Buruh 50% Perumahan untuk Buruh” menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dalam memperingati Hari Buruh Internasional, Kamis (01/05) Foto: Himmah/ Fauzan Febrivo Azonde

Perwakilan dari Pekerja Migran Indonesia sedang menyampaikan orasi di depan gedung DPRD DIY, Kamis (01/05) Foto: Himmah/ Fauzan Febrivo Azonde

Orasi seorang Ibu Rumah Tangga yang memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) di depan Gedung DPRD DIY, Kamis (01/05) Foto: Himmah/Latifah Dwi Maharani
Massa aksi berkumpul di titik akhir lokasi aksi Hari Buruh Internasional untuk melakukan orasi lanjutan dari DPRD DIY ke Titik Nol Yogyakarta, Kamis (01/05). Foto: Himmah/Fauzan Febrivo Azonde

Massa aksi berorasi di Titik Nol Yogyakarta setelah melaksanakan Long March dari gedung DPRD DIY, Kamis (01/05) Foto: Himmah/Fauzan Febrivo Azonde

Menanggapi hal tersebut, R. Aria Chandra Prakosa sebagai perwakilan LK U yang berbicara dalam forum, menanyakan adanya dokumen penuh Statuta YBW UII yang telah disahkan. Ia menanyakan, apakah ada dokumen penuh yang dapat diakses oleh mahasiswa.

“Jangankan mahasiswa, ini (Arif Fajar Wibisono) tanya kepada saya ‘pak, njenengan (red-kamu) sudah dapat dokumennya?’. (Saya jawab) belum, hanya pecahan-pecahannya saja,” ujar Rohidin menjawab pertanyaan Aria.

Lebih lanjut, Rohidin menyebut bahwa urgensi pengakuan HMI sebagai organisasi eksternal kampus yang resmi adalah berdasarkan sejarah.

“Kelahiran HMI itu di UII. Maka kalau dilihat AD/ART nya HMI hampir sama dengan statutanya UII. Independensinya itu dijaga,” ujar Rohidin.

Menurut Rohidin, pilihan terhadap nilai yang dianut oleh universitas bukanlah sebuah masalah. Masing-masing perguruan tinggi memiliki visi dan misi yang di dalamnya terdapat nilai tertentu.

Namun, yang menjadi keresahan bagi lembaga kemahasiswaan seperti LK U dan beberapa DPM F, terdapat organisasi eksternal yang disahkan dan diakui oleh universitas sebagai wadah resmi.

Rohidin mengatakan bahwa pembentukan Statuta YBW UII tidak melibatkan mahasiswa, karena YBW UII sebagai pemilik tidak bersentuhan secara langsung dengan mahasiswa.

Terhadap Statuta YBW UII terbaru, mahasiswa hanya dilibatkan dalam proses sosialisasinya saja, terutama dalam membuat Peraturan Universitas (PU) sebagai produk turunan dari statuta tersebut.

“Pemiliknya kan badan wakaf. Apakah pemilik badan wakaf itu mahasiswa? Nggak juga, logikanya kan begitu. Ketika pemilik mengatur itu (pengakuan HMI) berdasarkan historisitasnya, itu kan sah-sah saja. Nah, ketika pemilik membuat kebijakan seperti itu, kami yang ada di bawah (YBW UII) terpaksa menjaga nilai itu,” ujar Rohidin.

Akan tetapi, Aria menanggapi bahwa bukan nilai yang diakui oleh YBW UII yang dipermasalahkan oleh mahasiswa. Namun pada faktanya tidak ada nilai ideologis yang dibawa oleh organisasi eksternal kampus, melainkan hanya kepentingan politik semata. 

“Masalah nilai-nilai dan lain sebagainya, kami sepakat, yang penting mana nilai yang bagus kita pakai. Namun, kita lihat secara faktual, bahwa yang terjadi adalah permainan politik,” ujar Aria.

Menurut Aria, tidak ada organisasi eksternal di UII yang membawa kepentingan ideologis dalam kontestasi politik di kampus.

“Kita sudah mengalami dua kali pergantian kepemimpinan LEM, tahun lalu GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), dan tahun ini HMI. Tidak ada perubahan (ideologis) sama sekali di bawah (bagi mahasiswa). Sehingga kami menilai tidak ada harapan ideologis yang dibawa organisasi. Itu yang kami resahkan,” ungkap Aria.

Aditya Tri Kurniawan, sebagai Ketua DPM FMIPA menyampaikan bahwa permasalahan sebenarnya terdapat pada internal KM UII.

“Kita lihat aja, tanpa ada pengakuan itupun, senggol-senggolan antar eksternal, internal, dan lainnya sudah sering terjadi. Apalagi dengan adanya pengakuan itu, dan HMI merasa semakin superpower. Hal-hal benturan itu ngga bisa kita hindari. Yang kami khawatirkan di sini adalah benturan massa antar sesama mahasiswa,” ujar Adit.

Menanggapi hal tersebut, Rohidin menyebut bahwa pendewasaan mahasiswa harus terus diusahakan.

“Artinya kedewasaan mahasiswa itu yang saya inginkan,” ujar Rohidin.

Rohidin menambahkan, pengakuan HMI oleh YBW UII tidak membuat organisasi eksternal selain HMI tidak diakui di UII.

“Orang mau GMNI silakan, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) silakan, tapi secara historisitas kita mengakui HMI,” jelas Rohidin.

Terhadap pengakuan HMI oleh YBW UII, Aria menyampaikan secara tegas sikap LK U yang menolak pengakuan dalam statuta tersebut. 

“Kami menolak (pengakuan HMI oleh YBW UII sebagai wadah resmi) dengan alasan bahwa kami tidak pernah melihat organisasi eksternal membawa kepentingan yang benar-benar ideologis yang berdampak kepada mahasiswa. Sehingga, poin cantolan (red-pengakuan HMI oleh YBW UII) itu hanya akan kita pandang organisasi sebagai wadah politik, dan itu kami tolak,” pungkas Aria.

Terakhir, Rafsan menyampaikan langkah-langkah dalam menyampaikan aspirasi secara tertulis ataupun tulisan harus dengan sebaik-baiknya.

“Ini yang harus digarisbawahi. Solusi apabila ini nggak bisa diubah, karena ini peraturan dasar. Langkah konkrit satu-satunya itu ada di aturan lanjut PU maupun Peraturan Rektor, di situ dilibatkan lembaga kemahasiswaan yang merepresentasikan mahasiswa. Stabilitas mahasiswa, stabilitas universitas harus kita yang menjaganya,” ungkap Rafsan.

Reporter: Himmah/Abraham Kindi, Agil Hafidz, Ibrahim

Editor: Nurul Wahidah

100 Hari Prabowo-Gibran: Lemahnya HAM dalam Peraturan Perundang-undangan 

Himmah Online – Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) mengadakan jumpa Pers dan Diseminasi hasil riset mengenai “Performa Hak Asasi Manusia dalam Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Prabowo-Gibran pada 100 Hari Pertama,” melalui kanal Zoom pada Kamis (30/1). 

Riset ini dilakukan oleh 3 orang yang tergabung dalam 1 tim, yaitu Sahid Hadi, Heronimus Heron dan Vania Lutfi Erlangga yang ketiganya merupakan peneliti dari Pusham.

Eko Riyadi, selaku penanggung jawab dari riset ini dalam sambutanya menyampaikan komitmen Pemerintah Prabowo-Gibran terhadap HAM di 100 hari pemerintahannya sangat lemah. Hal ini dilihat dari sangat sedikitnya ekspresi regulasi yang memang dibuat dalam rangka melindungi dan memenuhi HAM.

Sahid Hadi dalam paparan hasil risetnya membagi menjadi dua bagian yaitu, konteks riset dan bagian temuan. Dalam konteks risetnya Sahid menjelaskan ada dua fenomena yang melatarbelakangi kenapa penelitian ini relevan dilakukan. Pertama, World Justice Project menilai tiga tahun terakhir performa HAM di Indonesia dinilai rendah. Kedua, hadirnya pemerintah baru Prabowo-Gibran secara ironi tidak ditemukanya frasa atau istilah HAM yang keluar dari Pidato Prabowo pada 20 Oktober lalu. 

“Dua fenomena ini menjadi titik awal mengapa kemudian penting untuk menelisik performa hak asasi manusia dari pemerintahan Prabowo Gibran ini,” ujarnya. 

Sahid menjadikan peraturan perundang-undangan yang telah diterbitkan dalam 100 hari pertama pemerintah Prabowo-Gibran menjadi objek yang diteliti karena belum cukup disorot tentang performa HAM di dalam peraturan tersebut. Padahal, peraturan perundang-undangan sangat penting disebabkan Indonesia sebagai negara hukum tentu langkah dan tindakan pemerintah didasarkan pada satu norma peraturan perundang-undangan. “Setiap langkah setiap jengkal dari tindakan pemerintahan itu pasti didasarkan pada satu norma,” Ungkap Sahid.

Dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran telah mengesahkan 155 peraturan dengan rincian 87 UU, 1 PP dan 67 Perpres. Pusham UII menekan bahwa orientasi HAM dalam peraturan perundang-undangan pemerintah Prabowo-Gibran memperoleh skor 0,14 dari skala 0-14 yang berarti orientasi HAM dalam peraturan perundangan pemerintahan Prabowo-Gibran sangat lemah. “Peraturan perundangan pemerintahan Prabowo Gibran adalah sangat lemah,” ujarnya.

Sahid menjelaskan, bahwa HAM dipandang tidak menjadi pokok pikiran dan alasan pembentukan undang-undang di pemerintahan baru ini. Hal ini dibuktikan dengan tidak dimuat dalam pasal dan tidak juga dimuat dalam penjelasan otoritatif atas masing-masing undang-undang yang ada “HAM tidak ditemukan sebagai pokok pikiran dan alasan pembentukan peraturan perundangan,”jelas Sahid.

Sahid menambahkan, HAM hanya dimuat dalam materi muatan pasal yang ditemukan dalam 3 dari 67 perpres. Ironinya dalam Perpres tentang Kementerian HAM banyak mengandung frasa HAM di dalamnya namun dari segi muatan, pokok pikiran dan alasan pembentukan tidak ada ekspresi HAM di dalam alasan pembentukanya. “Kami temukan adalah penyebutan HAM itu masih dilakukan dalam konteks mengatakan ada atau tidaknya bidang HAM dalam pekerjaan Kementerian,” ungkap Sahid.

Pemerintahan yang baru ini terdapat kecenderungan dimana peraturan perundang-undangan yang ada justru memperlakukan HAM sebagai elemen yang minoritas. Padahal dalam peraturan perundang-undangan, HAM memiliki daya keberlakuan yang sangat kuat karena posisi Indonesia sebagai negara Hukum.  

“Dasar bagi kita untuk selalu curiga, untuk harus selalu mengawasi bagaimana pemerintahan ini dijalankan ke depan,” pungkas Hadi. 

Reporter: Himmah/Saiful Bahri, Agil Hafiz

Editor: Farhan Mumtaz

Evaluasi 100 Hari Prabowo, Rocky Gerung: Prabowo Perlu Datang ke Diskusi Akademis

Himmah Online – 100 hari pemerintahan Prabowo tuai banyak catatan dari berbagai pihak. Survei bermunculan memberikan spekulan-spekulan positif maupun negatif dari berbagai masyarakat.

Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII), mengadakan acara Srawung Demokrasi kelima ‘Rapor 100 Hari Pemerintahan Prabowo’. Acara ini mengundang Rocky Gerung, Pengamat Politik, Sukidi, Pemikir Kebhinekaan sebagai narasumber, dan Sri Hastuti sebagai moderator, pada Kamis (30/1), di Gedung Kuliah Umum (GKU) Sardjito UII. 

Masduki, kepala PSAD UII, memberi sambutan sekaligus membuka acara dengan membacakan pernyataan sikap resmi yang dikeluarkan oleh PSAD UII. Menurutnya, banyaknya rentetan kasus yang terjadi selama 100 hari,  sehingga masyarakat sipil perlu berperan sebagai pengawas pemerintahan, mengawal, dan mengetahui arah gerak pemerintah.

Masduki merinci kasus yang terjadi mulai dari pembentukan kabinet yang gemuk, kontroversi Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti IKN dan food estate, tata kelola program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bermasalah, pelibatan TNI yang masuk ke berbagai lembaga pemerintah, penggunaan buzzer dalam produk disinformasi, hingga tawaran pengelolaan tambang kepada kampus.

Sukidi, mengatakan 100 hari pemerintahan Prabowo ditandai dengan kematian demokrasi. Hal ini disebabkan oleh dua norma tidak tertulis yang tidak terpelihara.

Norma pertama, toleransi timbal balik, menurutnya, tidak terjadi pada Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Kompetisi tidak dihadirkan dengan setara dan adil, mereka yang bersama kekuasaan dan mereka yang berada di luar kekuasaan terdapat perbedaan yang kentara, dan justru yang terjadi adalah politik intimidasi dan politik ketakutan.

“Mereka yang bersama kekuasaan memperoleh privilege, memperoleh toleransi selebar-lebarnya. Sementara mereka yang berada di luar kekuasaan dan melawan kekuasaan, akhirnya mengalami intimidasi,” ungkap Sukidi.

Norma kedua, kepatuhan pada kesabaran institusional. Hal ini berfungsi agar Presiden menahan diri tidak melakukan intervensi terhadap lembaga lain. Instrumen yang sering digunakan untuk mengintervensi adalah hukum. Hukum digunakan sebagai senjata memenuhi kepentingan dan kemenangan politik semata.

“Alih-alih hukum dipatuhi, tetapi hukum is weaponized,” ungkap Sukidi. 

Rocky Gerung mempertanyakan survei kepuasan 100 hari pemerintahan Prabowo yang menyatakan 80% masyarakat puas. Menurutnya, survei seharusnya menggunakan parameter prinsip republik, bukan pada kepuasan populis.

Sebelum dilaksanakannya survei, masyarakat harus terlebih dahulu mengetahui fakta-fakta yang ada di lapangan. Survei baru dianggap adil apabila fakta-fakta sebelumnya sudah disampaikan.

Rocky mengatakan, Prabowo seharusnya melakukan diskusi akademis untuk benar-benar mendengar evaluasi 100 hari yang berbasis kejujuran. Demokrasi harus didasarkan pada akal sehat, bukan sekadar produksi opini publik yang dikendalikan oleh lembaga survei.

“Jadi kelihatannya, kekuasaan (pemerintah) takut untuk mensurvei pikiran kampus, nah itu dia sogok dulu kampus (dengan tambang),” ungkap Rocky.

Menurut pengertian Rocky, demokrasi baru bisa terlaksana jika terdapat kecukupan akal untuk memeriksa argumen publik. Namun, jika itu tidak terjadi demokrasi hanya berubah menjadi pabrik informasi.

“Mesti ada standar berpikir kritis dulu, baru bisa kita ucapkan demokrasi,” pungkas Rocky.

Reporter: Himmah/Subulu Salam, R. Aria Chandra Prakosa, Septi Afifah

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Obral Izin Usaha Pertambangan dari Ormas hingga PTN

0

Himmah Online – Tidak hanya organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Senin, 20 Januari 2025, digelar usulan pemberian izin tambang kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Usulan disampaikan Bob Hasan, Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR RI sekaligus pimpinan rapat pada rapat pleno penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), di Senayan, Jakarta.

Sebelumnya, pemerintah lebih dahulu meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 pada Tahun 2024, tentang perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021, terkait Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, yang memperbolehkan ormas keagamaan mengelola tambang, pada 30 Mei 2024. 

Persoalan pendistribusian Izin Usaha Pertambangan (IUP), mulai dicanangkan di periode Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang akhir kepemimpinannya. Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2024, yang mengakomodasi PP Nomor 25 Tahun 2024 dan mengubah Perpres Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi, pada 22 Juli 2024. 

Ketentuan dalam Perpres Nomor 76 Tahun 2024, mengatur Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Wilayah tersebut berasal dari eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dan dapat diberikan secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan.

Jokowi mengungkapkan alasan dibalik pemberian IUP kepada ormas keagamaan, berawal dari keluhan yang diterimanya saat lawatannya ke masjid dan pondok pesantren. Menurut Jokowi, pemerintah hanya menginginkan keadilan dan pemerataan ekonomi. 

Dalam memperingati hari Tambang Internasional yang diperingati setiap pada 28 September, tim advokasi tolak tambang merespon dengan mengadakan diskusi webinar dengan tajuk “Menolak Suap Tambang Untuk Ormas Keagamaan” melalui Zoom Meeting pada 27 September 2024.

Wasingatu Zakiyah salah satu pembicara dalam diskusi, menyebut negara tidak bisa memberikan izin tambang secara parsial hanya kepada kelompok tertentu. Melainkan, kekayaan alam yang dikuasai dan diberikan kekuasaannya kepada negara, harus diberikan untuk kemakmuran rakyat berdasar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 Ayat 3.

Permasalahan Tambang

Eko Cahyono, sosiolog dari IPB University dan peneliti Sajogyo institute menyebut dalam laman mongabay.co, praktik pertambangan yang selama ini di Indonesia banyak tidak berpihak kepada rakyat. Eko menduga pemberian IUP pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan oleh Jokowi, hanya sebagai janji politik saja.

Eko menambah, pengelolaan tambang yang dikelola oleh ormas keagamaan tidak lantas menjamin dapat dikelola dengan baik. Faktanya, perampasan ruang hidup masyarakat, kerusakan ekosistem, dan praktik korupsi izin pertambangan hampir semua terjadi di kasus agraria dalam pengelolaan tambang.

Pelibatan aparat dalam suksesi pengelolaan tambang sering terjadi. Masyarakat yang mencoba melawan dan mengkritisi mengalami kekerasan. Salah satunya disebutkan oleh Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang terjadi di beberapa tempat.

“Kita melihat di Wawonii, di Sangihe, di Halmahera, gitu ya. Itu banyak masyarakat yang ketakutan (akibat teror).” Jelas Isnur pada diskusi webinar yang diikuti awak Himmah.

Jika ditelisik pada data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional ada 45 konflik tambang selama 2020 dan 714.692 ha tanah mengalami kerusakan lingkungan. Ada 3.092 bekas lubang tambang yang tidak dilakukan reklamasi dan pemulihan, serta 24 orang meninggal akibat terjatuh ke dalam bekas lubang tambang.

Komitmen Lingkungan Hidup

Isnur mengungkap komitmen ormas keagamaan dan PTN yang akan menambang dengan prinsip lingkungan hidup, sudah terbantahkan sejak awal. Salah satunya Muhammadiyah yang mengungkapkan komitmennya melalui program Tambang Hijau.

Azrul Tanjung, Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, menyebut Muhammadiyah akan menambang dengan program Tambang Hijau, yaitu dengan melakukan restrukturisasi dan penghijauan lahan seperti sedia kala jika sudah selesai proses pertambangan. 

Sedangkan menurut Isnur, wilayah konsesi tambang yang diberikan kepada ormas keagamaan merupakan wilayah bekas tambang perusahaan-perusahaan besar yang melalui masa evaluasi dari 2020 sampai 2021 sesuai pada PKP2B. Menurutnya, wilayah tambang yang diberikan kepada ormas keagamaan sudah rusak, sudah dieksplorasi, dan dampak negatifnya sudah banyak bagi masyarakat.

Muhammadiyah yang dipastikan mengelola lahan eks Grup Adaro di Kalimantan Selatan dan PBNU yang mengelola konsesi bekas tambang PT. Kaltim Prima Coal (KPC), anakan perusahaan dari PT Bumi Resources Tbk grup Bakrie menuai catatan negatif dari para pemerhati. 

Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, mengatakan Kabupaten Tabalang dan Kabupaten Balongan yang menjadi wilayah tambang eks Grup Adaro merupakan wilayah lama yang berkonflik dengan perusahaan. Wonorejo, kampung transmigran di Kabupaten Balongan, hilang akibat aktivitas tambang.

Mareta Sari, anggota Jatam Kaltim, memberi catatan buruk terkait PT KPC. Menurut catatannya, buangan limbah PT KPC merusak sumber daya air Sungai Bengalon dan mencemari air Sungai Sangatta, yang menjadikan kedua sungai tersebut tidak lagi aman dikonsumsi warga setempat. Selain itu, pada tahun 2016 terjadi perampasan paksa tanah warga dengan mengerahkan aparat kepolisian, untuk merampas lahan warga seluas 13 ha di Bengalon.

Konsekuensi IUP Ormas dan PTN

Konsekuensi dari diberikannya konsesi tambang kepada ormas keagamaan dan PTN akan menghilangkan pandangan-pandangan progresif keduanya mengenai permasalahan lingkungan.

Hema Situmorang salah satu pembicara pada diskusi webinar mengesalkan, seolah energi yang tidak ramah lingkungan, kerusakan akibat aktivitas pertambangan, dapat dialihkan dan akan lebih baik jika dikelola oleh ormas keagamaan. 

“Padahal dalam cara kerja industri ekstraktif (pertambangan) itu kawan-kawan, sekali lagi dia memang pasti menghancurkan bentang alam karena dia membutuhkan perlahan (wilayah) yang luas,” Tandas Hema dalam diskusi.

Pemberian IUP kepada PTN mencederai Tri Dharma perguruan tinggi dan UU Nomor 12 Tahun 2012. Terwujudnya pengabdian kepada masyarakat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, akan ternodai dengan agenda industri ekstraktif tambang yang merusak alam dan represif kepada masyarakat.

Kemampuan ormas keagamaan dan PTN juga diragukan. Karena, dalam pengelolaan tambang membutuhkan teknologi yang tinggi, modal besar, dan kecakapan dalam penjualan hasil tambang.

Modal yang besar menurut Putra Adhiguna, Pakar industri energi, juga perlu diperhitungkan karena operasional tambang ditopang dengan adanya modal. Putra menyebut setidaknya ada dua hal yang perlu disiapkan, yaitu kesiapan infrastruktur dan kemudahan sarana transportasi seperti jalan. 

Ormas seperti Muhammadiyah yang memiliki ratusan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), mulai dari sekolah, rumah sakit, dan universitas, tidak bisa dijadikan jaminan modal untuk mengelola bisnis tambang. Hal ini diutarakan oleh Wahyu Perdana, Kepala Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah, karena AUM sendiri bertanggung jawab terhadap usahanya masing-masing.

Ormas keagamaan dan PTN yang seharusnya berfungsi menjadi wadah dan ujung tombak advokasi korban kasus agraria semakin hilang perannya. Karena hubungan antara ormas keagamaan, PTN, dan perusahaan tambang akan terus ada karena saling membutuhkan. 

Andreas Hugo salah satu anggota Baleg DPR fraksi PDIP, menyebut pemberian IUP kepada ormas dan PTN, akan menjadikan orang-orang akan berlomba membentuk ormas dan PTN yang sesuai dengan syarat supaya mendapat bagian IUP.

Andreas meminta Baleg agar lebih dahulu mendengar pendapat masyarakat dari berbagai pihak, terutama ahli dan akademisi mengenai aturan pendistribusian IUP.

Reporter: Himmah/Subulu Salam

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Bukan Sekadar Surat Keputusan

Dua hari pasca perseteruan dua organisasi eksternal di gedung Student Convention Center Universitas Islam Indonesia (SCC UII), Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) UII meneken Surat Keputusan (SK) mengenai Pemberhentian Penyewaan untuk Eksternal. Tertulis “penyalahgunaan nama baik internal KM UII” dalam SK.

Himmah Online – Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (DPM UII) meneken Surat Keputusan (SK) nomor 034/KPTS/DPMUII/XII/2024 tentang Pemberhentian Penyewaan Gedung Student Convention Center (SCC) UII untuk Eksternal tertanggal 15 Desember 2024.

Dua hari kemudian, tepatnya tanggal 17 Desember 2024, SK ini dibagikan melalui kanal Instagram Badan Pengelola Aset Keluarga Mahasiswa (BPA KM) UII @bpakmuii. Melalui SK tersebut, DPM UII memberhentikan penyewaan gedung SCC UII untuk eksternal hingga waktu yang tak ditentukan. Pemberhentian ini berlaku sejak SK ditandatangani.

BPA KM UII merupakan badan di bawah Komisi IV DPM UII yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan gedung SCC UII. Seluruh kegiatan yang ada di SCC UII dikelola secara administratif oleh BPA dan dipertanggungjawabkan kepada Komisi IV DPM UII.

Gambar: Surat Keputusan (SK) nomor 034/KPTS/DPMUII/XII/2024
Gambar: Surat Keputusan (SK) nomor 034/KPTS/DPMUII/XII/2024

Selain karena renovasi gedung, salah satu poin yang digunakan dalam pertimbangan pengeluaran SK ini adalah adanya penyalahgunaan nama baik internal KM UII untuk penyewaan gedung SCC UII.

Anis Banowati, Ketua Komisi IV DPM UII, mengaku bahwa ada salah ketik dalam SK tersebut. Seharusnya bagian ‘mengingat’ kedua tertulis dengan kata ‘memperhatikan’. “Sorry, (kata ‘mengingat’ kedua) itu berarti harusnya memperhatikan,” ujar Anis pada 3 Januari 2025.

Pembuatan SK ini juga bukan sekadar pemberhentian sewa untuk pihak eksternal KM UII. Anis menyebut, ia memiliki tujuan tersendiri dalam penggunaan frasa ‘penyalahgunaan nama baik internal KM UII.’ “Maksud dari frasa (penyalahgunaan nama baik internal KM UII) sebenarnya lebih ke nyindir sih awalnya,” ujarnya Anis.

Namun Potrika Janno Vitanka, Wakil Ketua II DPM UII, menjelaskan hal lain. Frasa itu tidak dimaksudkan untuk menyindir. Frasa itu hanya teguran keras dari DPM UII agar menjadi preseden ke depan. “Bahwa ini sudah pernah kejadian, jangan sampai lagi ada kejadian (semacam ini) lagi,” ucap Tanka pada 3 Januari 2025.

Juga, Rafsan Jzani, Ketua DPM UII, menyebut frasa itu muncul sebagai landasan historis. Ia menilai, pembuatan SK perlu mencantumkan landasan-landasan “Kalau kita membuat suatu surat itu kan ada faktor-faktor filosofisnya. Nah, ini kan faktor salah satu historisnya,” ucap Rafsan pada Jumat, 3 Januari 2025.

Landasan Historis

Menjelang petang pada Jumat malam 13 Desember 2024, sekitar pukul 6 sore dua anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) UII melintas di depan gedung SCC UII. Terlihat bendera organisasi eksternal Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) UII terbentang pada monumen Slamet Saroyo di latar depan gedung.

Kala itu, beberapa anggota HMI UII lainnya sedang berkumpul di Komisariat Fakultas Ilmu Agama Islam HMI UII. Salah satunya ialah Damar Seno Prabowo, Ketua Koordinator Komisariat HMI UII. Mereka berdua lalu mengirimkan kabar ke Damar.

Tak selang lama, Damar segera meminta Rafsan untuk menemuinya di Komisariat tersebut. Damar meminta keterangan kepadanya. Sebab, baru beberapa bulan yang lalu, tepatnya November, ia dapat keterangan dari Rafsan, bahwa SCC UII sedang nonaktif dan akan direnovasi. Nyatanya, Damar mendapat laporan bahwa SCC UII sedang digunakan oleh GMNI UII.

Damar bercerita, dalam keterangannya Rafsan menyebutkan bahwa ada pergantian penyewaan dari Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI) UII menuju GMNI UII. Pergantian itu dinilai seolah-olah manipulatif. “Makanya kita hadir ke sana (gedung SCC UII),” ujar Damar pada Selasa, 7 Januari 2025.

Tak lama, puluhan massa HMI UII lalu bergerak ke gedung SCC UII. Damar menyebut ada sekitar 30 an lebih orang yang ikut. “Banyak yang naik motor. Ada juga beberapa yang naik mobil,” ujarnya.

Melihat banyak massa HMI mengerumuni tempat itu Nur Biyantara Efendi, Anggota Badan Semi Otonom Politik Kampus GMNI UII, tampak kebingungan. Ia tak tahu apa yang terjadi.

Suasana menjadi ramai. Massa HMI UII mendesak GMNI UII untuk meninggalkan gedung SCC UII. Mereka juga sempat membentangkan bendera HMI dan menyanyikan Mars HMI. “Dibentangkan di depan itu, yang (terdapat) tulisan Slamet Saroyo,” ujar Biyan pada 30 Desember 2024.

Biyan mengaku kesal. Menurutnya, ia dan anggota GMNI UII telah melakukan proses penyewaan secara prosedural. Bukti pembayaran juga tercetak. Penyewaan gedung selama dua hari terbayar lunas. Nama GMNI UII juga terpampang dalam jadwal pemakaian gedung SCC UII. Namun mereka didesak untuk pergi. “Mereka (HMI UII) tetap nggak mau. Intinya (GMNI UII) harus meninggalkan (Gedung SCC UII),” ujarnya.

Suasana masih panas. Massa dari kedua belah pihak masih berseteru. DPM UII pada akhirnya datang ke SCC UII. Mereka berupaya menjembatani persoalan antara kedua organisasi eksternal itu. Forum terbatas dibuka untuk proses mediasi. Tanka, Anis, serta presiden direktur BPA KM UII juga turut hadir.

Mediasi diawali dengan klarifikasi atas pengalihan sewa dari KOMAHI UII menuju GMNI UII. Rafsan bercerita perselisihan terjadi karena seluruh proses sewa-menyewa dilakukan oleh Biyan, yang juga menjabat sebagai anggota Komisi II DPM UII. Ketika Biyan mengalihkan sewa atas nama GMNI UII, admin BPA KM UII tetap mengira bahwa kegiatan itu adalah internal KM UII. “Kan dia (Biyan) nggak lepas dari (jabatan) anggota komisi II DPM (UII),” kata Rafsan.

Massa HMI UII tetap mendesak agar GMNI UII pergi. Namun, GMNI UII tetap enggan untuk keluar dari SCC UII. Mereka menganggap proses penyewaan telah dilakukan secara prosedural. Namun, Anis menyebut, meski demikian, Biyan melakukan proses sewa kepadanya atas nama internal KM UII. Biyan mengatasnamakan KOMAHI UII untuk peminjaman gedung SCC UII.

“Meskipun memang ada salah miskomunikasi antara (presiden direktur) BPA, manajer (Pengembangan Strategis dan Pengelolaan), dan juga staf tapi dia bilangnya ke aku internal (KOMAHI UII) awalnya. Kalau enggak, pintu (penggunaan SCC UII) itu enggak akan terbuka sama sekali,” ucap Anis.

Meski demikian, Anis juga mengakui adanya miskomunikasi pada staf BPA UII yang tidak mengetahui bahwa penyewaan untuk eksternal sementara dihentikan. Serta, staf BPA tidak mengerti perbedaan internal dan eksternal. Akibatnya, GMNI UII dapat menyewa gedung itu. Selaku yang bertanggung jawab atas BPA KM UII, Anis dan Tanka meminta maaf dalam forum tersebut.

Namun, kecurigaan Anis tak juga usai. Ia memanggil salah satu mahasiswa HI untuk memberikan penjelasan mengenai kegiatan KOMAHI UII. Mahasiswa itu sempat menghubungi anggota inti KOMAHI UII dan menyatakan bahwa tak ada acara KOMAHI UII yang akan berlangsung di gedung SCC UII.

“Dia (anggota inti KOMAHI) enggak tahu kalau anak-anak HI mau pakai SCC (UII). Soalnya anak-anak HI memang ada acara tapi ditujukannya sudah langsung (kunjungan) ke Jakarta,” ucapnya.

Setelah melalui proses perundingan, disepakati bahwa memang ada keluputan dari pihak BPA KM UII. Akhirnya proses mediasi diakhiri dengan penandatanganan surat kesepakatan. Surat itu menyatakan bahwa GMNI harus meninggalkan gedung SCC UII maksimal Sabtu, 14 Desember 2024 pukul 8 pagi. Uang sewa juga dikembalikan sepenuhnya kepada GMNI UII.

Sewa Gedung SCC UII

Sekitar akhir bulan November, Jami’ Urrofingi, Ketua KOMAHI UII, bertemu dengan Biyan di salah satu warung kopi di daerah Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat itu, Jami’ sedang bimbang memikirkan agenda KOMAHI UII.

Jami’ bercerita kepada Biyan bahwa KOMAHI akan mengadakan dua acara, yaitu downgrading dan rapat koordinasi Forum Keluarga Mahasiswa HI wilayah. Downgrading direncanakan akan dilakukan di SCC UII. Ia meminta tolong kepada Biyan untuk mengamankan jadwal yang ada di SCC UII.

“Saya merasa Biyan punya koneksi lebih untuk memang memberi saya info inventaris yang di UII ini (yang) bisa digunakan oleh kita (KOMAHI UII). Dalam waktu itu kan konteksnya untuk menginap. Jadi (pilihannya) SCC,” ujar Jami’ melalui aplikasi Zoom Meeting pada Kamis, 9 Januari 2024.

Biyan memberikan informasi bahwa sepertinya SCC UII dapat digunakan. Mendengar hal itu, Jami’ meminta bantuan Biyan untuk mengamankan gedung SCC UII. “Yaudah, dengan cara apapun terserah kamu (Biyan), yang penting bisa fix. Namun saya tidak expect (red-membayangkan) kalau memang Biyan itu bisa (mengamankan) secepat itu,” ujar Jami’.

Melalui Anis, Biyan memesankan gedung SCC UII atas nama KOMAHI. Pada tanggal 6 Desember 2024, tanggal pemesanan resmi terjadwal untuk 13-14 Desember 2024. Jami’ mengaku, kala itu ia belum bisa memastikan tanggal penyewaan. Namun ia memberikan perkiraan bahwa tanggal acara berada di antara 11-17 Desember 2024. Jami’ lalu menyerahkan sejumlah uang kepada Biyan untuk proses penyewaan. “Sekitar 200 ribu-an. Sekalian bayar hutang,” ujarnya.

Jami’ mengaku bahwa ia belum sempat berkoordinasi tentang sewa SCC UII dengan tim pengurus KOMAHI UII yang lain. Ia hanya menanyakan kepada beberapa anggotanya mengenai tanggal downgrading. “Saya tidak memberitahu bahwa saya memperjuangkan (pengamanan lokasi downgrading) di belakang,” ujarnya.

Waktu berjalan dan tak ada kabar lagi dari Jami’. Dua hari menjelang hari pemakaian gedung SCC UII, tepatnya Rabu, 11 Desember 2024, Biyan lalu menanyakan pada Jami’ apakah gedung itu jadi digunakan untuk KOMAHI UII atau tidak. Jami’ mengatakan bahwa ia tak jadi melaksanakan downgrading. Jami’ akan pergi ke Jakarta untuk agenda visiting.

Biyan lalu mengonfirmasi ke Jami’ bahwa Gedung SCC UII akan dipakai olehnya. Jami’ tak tahu menahu apakah akan digunakan untuk GMNI UII atau apapun. Ia hanya mengerti bahwa penyewaan tetap dilanjutkan dan beralih ke Biyan. “Pada akhirnya duitnya (yang dititipkan ke Biyan) balik (ke saya) kok,” ujar Jami’.

Selanjutnya, pukul 15.25 sore Biyan menelpon Anis untuk mengonfirmasi bahwa KOMAHI UII membatalkan penyewaan dan akan diteruskan oleh Biyan atas nama GMNI UII. Tiba-tiba Anis mengirimkan sejumlah dokumentasi bahwa SCC UII sedang rusak. Mengetahui bahwa itu foto lama, Biyan tetap mengusahakan untuk menggunakan SCC UII. Biyan diarahkan untuk menghubungi BPA KM UII.

“Saya tanyakan BPA dan saya konfirmasi juga sama BPA bahwasanya HI (red-KOMAHI UII) tidak jadi pakai (Gedung SCC UII). Jadinya ini dipakai oleh GMNI. Tadi saya udah telepon Mbak Anis,” ujar Biyan.

Anis mengonfirmasi bahwa Biyan sempat menelponnya untuk mempertanyakan kebolehan pergantian penyewaan dari KOMAHI UII menjadi GMNI UII. 

Anis mengaku tak enak hati untuk menolak permintaan Biyan secara langsung, mengingat mereka berasal dari organisasi eksternal yang berbeda. Anis merupakan anggota HMI UII dan Biyan adalah anggota GMNI UII.

“Makanya aku lemparin ke BPA (KM UII) ini supaya BPA (KM UII) ini yang nolak,” ujar Anis.

Anis berharap, manajer BPA akan menghubungi Biyan dan menolak permintaan Biyan. Di luar dugaannya, staf BPA ternyata tak mengerti mengenai pelarangan pemakaian gedung SCC UII untuk eksternal. Staf BPA juga menganggap Biyan adalah bagian dari internal. Anis mengaku bersalah atas tindakannya ini. “Tapi salahku memang aku nggak langsung jawab ‘ini (SCC UII) nggak boleh buat eksternal’,” ujar Anis.

Pada akhirnya Biyan menggenapi biaya penyewaan eksternal untuk dua hari sejumlah Rp. 1,8 juta. Nama GMNI terpasang di jadwal pemakaian gedung SCC UII.

Sebelumnya, pada 14 Oktober 2024 Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII mengirimkan surat yang ditujukan kepada pengelola SCC UII. Surat tersebut menyatakan bahwa Pengelola Fasilitas Kampus (PFK) YBW UII akan melakukan renovasi fisik bangunan dan interior SCC UII, kemudian pengelolaan SCC UII akan dilakukan oleh Direktorat Pendayagunaan Sumber Daya UII. YBW meminta pengosongan SCC UII paling lambat 17 Oktober 2024. Pengosongan tersebut berlaku bagi internal dan eksternal KM UII.

Menanggapi surat permohonan pengosongan SCC UII oleh YBW, DPM UII mengajukan keberatan dan melakukan audiensi dengan YBW pada 22 Oktober 2024. Audiensi tersebut dilakukan untuk penegasan ulang bahwa SCC UII tidak boleh digunakan oleh eksternal KM UII dan bagi internal KM UII tidak akan dipungut biaya sewa.

“Kita kembalikan ke semangat pembangunan SCC, bahwasannya SCC tuh pusat kegiatan mahasiswa yang tidak dipungut biaya, nah itu kita kembalikan lagi,” ungkap Anis.

Hasil audiensi tersebut telah disampaikan oleh Anis kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu BPA dan DPM UII. Namun menurut Anis, yang menjadi penyebab lolosnya penyewaan SCC UII kepada GMNI UII adalah terdapat staf BPA yang tidak paham perbedaan antara internal dan eksternal KM UII.

“Yang menjadi miskomunikasi utama adalah staf CS (Customer Service) nggak paham lembaga internal siapa sama lembaga eksternal siapa. Dia taunya Biyan ini pinjam buat kepentingan DPM U, karena dia taunya Biyan ini Mas-mas DPM U. Apalagi aku yang menjembatani,” ujar Anis. 

Terbitlah SK

Dini hari setelah proses mediasi selesai pada Jumat malam, Anis melaju ke warung makan sekitar UII. Anis bertemu dengan M. Rangga Maulana, Ketua Komisi I DPM Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB) UII. Ia lantas menanyakan apakah ada kegiatan HI yang akan dilangsungkan di SCC UII. Anis juga berharap, ia dapat menemui Jami’ secara langsung.

Rangga menyatakan bahwa diskusi tersebut terjadi secara informal. Karenanya, ia sebagai DPM FPSB UII menyarankan kepada Anis agar dirinya saja yang meminta tanggapan kepada Jami’. Mengingat bahwa Jami’ berada di bawah kewenangannya.

Pukul tiga pagi, Rangga menemui Jami’. Hasil dari pertemuan itu ia laporkan kepada Anis bahwa memang tidak ada acara KOMAHI yang akan dilaksanakan di gedung SCC UII. Menurut Rangga, justru Biyan yang meminta Jami’ untuk mengadakan acara di salah satu aset KM UII tersebut. “(Pihak yang meminta menggunakan gedung SCC UII itu) Biyan, (Informasi itu) yang saya tahu, dari keterangan Mas Jami’,” ujar Rangga.

Setelah mendapat informasi dari Rangga, Anis dan Tanka akhirnya merasa perlu untuk membuat SK. Perancangan dokumen SK pun dimulai oleh Anis pada Sabtu, 14 Desember 2024. Anis mengaku bahwa dia sendiri yang membuat rancangan SK tersebut. Dalam proses penyusunan, Anis juga meminta pertimbangan diksi kepada Tanka.

“Takutnya diksi-ku terlalu menggiring opini. Bikin orang bertanya-tanya. Tapi aku kira nggak se-kontroversial itu,” kata Anis.

Setelah selesai, SK diserahkan kepada Tanka dan diproses sebagai Wakil Ketua II DPM UII. SK lalu diajukan kepada M. Rafly Aryasatya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPM UII, untuk diterbitkan. Awak Himmah telah menghubungi Bobi, nama panggilan akrab Rafly, untuk meminta keterangan mengenai penerbitan SK. Namun ia tak mengindahkan permintaan wawancara dari Himmah.

Pada akhirnya, SK hanya terbit di akun @bpakmuii saja. Akun @dpmuii tidak menerbitkan dokumen tersebut. Anis menyebut, dia tak tahu menahu mengenai hal tersebut. “Itu di luar kendali aku,” katanya.

Dalam pembuatan SK, DPM UII mengacu pada sistem kolektif kolegial. Hal ini termaktub dalam Peraturan Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan atas peraturan DPM UII. Dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa “Kolektif kolegial adalah mekanisme atau proses dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara bersama-sama dalam kedudukan yang sama.”

Menurut Tanka, pembuatan SK ini sudah termasuk dalam mekanisme kolektif kolegial. Pada struktur kepengurusan DPM UII tahun ini, Wakil Ketua (Waka) bertugas menangani permasalahan, sebelum dikonsultasikan kepada ketua umum. “Karena ini memang dibidangi oleh Waka II, kami kolektif kolegialnya di situ (perundingan dengan Waka II),” ujar Tanka.

Juga, setelah perseteruan di gedung SCC UII, Anis mengaku telah berkoordinasi dengan Rafsan, sebagai Ketua DPM UII. Sehingga, apapun SK yang diterbitkan pasti telah diketahui oleh Ketua, Sekjen, dan Waka DPM UII. “Masalah Komisi yang lain tahu atau enggak itu dikembalikan ke Bidang masing-masing,” ujar Anis.

Sebagai pihak yang dihubungi Anis sebelum penerbitan SK, Rangga menyatakan bahwa ia baru mengetahui terbitnya SK setelah diwawancara oleh awak Himmah. Ia menyebut, koordinasi yang dilakukan sebelumnya hanya sebatas koordinasi informal.

Menurut Rangga, DPM UII seharusnya melakukan sidang pleno terlebih dahulu sebelum mengeluarkan SK tersebut. DPM UII juga perlu berkoordinasi dengan DPM FPSB UII secara formal, sebagai pihak yang menaungi KOMAHI UII. Sedangkan, Rangga merasa tidak pernah ada koordinasi yang formal.

“Walaupun terjalin secara informal, tapi kita kan berjalan atas aturan. Berjalan secara sah. Ya, pasti, kalau memang mau ini (pengeluaran SK) harus ada formalnya. Entah itu mengirimkan surat undangan untuk melakukan koordinasi terkait hal ini (perkara gedung SCC UII). Cuman, nggak ada,” ujar Rangga pada Minggu, 12 Januari 2024.

Ia juga menambah bahwa penerbitan SK ini unik. Seharusnya penerbitan SK lebih dahulu dilakukan sebagai legitimasi bahwa pihak eksternal tidak boleh memakai gedung SCC UII, dan bukan terbit setelah adanya perkara.

Rafsan mengaku luput karena tak segera menerbitkan SK penghentian sewa kepada eksternal UII. Penerbitan SK seharusnya dilakukan pasca audiensi dengan Yayasan Badan Wakaf UII dan Rektorat UII. Salah satu hasil dari audiensi itu diterbitkan oleh akun Instagram @dpmuii bertajuk “Press Release Pertemuan dengan PYBW UII dan PFK UII Perihal Renovasi SCC UII” pada 18 November 2024.

Menurutnya, keputusan pelarangan penggunaan SCC UII oleh eksternal pasca audiensi cukup diinformasikan oleh Anis ke BPA KM UII. Sehingga proses penolakan akan terjadi di BPA KM UII. “Luput kita. Seharusnya, setelah ada audiensi, ada notulensi, kita langsung publish dan membuat SK agar jelas,” ujar Rafsan.

Reporter: Himmah/Ibrahim, R. Aria Chandra Prakosa, Staf Himmah/Mochammad Alvito Dwi Kurnianto

Editor: Abraham Kindi

AJI Soroti Dugaan Pelanggaran Hak Pekerja oleh Pinusi.com

0

Himmah OnlineAliansi Jurnalis Indonesia (AJI) baru-baru ini menyelenggarakan diskusi publik dengan tajuk “Waspada Media Tak Bertanggung Jawab” melalui Zoom pada (9/1/2025). Diskusi ini menyoroti PT Portal Media Nusantara yang mengelola Pinusi.com–media berita daring–yang diduga mayoritas struktur redaksinya fiktif dan kurangnya jaminan pemenuhan hak-hak pekerja oleh perusahaan.

AJI turut mengundang narasumber seperti Jekson Simanjuntak sebagai eks Produser Pinusi.com, Yulia Adiningsih dari Divisi Ketenagakerjaan AJI Jakarta, Ninik Rahayu sebagai Ketua Dewan Pers, Wahyu Dhyatmika sebagai Ketua Umum AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) dan Mustafa Layong sebagai Pengacara Publik LBH Pers.

Dalam pemaparannya, Jekson Simanjuntak menceritakan bagaimana kronologi ia dan rekan timnya mengalami pemutusan kontrak sepihak oleh Pinusi.com. Pemutusan kontrak tersebut terjadi secara tiba-tiba di bulan Juli 2024, ketika ia bersama rekannya masih memproduksi produk jurnalistik untuk media Pinusi.com. Sedangkan, perjanjian kerja menyatakan selama enam bulan terhitung sejak 3 Juni 2024.

Isi kontrak kerja pun menyatakan bahwa Jekson dan timnya dipekerjakan PT Portal Media Nusantara. Tetapi, saat kontrak kerja diputus sepihak, uang gaji yang telat dibayar, dikirim melalui nomor rekening pribadi Heri Prasetyo, selaku HRD Pinusi.com bukan dari PT Portal Media Nusantara langsung. 

Kejanggalannya tidak hanya itu, pemutusan kerja pun tidak ada keterangan bahwa mereka mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketika melakukan bipartit–perundingan dua pihak antara pekerja dengan perusahaan untuk menyelesaikan perselisihan–pada 2 Juli 2024, tidak ada kesepakatan antara pihak Jekson dan Heri mengenai untuk siapa Jekson Simanjuntak dan kawan-kawan bekerja. “Enggak pernah ada omongan, yang kita tahu adalah kita dipekerjakan oleh PT Portal Media Nusantara atau Pinusi.com gitu”, jelas Jekson 

Naasnya pada saat membawa kasus ini ke Suku Dinas Tenaga Kerja (Sudinaker) Jakarta Selatan, mediator justru mempermasalahkan pihak Jekson. Karena menurut mediator, tim Jekson bekerja untuk Heri dan bukan untuk PT Portal Media Nusantara. Hal tersebut diperkuat dari surat yang dikirimkan Heri kepada pihak Sudinaker mengenai keberadaan tim Jekson murni di bawah Heri sendiri.

Akibatnya, permasalahan pemutusan kontrak ini tidak dapat menemui titik keadilan bagi pihak Jekson. Ketidakadilan ini didasari dari setelah pemberhentian sepihak yang mendadak, para pekerja yang memiliki etos kerja yang tinggi ini belum juga memiliki pekerjaan pengganti yang tetap. “Kita bekerja dengan passion yang baik gitu ya, dengan semangat yang baik kita bekerja layaknya orang-orang yang profesional menjalankan media. Itu membuat kita kaget dan kita merasa ini tidak adil,” kata Jekson.

Yulia pun mengkonfirmasi bahwa tuntutan bipartit pada 2 Juli 2024 silam mempertanyakan alasan di-PHK dan mengapa draft kontrak yang dijanjikan pekerjaan selama 6 bulan, ketika baru 1 bulan diputus begitu saja. Bipartit dilakukan sebanyak 2 kali, tetapi tidak ada perbedaan karena dari pihak manajemen yang diwakili oleh Harry selalu enggan untuk membuat risalah bipartit. “Gak mau bikin risalah bipartit dan selalu gak ada titik temu gitu dari bipartit pertama, akhirnya teman-teman mengajukan bipartit kedua itu di tanggal 19 Juli 2024,” jelas Yulia

Karena tidak adanya perbedaan, maka tim Jekson dan kawan-kawan maju untuk melakukan Tripartit dengan harapan mendapatkan titik terang permasalahan. Tetapi, yang didapat adalah kejanggalan lagi karena pihak dari mediator mempertanyakan kepada pihak pekerja mengapa mau bekerja meskipun tidak ada kontrak kerja dan bukan menyarankan perusahaan untuk memberikan hak-hak pekerja.

Sikap kurang keberpihakkan ini bukanlah yang pertama, karena pada saat kasus Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI) mediator dari Sudinaker juga melakukan hal serupa. “Sebelumnya juga ke SPCI juga mengeluarkan anjuran yang kurang berpihak ke pekerja gitu, dan terang-terangan membela perusahaan itu sih,” ungkap Yulia

Ninik menambahkan, hakikat orang bekerja adalah mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawab dan haknya adalah mendapatkan reward sebagaimana seharusnya. Maka, pemberian kontrak merupakan hal yang penting. Dengan adanya kontrak, pekerja memiliki asuransi dan gaji tetap sebagaimana bentuk pemenuhan hak-hak pekerja. 

Dalam hal ini, Dewan Pers akan mengirim surat kepada Dinas ketenagakerjaan terkait masalah tata kelola perusahaan. Adanya pendampingan ini, diharapkan dapat mencegah eksploitasi pekerja dan meningkatkan jaminan terpenuhinya hak-hak para pekerja

“Saya kira itu yang bisa kita lakukan, karena kalau kita berkirim surat ke depnakernya malah kita enggak punya kewenangan di sana,” pungkas Ninik.

Reporter: Himmah/Fairuz Paus Tito, Saiful Bahri, Nurul Wahidah

Editor: Himmah/Abraham Kindi

Membedah Nada Suara Rendah Dalam Komunikasi

Nada suara adalah elemen komunikasi yang sering kali dianggap sepele, tetapi memiliki kekuatan yang signifikan dalam membentuk dan mempengaruhi interaksi sosial kita. Sementara banyak orang mungkin tidak menyadari dampak nada suara dalam percakapan sehari-hari, nada rendah secara khusus menyimpan kompleksitas yang menarik untuk dikupas.

Dalam komunikasi, berbicara dengan nada rendah sering kali tidak hanya dianggap sebagai penanda kehalusan atau kesopanan, tetapi juga mencerminkan dinamika kekuasaan, gender, dan budaya yang lebih mendalam. Namun, di balik kesederhanaan nada rendah ini terdapat masalah yang lebih kompleks.

Misalnya, dalam situasi formal, orang yang berbicara dengan nada rendah mungkin dianggap tidak percaya diri atau tidak kompeten, meskipun niat sebenarnya adalah untuk menghormati atau merendahkan diri. Di sisi lain, dalam beberapa konteks, berbicara dengan nada rendah justru dapat dianggap sebagai strategi untuk menghindari konflik atau menjaga ketertiban sosial.

Tetapi, apa yang terjadi ketika nada rendah ini justru mengakibatkan miskomunikasi atau salah tafsir dalam konteks lintas budaya atau antar gender?

Bayangkan seorang wanita yang berbicara dengan nada rendah di ruang rapat yang didominasi oleh pria, atau seorang karyawan yang mengekspresikan pendapatnya kepada bosnya dengan suara pelan.

Apakah nada rendah tersebut merefleksikan penghormatan, atau apakah itu adalah hasil dari dinamika kekuasaan yang tidak seimbang? Dengan menggali lebih dalam, kita dapat melihat bahwa di balik keheningan yang sopan itu terdapat masalah sosial yang mendalam.

Nada Rendah Sebagai Refleksi Kekuasaan dan Hierarki Sosial

Dalam konteks komunikasi, nada suara memiliki peran penting dalam menunjukkan kekuasaan dan posisi seseorang dalam hierarki sosial. Nada rendah sering kali digunakan sebagai cara untuk menunjukkan ketundukan atau penghormatan dalam interaksi sosial, terutama dalam situasi di mana terdapat ketidakseimbangan kekuasaan.

Fenomena ini dapat dilihat dalam berbagai konteks, mulai dari pertemuan bisnis hingga interaksi sehari-hari antara anak dan orang tua. Michel Foucault dalam teorinya tentang kekuasaan mengungkapkan bahwa kekuasaan tidak hanya dipegang oleh individu atau institusi, tetapi juga tertanam dalam cara kita berbicara dan berinteraksi .

Nada rendah dalam komunikasi dapat dilihat sebagai bentuk “disiplin diri” yang sesuai dengan struktur kekuasaan yang ada. Ketika seorang bawahan berbicara kepada atasannya dengan nada rendah, ia secara tidak langsung menegaskan kembali otoritas atasannya dan posisinya sendiri dalam hierarki.

Dalam arti ini, nada rendah tidak hanya mencerminkan, tetapi juga memperkuat kekuasaan yang sudah ada. Hal ini menciptakan suatu siklus di mana hierarki kekuasaan terus dipertahankan melalui cara-cara halus seperti pengaturan nada suara. Namun, ada ironi yang mencolok dalam penggunaan nada rendah ini. Di satu sisi, nada rendah mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan hormat atau kesopanan, tetapi di sisi lain, itu juga bisa dianggap sebagai tanda kelemahan atau ketidakmampuan.

Di dunia yang kompetitif, terutama di lingkungan profesional, berbicara dengan nada rendah bisa diinterpretasikan sebagai kurangnya keyakinan atau kepemimpinan. Ini adalah paradoks yang menarik: untuk diterima dalam struktur kekuasaan, seseorang mungkin merasa perlu berbicara dengan suara yang lebih lembut, tetapi hal ini bisa merugikan persepsi orang lain terhadapnya.

Dengan kata lain, nada rendah bukanlah sekadar ekspresi verbal; itu adalah alat sosial yang digunakan untuk menavigasi dunia yang penuh dengan dinamika kekuasaan yang rumit.

Seperti yang ditunjukkan oleh Foucault, kekuasaan tidak hanya membatasi; kekuasaan juga produktif, menciptakan cara-cara baru bagi individu untuk menegosiasikan posisi mereka dalam masyarakat. Maka, ketika kita berbicara dengan nada rendah, kita tidak hanya berkomunikasi, tetapi juga terlibat dalam tindakan sosial yang mencerminkan dan memproduksi kekuasaan.

Nada Rendah dan Representasi Gender dalam Interaksi Sosial

Nada suara tidak hanya berfungsi sebagai indikator kekuasaan, tetapi juga sebagai representasi dari norma-norma gender yang ada dalam masyarakat.

Banyak studi telah menunjukkan bahwa perempuan cenderung berbicara dengan nada yang lebih rendah atau lembut, terutama dalam situasi di mana mereka merasa harus menyesuaikan diri dengan harapan gender tradisional.

Judith Butler, dalam teorinya tentang performativitas gender, berpendapat bahwa gender bukanlah sesuatu yang kita miliki, tetapi sesuatu yang kita lakukan secara terus-menerus melalui tindakan dan ucapan kita. Pada konteks ini, nada rendah menjadi salah satu cara di mana perempuan melakukan gender mereka, sesuai dengan norma-norma yang mengharapkan perempuan untuk bersikap lebih lemah lembut dan tidak konfrontatif.

Dengan berbicara melalui nada rendah, perempuan sering kali mencoba untuk menghindari konflik atau untuk menavigasi situasi sosial yang didominasi oleh laki-laki tanpa harus menghadapi perlawanan langsung. Ini adalah bentuk kepatuhan yang halus namun efektif terhadap norma gender yang mengharuskan perempuan untuk menjadi pasif dan tidak agresif.

Namun, penggunaan nada rendah ini juga menciptakan dilema. Di satu sisi, perempuan mungkin merasa bahwa berbicara dengan nada rendah adalah cara yang efektif untuk menegosiasikan posisi mereka dalam situasi sosial yang rumit. Di sisi lain, nada rendah ini juga bisa menjadi penghalang bagi mereka untuk diakui sebagai pemimpin atau otoritas.

Di lingkungan kerja misalnya, perempuan yang berbicara dengan nada rendah mungkin diabaikan atau dianggap kurang tegas dibandingkan dengan rekan laki-laki mereka yang berbicara dengan nada lebih keras. Ini adalah paradoks lain di mana tindakan yang dimaksudkan untuk memenuhi harapan gender justru dapat merugikan posisi sosial seseorang.

Hidup di lingkup masyarakat yang masih didominasi oleh stereotip gender, perempuan harus terus-menerus menavigasi antara keinginan untuk diakui dan tuntutan untuk mematuhi harapan tradisional. Ini adalah permainan sosial yang tidak adil, di mana nada suara menjadi salah satu alat utama untuk berpartisipasi, namun juga bisa menjadi jebakan.

Perempuan yang berbicara dengan suara lembut untuk memenuhi norma sosial mungkin dianggap “terlalu lembut” untuk menjadi pemimpin, sementara jika mereka berbicara dengan tegas, mereka mungkin dianggap “terlalu agresif.” Jadi, di mana letak kebebasan sejati dalam ekspresi gender jika pilihan kita dibatasi oleh norma-norma yang berlawanan ini?

Psikologi Komunikasi dan Ketidakpastian dalam Nada Rendah

Nada rendah sering kali diasosiasikan dengan ketidakpastian atau kecemasan dalam komunikasi. Dalam psikologi komunikasi, nada suara dapat menjadi penanda penting dari kondisi emosional seseorang, dan nada rendah secara khusus sering kali mengindikasikan bahwa seseorang merasa tidak yakin atau tidak nyaman dalam situasi tertentu.

Teori “Politeness” dari Penelope Brown dan Stephen Levinson menjelaskan bahwa orang cenderung berbicara dengan lebih lembut atau lebih rendah ketika mereka tidak ingin mengganggu atau ketika mereka mencoba untuk mempertahankan muka dalam interaksi sosial. Nada rendah dapat dilihat sebagai strategi untuk mengurangi tekanan sosial atau untuk menenangkan situasi yang mungkin tegang.

Ketika seseorang merasa tidak yakin tentang bagaimana respons orang lain terhadap apa yang akan mereka katakan, mereka mungkin memilih untuk berbicara dengan nada rendah sebagai cara untuk mengurangi risiko konfrontasi atau penolakan. Ini adalah bentuk dari apa yang bisa disebut sebagai “pengendalian risiko komunikasi,” di mana individu mencoba untuk meminimalkan potensi ancaman terhadap identitas atau hubungan sosial mereka.

Di sisi lain, penggunaan nada rendah ini juga bisa menimbulkan masalah komunikasi. Ketika seseorang berbicara dengan nada rendah, orang lain mungkin kesulitan untuk mendengar atau memahami apa yang dikatakan, yang bisa mengakibatkan kesalahpahaman atau persepsi bahwa pembicara tidak yakin dengan apa yang mereka katakan. Pada akhirnya, hal tersebut malah menimbulkan dilema lain dalam komunikasi, di mana upaya untuk menghindari konflik atau menjaga muka justru bisa menghasilkan kebingungan atau bahkan ketidakpercayaan.

“Kita berbicara pelan karena tidak ingin menyinggung, tapi akhirnya yang terjadi adalah kita tidak terdengar sama sekali.” Ada absurditas dalam bagaimana kita mencoba mengelola risiko sosial dengan mengorbankan kejelasan komunikasi, hanya untuk akhirnya menciptakan lebih banyak kebingungan.

Analisis Linguistik : Nada Rendah Sebagai Indikator Pragmatik

Dari perspektif linguistik, nada rendah memiliki peran pragmatis yang signifikan dalam komunikasi. Nada suara, termasuk nada rendah, sering kali digunakan untuk menyampaikan makna implisit yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam kata-kata.

Konsep “implicature” yang diperkenalkan oleh H.P. Grice adalah salah satu cara untuk memahami bagaimana makna dapat disampaikan melalui isyarat non-verbal seperti intonasi dan nada suara. Misalnya, ketika seseorang memberikan perintah dengan nada rendah, perintah tersebut mungkin terdengar lebih seperti permintaan atau saran yang sopan daripada perintah yang tegas. Ini adalah contoh bagaimana nada rendah dapat mengubah persepsi makna dari sebuah ujaran, menambahkan lapisan kehalusan atau ketidakjelasan yang mungkin disengaja.

Berkaca dari hal tersebut, nada rendah dapat berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pesan secara tidak langsung, memungkinkan pembicara untuk mempertahankan hubungan sosial yang harmonis sambil tetap menyampaikan maksud mereka.

Seperti halnya dengan semua bentuk komunikasi pragmatis, penggunaan nada rendah juga bergantung pada konteks dan harapan budaya. Pada beberapa situasi, nada rendah mungkin dianggap sebagai tanda kesopanan atau kehalusan, tetapi dalam konteks lain, itu bisa diinterpretasikan sebagai tanda ketidakpastian atau ketidakjujuran. Itu merupakan salah tantangan dalam memahami pragmatik komunikasi: makna tidak hanya tergantung pada apa yang dikatakan, tetapi juga bagaimana itu dikatakan, dan bagaimana itu diterima oleh pendengar.

Nada rendah dalam komunikasi bukan hanya tentang intonasi atau volume; itu adalah alat pragmatis yang digunakan untuk mengatur makna dan hubungan sosial. Meskipun ini bisa menjadi strategi yang efektif dalam beberapa konteks, penting untuk memahami bahwa efek dari penggunaan nada rendah sangat bergantung pada konteks dan interpretasi pendengar.

Persepsi dan Dampak Nada Rendah dalam Interaksi Antarbudaya

Nada rendah dalam komunikasi tidak hanya dipengaruhi oleh konteks sosial dan psikologis, tetapi juga oleh budaya.

Berbagai budaya memiliki persepsi yang berbeda tentang makna dan penggunaan nada suara dalam interaksi sosial.

Contohnya ada beberapa dalam budaya Asia, jika seseorang berbicara dengan nada rendah, maka itu dianggap sebagai tanda penghormatan dan kehati-hatian, sementara dalam budaya Barat, nada rendah mungkin dianggap sebagai tanda kelemahan atau ketidakjujuran.

Hofstede’s cultural dimensions theory memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana perbedaan budaya ini dapat mempengaruhi persepsi dan interaksi antarbudaya. Melalui konteks antarbudaya, penggunaan nada rendah dapat menjadi sumber miskomunikasi atau salah tafsir. Semisal ketika seorang pembicara dari budaya yang menghargai kehati-hatian dan kerendahan hati mungkin berbicara dengan nada rendah sebagai tanda hormat, tetapi pendengar dari budaya yang lebih langsung mungkin menganggap ini sebagai tanda ketidakpercayaan atau kurangnya keyakinan.

Tantangan itu juga menciptakan peluang untuk meningkatkan pemahaman antarbudaya. Dengan menyadari bahwa nada suara, termasuk nada rendah, dipengaruhi oleh norma-norma budaya, individu dan kelompok dapat belajar untuk lebih sensitif terhadap perbedaan dalam komunikasi dan untuk menyesuaikan strategi komunikasi mereka agar lebih efektif.

Nada rendah dalam komunikasi, yang tampak sepele pada pandangan pertama, ternyata menyimpan kedalaman makna dan implikasi sosial yang signifikan.

Dari refleksi kekuasaan dan hierarki sosial, representasi gender, psikologi komunikasi, hingga analisis linguistik dan persepsi antarbudaya, nada rendah memainkan peran penting dalam membentuk cara kita berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Ia bukan sekadar getaran udara yang keluar dari pita suara, tetapi juga merupakan instrumen sosial yang digunakan untuk menavigasi kompleksitas hubungan manusia.

Namun, seperti yang telah kita lihat, nada rendah juga membawa serta tantangan dan paradoksnya sendiri. Dalam beberapa konteks, ia dapat memperkuat hierarki kekuasaan atau mengonfirmasi norma-norma gender yang ada. Di lain sisi, ia juga dapat menciptakan kebingungan atau kesalahpahaman, terutama dalam komunikasi lintas budaya.

Sebagai refleksi dari berbagai dinamika sosial, nada rendah mengingatkan kita bahwa setiap detail kecil dalam komunikasi kita memiliki potensi untuk mengungkapkan atau menyembunyikan sesuatu yang lebih besar. Dengan kata lain, nada rendah mengingatkan kita akan kekuatan tersembunyi dalam hal-hal yang tampaknya sepele.

“Kadang-kadang, yang tidak dikatakan justru yang paling banyak berbicara.

Tanah Amblas di Jembatan Boulevard UII

0

Himmah Online – Hujan deras yang mengguyur Universitas Islam Indonesia (UII) pada Rabu (8/1) malam menyebabkan tanah di atas jembatan boulevard UII amblas.Tanah amblas di atas jembatan boulevard UII hanya terjadi di area jalan conblock saja. Adapun jalan setapak dan taman yang terdapat di pinggir area jalan conblock tidak mengalami kerusakan.

Rangga selaku satpam di unit lingkungan UII yang sedang bertugas saat itu menjelaskan, timnya langsung melakukan tindakan berupa sterilisasi area.

“Kita langsung mensterilkan area, karena itu kan bisa dibilang akses utama. Jadi untuk lewat kita juga ngga berani karena kondisi seperti itu,” jelas Rangga saat diwawancarai awak Himmah pada Rabu (8/1).

Tanah amblas yang terjadi ketika hujan deras menyebabkan genangan air yang cukup besar. Akibatnya, beberapa pengendara motor yang melintas terperosok karena tidak mengetahui adanya tanah amblas.

Rangga menyebut tidak ada korban luka, hanya terdapat beberapa orang yang terperosok saat melintas, “sekitar 2-3 orang yang kami tangani saat itu,” ungkap Rangga.

Terkait waktu, Rangga tidak dapat memastikan. Ia hanya menyebut kejadian tersebut terjadi setelah waktu maghrib.

“Nah kita kan ngga tau pasti itu udah amblas atau belum. Kita taunya ada yang terperosok di situ, baru kita tolong,” jelas Rangga.

Pagi hari setelah kejadian tanah amblas, pihak kampus segera melakukan tindakan berupa perbaikan di area jalan conblock. Rektor UII Fathul Wahid terlihat ikut turun memantau proses perbaikan jalan tersebut.

“Ini musibah dan kita mitigasi secepatnya, mudah-mudahan dalam satu hari kembali normal,” ungkap Fathul Wahid memberikan tanggapan atas kejadian tanah amblas di boulevard UII.

Fathul Wahid mengatakan salah satu upaya kampus selain perbaikan adalah dengan mengalihkan akses pintu masuk dan keluar sementara. “Kita mengalihkan pintu masuk dan keluar sementara, ya mudah-mudahan hanya dalam waktu beberapa hari saja,” jelas Fathul Wahid.

Suharyatmo selaku Ketua Departemen Infrastruktur Pengelola Fasilitas Kampus Yayasan Badan Wakaf (PFK YBW) UII mengungkapkan, penyebab amblasnya tanah di jembatan boulevard UII adalah kiriman air dari kampung yang terletak di sebelah utara. Air yang masuk ke kampus tersebut menggenang dan menjadi beban bagi tanah di bawah conblock sehingga menyebabkan tanah amblas.

Kiriman air yang masuk disebabkan karena sumbatan sampah pada saluran air yang terletak di luar area kampus, sehingga menyebabkan air meluap dan masuk ke area kampus.

“Karena sebagian saluran air nggak mampu (nampung), terus ada yang meresap ke bawah dan ada bagian-bagian yang tidak terisi dengan baik. Sehingga airnya menggerus ke bawah membawa tanah ke sungai, jadilah ambles” ungkap Suharyatmo saat diwawancarai oleh awak Himmah pada Kamis (9/1).

Menurut keterangan Suharyatmo, tanah yang amblas di jembatan boulevard UII hanya sekitar 60-80 cm dan tidak mempengaruhi struktur konstruksi jembatan.

“Sangat aman sekali, (konstruksi jembatan) masih utuh sama sekali ngga ada apa-apa” jelas Suharyatmo.

Terkait penanganan yang dilakukan, PFK YBW UII melakukan proses perbaikan dengan membongkar conblock, mengurug tanah dan pasir di bawah conblock, serta menambal lubang yang ada pada sisi jembatan dengan batu kali dan beton. Setelah itu ditambahkan biotextile dua lapis yang berfungsi untuk menahan tanah dan pasir dari gerusan air yang meresap.

Kemudian di atas biotextile, ditambahkan material Lapis Pondasi Agregat (LPA) Kelas A yang dipadatkan. Setelah itu di atas lapisan pondasi tersebut ditambahkan tanah dan pasir, terakhir conblock akan dipasang kembali.

“Harapannya besok (Jumat) sore sudah selesai,” pungkas Suharyatmo.

Reporter: Himmah/Ibrahim

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman