Beranda blog Halaman 3

Protes Kenaikan PPN 12%: Aspirasi Rakyat dan Tanggapan KPP Pratama Sleman

Himmah Online – Kekecewaan masyarakat dalam kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang ditetapkan pemerintah, menyebabkan masyarakat yang tergabung dalam Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) menggelar aksi penolakan di depan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Selasa (31/12/2024).

Aksi unjuk rasa tersebut diselenggarakan sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang semena-mena menaikkan PPN menjadi 12% tanpa melibatkan pendapat elemen masyarakat.

Dani Eko Wiyono, Koordinator Pospera, mengungkapkan bahwa aksi ini dilakukan untuk mendesak KPP Pratama Sleman agar mendukung penolakan kenaikan PPN 12%. 

“Kita sekarang gugat bahwasanya beliau (KPP Pratama Sleman) harus membatalkan untuk tidak menaikkan PPN (menjadi) 12%,” ungkap Dani.

Kenaikan PPN yang tidak diimbangi dengan peningkatan Upah Minimum Regional (UMR) dinilai dapat menurunkan daya beli masyarakat. Kondisi ini berpotensi menyebabkan barang-barang hasil produksi pabrik tidak terserap pasar, yang pada akhirnya dapat memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran.

“Ketika pajak naik, harga naik. Namun, UMK (Upah Minimum Kab/Kota) atau UMR tidak sepadan, maka yang terjadi adalah penurunan daya beli masyarakat,” jelas Dani. 

Perwakilan Serikat Buruh, Siti Rohani, mengungkapkan rasa kecewa dan keberatan atas rencana kenaikan PPN 12%. Menurutnya, kebijakan tersebut akan sangat merugikan kaum buruh yang sudah menghadapi tekanan ekonomi.

“Kaum buruh pun imbasnya itu akan berat buat mereka, karena PHK akan di mana mana itu pasti terjadi dan harga sembako pasti akan melonjak dengan adanya PPN 12%,” tambah Siti.

Sementara itu, Ibu Inna, perwakilan Persatuan Mak-Mak Indonesia (PMMI), menyatakan bahwa kondisi masyarakat saat ini sudah sangat sulit. Namun, mereka masih harus menghadapi beban kenaikan PPN 12% yang dinilai sangat memberatkan. 

“Rakyat ini sudah jenuh, sudah capek, dicekik dengan pajak yang sekian persen,” ungkap Inna.

Menanggapi aksi penolakan terhadap kenaikan PPN menjadi 12%, Dwi Haryadi, Kepala Bidang KPP Pratama Sleman, menjelaskan bahwa pihaknya hanya bertugas sebagai pelaksana kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah.

“Kami hanya melaksanakan produk undang undang.,” jelas Haryadi.

Ia menambahkan bahwa pihaknya akan menampung dan mencatat seluruh aspirasi masyarakat terkait penolakan kenaikan PPN 12%. Ia berjanji akan menyampaikan masukan tersebut ke pemerintah pusat. Selain itu, ia mengapresiasi kepedulian masyarakat terhadap isu ini.

“Nanti suaranya kita bisa tampung, kita bisa sampaikan,” pungkas Haryadi. 

Reporter: Himmah/Septi Afifah, Subulu Salam, Ayu Salma Zoraida Kalman

Editor: Abraham Kindi

Pemilu dan Kemunduran Demokrasi Indonesia

0

Himmah Online – Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) baru-baru ini menyelenggarakan acara School of Democracy and Diversity (SDD) Vol. 1 di Hotel MM UGM pada 27-29 Desember 2024.

Acara perdana ini diikuti oleh 25 mahasiswa S1 dan aktivis muda dari berbagai universitas di Yogyakarta yang telah lolos seleksi dan berkesempatan untuk mendalami isu-isu penting mengenai demokrasi dan keberagaman.

SDD ini, menghadirkan sejumlah tokoh dan pembicara kompeten dalam bidangnya. Pada hari kedua acara, Ni’matul Huda, Guru Besar Fakultas Hukum UII, menyampaikan materi mengenai “Pemilu dan Kemunduran Demokrasi Indonesia.”

Dalam pemaparannya, Ni’matul menegaskan bahwa pemilu hanyalah salah satu elemen kecil dalam sebuah sistem demokrasi yang lebih luas. Menurutnya, meskipun pemilu penting, hal tersebut tidak selalu mencerminkan keberhasilan demokrasi secara keseluruhan. 

Lebih lanjut, Ni’matul  menjelaskan bahwa dalam konteks kekinian, kemunduran demokrasi tidak selalu disebabkan oleh perang, melainkan oleh para pemimpin yang dipilih melalui pemilu.

“Setelah terpilih, mereka malah menghabisi demokrasi itu dengan kebijakan-kebijakannya,” ujarnya pada Sabtu (28/12).

Materi yang disampaikan oleh Ni’matul mengenai relevansi demokrasi dengan pemilu terbagi dalam empat tingkatan. Pertama adalah demokrasi prosedural, yang mengutamakan persaingan yang adil dan partisipasi warga untuk memilih pemimpin melalui pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan akuntabel.

Kedua, demokrasi agregatif, di mana demokrasi tidak hanya mencakup pemilu yang luber dan jurdil, tetapi juga berfokus pada pendapat dan preferensi warga negara yang membentuk kebijakan publik.

Sebagai contoh konkret dari pemaparan tersebut, Ni’matul mengkritik wacana pemilu yang akan dikembalikan kepada DPRD, yang menurutnya hanya akan memperkuat kekuasaan partai-partai besar melalui koalisi politik, sementara rakyat kehilangan hak untuk memilih langsung.

“Semuanya mengikuti apa yang didiktekan oleh partai-partai itu. Rakyat tidak punya daya beli untuk demokrasinya,” ungkapnya.

Tingkat ketiga adalah demokrasi deliberatif, yang menekankan pentingnya undang-undang dan kebijakan yang disusun berdasarkan alasan yang dapat diterima secara rasional oleh semua warga negara. Ini mencerminkan prinsip otonomi, kesetaraan, dan keadilan.

Sedangkan, tingkat keempat adalah demokrasi partisipatoris, yang menekankan keterlibatan aktif warga negara dalam pengambilan keputusan publik. 

Ni’matul menyoroti contoh partisipasi masyarakat yang berhasil mempengaruhi kebijakan publik, seperti dalam kasus perubahan usia pencalonan kepala daerah yang sempat menuai protes publik.

“Jadi, ternyata kalau Anda tidak bergerak waktu itu, DPR akan menyetujui pertimbangan usia yang diputus oleh MA. Tapi, begitu masyarakat secara masif menolak, dengan ‘Save MK’ dan ‘Save Keputusan MK,’ DPR akhirnya tidak berani,” jelasnya.

Partisipasi masyarakat, menurutnya, bukan hanya tentang memberikan suara, tetapi juga tentang memberi masukan dan kritik terhadap kebijakan yang diusulkan. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti menyusun naskah akademik tandingan atau berpartisipasi dalam audiensi dengan anggota DPR. Keterlibatan aktif semacam ini membantu menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan mendekatkan pemerintah dengan rakyat.

Sementara itu, ia mengkritik tingginya partisipasi pemilih dalam pemilu yang diperoleh melalui cara yang tidak etis. Pembelian suara adalah tindakan amoral yang dapat merusak integritas demokrasi dan mengarah pada demoralisasi kehidupan masyarakat.

“Benarkah ada partisipasi kalau pemilih dihamburi uang agar mereka memilih calon-calon tertentu? Ini bukan partisipasi demokrasi, tetapi eksploitasi atas nama demokrasi,” ujar Ni’matul.

Ni’matul juga mengungkapkan bahwa kemunduran demokrasi Indonesia dapat dilihat dari berbagai praktik tidak etis dalam pemilu. Ia mencatat bahwa sejumlah pejabat pemerintah, termasuk presiden dan menteri-menteri, terlibat dalam kampanye dengan menggunakan fasilitas negara, termasuk pembagian sembako dan bantuan sosial.

“Padahal, secara konstitusional hakikat keuangan negara harus dipandang bagi kepentingan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, karena tidak ditunggangi untuk kepentingan yang bersifat pribadi,” pungkasnya.

Reporter: Himmah/R. Aria Chandra Prakosa, Nurhayati, Septi Afifah, Subulu Salam

Editor: Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

* Naskah ini mengalami penyesuaian pada Senin (13/01/2025). Kami memberikan koreksi terkait penyebutan kata “MK” dalam naskah.

Penyesuaian terdapat pada kalimat langsung paragraf ke-6 dari bawah. Kalimat langsung tersebut awalnya berbunyi “Jadi, ternyata kalau Anda tidak bergerak waktu itu, DPR akan menyetujui pertimbangan usia yang diputus oleh MK. Tapi, begitu masyarakat secara masif menolak, dengan ‘Save MK’ dan ‘Save Keputusan MK,’ DPR akhirnya tidak berani.”

Lalu kami koreksi menjadi “Jadi, ternyata kalau Anda tidak bergerak waktu itu, DPR akan menyetujui pertimbangan usia yang diputus oleh MA. Tapi, begitu masyarakat secara masif menolak, dengan ‘Save MK’ dan ‘Save Keputusan MK,’ DPR akhirnya tidak berani.”

Kelalaian reporter kami terdapat pada ketidakcermatan dalam mentranskripsi rekaman audio. LPM Himmah menerima hak koreksi ini dan memohon maaf pada Muhammad Rayhan serta pembaca.

Tanggung Jawab Negara dalam Hak Pendidikan Anak

0

Himmah Online – Unit Kegiatan Mahasiswa Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia (KAHAM UII) mengadakan talkshow mengenai “Pemenuhan Hak Pendidikan Terhadap Anak” yang diselenggarakan di Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito, Universitas Islam Indonesia (UII) pada Sabtu (14/12). Dalam Acara ini KAHAM UII menggandeng M. Wahyudin Afrizqi, Komunitas Sekolah Marjinal (KSM) dan M. Syafi’ie dosen Fakultas Hukum UII sebagai narasumber.

Syafi’ie menjelaskan, konsep keberhasilan pemenuhan hak pendidikan anak oleh negara sebagai penjamin hak asasi manusia adalah dengan terpenuhinya ketersediaan fasilitas pendidikan yang layak, akses yang memadai, serta hasil yang dirasakan oleh anak-anak terutama dalam sektor pendidikan. 

Dia mengungkapkan, bahwa hak pendidikan anak mencakup berbagai aspek, termasuk hak berkembang, hak untuk bermain, dan hak untuk mendapatkan perlindungan khusus. Namun, dalam praktiknya masih banyak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi yang terjadi di sekolah-sekolah. 

“Di beberapa pesantren, anak-anak juga sering menghadapi perlakuan kasar dari kakak kelas mereka. Situasi ini menunjukkan bahwa banyak lembaga pendidikan belum benar-benar ramah anak,” ungkap Syafi’ie.

Banyak anak tidak mendapatkan kebebasan untuk berpendapat. Hal ini menjadi  penyebab perkembangan cara berpikir dan perilaku mereka terhambat. Pola ini perlu diubah agar anak-anak dapat tumbuh menjadi individu yang mandiri dan kreatif. 

“Pola asuh yang ideal adalah pola asuh otoritatif, di mana anak diberikan kebebasan tetapi tetap dalam pengawasan,” Jelas Syafi’ie.

Prinsip yang harus diterapkan dalam upaya pemenuhan pendidikan adalah prinsip best interest of child. Anak-anak dapat berkembang sesuai dengan minat dan bakat mereka bukan sebagai cerminan ambisi orang tua ataupun guru. Sehingga, anak dapat mengekspresikan diri tanpa adanya tekanan.

M. Wahyudin Afrizqi, menjelaskan KSM bergerak dalam bidang pendidikan non-formal untuk anak jalanan agar mendapatkan akses pendidikan yang setara dengan anak-anak dengan pendidikan formal. 

“Kami membantu mereka yang ingin melanjutkan pendidikan, tetapi terkendala oleh berbagai faktor. Saya sendiri bergabung sebagai relawan di komunitas ini,” jelasnya.

Afrizqi berpendapat bahwa salah satu faktor anak mengalami putus sekolah adalah kemiskinan struktural. Orang tua dengan perekonomian sulit, melahirkan anak-anak dengan situasi yang sama dan menciptakan siklus kemiskinan yang terus berulang.

“Masalah ini menciptakan lingkaran setan. Anak-anak tidak dapat bersekolah, sementara orang tua mereka tidak memiliki pendidikan atau pemahaman yang cukup untuk memperjuangkan hak anak-anak mereka.”

Faktor lainnya yaitu kurangnya dukungan dari keluarga yang menganggap pendidikan tidak begitu penting dan kurang relevan. Pendidikan dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga anak-anak seringkali diminta bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.

“Anak-anak yang bekerja di jalanan dianggap sebagai aset untuk membantu keuangan keluarga. Sayangnya, eksploitasi semacam ini masih sering terjadi, meskipun pendidikan formal tersedia secara gratis,” jelas Afrizqi

Pada Tahun 2018, tercatat sebanyak 42 juta Anak Indonesia  yang tidak memiliki akses pendidikan memadai. Sebanyak 20 persen dari angka tersebut berasal dari keluarga miskin. Bahkan di Jogja, sebagai kota pelajar, masih terdapat anak-anak yang tidak dapat bersekolah karena berbagai alasan seperti kemiskinan dan migrasi keluarga. 

“Banyak anak dari daerah seperti Solo, Magelang, dan Wonosobo datang ke Jogja tanpa identitas atau dokumen resmi, sehingga mereka kesulitan untuk mendaftar ke sekolah formal,” ungkap Afrizqi.

Terakhir, Afrizqi  berharap dengan adanya KSM dapat memberikan akses belajar bagi anak-anak yang tidak dapat masuk ke sistem formal, mensosialisasikan pentingnya pendidikan pada masyarakat, serta mengawasi peran negara dalam menyediakan akses pendidikan yang inklusif dan berkualitas. 

“Meskipun dampaknya terbatas, langkah ini setidaknya memberikan akses belajar bagi anak-anak yang tidak bisa masuk ke sistem formal. Kami juga terus berupaya membangun kesadaran di masyarakat tentang pentingnya pendidikan,” pungkas Afrizqi.

Reporter: Himmah/Fairuz Tito, Queena Chandra, Septi Afifah.

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman.

Daya Jual Pendidikan

Susi gelisah. Belakangan dia kebingungan menentukan pilihan harus mendaftar di universitas mana. Di laptopnya, Susi membuka laman pendaftaran mahasiswa baru universitas Y. “Universitas Y itu ijazahnya disukai perusahaan, jadi nanti pas kamu lulus bisa mudah dapat kerja.” Susi mengingat sang alumni berkata dengan mantap sepekan lalu, saat sekolahnya mengadakan temu ramah dengan alumni. 

Benar adanya, nama universitas Y ada di hampir semua artikel-artikel dengan tajuk seperti,  “Daftar PTN dan PTS yang Lulusannya Mudah Dapat Kerja.” Artikel semacam ini marak di internet.

Rasanya ketika seseorang hendak mendaftar sekolah ataupun perkuliahan, semakin sering terdengar perkataan seperti, “Nanti daftar di sekolah ini saja, pekerjaan alumninya bagus semua.” atau “Kalau kuliah di sini nanti bisa mudah dapat kerja.” Perkataan ini sering dilontarkan oleh keluarga, teman, atau bahkan dari kampus-kampus yang sedang promosi di acara sekolah.

Akhirnya perlahan persepsi masyarakat mulai bergeser dan perlahan meyakini bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendapat pekerjaan. Sehingga ketika tengah memilih sekolah atau kampus dan jurusan, orang-orang mulai mencari mana yang lebih memudahkan mendapat kerja dibanding faktor lain seperti kualitas pengajarannya.

Padahal memilih jurusan dan kampus tidak menjadi penentu pekerjaan. Melansir dari Kompas.com, pada tahun 2022 sekitar 80% pekerjaan mahasiswa Indonesia tidak sesuai dengan jurusannya ketika berkuliah.

Persepsi masyarakat yang menganggap bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendapatkan kerja, tampaknya banyak mempengaruhi dunia pendidikan yang ada di Indonesia. Sehingga daya jual sebuah instansi pendidikan bukan lagi kemampuannya mencerdaskan individu, melainkan bagaimana mereka bisa memastikan seseorang mendapat pekerjaan.

Lantas apa sebenarnya tujuan pendidikan? Bukankah seharusnya tujuan pendidikan sesuai dengan UUD 1945, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa.” Agar pendidikan dapat membawa cita-cita untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan unggul sehingga mampu membawa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik. Jika seseorang mengemban pendidikan dengan tujuan yang sesuai, seharusnya dia bisa mengembangkan potensinya secara maksimal.

Namun sayangnya, Susi sudah lama melupakan cita-citanya menjadi penulis. Baginya yang terpenting adalah mendapatkan kerja dengan gaji besar, meskipun tidak sesuai minatnya. Dia melihat ijazah universitas sebagai tiket mendapatkan kerja. Susi melihat di sekitarnya, orang yang berhasil menjadi PNS atau diterima bekerja di perusahaan adalah mereka yang memiliki ijazah S1.

Tantangan Gerakan Hak Asasi Manusia di Tengah Turbulensi Demokrasi Indonesia

0

Himmah Online – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bekerja sama dengan Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) mengadakan diskusi publik bertema “Gerakan Hak Asasi Manusia dalam Turbulensi Demokrasi: Tantangan dan Strategi” di Gedung Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) pada Rabu (11/12). Acara ini juga merupakan peluncuran buku tentang Abdul Hakim Garuda Nusantara, sosok pembela HAM dan pendiri ELSAM.

Diskusi dibuka dengan paparan Suparman Marzuki, Dosen Fakultas Hukum UII, yang menjelaskan dua tema besar, yaitu demokrasi dan HAM. Ia menyebutkan bahwa kedua tema ini berlandaskan pada prinsip kebebasan dan persamaan, yang menjadi dasar ideologi gerakan besar abad ke-19 dan ke-20. 

Gerakan tersebut kemudian mendorong perubahan besar di banyak negara otoritarian, termasuk Uni Soviet pada akhir abad ke-20. Perubahan serupa juga terlihat di Indonesia pada 1998, yang menandai transisi dari otoritarianisme ke demokrasi.

Namun, Suparman mengungkapkan dilema negara-negara yang bertransisi, yakni apakah sepenuhnya meninggalkan kekuasaan lama atau mengakomodasi kekuasaan lama dalam struktur kekuasaan baru. Di Indonesia, transisi ini tercermin dalam konstitusi yang merupakan hasil kompromi politik, dan memunculkan fenomena “frozen democracy” atau demokrasi beku.

Turbulensi demokrasi di Indonesia, menurut Suparman, disebabkan oleh perubahan dalam struktur kekuasaan yang terkadang menggantikan kekuatan pro-demokrasi dengan kekuatan lama atau bentuk kekuasaan yang lebih otoriter. Kemudian tindakan kekuasan itu dibungkus dengan aturan hukum. “Sebagian pakar mengatakan ini neo orde baru,” ujarnya.

Ita Fatia Nadia, salah satu narasumber diskusi ini, menyoroti munculnya militerisme dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya dapat dilihat dalam cara militer Presiden Prabowo dalam menggembleng menteri-menterinya. Ia mengingatkan, militerisme dapat mengarah pada normalisasi kekerasan dan dominasi yang berisiko pada institusionalisasi kebijakan militeristik dalam masyarakat. 

Di sisi lain, ia merasa prihatin atas ketidakpedulian gerakan perempuan dan aktivis dalam merespons isu ini. “Beberapa aktivis, teman-teman saya, terutama senior seangkatan, mengatakan, ‘Ini hanya normalisasi, bukan sesuatu yang membahayakan,’” ujarnya.

Ita juga menyoroti perlawanan korban pelanggaran HAM yang pernah ia dampingi. Hingga hari ini mereka memilih bungkam. Beberapa dari mereka merupakan perempuan Tionghoa korban pemerkosaan tahun 1998 dan perempuan yang dituduh sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Mereka takut bersuara di tengah kondisi yang tak memihak pada kebebasan berpendapat.

Dalam lima tahun terakhir, situasi demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran signifikan dibandingkan dengan upaya perbaikan politik dan pemilu sejak 2004. Negara gagal melindungi hak-hak warga negara. Gerakan HAM terpinggirkan. Kelompok masyarakat sipil kehilangan kesatuan.

“Masyarakat sipil sangat lemah dan sangat segmented, sangat sektoral, sibuk dengan dunianya masing-masing, dan tidak terhubung satu sama lain,” kata Amalinda Savirani, Dosen Ilmu Politik UGM. 

Hal tersebut diperparah dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk memenuhi tuntutan satu kelompok, tetapi mengabaikan kelompok lain. Untuk itu, Amalinda menyarankan pendekatan interseksionalitas agar masyarakat sipil dapat merespons isu-isu HAM secara lebih terkoordinasi.

Sementara itu, Wasingatu Zakiyah, Direktur Caksana Institute, mengungkapkan tantangan eksternal bagi masyarakat sipil. Beberapa tantangan itu ialah hukum yang sering “tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” serta kuatnya hubungan antara politisi dan oligarki. Hal ini membuat ruang bagi rakyat semakin sempit.

Dalam penguatan masyarakat sipil, Amalinda menawarkan empat opsi strategi: (1) berada di luar untuk melakukan konfrontasi, (2) masuk ke dalam pemerintahan dengan akar grassroot yang kuat, (3) menjadi kelompok lobi, dan (4) memperluas basis grassroot, terutama di kalangan kelas prekariat. 

Ita mengakhiri diskusi dengan penegasan penuh komitmen untuk terus membela para korban pelanggaran HAM. “Saya tidak akan berhenti untuk menyuarakan suara-suara korban pelanggaran HAM, dari tahun 65’ sampai tahun 98’, bahkan sampai pada saat ini,” pungkasnya.

Reporter: Himmah/Saiful Bahri, Nurhayati, dan Sofwan Fajar

Editor: Abraham Kindi

Kaki Lima, Kaum Tersingkirkan di Yogyakarta

0

Himmah Online – Yogyakarta sering digambarkan sebagai kota romantis. Namun dibalik kata tersebut terdapat dinamika sosial seperti pandangan negatif terhadap para Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai kaum yang termarjinalkan.

Beranjak dari hal itu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena menggelar acara diskusi dan bedah buku dengan mengusung  tema “Jogja dalam Rentang Kisah : Fiksi, Esai, dan Misteri” pada Minggu, (08/12). 

Diskusi ini menghadirkan tiga penulis yaitu Isma Swastiningrum, Penulis Novel Kaki Lima, K.A Sulkhan, Penulis Novel Kronik Pembunuhan Selma, dan Jevi Adhi Nugraha Penulis Buku Menanam Hantu di Bukit. Acara ini diselenggarakan di Universitas Islam Negeri Yogyakarta.  

Salah satu buku yang dibedah adalah “Kaki Lima” karya Isma Swastiningrum. Alasan utama Isma mengangkat isu PKL ialah karena isu ini dekat dengan masyarakat dan seringkali para PKL yang bertahan hidup dengan berjualan dianggap mengganggu keindahan kota Yogyakarta. 

“Dianggap bikin kemacetan, dianggap hama itu lah istilahnya,” ungkap Isma.

K.A Sulkhan, Pembedah novel “Kaki Lima  teringat akan isu-isu yang terjadi di tahun 2015, 2016 sampai 2018 saat itu Yogyakarta sangat populer dengan isu-isu agraria yang berkaitan dengan penggusuran. 

“Dulu di tahun 2015, 2016 sampai 2018 mungkin Jogja itu sangat populer dengan isu-isu agraria gitu, seperti SGPG (Sultan Ground Pakualaman Ground) itu yang menyebabkan penggusuran dimana-mana dan itu juga relate dengan isu-isu agraria di sekitar Jawa Tengah,” ungkap Sulkhan.

Sejalan dengan hal itu, Sulkhan menambahkan bahwa angkringan dan warteg di Yogyakarta juga memiliki kerentanan atas penggusuran dan sengketa tanah. Dengan alasan kelompok tersebut merusak keindahan kota.

“Kaya warteg-warteg masyarakat pinggiran, ternyata tidak seromantis itu karena terancam penggusuran,” ungkap Sulkhan.

Jevi Adhi Nugraha, Pembedah buku “Kaki Lima” menyoroti bagaimana penulis menggambarkan karakter yang dekat dengan pembaca dan menceritakan kehidupan penjual angkringan dengan terperinci.

“Bagi saya Isma mampu merangkum kehidupan selama menjadi mahasiswa, dan yang disampaikan ini emang bener-bener relate dengan orang-orang yang menjual angkringan,” ungkap Jevi.

Jevi membayangkan bahwa dunia yang ideal berisi oleh mahasiswa yang peka terhadap lingkungannya, sama seperti penggambaran peran mahasiswa di dalam buku kaki lima itu.

“Dengan bener-bener melihat di dalam bahwa setiap gorengan, setiap teh yang disajikan penjual itu selalu ada hal-hal yang mengancam dibelakangnya,” pungkas Jevi.

Reporter: Himmah/Putri Cahyanti, Reza Sandy Nugroho, Nurul Wahidah.

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman.

Sastra, Agama, & Feby Indirani 

Sastra telah lama menjadi medium penting dalam menyampaikan kritik sosial, politik, dan agama. Di Indonesia, sastra memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengkritik struktur kekuasaan dan norma-norma sosial yang ada. Salah satu penulis kontemporer yang dikenal karena keberaniannya dalam mengangkat isu-isu sensitif melalui karyanya adalah Feby Indirani. Melalui berbagai karyanya, seperti kumpulan cerpen Bukan Perawan Maria, Memburu Muhammad, dan masih banyak karya-karya tulis Feby yang lain.

Feby berusaha menghadirkan narasi-narasi yang mengusik dan mengajak pembaca untuk merenung lebih dalam mengenai hubungan antara agama, identitas, dan kebebasan individu. Karena sejak zaman dahulu, sastra telah digunakan sebagai alat untuk menyampaikan kritik terhadap ketidakadilan dan penindasan.

Di Indonesia, peran ini terlihat jelas dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang mengkritik kolonialisme dan pemerintahan otoriter, serta karya-karya W.S. Rendra yang menggunakan puisi sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan sosial. Sastra menjadi medium yang efektif karena kemampuannya untuk menyentuh emosi pembaca dan menghadirkan realitas sosial dengan cara yang lebih mendalam dan personal.

Feby Indirani melanjutkan tradisi ini dengan menyoroti isu-isu yang sering kali dianggap tabu di masyarakat Indonesia. Karya-karyanya tidak hanya menceritakan kisah-kisah individu yang berjuang melawan ketidakadilan, tetapi juga mengajak pembaca untuk mempertanyakan norma-norma agama dan sosial yang telah mapan. Dalam konteks ini, sastra berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan realitas masyarakat sekaligus sebagai alat untuk mengkritik dan mengubahnya.

Agama memainkan peran sentral dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, hubungan antara agama dan individu sering kali kompleks dan penuh dengan ketegangan. Di satu sisi, agama dapat memberikan makna dan tujuan hidup, tetapi di sisi lain, ia juga bisa menjadi alat penindasan dan kontrol sosial. Feby Indirani, melalui karyanya, mengangkat isu-isu ini dengan cara yang unik dan provokatif.

Dalam karya-karyanya seperti dalam buku kumpulan cerita berjudul Bukan Perawan Maria, Feby menggambarkan berbagai kisah tentang individu-individu yang berhadapan dengan norma-norma agama yang kaku dan sering kali menindas. Dia sering kali mengkritik standar ganda yang diterapkan oleh masyarakat terhadap perempuan dan menyoroti bagaimana agama sering kali digunakan untuk membenarkan penindasan terhadap perempuan.

Selain itu, di buku berjudul Memburu Muhammad, Feby juga mengeksplorasi tema-tema tentang pluralisme dan toleransi beragama. Melalui karyanya tersebut, dia menuliskan bagaimana tokoh-tokohnya harus menghadapi kenyataan bahwa mereka hidup dalam masyarakat yang multikultural dan multireligius dalam konsep sosiologis. Dengan cara ini, Feby mengajak pembaca untuk merenungkan konsep toleransi dan pentingnya keberagaman.

Salah satu tema sentral dalam karya-karya Feby Indirani adalah kebebasan individu dan kritik terhadap dogma. Feby sering kali menggambarkan karakter-karakter yang berjuang untuk mempertahankan kebebasan mereka di tengah tekanan sosial dan agama. Dia mengkritik bagaimana dogma agama bisa menjadi alat penindasan terhadap individu yang memiliki pandangan berbeda. Feby juga menggunakan humor dan satir sebagai alat untuk menyampaikan kritiknya.

Dengan humor yang halus, Feby mengkritik konsep dosa dan hukuman dalam agama serta mengajak pembaca untuk mempertanyakan kembali keyakinan mereka. Pendekatan ini membuat kritiknya lebih mudah diterima oleh pembaca dan memancing mereka untuk berpikir lebih dalam tentang isu-isu yang diangkat.

Karya-karya Feby Indirani memiliki relevansi sosial dan politik yang kuat, terutama dalam konteks Indonesia kontemporer. Negara ini, dengan keberagamannya yang luas memang sering menghadapi ketegangan dan konflik yang disebabkan oleh perbedaan agama dan keyakinan. Dalam situasi seperti ini, sastra sebagai media yang manusiawi bisa memainkan peran penting dalam mempromosikan dialog dan toleransi.

Feby tidak hanya menyampaikan kritik terhadap norma-norma agama yang kaku, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya kebebasan beragama dan pluralisme. Dia menggambarkan bahwa Tuhan hadir dalam berbagai bentuk dan keyakinan, mengajarkan bahwa Tuhan tidak terbatas pada satu agama atau keyakinan tertentu, tetapi hadir dalam segala aspek kehidupan. Tak luput, Feby acap mengkritik politisasi agama dan mengajak pembaca untuk lebih kritis terhadap para pemimpin yang menggunakan agama untuk kepentingan pribadi.

Sastra, agama, dan kebebasan individu adalah tiga tema yang saling terkait dalam karya-karya Feby Indirani. Melalui cerita-cerita yang kritis dan provokatif, Feby berhasil mengangkat isu-isu yang sering kali dianggap tabu di masyarakat Indonesia dan mengajak pembaca untuk merenungkan kembali keyakinan dan norma-norma mereka. Dalam konteks sosial dan politik Indonesia kontemporer, karya-karya Feby memiliki relevansi yang kuat dan bisa menjadi alat untuk mempromosikan dialog toleransi antarumat beragama.

Dengan menggunakan humor, satir, dan narasi yang kuat, Feby tidak hanya berhasil menghibur pembaca, tetapi juga mengajak mereka untuk berpikir lebih dalam tentang isu-isu penting yang dihadapi masyarakat. Pada periode sastra saat ini, Feby Indirani adalah contoh nyata bagaimana seorang penulis bisa menggunakan sastra sebagai alat untuk menyuarakan ketidakadilan dan mempromosikan perubahan sosial dalam ranah-ranah keagamaan yang membumi.

Satu Tahun Ketidakjelasan KUHP Baru, Masih Belum Menemukan Titik Ujung

0

Himmah Online – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengalami perubahan pada UU No. 1 Tahun 2023. KUHP baru memunculkan banyak pertanyaan seperti perbedaan, perubahaan, hingga kejelasan dari tiap isi di dalamnya yang dibahas dalam diskusi bertajuk Problematika Hukuman Mati Pasca Pengesahan KUHP Baru di Indonesia.

Diskusi ini menghadirkan Fatahillah Akbar, Akademisi FH UGM, Eko Riyadi, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Eko Prasetyo, Social Movement Institute, dan Kezia Khatwani, IMPARSIAL. Dilaksanakan di Ruangan Legal Drafting, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) pada Kamis (21/11).

Kezia Khatwani, menjelaskan poin penting terkait perbedaan antara KUHP lama dan KUHP baru. Dalam KUHP lama pidana mati diatur sebagai pidana pokok, sedangkan pada KUHP baru pidana mati diatur sebagai pidana alternatif.

Pada Pasal 100 KUHP baru, menegaskan bahwa terdapat “masa percobaan 10 tahun” yang secara otomatis diterapkan ketika hakim menjatuhkan vonis mati. 

“Maksudnya masa percobaan ini gimana nih? apakah dicantumkan dalam putusannya? atau otomatis diterapkan? atau bagaimana?” Ungkap Kezia.

Menurutnya ketidakjelasan inilah menimbulkan death row phenomenon atau fenomena kombinasi penderitaan yang dirasakan akibat lamanya waktu tunggu eksekusi terpidana. Hasilnya terpidana secara langsung akan mengalami penghukuman sebanyak dua kali, yaitu secara psikis dan secara fisik.

“Jadi mereka di dalam tidak mendapatkan kepastian, kapan dia boleh dihukum mati,” Jelas Kezia.

Menurutnya penerapan Pasal 100 KUHP baru menjadi pertanyaan, karena di dalam pasal tersebut juga memiliki definisi yang ambigu pada kata “perilaku baik”.

“Nah disini kan belum jelas perilaku baik itu maksudnya apa kalau misalkan nggak ada parameter yang jelas,” Ungkap Kezia.

Eko Riyadi, menjelaskan bahwa hak hidup sudah ada jauh sebelum terbentuknya aturan negara dan hukuman mati saat ini merupakan pelanggaran UUD 1945 Pasal 28 ayat 1. Keduanya menjadi alasan utama mengapa hukuman mati harus dihapuskan.

“Jadi, negara ini punya konstitusi atau tidak, setiap manusia punya hak untuk hidup,” Jelas Eko Riyadi.

Menurut Kezia, peraturan KUHP baru perlu banyak direvisi. Karena hal ini akan berdampak pada pengadilan apabila terdapat salah penafsiran dalam pembacaan peraturan KUHP.

“Kalau orang dihukum seumur hidup, kalau keliru dia bisa dipulihkan. Kalau orang sudah mati, sudah dihukum mati, kan tidak mungkin nyawanya dikembalikan,” tammbah Kezia

Di akhir diskusi, Eko berharap apa yang didapat dalam diskusi ini dapat mendorong Indonesia menjadi lebih beradab. “Target ujungnya bagi kami adalah penghapusan,” pungkas Eko Riyadi.

Reporter: Himmah/Siti Zahra Sore, Giffara Fayza Muhlisa, Saipul Bahri, Ayu Salma Zoraida Kalman.

Editor: Staf Himmah/Mochamad Farhan Mumtaz

Kronik Sulung dan Puisi Lainnya

0

Kronik Sulung

Betapa lelah mengharapkan notifikasi cinta dari tanganmu, ibu

Seperti jerit hidung bebunga yang merindukan surya di bawah emperan toko

Desahku partikel suara yang selalu tertahan di depan pintu telingamu. 

Malam mengental sekian purnama di akar kepala

Dan kesunyian yang selalu terasa lebih hangat dari percakapan di meja makan, mendatangiku, menyeka zygot hujan yang memetir di semenanjung bulu mata. 

Ketika itu terjadi ibu, catatan panjang dengki pada si bungsu merubahku menjadi ladang perdu, yang sedia membara jadi jerebu, sementara makhluk-makhluk bermuka asu yang bersemayam dalam diri akan menjadi tangan-tangan angin yang ingin terus meniupinya. 

Tapi selalu saja ibu, aku tumbuh sebagai beton yang merutuki kesabaran yang tertempa hebat dalam kerangkanya. Aku tumbuh sebagai tiang tertinggi menara yang menjadikan ketabahan sebagai suratannya. 

Ibu, betapa sukar mengharapkan sms kasih darimu. 

Sumenep, 2024

Kulacino

Seperti kulacino

Setiap yang tiba

Pasti akan membekas

Walau sekejap saja

Sumenep, 2024

Sua

Matamu palung dalam

Yang menenggelamkan kerinduanku

Sumenep, 2024

Jalan Maju

Air mengalir

Tak pernah kembali

Ke rahim kelahirannya

Sumenep, 2024

Pigura

Sebuah peristiwa

Dalam sebuah pigura

Mengentalkan luka

Pada hari setelahnya

Sumenep, 2024

Menilik Kinerja Setahun Satgas PPKS UII

Kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan koordinasi antara tim Satgas PPKS UII yang kurang baik menjadi sebab terhambatnya sosialisasi pengenalan Satgas PPKS UII pada tahun pertama.

Himmah OnlineSudah setahun lebih Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Islam Indonesia (Satgas PPKS UII) berjalan, terhitung sejak pelantikannya pada April 2023.

Menurut survei yang dilakukan oleh LPM Himmah pada 30 Oktober – 10 November 2023 terhadap 190 responden, setengah dari responden belum mengetahui keberadaan Satgas PPKS di lingkungan UII.

Setelah setahun berjalan, Himmah tertarik untuk mengulik lebih dalam tentang bagaimana kinerja Satgas PPKS UII.

Setahun Berjalan

Sejak awal dibuka, peminat Satgas hanya sedikit. Jumlah pendaftarnya hanya 5 dari mahasiswa dan 12 dari dosen dan Tenaga Pendidik (Tendik). Yaltafit Abror Jeem, Ketua Satgas PPKS UII, menyatakan, di tengah periode kepengurusan, tiga anggota Satgas PPKS mengundurkan diri. Satu anggota Tendik diterima sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan dua anggota mahasiswa akan lulus.

“Sehingga secara keseluruhan kami kehilangan tiga anggota (dari tujuh anggota),” Jelas Jeem, kepada awak Himmah pada Selasa (27/6/2024).

Meski telah berkomitmen, Jeem menyebut bahwa beberapa anggota Satgas PPKS UII tidak maksimal dalam menjalankan tugas. Misalnya, mahasiswa yang menjadi anggota tim memiliki kesibukan akademik. Begitu juga, dengan dosen dan Tendik yang memiliki tugas utama lainya.

Selain anggota yang sedikit, Anis Banowati, salah satu mahasiswa anggota Satgas PPKS UII menambahkan, Satgas sempat terkendala dana. Sehingga proses penurunan dana harus diajukan melalui proposal.

“Namun, saat ini, Alhamdulillah, masalah keuangan sudah tidak ada lagi,” sebut Anis kepada awak Himmah pada Rabu (19/6/2024).

Jeem berharap ada tambahan anggota sekretariat di luar tim anggota Satgas PPKS UII. Mereka akan bertugas mengurus hal-hal administratif. Sekretariat akan diisi oleh tenaga reguler yang bersifat pegawai tetap yang digaji, namun tidak terlibat dalam pengambilan keputusan penanganan kasus. 

Hal tersebut dirasa penting untuk memastikan kelancaran koordinasi, surat-menyurat, dokumentasi, dan pengarsipan.

“Sedangkan, anggota Satgas lainnya bisa tetap bersifat sukarela untuk menjaga independensi dan kebebasan dalam mengambil keputusan secara bijaksana.” Pungkas Jeem.

Jeem, mengamini bahwa Satgas PPKS UII belum banyak dikenal karena kurangnya sosialisasi dan minimnya Sumber Daya Manusia (SDM). Seperti keterbatasan jumlah anggota dan pengunduran diri anggota Satgas.

Belum Ada Laporan Tertulis

DaIam menjalankan tugasnya, Satgas PPKS UII memiliki kewenangan berupa menerima laporan, melakukan pemeriksaan, membuat kesimpulan, memberikan rekomendasi sanksi, mengadakan pemulihan bagi korban, dan melakukan pencegahan. Hasil dari seluruh proses tersebut adalah surat rekomendasi yang akan diberikan kepada rektor.

Jeem, saat diwawancarai oleh awak Himmah pada Senin (15/7/2024), mengatakan Satgas PPKS UII telah mengeluarkan enam surat rekomendasi dari 16 kasus yang ditangani. Lima kasus merupakan kasus baru yang masuk pada bulan Juni – Juli. Lima kasus lainnya sudah hampir selesai di tahap pemeriksaan. 

Seringkali proses pemeriksaan harus mundur, karena ada masukan tambahan dari rektor. “Misalnya, jika bukti-bukti dianggap kurang, maka proses pemeriksaan harus diulang untuk mengumpulkan bukti tambahan atau klarifikasi dari saksi,” jelas Jeem.

Tugas penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan oleh Satgas PPKS UII tanpa melibatkan koordinasi dengan berbagai pihak. Pihak yang dilibatkan seperti senat universitas dan para ahli sesuai kasus yang terjadi.

Akan tetapi, koordinasi dengan senat universitas dan para ahli menjadi kendala tersendiri. Hal tersebut menyebabkan penyelesaian kasus memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan jumlah kasus yang masuk tidak sedikit, dan masuk secara bersamaan.

“Ini (jumlah kasus yang banyak) menguras energi baik secara fisik maupun mental karena sifat kasus yang rahasia dan kompleks,” Jelas Jeem.

Satgas PPKS UII juga memiliki tanggung jawab untuk menyusun laporan kinerja yang harus disampaikan setiap enam bulan sekali kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pimpinan universitas, dan secara moral kepada publik.

Sedangkan kepada pelapor dan korban, Satgas memiliki tanggung jawab untuk menyusun laporan penanganan kasus.

Selama setahun berjalan, Satgas PPKS UII seharusnya telah menyampaikan laporan tertulis sebanyak dua kali, yaitu pada September 2023 dan Maret 2024.  Akan tetapi penyampaian dan laporan tertulis belum dilakukan.

Selain laporan, Satgas juga seharusnya melakukan survei terkait kekerasan seksual setiap enam bulan sekali. Namun survei yang dilakukan Satgas baru dilaksanakan satu kali dan hanya dilaporkan secara lisan kepada rektor.

Jeem mengungkapkan bahwa Satgas belum menyelesaikan laporan-laporan tersebut sebab keterbatasan waktu dan kurangnya koordinasi antara tim Satgas.

“Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, kami akan berusaha untuk menyelesaikan tugas ini dengan lebih serius ke depan.” Ungkap Jeem.

Tumpang Tindih Regulasi

Alur penanganan kasus kekerasan seksual di kampus tidak berjalan optimal disebabkan tidak adanya kejelasan regulasi. 

Muhammad Raihan Alfarizzy (23), Ketua Komisi II Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) UII, mengatakan hal ini lantaran tidak adanya kejelasan birokrasi dan kurangnya sosialisasi ke mahasiswa terkait teknis pelaporan. Ketidakjelasan tersebut berdampak pada pelapor atau korban kekerasan seksual yang semakin kebingungan.

Dalam alur pelaporan yang ditangani oleh lembaga kemahasiswaan, Satgas PPKS UII tidak dilibatkan. 

Ketika Faris menjabat sebagai DPM Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), laporan masuk ke DPM yang bergerak dengan LEM. DPM lalu melanjutkan ke Wakil Dekan dan dilanjutkan ke universitas. Laporan yang ada pada universitas, kemudian diolah dan turun kembali dalam bentuk pengarahan dari universitas ke fakultas. 

“Dan akhirnya (pelemparan kasus), korban yang kasihan,” ucap Faris saat diwawancarai awak Himmah pada Selasa (08/7/2024). 

Berbeda dengan FIAI, Fakultas Hukum memiliki wewenang tersendiri untuk memproses kasus tindak kekerasan seksual. DPM dan LEM FH bertindak sebagai jembatan penghubung antara mahasiswa dan fakultas.

Alvin Daun (22), Ketua DPM FH, mengatakan, berdasarkan hasil koordinasi DPM FH dengan Wakil Dekan III FH, fakultas memiliki kebijakan otonom sendiri untuk menindak pelaku dan korban yang berasal dari fakultas yang sama, yaitu FH. Namun apabila salah satu pihak, baik pelaku atau korban bukan dari FH, diupayakan untuk melaporkan kasus ke Satgas PPKS UII terlebih dahulu.

“Sempat kami agak bingung gitu kalau dipingpongkan seperti ini. Kan agak rumit, ya, sebenarnya. Tapi dari fakultas ikhtiarnya tuh memang supaya tidak ada tumpang tindih karena sudah ada wewenang masing-masing,” jelas Alvin pada Senin (15/7/2024).

Muncul dugaan saling lempar tanggung jawab dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Jeem mengklarifikasi bahwa, hal ini terjadi karena pelibatan banyak unit dalam menangani kasus, dan tidak hanya sekali selesai. 

“Ini terjadi karena kasus-kasus ini membutuhkan energi dan proses yang panjang, tidak hanya sekali selesai,” sebut Jeem.

Jeem menilai penanganan kasus kekerasan seksual yang diselesaikan oleh fakultas atau unit lain membawa dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya, kasus dapat diselesaikan tanpa meluas. Sedangkan dampak negatifnya, penyelesaian kasus tersebut tidak tercatat oleh Satgas.

Menurut Jeem, penyelesaian kasus kekerasan seksual yang tidak tercatat oleh Satgas disebabkan karena timnya luput untuk menanyakan dan melakukan penyaringan kepada fakultas atau unit tertentu. Penyaringan dilakukan untuk memastikan ada atau tidaknya kasus yang tidak terlaporkan.

Perbedaan pihak yang menangani kasus kekerasan seksual, juga disebabkan karena adanya tumpang tindih penanganan kasus yang diatur dalam Peraturan Disiplin Nomor 1 Tahun 2019. Kasus ringan dan sedang hanya ditangani oleh pihak fakultas, dan tidak sampai di universitas. Sedangkan untuk pelanggaran berat, hanya boleh ditangani oleh pihak universitas.

“Sayangnya, tindakan seperti ini sering kali diselesaikan secara internal di tingkat fakultas, sehingga tidak tercatat dengan baik,” jelas Jeem.

Rekrutmen Anggota Pergantian Antar Waktu 

Melalui laman instagram Satgas PPKS UII dan email blast UII, tim Satgas secara resmi mengumumkan rekrutmen anggota Pergantian Antar Waktu (PAW) dalam masa periode 2023-2025 yang belum selesai.

Anis menyebut rekrutmen anggota PAW berfungsi untuk menambah jumlah anggota agar lebih optimal. Bukan hanya mengisi anggota dan posisi yang kosong, namun juga berharap anggota Satgas dapat bertambah.

“Sehingga minimal ada tiga orang yang akan direkrut. Namun, kami berharap bisa menambah lebih dari tiga orang,” tambah Jeem.

Karena rekrutmen bersifat PAW, anggota baru yang masuk akan menggantikan anggota yang lama, dan melanjutkan tugas hingga Maret 2025. “Kebutuhan ini adalah untuk pengganti antar waktu, bukan untuk tim Satgas yang baru,” sebut Jeem.

Anis menambahkan, rekrutmen ini harapannya dapat menyaring calon anggota yang cakap desain dan surat-menyurat. Karena menurutnya, hal ini akan membantu untuk memenuhi sosialisasi Satgas PPKS UII yang ada pada konten instagram.

“Kami meminta portofolio (pendaftar) untuk membantu tugas-tugas tersebut,” lanjut Anis.

Uji publik calon anggota PAW sudah terlaksana pada 22 Juli 2024. Jeem mengonfirmasi terkait jumlah anggota Satgas PPKS UII saat ini sebanyak 12 orang, terdiri dari anggota pengurus dan calon anggota PAW yang direkomendasikan.

Calon anggota PAW Satgas PPKS UII terdiri dari tujuh anggota, yaitu dua dosen, dua tendik, dan tiga mahasiswa.

Anggota Satgas yang berjumlah 12 orang tersebut tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (3) Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 yang menyebut jumlah anggota Satgas harus gasal dengan minimal keanggotaan sebanyak lima orang. Keanggotaan Satgas yang diharuskan berjumlah gasal bertujuan untuk menghindari deadlock dalam pengambilan keputusan. 

Sementara ini, ketika terjadi deadlock dalam jumlah genap Jeem menyebut opsi, yaitu melibatkan pimpinan untuk memberikan pandangan atau keputusan akhir.

Permasalahan berlanjut pada rekrutmen anggota Satgas PPKS UII yang terdiri dari mahasiswa akhir. Peraturan yang tidak tegas dan jelas pada ketentuan rekrutmen calon anggota Satgas, menjadikan perekrutan anggota PAW bisa saja terjadi di setiap periode.

“Jika calon yang mendaftar hanya memiliki sisa waktu kuliah 1 atau 2 semester, kita tetap dapat mempertimbangkannya jika mereka memenuhi kriteria lainnya,” sebut Jeem.

Namun, Jeem menyanggah PAW hanya dibutuhkan berdasarkan signifikansi pengurangan anggota dan dampaknya terhadap kinerja tim. PAW dilakukan jika ada kebutuhan, bukan pada keinginan.

“Jika pekerjaan tidak terganggu secara signifikan, mungkin kita tidak perlu melakukan PAW atau reshuffle,” jelas Jeem.

Kinerja Satuan Tugas di Mata Mahasiswa

Faris menilai kinerja Satgas PPKS UII di kampus tidak terlaksana dengan optimal. Kurangnya sosialisasi Satgas PPKS UII menyebabkan eksistensinya masih kurang diketahui oleh mahasiswa. Hal tersebut berdampak pada pelapor atau korban kekerasan seksual yang kebingungan dalam pelaporan kasus.

Faris menambahkan bahwa lembaga kemahasiswaan, baik di tingkat universitas dan tingkat fakultas, menyediakan form aduan yang sifatnya rahasia. 

Hasil form yang berisikan aduan kasus kekerasan seksual di kampus, nantinya akan dilanjutkan dan dilaporkan untuk berkoordinasi dengan pihak universitas. Dalam hal ini, DPM atau LEM menjadi perantara dan pengawas kelanjutan proses penanganan kasus. 

Ketiadaan kerja sama antara Satgas PPKS UII dan lembaga kemahasiswaan serta proses penanganan yang lambat oleh Satgas, membuat DPM dan LEM melakukan penanganan kasus secara mandiri tanpa melibatkan Satgas PPKS UII, bukan berasal dari arahan atau koordinasi resmi.

“Karena ranah penyelesaian sebenarnya adalah tugas Satgas, upaya kami tidak (bisa) maksimal,” ungkap Faris.

Faris menganggap lembaga kemahasiswaan memiliki peran yang sangat penting, karena merupakan pihak yang langsung bersentuhan dengan mahasiswa.

“Perlu kita diskusikan bersama. Jangan sampai kita dianggap sebelah mata oleh lembaga ini (Satgas PPKS UII),” pungkas Faris.

Selaras dengan Faris, Akram (21) Ketua DPM Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB), merasa Satgas PPKS UII perlu menampakkan diri untuk membangun kepercayaan mahasiswa dengan mengadakan sosialisasi dan kolaborasi dengan organisasi atau lembaga-lembaga mahasiswa.

Menurut Akram, sosialisasi dan kolaborasi yang baik kepada mahasiswa akan menimbulkan testimoni yang baik berupa kepercayaan. Sehingga akan membantu Satgas PPKS UII semakin dikenal melalui rekomendasi atau saran dari pelapor atau korban.

“(Misalnya sebagai korban atau pelapor) aku bisa merekomendasikan Satgas PPKS, karena mereka memiliki tim yang profesional, yang tidak akan menghakimi atau menyalahkan,” jelas Akram kepada awak Himmah, Kamis (11/7/2024).

Hingga tulisan ini terbit, akun instagram @ppksuii hanya menerbitkan empat postingan dan memiliki 128 pengikut.

Alvin menyayangkan dengan banyaknya jumlah mahasiswa yang masih tidak mengetahui adanya Satgas PPKS UII dan tidak memahami sistem kinerja Satgas PPKS UII.

Alvin sendiri pernah menemui salah satu terduga korban kekerasan seksual. Sayangnya, korban tidak melapor ke Satgas PPKS UII dikarenakan tidak tahu.

“Mereka (Satgas PPKS UII) kan sebenarnya kayak diam-diam gitulah, kayak enggak terlalu yang masif (kuat) gitu. Bahkan kalau bisa dikatakan, Satgas ini sendiri enggak ada semacam exposure (dikenal) yang cukup,” sambung Alvin kepada awak Himmah.

Reporter: Himmah/Subulu Salam, Nurul Wahidah, Septi Afifah, Ibrahim.

Editor: R. Aria Chandra Prakosa.