Beranda blog Halaman 4

Analisis Wacana dalam Pembentukan Teori dari Buku Tiada Ojek di Paris

Tiada Ojek di Paris karya Seno Gumira Ajidarma adalah sebuah kompilasi tulisan yang mengamati kehidupan urban di Jakarta, dengan lensa yang kritis dan penuh nuansa. Buku ini, yang terdiri dari berbagai esai yang awalnya diterbitkan dalam dua buku berbeda, yaitu Affair dan Kentut Kosmopolitan, serta beberapa kolom dari majalah Djakarta!, memberikan pandangan mendalam tentang kompleksitas kota besar dan dinamika sosial di dalamnya. Melalui buku ini, Mas Seno tidak hanya merekam fenomena sosial tetapi juga menawarkan refleksi kritis terhadap wacana dominan yang ada. Tulisan ini akan menganalisis wacana dan teori-teori yang terbentuk dalam buku tersebut, dengan fokus pada bagaimana Mas Seno yang memetakan kota Jakarta dalam konteks urbanisasi modern dan global.

Konteks dan Kategori Kota dalam Kajian Budaya

Mas Seno memulai buku kumpulan esai ini dengan membedah konsep kota dalam kajian budaya, khususnya dalam konteks modernitas. Ia mengategorikan kota menjadi tiga tipe utama : Inner City, Postmodern City, dan Global City. Inner City merujuk pada kota modern Anglo-Amerika, yang sering kali terfragmentasi berdasarkan kelas sosial dan ekonomi. Postmodern City, seperti yang terlihat pada perkembangan Los Angeles, dicirikan oleh restrukturisasi ekonomi dan sosial yang kompleks, dengan kombinasi antara industri teknologi tinggi dan pekerjaan berketerampilan rendah. Sementara itu, Global City menggambarkan pusat-pusat ekonomi dunia yang memainkan peran kunci dalam sistem kapitalisme global.

Dalam kerangka ini, Mas Seno menempatkan Jakarta sebagai sebuah entitas yang berusaha menemukan identitasnya di tengah proses urbanisasi yang cepat dan seringkali kacau. Melalui tulisan-tulisannya, ia mengajak pembaca untuk merenungkan posisi Jakarta, apakah ia termasuk dalam kategori Inner City, Postmodern City, atau Global City? Pertanyaan ini menjadi landasan untuk memahami dinamika sosial dan ekonomi yang membentuk kota Jakarta.

Salah satu elemen penting dalam tulisan-tulisan di buku ini adalah kritik terhadap wacana dominan. Dalam buku ini, Mas Seno seringkali menggunakan perspektif kritis untuk menguji asumsi-asumsi yang diterima begitu saja oleh masyarakat urban. Sebagai contoh, dalam esai “Manusia Jakarta, Manusia Mobil”, yang mengkritik ketergantungan masyarakat Jakarta pada kendaraan pribadi, yang tidak hanya menciptakan kemacetan tetapi juga menggambarkan ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi. Mobil, dalam pandangan Mas Seno, menjadi simbol status yang memperkuat stratifikasi sosial di kota.

Di sisi lain, Mas Seno juga mengeksplorasi tema keterasingan di kota besar. Ia menggambarkan bagaimana kehidupan urban yang serba cepat dan penuh tekanan bisa menyebabkan rasa terasing dan kehilangan makna. Melalui narasi ini, ia mengajak pembaca untuk merenungkan makna hidup di kota besar dan bagaimana individu-individu berusaha menemukan identitas dan koneksi sosial di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota.

Fragmentasi Sosial dan Ekonomi

Mas Seno juga menyoroti fragmentasi sosial dan ekonomi yang terjadi di Jakarta. “Teater Absurd Permudikan” telah menggambarkan bagaimana fenomena mudik, yang merupakan ritual tahunan bagi banyak warga Jakarta, mencerminkan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial di kota. Orang-orang yang mudik seringkali berasal dari kelas menengah ke bawah, yang merasa terpinggirkan di kota besar dan mencari penghiburan dan identitas di kampung halaman mereka. Fenomena ini menunjukkan bagaimana Jakarta sebagai kota besar tidak mampu menyediakan rasa memiliki dan kesejahteraan bagi semua warganya.

Fragmentasi ini juga terlihat dalam “Antara New York dan Jakarta”, di mana Mas Seno membandingkan dua kota besar yang memiliki karakteristik berbeda namun menghadapi tantangan yang mirip. Ia menggambarkan bagaimana ketidakadilan sosial dan ekonomi menciptakan segregasi di kedua kota, dengan kelompok elit yang hidup dalam kemewahan sementara mayoritas penduduk berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Melalui perbandingan ini, Mas Seno menyoroti pentingnya memahami konteks lokal dalam menganalisis fenomena urbanisasi global.

Salah satu aspek yang menarik dalam buku ini adalah eksplorasi terhadap budaya dan identitas urban. Mas Seno menggambarkan bagaimana elemen-elemen budaya tradisional masih memiliki tempat dalam kehidupan urban yang modern. Seruling bambu, sebagai simbol budaya tradisional, berfungsi sebagai pengingat akan akar dan identitas masyarakat di tengah arus modernisasi yang deras.

Di sisi lain, Mas Seno juga mengeksplorasi fenomena budaya populer dengan menuliskan persoalan mengenai bagaimana tempat-tempat seperti starbucks menjadi ruang pertemuan bagi kelas menengah urban, yang mencari identitas dan koneksi sosial di tengah lingkungan yang serba komersial. Fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya populer dan konsumsi memainkan peran penting dalam membentuk identitas urban.

Untuk menganalisis tulisan-tulisan pada buku ini, kita dapat menggunakan beberapa teori dan pendekatan analitis dari kajian budaya dan sosiologi. Salah satunya adalah teori poskolonial, yang dapat membantu kita memahami bagaimana Jakarta sebagai kota postkolonial menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi. Dalam konteks ini, Jakarta dapat dilihat sebagai ruang yang berjuang untuk mendefinisikan identitasnya sendiri di tengah pengaruh budaya dan ekonomi global.

Selain itu, teori-teori tentang fragmentasi sosial dan ekonomi, seperti yang dikemukakan oleh sosiolog seperti Zygmunt Bauman dan Manuel Castells, juga relevan untuk menganalisis tulisan-tulisan di buku ini. Zygmunt Bauman dalam konsep “masyarakat cair”, menggambarkan bagaimana ketidakpastian dan ketidakstabilan menjadi ciri khas kehidupan modern. Sementara itu Manuel Castells, dalam “theory of the network society”, menunjukkan bagaimana teknologi dan globalisasi menciptakan jaringan-jaringan sosial dan ekonomi yang kompleks. Teori-teori ini dapat membantu kita memahami dinamika sosial dan ekonomi yang digambarkan Mas Seno dalam tulisannya.

Kehidupan Jalanan dan Identitas Kolektif

Kehidupan jalanan di Jakarta, seperti yang digambarkan dalam beberapa esai, merupakan cerminan dari identitas kolektif masyarakat urban. Di tulisan “Kampung di Tengah Kota”, Mas Seno menyoroti bagaimana kampung-kampung di Jakarta berfungsi sebagai ruang sosial yang vital, meskipun seringkali terpinggirkan oleh pembangunan modern. Kampung, dalam pandangannya, adalah tempat di mana identitas kolektif terbentuk dan diperkuat melalui interaksi sehari-hari.

Identitas kolektif ini juga tampak dalam tulisan “Anak Jalanan”. Di sini, Mas Seno mengisahkan kehidupan anak-anak yang tumbuh di jalanan Jakarta, yang meskipun hidup dalam kondisi yang keras dan penuh tantangan, tetap menunjukkan semangat kolektif dan solidaritas yang kuat. Anak-anak ini, dalam narasinya adalah cerminan dari semangat kota yang tidak pernah padam, meskipun dihadapkan pada berbagai kesulitan.

Salah satu tema utama dalam karya Mas Seno ini, adalah tentang individu dan kelompok di Jakarta beradaptasi dan melawan tantangan yang mereka hadapi. Masyarakat Jakarta menggunakan ruang publik sebagai arena perlawanan dan ekspresi. Demonstrasi dan protes jalanan menjadi cara bagi warga kota untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah dan ketidakadilan sosial.

Di sisi lain, Mas Seno juga mengeksplorasi bagaimana masyarakat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Ia menjelaskan perihal pedagang kaki lima dan pekerja informal lainnya yang berusaha bertahan hidup di tengah persaingan yang ketat dan regulasi yang tidak selalu mendukung. Melalui narasi ini, Mas Seno menunjukkan bahwa adaptasi dan perlawanan adalah dua sisi dari koin yang sama dalam kehidupan urban.

Buku ini juga menyoroti peran teknologi dalam mengubah dinamika sosial di Jakarta. Teknologi digital, seperti internet dan media sosial, mengubah cara orang berinteraksi dan berkomunikasi. Teknologi ini, dalam pandangannya, menciptakan peluang baru sekaligus tantangan baru bagi masyarakat urban.

Tak luput, Mas Seno acapkali mengkritik dampak negatif teknologi terhadap kehidupan sosial. Jika merunut pada esai “Manusia Virtual”, ia menggambarkan bagaimana ketergantungan pada teknologi dapat menyebabkan keterasingan dan kehilangan makna dalam interaksi sosial. Manusia, dalam narasinya, menjadi semakin terhubung secara digital tetapi terisolasi secara emosional dan sosial.

Representasi Kota dalam Media dan Sastra

Mas Seno juga mengkritisi bagaimana kota Jakarta direpresentasikan dalam media dan sastra. Pada esai “Jakarta dalam Film”, telah dianalisis bagaimana kota ini digambarkan dalam berbagai film Indonesia. Representasi ini, seringkali memperkuat stereotip dan stigma tertentu tentang kota dan penghuninya. Film, sebagai media populer, memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi publik tentang realitas sosial. Melalui analisis kritis terhadap representasi Jakarta dalam film, Mas Seno menunjukkan bagaimana narasi dominan dapat mempengaruhi cara kita memahami kota dan identitas urban.

Selain film, Mas Seno juga mengeksplorasi representasi kota dalam sastra. Tulisannya menyoroti penulis-penulis Indonesia dalam menggambarkan kehidupan urban pada karya-karya mereka. Sastra urban, dalam pandangan Mas Seno, merupakan medium yang penting untuk merefleksikan kompleksitas dan dinamika kehidupan kota. Melalui karya sastra, penulis dapat menyuarakan pengalaman-pengalaman yang seringkali terabaikan dalam diskursus publik.

Mas Seno ikut mengkaji fenomena urbanisasi dan modernisasi yang terjadi di Jakarta. Kritikan soal bagaimana proses urbanisasi yang tidak terencana dengan baik dapat menyebabkan berbagai masalah sosial dan ekonomi. Urbanisasi yang cepat dan tidak terkontrol, dalam pandangannya, menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan yang mencolok.

Namun, perlu juga melihat peluang dalam proses urbanisasi dan modernisasi. Telah tergambar bagaimana modernisasi dapat membawa perubahan positif bagi masyarakat urban, asalkan dikelola dengan bijaksana. Modernisasi, dalam narasinya, bukan hanya tentang pembangunan fisik tetapi juga tentang transformasi sosial dan budaya.

Untuk menganalisis lebih dalam, kita dapat mengaplikasikan teori poskolonialisme dan teori jaringan (network theory). Poskolonialisme, sebagai kerangka analitis, membantu kita memahami bagaimana Jakarta, sebagai kota pascakolonial, menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi. Dalam konteks ini, Jakarta bisa dilihat sebagai ruang yang terus bernegosiasi dengan warisan kolonial dan pengaruh global.

Sementara itu, teori jaringan yang dikemukakan oleh Manuel Castells memberikan perspektif tentang bagaimana teknologi dan globalisasi menciptakan jaringan-jaringan sosial dan ekonomi yang kompleks. Dalam “theory of the network society“, Manuel Castells menggambarkan bagaimana ruang dan waktu dikonfigurasi ulang oleh teknologi informasi, menciptakan dinamika sosial yang baru. Pendekatan ini relevan untuk memahami bagaimana Jakarta, sebagai bagian dari jaringan global, berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan global dan lokal.

Sebagai kelanjutan, dengan menyentuh aspek gender dalam konteks urbanisasi. Yang tertulis pada “Perempuan di Kota”, ia mengeksplorasi bagaimana urbanisasi mempengaruhi kehidupan perempuan di Jakarta. Perempuan, dalam narasinya, seringkali menghadapi tantangan ganda: di satu sisi, mereka harus beradaptasi dengan tuntutan kehidupan urban yang cepat; di sisi lain, mereka juga harus menghadapi norma-norma sosial yang masih patriarkal.

Ini telah menunjukkan bagaimana perempuan di Jakarta berjuang untuk mendapatkan ruang dan suara mereka di tengah dinamika kota yang seringkali tidak ramah terhadap mereka. Dalam konteks ini, perlawanan dan adaptasi menjadi tema yang menonjol, dengan perempuan yang mencari cara untuk menavigasi dan mengubah struktur sosial yang ada.

Buku ini menggambarkan bagaimana proses globalisasi membawa dampak yang signifikan terhadap cara orang memahami dan mengartikulasikan identitas mereka. Globalisasi, dalam pandangannya, menciptakan peluang untuk pertukaran budaya dan ekonomi, tetapi juga menimbulkan tantangan bagi identitas lokal.

Mas Seno telah mengeksplorasi bagaimana masyarakat Jakarta berusaha mempertahankan identitas lokal mereka di tengah arus globalisasi yang deras melalui esai “Kuliner Lokal dan Globalisasi”, misalnya, Ia mengambil sampel makanan lokal yang kerap menjadi bagian dari salah satu cara bagi masyarakat untuk mempertahankan dan merayakan identitas mereka. Kuliner, dalam perspektifnya telah menjadi medan pertempuran antara tradisi dan modernitas, lokal dan global.

Mas Seno memaparkan soal bagaimana budaya populer dapat menjadi alat bagi individu dan kelompok untuk mengekspresikan identitas mereka dan menantang norma-norma sosial yang ada. Misalnya, bagaimana musik jalanan menjadi medium bagi kaum muda untuk menyuarakan aspirasi dan protes mereka terhadap ketidakadilan sosial.

Pembangunan infrastruktur adalah salah satu isu penting dalam urbanisasi. Mas Seno mengkritik bagaimana proyek-proyek infrastruktur seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang lebih luas. Proyek-proyek ini, dalam pandangannya, seringkali memperparah ketimpangan sosial dan mengabaikan kebutuhan masyarakat lokal.

Namun, perlu juga melihat potensi positif dari pembangunan infrastruktur, asalkan dilakukan dengan cara yang inklusif dan berkelanjutan. Pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dapat membawa manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya bagi kelompok elit. Pembangunan infrastruktur, dalam narasinya, haruslah menjadi alat untuk menciptakan kesejahteraan sosial dan bukan sebaliknya.

Tiada Ojek di Paris merupakan sebuah karya yang kaya dengan observasi dan refleksi tentang kehidupan urban di Jakarta. Melalui tulisan-tulisannya, Seno Gumira Ajidarma tidak hanya merekam fenomena sosial tetapi juga menawarkan kritik dan analisis yang mendalam terhadap wacana dominan. Dengan menggunakan berbagai teori dan pendekatan analitis, kita jadi dapat lebih memahami kompleksitas kota Jakarta dan tantangan yang dihadapinya dalam proses urbanisasi dan globalisasi.

Buku ini berhasil mengajak pembaca untuk merenungkan makna menjadi urban dan bagaimana individu dan kelompok berjuang untuk menemukan identitas dan koneksi sosial di tengah arus modernisasi yang deras. Dengan gaya naratif deskriptifnya, Tiada Ojek di Paris menunjukkan bahwa kota adalah lebih dari sekadar ruang fisik. Kota adalah entitas yang hidup, dengan dinamika sosial dan budaya yang kompleks. Melalui esai-esainya, Mas Seno telah berhasil mengajak kita untuk melihat kota dengan lebih kritis dan reflektif, menyadari bahwa di balik setiap sudut dan jalanan, terdapat cerita-cerita tentang perjuangan, adaptasi, dan perlawanan.

Buku ini, dengan segala kekayaan wacananya, adalah sebuah simbolik dari ajakan untuk melihat kota dengan kacamata yang baru, untuk mendengarkan cerita-cerita yang tersembunyi di balik gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan yang padat. Melalui Tiada Ojek di Paris, Seno Gumira Ajidarma mengajak kita untuk menjadi lebih sadar dan peka terhadap dinamika sosial dan budaya di sekitar kita, dan untuk berkontribusi dalam menciptakan kota yang lebih adil dan manusiawi bagi semua warganya.

Menelusuri Umpan Balik Mahasiswa dalam Survei Kinerja Dosen

Meski dirancang untuk meningkatkan kualitas pendidikan, survei kuesioner kinerja dosen di UII menunjukkan adanya kesenjangan dalam distribusi dan tindak lanjut hasil evaluasi. Pertanyaan muncul mengenai seberapa efektif sistem ini dalam mendorong perubahan nyata dalam kualitas pengajaran.

Himmah Online – Siang yang sejuk di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Farhan (20) baru saja menyelesaikan kelas kuliahnya. Ia kecewa terhadap kualitas kinerja mengajar dosen yang mengampu mata kuliahnya. “Aku rasa kalau dia (dosennya) ini terlalu fokus cerita gitu di kelas, ga merhatiin anak-anak (mahasiswa). Nggak banyak tanya (interaksi dengan mahasiswa), sehabis cerita, kelas berakhir,” keluhnya.

Pada Kamis 4 Januari 2024, Farhan mengisi dua survei kuesioner mengenai Nilai Kinerja Mengajar Dosen (NKMD). Pertama, NKMD Mata Kuliah Wajib Universitas (MKWU), kedua NKMD Mata Kuliah Program Studi (MKP).

Usai liburan semester, Farhan mengambil mata kuliah wajib yang diampu oleh dosen yang ia nilai kurang dalam kualitas kinerja mengajarnya. Ia kembali kecewa. Kualitas kinerja mengajar dosen tersebut stagnan. Tidak ada perubahan dalam metode mengajarnya, interaksinya, semuanya.

Berangkat dari keluhan tersebut, awak Himmah menelusuri bagaimana cara kerja evaluasi survei kuesioner kinerja mengajar dosen ini.

Penilaian MKWU

Kuesioner NKMD MKWU diselenggarakan oleh Direktorat Layanan Akademik (DLA). Tujuannya untuk mengukur kinerja dosen selama pembelajaran MKWU berlangsung. Parameter pengukuran kinerja dosen tersebut dibuat oleh Badan Penjamin Mutu (BPM) yang bertanggungjawab dalam pembangunan, pelaksanaan dan pengembangan Sistem Penjamin Mutu di UII.

“DLA itu kepanjangan tangan dari BPM untuk menyebarkan (kuesioner NKMD MKWU) ke mahasiswa (MKWU),” tutur Sofwan Hadikusuma, Kepala Divisi Perkuliahan Terpadu DLA saat diwawancarai awak Himmah pada Kamis (4/7/2024) di Kantor DLA.

Data yang terkumpul dari hasil survei kuesioner NKMD MKWU direkap oleh DLA. DLA melihat dosen mana yang memiliki penilaian tertinggi dari mahasiswa. Dosen yang mendapatkan penilaian tinggi akan diberi penghargaan olehnya.

Selebihnya, data akan didistribusikan kepada dosen. Namun, data hanya diberikan atas permintaaan dosen terkait saja. Apabila dosen tidak memintanya, maka data tidak akan dibagikan.

“Kadang kan ada dosen yang memang dia butuh untuk melihat itu (data NKMD MKWU), tapi ada dosen yang, yaudah yang penting ngajar. Udah selesai. Dan persiapan untuk semester berikutnya,” jawab Sofwan ketika ditanya mengenai distribusi data kuesioner NKMD MKWU bagi dosen yang tidak meminta.

DLA tidak melakukan evaluasi terhadap dosen yang mendapatkan penilaian minim dari mahasiswa. Alasannya sederhana, DLA segan terhadap dosen terkait. “Yang (peringkat) bawah itu nggak diumumkan (di evaluasi semester), karena yang di (peringkat) bawah kasihan nanti,” ucap Sofwan.

Penilaian MKP

Pada tingkat Program Studi (Prodi), penilaian dosen dilakukan secara terpisah. Penilaian dosen diakomodir oleh masing-masing Divisi Akademik Fakultas. Hal tersebut dibenarkan oleh Fariyanto, Kepala Divisi (Kadiv) Akademik Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) yang diwawancarai awak Himmah pada hari Selasa (16/7/2024).

“Jadi kalau di fakultas itu memang yang lebih tepat (penyelenggaranya) di bagian akademik ya.”

Fariyanto menjelaskan bahwa fakultas memiliki kanalnya sendiri dalam menyajikan kuesioner NKMD MKP. Sebagai contoh, FPSB memiliki portal sendiri dalam menyebarkan kuesioner tersebut, yakni FPSB Gateway.

Senada dengan itu, Kepala Divisi Akademik Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE), Edi Haryono mengungkapkan bahwa untuk mengisi kuesioner NKMD MKP, sivitas akademika FBE mengisi di FBE Gateway. 

Hal tersebut menunjukan bahwa survei kuesioner NKMD MKWU dan NKMD MKP tidak terintegrasi. Keduanya terpisah dan berada di kanal yang berbeda.

Fariyanto menjelaskan bahwa ketika kedua kuesioner tersebut disatukan dalam satu portal, pihak akademik fakultas kesulitan dalam mengelolanya. “Kita kesulitan, harus ke BSI (Badan Sistem Informasi) lah, bikin surat lah dan sebagainya. Itu lebih ribet,” ucapnya. 

Terhadap dosen tetap dan tidak tetap, UII mempunyai pengukurannya masing-masing. Untuk dosen tetap, akan muncul nilai akhir yang disebut dengan Nilai Kinerja Dosen (NKD). Sementara itu, nilai akhir dari dosen tidak tetap hanya muncul NKMD saja.

NKD mengharuskan dosen tetap menyelenggarakan Catur Dharma pendidikan yang meliputi: pendidikan dan pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan dakwah islamiyah. Dan juga, komponen lain dari NKD adalah NKMD itu sendiri.

NKMD terdiri dari beberapa aspek penilaian, di antaranya: jumlah kehadiran dosen, ketepatan pengumpulan nilai, kesesuaian dengan Satuan Acara Perkuliahan dan Rancangan Pembelajaran Semester (SAP/RPS), dan persepsi mahasiswa terkait pengajaran dosen melalui survei. 

Kadiv Akademik Fakultas tidak melakukan proses evaluasi terhadap dosen. Kadiv Akademik hanya bertugas mengumpulkan data penilaian. “Jadi tindak lanjutnya di tingkat prodi, kalau kami di sini ya pelaksanaan,” jawab Fariyanto

Evaluasi Prodi

Awak Himmah mewawancarai beberapa ketua program studi (Kaprodi) terkait bagaimana tindak lanjut prodi terhadap hasil data yang sudah terkumpul. Beberapa di antara mereka adalah Kaprodi Hubungan Internasional, Ekonomi Islam, dan Ahwal Syakhshiyah

Secara umum, prodi akan menerima hasil data mengenai survei kuesioner NKMD MKP dari Divisi Akademik Fakultas terkait. Data tersebut akan dibawa ke rapat evaluasi semesteran yang diselenggarakan oleh prodi. 

Rheyza Virgiawan, Kaprodi Ekonomi Islam menjelaskan bahwa, rapat evaluasi semester adalah ruang untuk menyampaikan NKMD setiap dosen. Pada rapat tersebut dipaparkan evaluasi dari aspek-aspek penilaian dari NKMD.

Ia mencontohkan; jumlah pertemuan perkuliahan seringkali tidak sesuai dengan jumlah minggu yang seharusnya.  Dengan demikian, ia akan mengimbau kepada setiap dosen untuk meminimalkan kelas pengganti. Karena hal tersebut menjadi bagian dari penilaian kinerja dosen. 

“Jadi nggak bisa juga dosen seenaknya, ganti hari ganti pertemuan, itu nggak bisa,” tegasnya dalam wawancara bersama awak Himmah pada Kamis 20 Juni 2024 di Gedung prodi Ekonomi Islam

Rheyza melakukan evaluasinya melalui beberapa tahap. Ketika ditemukan performa mengajar dosen menurun, pihaknya akan menghubunginya secara pribadi. Namun, ketika hal tersebut masih berulang, pihaknya akan memberikan surat peringatan. Selain itu, sanksi terberat yang akan ia lakukan jika masih tidak ada perubahan; akan membebaskan dosen dari mata kuliahnya.

Sementara itu, Karina Utami Dewi, Kaprodi Hubungan Internasional menjelaskan bahwa rekap penilaian MKP dari Divisi Akademik akan dibahas dalam rapat rutin prodi. Jika ada temuan kinerja mengajar buruk, seperti pembimbingan mahasiswa dinilai kurang optimal, Kaprodi menyarankan agar pembimbing meningkatkan interaksi dengan mahasiswa melalui fasilitas yang tersedia di prodi.

Ketika ada masalah spesifik terkait kinerja dosen individu, pendekatan personal dilakukan. Ketua prodi atau staf terkait akan menghubungi dosen tersebut untuk memverifikasi dan mencari solusi, tanpa mengangkatnya di forum rapat, demi menjaga etika.

“Paling kita seperti itu (kerja evaluasinya),” ucap Karina pada Rabu 3 Juli 2024.

Sementara itu, Krismono, Kaprodi Ahwal Syakhshiyah, memaparkan bahwa Divisi Akademik Fakultasnya kerap kali tidak memberikan data kuesioner tersebut ke prodi. “Kadang pernah dikasih, kadang nggak gitu loh, nggak teratur gitu,” ujar Krismono pada Senin 24 Juni 2024.

Hal tersebut mengakibatkan pihaknya dalam melakukan evaluasi tidak hanya berbasis dari data Divisi Akademik Fakultas, melainkan pihaknya berusaha untuk menelusuri langsung keluhan dari mahasiswa.

Krismono mengkritik bagaimana Divisi Akademik Fakultas melakukan penelusuran data. Ia menyebut bahwa metode angket yang digunakan Divisi Akademik Fakultas hanya berkutat pada ranah kuantitatif. Ia menilai, penting bahwa survei yang dilakukan juga menggunakan pendekatan kualitatif.

Dengan demikian, pihaknya menyelenggarakan Public Hearing. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan data kualitatif dari mahasiswa untuk memberikan masukan kepada prodi. 

“Kualitatif itu berdasarkan wawancara, bukan angket. Dan itu akan lebih mengena karena kita bisa interaksi. Bisa diskusi,” ujarnya.

Reporter: Himmah/Abraham Kindi, Agil Hafiz, Ayu Salma, Putri Cahyanti, Queena Chandra, Sofwan Fajar

Editor: R. Aria Chandra Prakosa

*Naskah ini mengalami penyesuaian, dengan memperbarui foto ilustrasi naskah. Sebelumnya terjadi kesalahan teknis dalam pengunggahan foto ilustrasi. Sehingga foto ilustrasi ini perlu diperbarui.

Asa Penambang Pasir di Desa Turgo

Foto dari atas area bekas lahar dingin yang digunakan masyarakat untuk menambang pasir. Foto: Faqih
Seorang warga yang menambang pasir dengan peralatan sederhana. Foto: Himmah/Agil Hafiz
Seorang warga tengah mengangkut pasir untuk dimuat ke dalam truk. Foto: Himmah/Agil Hafiz
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Truk mengangkut pasir. Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Pak Mujimin (kiri) dan Bu Sumiyem (kanan), warga lokal yang menambang pasir sebagai sumber penghasilannya. Foto: Himmah/Agil Hafiz
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Warga lokal penambang pasir membeli makanan di sela aktivitasnya. Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Warga lokal sedang menambang pasir. Foto: Faqih
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Bayu (25) salah satu warga lokal yang sedang bertugas di shelter menjaga pintu masuk dan keluar area tambang. Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Aktivitas lahar merapi masih aktif yang dapat dilihat saat malam hari dari pos pantau merapi dengan jarak 6 km, Turgo. Foto: Himmah/Subulu Salam

Himmah OnlineSejak 5 November 2020, Gunung Merapi ditetapkan statusnya oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menjadi level 3 atau siaga. Melansir dari siaran TvOne di kanal YouTube-nya pada Kamis (10/10) lalu, lahar merah Gunung Merapi masih terlihat jelas. 

Berawal dari kunjungan awak Himmah menemui Boy T Harjanto, seorang fotografer sekaligus pemantau Gunung Merapi pada Selasa (10/9), di Pos Pantau Merapi, Desa Turgo, Kecamatan Turi, yang hanya berjarak enam kilometer dari Gunung Merapi. Memantik awak Himmah untuk memotret lebih jelas aktivitas Gunung Merapi.

Boy menyampaikan, meskipun Gunung Merapi statusnya sudah menjadi siaga, masyarakat di sekitar Gunung Merapi masih beraktivitas seperti biasanya, salah satunya adalah menambang pasir di area sungai lahar dingin Gunung Merapi.

Jumat pagi (18/10), awak Himmah bertolak ke area pertambangan pasir di desa Turgo. Di sana awak Himmah menemui beberapa warga lokal yang sedang beraktivitas. Salah satunya adalah Bayu (25), seorang pemuda warga lokal yang bertugas menjaga pintu masuk dan pintu keluar shelter

Menambang pasir termasuk salah satu mata pencaharian masyarakat Turgo, selain beternak dan berkebun. Hal tersebut yang menjadikan masyarakat masih aktif menambang pasir walaupun status Gunung Merapi siaga. 

Menurut Bayu, jarak area tambang dengan Gunung Merapi berada pada jarak aman. “Mau nggak mau (menambang) ya mas, kan ini masih radius aman,” ucap Bayu kepada awak Himmah.

Bayu menambahkan, warga yang akan menambang berdatangan saat portal dibuka pada pukul 06:30 pagi. Lalu, portal akan ditutup saat truk pengangkut pasir terakhir telah pergi.

Sebagai penjaga shelter, Bayu bertugas untuk memperingatkan warga penambang pasir untuk segera berhenti dan menyelamatkan diri jika ada peningkatan aktivitas Gunung Merapi. Menurutnya, selama ini warga selalu mengikuti arahannya.

Ga, ga ada (yang menolak arahan) mas,” jelas Bayu.

Warga lokal lainnya yang kami temui adalah Pak Mujimin dan Bu Sumiyem. Mereka berprofesi sebagai penambang pasir sejak lima tahun lalu. Mujimin menyebutkan penambangan pasir hanya diperuntukkan warga lokal dengan alat manual dan tidak diizinkan bagi perusahaan yang membawa alat berat. Perusahaan hanya diberikan akses untuk mengirimkan truk-truk pengangkut pasir.  

Pegawai lak niku pun wonten bayare nek mboten, sing tiyang masyarakat lah nggeh mboten saged kados gaji, (red- pegawai seperti itu sudah dapat bayaran, sedangkan masyarakat tidak bisa mendapatkan gaji)” tutur Mujimin.

Bayu menyebut setidaknya warga akan mendapatkan biaya upah sekitar 50 ribu – 100 ribu sesuai dengan volume dan jumlah truk yang diisi. Dan umumnya, satu truk akan dipenuhi empat sampai lima orang. 

Mujimin menyampaikan perizinan penambangan pasir dipegang oleh warga lokal dan selama ini, menurutnya belum ada perusahaan yang diizinkan. “Mangke masyarakat nggih mboten entuk nopo nopo, nanti masyarakat ajeng makarya ten pundi ngoten niku, (red-nanti masyarakat ya tidak dapat apa-apa, nanti masyarakat akan kerja di mana kalau seperti itu)” jelas Mujimin.

Selama ini, terkait informasi, sosialisasi aktivitas dan status Gunung Merapi disampaikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan disiarkan ke warga. Tetapi, Mujimin sebagai penambang pasir tidak hanya mengetahui status Gunung Merapi dari BMKG saja, ia juga mengetahui aktivitas Gunung Merapi dari pengamatannya sendiri dengan melihat aktivitas Gunung Merapi.

“Pun saben dinten (menambang) ngoten niku, jadine mpun ngerti gerak-gerik e Merapi, (red-sudah setiap hari seperti itu, jadinya sudah tahu gerak-geriknya Gunung Merapi)” ujar Mujimin.

Reporter: Himmah/Subulu Salam, Queena Chandra, Agil Hafiz, Abraham Kindi, Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Staf Himmah/Fauzan Febrivo Azonde

Editor: Abraham Kindi

Dua Wajah Jokowi, Dua Periode Penuh Melodrama Kekuasaan dan Tantangan Kebebasan Berekspresi

Himmah online -Sepuluh tahun Jokowi memerintah terjadi banyak kecacatan mulai dari cacat sejarah, cacat konstitusi dan cacat moral budaya. Hal ini kemudian kembali dibahas pada Srawung Demokrasi dengan tajuk 10 Tahun Jokowi: Dua Wajah Melodramatik.

Acara ini menghadirkan Garin Nugroho, Budayawan, Sineas, dan Pengamat Politik, Masduki, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD), dan Sanaullaili, Inisiator Forum Cik Ditiro dan dilaksanakan di Gedung Kuliah Umum Sardjito, Universitas Islam Indonesia (UII) pada Selasa, (22/10).

Dalam forum ini, Masduki menyampaikan permasalahan yang diwariskan dari pemerintahan Jokowi ialah represifitas kebebasan berekspresi, sehingga masyarakat takut untuk beroposisi. 

“Untuk saat ini masyarakat tidak ada yang berani berkata ‘tidak’,” ungkap Masduki.

Selama sepuluh tahun Jokowi memainkan perannya sebagai presiden. Pada lima tahun pertama, Jokowi tampil dengan sosok merakyat dan memberikan citra positif. Lima tahun berikutnya, citra positif Jokowi kemudian luntur sebab aksi-aksinya yang bertentangan. Salah satunya dengan meloloskan anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden. 

Masduki menjelaskan dalam teori komunikasi terdapat dua konsep, yaitu front stage dan backstage. Seseorang dapat menunjukan citra baik di depan panggung, namun di belakang panggung hal ini dapat berlaku sebaliknya. 

“Orang bisa memainkan dua peran yang berbeda, tergantung pada konteksnya,” jelas Masduki. 

Garin Nugroho menyampaikan, sebagai sutradara ia melihat manusia sebagai karakter film. Ia mengandaikan Jokowi sebagai raksasa berwajah rakyat sementara Prabowo sebagai raksasa militer. Hal inilah yang kemudian membuat ia enggan untuk memilih keduanya pada pemilihan umum (pemilu) di dua periode (red. 2014-2019).

“Saya merasa tidak yakin dengan keduanya. Raksasa itu selalu berwajah dua. Mereka bisa menjadi baik, atau bisa berubah menjadi buruk. Itulah sebabnya saya memutuskan untuk golput,” ungkap Garin.

Dalam bukunya yang berjudul Negara Melodrama, Garin memperkirakan bahwa Jokowi dan Prabowo akan bekerja sama di masa depan. Prediksi ini kemudian menjadi nyata, dibuktikan dengan masuknya Prabowo ke dalam Kabinet Indonesia Maju. 

“Pada tahun 2018, saya sudah memprediksi bahwa Jokowi dan Prabowo akan duduk bersama, dan ternyata prediksi saya benar,” ujar Garin.

Garin menganalogikan drama pemilu seperti hiburan dalam opera sabun, yang mana tokoh jahat menjadi jahat dan tokoh baik menjadi baik. masyarakat seperti menikmati melodrama yang dimainkan Jokowi dan Prabowo saat pemilu.

Namun, pemerintahan tidak boleh menjadi hiburan semata seperti melodrama. Negara bukanlah drama di atas panggung, yang mana aktor bisa berubah-ubah peran.

“Di belakang maupun di depan panggung, seorang pemimpin harus menjaga karakter asli negarawannya,” pungkas Garin.

Reporter: Himmah/Queena Chandra, Abraham Kindi, Septi Afifah, Staf Himmah/M. Alvito Dwi Kurnianto, Muhammad Beltsazar Rosaldi.

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Tampil Apik, MB UII pada Kejuaraan Marching Band Piala Raja Hamengkubuwono Cup 2024

Drum Major Marching Band (MB) Universitas Islam Indonesia (UII) tengah memimpin band pada kejuaraan MB Piala Raja Hamengkubowono Cup 2024, di Gor Among Rogo, Yogyakarta, pada Sabtu (19/10). Foto: Himmah/Subulu Salam
Personil Color Guard MB UII melempar bendera ke atas saat penampilan pada kejuaraan MB Piala Raja Hamengkubowono Cup 2024, di Gor Among Rogo, Yogyakarta, Sabtu (19/10). Foto: Himmah/Subulu Salam
Personil Color Guard MB UII tengah melakukan aksi tari pada kejuaraan MB Piala Raja Hamengkubowono Cup 2024, di Gor Among Rogo, Yogyakarta, Sabtu (19/10). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Personil woodwind MB UII meniup terompet yang disaksikan oleh penonton pada kejuaraan MB Piala Raja Hamengkubuwono Cup 2024, di Gor Among Rogo, Yogyakarta, Sabtu (19/10). Foto: Himmah/Subulu Salam

Tinta dari Darah Pahlawan dan Puisi Lainnya

0

Di bawah langit Nirmala,
Menetes darah yang tak usai,

Menjadi tinta pahlawan,
Tuk menuliskan banyak riwayat perjalanan.

Di tanah merah, di bawah naungan bendera,

Luka-luka mereka jadi saksi sejarah.

Setiap tetes darah, puisi dalam keheningan,

Menggoreskan kisah di permukaan waktu,

Kisah yang terukir dalam sunyi,

Sejarah abadi dalam malam yang pekat.

Dan setiap hembusan angin,

Tergema nama-nama tercinta,

Mengingatkan kita pada keberanian,

Yang terpatri dalam jiwa dan ingatan.

***

Kenangan yang Tertinggal

Kisah kita sudah lama berlalu, tapi kenangan masih tersisa. 

Hei, pernahkah kamu terpikir untuk mengulang semuanya? 

Mengulang rasa manis yang ternyata pedas juga.

Dulu, hanya dengan melihat senyummu,

 mendengar tawamu, aku sudah bahagia. 

Sesederhana itu.
Tapi lucu, aku masih terjebak di masa lalu, 

sementara kamu sudah lari kencang, meninggalkanku di sini. 

Ya, mungkin aku memang terlalu serius, 

padahal cuma aku yang masih terjebak di sini.
Sementara kamu? 

Ah, kamu sudah tak pernah menengok ke belakang lagi, kan? 

ya.. sudahlah, lupain aja

***

Cahaya di Lembah Taif

Di lembah Taif, aku datang membawa cahaya,
Menggenggam kasih yang tak terbatas, menawarkan surga yang tak bertepi.
Namun, apa yang kuterima? Hujan batu dan luka nan perih tak berujung,
Darahku menetes, membasahi tanah yang dulu kucinta.

Setiap langkahku berat, setiap nafas terasa pedih,
Aku datang untuk menyelamatkan, tapi mereka menolak dengan amarah dan kebencian.
Pepohonan menangis, debu-debu bumi meratap lirih,
Melihat keningku berdarah, hatiku terluka, namun tetap ku ucapkan maaf dari hati yang perih.

Aku tak marah, hanya sedih,
Melihat jiwa-jiwa yang masih terjebak dalam kegelapan.
Apakah cintaku tak cukup besar?
Apakah pengorbananku tak layak untuk sebuah harapan?

Di balik derita, kuucapkan doa,
Agar suatu hari mereka melihat cahaya.
walau hati ini hancur, kasihku tak pernah pudar,
Di setiap tetes darah yang jatuh, tersimpan doa-doa yang tak pernah lelah

Kronologi Pemutusan Hubungan Kerja Jurnalis Sasmito oleh VOA Indonesia

0

Himmah OnlineAliansi Jurnalis Independen  (AJI) melaksanakan konferensi pers sebagai bentuk protes terhadap media Voice of America (VOA) Indonesia atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap jurnalis Sasmito Madrim. Konferensi pers tersebut dilaksanakan di kantor AJI Jakarta, Kamis, (10/10).

Konferensi pers bertajuk “Jurnalis Akan Somasi VOA Indonesia” diawali dengan penyampaian kronologi PHK Sasmito Madrim dan penjelasan mengenai penanganan kasus oleh Gema Gita Persada, pengacara Lembaga Badan Hukum (LBH) Pers dan penanggung jawab proses advokasi hukum Sasmito. 

Gema menyampaikan bahwa Sasmito memulai karirnya di VOA Indonesia sejak 2018 hingga April 2024, ketika ia menerima surat pemberitahuan penyelesaian kontrak. “Pemberitahuan tersebut dikirimkan melalui surat elektronik ke Mas Sasmito tanpa ada proses transparansi,” jelas Gema.

Sasmito menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari postingan yang memuat kritik terhadap Jokowi, Prabowo, Gibran, dan Luhut, serta menyoroti serangan militer Israel ke Gaza. Ia meyakini bahwa tindakannya merupakan mandat sebagai ketua AJI saat itu.

“Sebagai organisasi yang memiliki mandat memperjuangkan organisasi, saya merasa perlu memaksimalkan kerja-kerja kampanye melalui media sosial,” tegas Sasmito.

Pada awalnya postingan tersebut tidak menjadi persoalan, hingga beberapa minggu kemudian Sasmito menerima panggilan dari pihak VOA Indonesia untuk menurunkan postingan yang diunggahnya terkait Jokowi, Prabowo, Gibran yang dianggap telah melanggar best practice dari VOA Indonesia.

Permintaan penurunan postingan oleh VOA Indonesia ditolak oleh Sasmito, dengan alasan postingan yang diunggah telah sesuai dengan fakta dan penurunan postingan tersebut dapat merusak integritas dirinya. Hingga pada tanggal 14 Januari, Sasmito kembali mendapatkan pesan elektronik dari VOA Amerika yang berisi tentang pemberitahuan bahwa Sasmito tidak diizinkan untuk membuat berita.

Pada tanggal 21 Januari, Sasmito kembali mendapatkan surat elektronik yang menyatakan ia telah diperbolehkan untuk menulis kembali. Berdasarkan isi dalam surat tersebut, Sasmito menganggap bahwa masalah ini telah selesai.

“Saya secara pribadi menilai sikap pimpinan di VOA itu sangat menyebalkan karena tidak diproses dengan proper gitu ya. Nggak ada pemanggilan, sidang etik dan sebagainya,” jelas Sasmito.

Hingga April 2024 lalu, Sasmito mendapatkan informasi jika kontrak antara dirinya dan VOA tidak diperpanjang dan akan berakhir pada 31 Mei 2024, “Saya menganggap ini sebagai PHK karena ada rentetan tadi di Januari, April dan di bulan (tanggal) 31 Mei selesai,” terang Sasmito.

Setelah informasi PHK tersebut keluar, Sasmito kemudian meminta bantuan ke LBH Pers dan AJI dalam menangani kasus ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Sasmito ditemani oleh LBH Pers dan AJI. Namun, permasalahan ini tidak kunjung selesai dikarenakan tidak ada komitmen penyelesaian dari pihak VOA Indonesia itu sendiri. 

Sasmito juga mengungkapkan kekecewaan yang ia rasakan terhadap VOA Indonesia. Pertama, tidak adanya komitmen penyelesaian dalam masalah ini. Kedua, Sasmito harus mengalami PHK di saat membutuhkan banyak biaya. Ketiga, pihak VOA yang tidak kunjung merespon anjuran dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker).

Ya waktu itu ketika istri sedang melahirkan gitu ya. Nah, itu yang kedua. Yang ketiga ketika ada anjuran dari Disnaker juga tidak ada respon dari VOA ya. Jadi itu saya menganggap sepertinya memang perlu ada edukasi,” jelas Sasmito.

Gema menambahkan, selama Sasmito bekerja dengan VOA Indonesia, hak-hak normatif berupa BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, hingga tunjangan hari raya tidak Sasmito dapatkan. 

Di akhir sesi pemaparan, Sasmito menyampaikan harapannya agar kasus ini dapat menjadi pelajaran dan media asing lebih memperhatikan dan menaati regulasi-regulasi yang ada di Indonesia. “Jadi ini soal tanggung jawab dan soal bagaimana memanusiakan pekerja,” pungkas Sasmito.

Reporter: Himmah/Giffara Fayza Muhlisa, Saiful Bahri, Tazkia Himmatusoba

Editor: Abraham Kindi

Lima Pesan dan Puisi Lainnya

0

Cara lain menjala jinak merpati bahagia

Sepucuk surat cukup berisi lima pesan saja;

1. Sehat ayah ibu

2. Menulis

3. Membaca

4. Senyuman kekasih

5. Pantai

Merpati itu terbang membawa berita

Lalu bertengger di jendala hati muram seorang nestapa

Mengidungkan sepucuk surat memamah duka

Lima pesan tenang telah bersemayam di gelanggang dada

Padang, 2024

***

Kolam

Aku adalah kolam, penuh.

Ikan kata-kata berenang

hingga ke dasar rahasia,

menyelimpat dari jala waktu.

Tetapi sepi kerap menuntunku menangkap;

ikan-ikan siasat.

Wajan doa; memasak dengan minyak asa,

matang jadi puisi. 

Menyantap untuk pikiran

dan hati; tumbuh dan hidup, abadi.

Padang, 2024

***

Masa Kecil yang Demam

Malam mengantar masa kecil merengek demam

ke bidan angan. Ia diperiksa suhu, panas rindu, katanya.

Pun jangan sering-sering mandi hujan sepi,

kalau tidak ingin di lain hari deman lagi.

Lalu, disuruh minum obat dewasa 3x sehari;

menelan sesak kesekian kali.

Padang, 2024

***

Bagian-bagian di Wajahmu

Saban hari, aku meneduh di bawah

mahoni bulu mata lentikmu.

Menyaksikan cahaya melukis bening

di lautan sepasang bola mata itu.

Sewaktu-waktu, ia dapat luruh berwujud sungai,

menderas sepanjang pipi merah rona.

Demikian aku menaiki perahu senyummu

dan selalu karam di pusaran lesung pipi itu.

Padang, 2024

***

Laron

Di antara malam, aku ingin jadi laron.

Memilih satu-satunya cahaya adalah engkau. 

Lalu sayapku gugur ketika kau padam

dan mati di belaian rindu.

Padang, 2024

***

Tampuk Lamunan

Seorang pria duduk di halaman sore

Sambil mengaduk secawan mantra hitam 

“Teguk kopimu segera, kau seperti mabuk dunia” kata tetangga

Lalu pria itu melihat kecelakaan di jalan pikirannya

Demikian maut telah bekerja

Di atas pusara asbak

la menabur bunga-bunga abu rokok

Di atas puntung nisan yang sepi 

la berdoa selaik asap membubung abadi

Padang, 2024

***

Satu Tahun Tragedi Kemanusiaan di Palestina, Perjuangan Belum Selesai

0

Himmah Online – Sudah setahun semenjak konflik Palestina dan Israel memanas akibat tragedi kemanusiaan pada Oktober 2023, belum ada tanda-tanda konflik ini akan berakhir. Dalam ikhtiarnya untuk memberi dukungan pada Palestina, Lembaga Kebudayaan Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Embun Kalimasada mengadakan seminar nasional dan pameran lukisan bertajuk “Dari Indonesia ke Palestina: Refleksi Setahun Tragedi Kemanusiaan” pada Senin, (7/10) di Gedung Kuliah Umum Sardjito dan Perpustakaan Pusat Universitas Islam Indonesia (UII).

Acara seminar dihadiri oleh Arief Rachman, Ketua EMT MER-C Indonesia, Sefriani, Guru besar Bidang Ilmu Hukum Internasional UII, dan Rizki Dian Nursita, Kepala Laboratorium Inovasi Global Hubungan Internasional UII sebagai narasumber seminar.

Fathul Wahid, Rektor UII, dalam sambutannya menyampaikan bahwa terdapat pekerjaan rumah besar bagi Indonesia untuk mendukung Palestina yang seharusnya segera dituntaskan. Namun, pada kenyataannya tidak banyak yang bisa dilakukan untuk memberikan bantuan pada Palestina.

“Hari ini kita mencoba mengumpulkan energi positif, menggalang kepedulian, mengasah sensitivitas kita, bahwa saudara-saudara kita sesama manusia masih memerlukan dukungan,” ungkap Fathul.

Karina Utami Dewi, Ketua Panitia seminar, menjelaskan bahwa acara kali ini menjadi momentum penting dalam memperingati satu tahun tragedi kemanusiaan yang sudah terjadi sejak Oktober 2023. Ia menambahkan bahwa Indonesia bisa membantu dengan banyak hal meskipun dengan berbagai keterbatasan.

“Minimal kita bisa meningkatkan awareness atau kesadaran masyarakat salah satunya dengan mengadakan seminar ini,” jelas Karina. 

Pada pameran lukisan, Fathul menyebut bahwa acara ini merupakan bentuk ikhtiar untuk menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa masyarakat Palestina masih memerlukan perhatian masyarakat Indonesia.

“Ini juga penting, karena biasanya ketika waktu berlalu kesadaran itu menurun, dan kita harus membangkitkan kembali,” jelas Fathul.

Hadza Min Fadhli Robby, Direktur Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada, menerangkan bahwa imajinasi dan metafora tentang Palestina jauh lebih kuat dibanding kenyataannya. Jika biasanya Palestina terlihat lemah, melalui lukisan pada pameran ini akan membentuk imajinasi yang memperlihatkan Palestina sebagai sebuah bangsa yang teguh dalam situasi sulit.

“Palestina harus kita bantu untuk bangun mimpi bersama-sama. Karena Indonesia juga pernah dijajah, Palestina juga sedang dijajah. Ini jadi upaya kita untuk membangun solidaritas lewat seni,” terang Hadza. 

Hadza berharap, pameran lukisan ini dapat menumbuhkan semangat dan harapan atas kesejahteraan Palestina bagi setiap pengunjung.

Ga melulu melihat Palestina itu sebagai suatu masalah yang ga pernah selesai. Insyaallah pasti ada satu ujung dari masalah ini semoga,” pungkas Hadza.

Reporter: Himmah/Fairuz Tito, Agil Hafiz

Editor: Abraham Kindi

Halmahera Tanah Eksotis yang Terjajah

Sebuah pulau kecil berbentuk huruf K di ufuk timur, menyimpan rahasia yang kini terungkap ke seluruh dunia. Halmahera menyimpan berbagai keanekaragaman hayati, sumber daya alam, dan cadangan yang berlimpah. Terutama pada bagian perut buminya yang kaya akan nikel, pasir besi, batu bara, minyak bumi, hingga asbes.

Berbagai perusahaan tambang asing datang, berlomba memburu pulau ini. Melalui tajuk pembangunan, investasi jangka panjang, green industry dan pemerataan kesejahteraan mereka mengejar izin konsesi tambang dari pemerintah. 

Hal ini didukung melalui penyematan status Obyek Vital Nasional berdasarkan Keppres No. 63 Tahun 2004  sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2020-2024. Serta menjadi salah satu PSN era rezim Joko Widodo melalui pengesahan Perpres Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020 tentang percepatan pelaksanaan PSN.

Namun kenyataannya, ketika batu dikeruk untuk pertama kali, blasting dilakukan. Alat berat mulai didatangkan dari luar pulau untuk mencari, menggali, dan menanggalkan semua isi perut bumi Halmahera tanpa terkecuali.

Pemandangan di sekitar lokasi tambang mulai berubah menjadi neraka. Cerobong setinggi monas mengepulkan asap nan menjulang tinggi dan tak kenal waktu yang tersebar di berbagai penjuru pulau. 

Tanggung jawab sosial perusahaan/corporate social responsibility (CSR) tidak diperuntukkan untuk lingkungan atau menyanggah kebutuhan masyarakat secara eksponensial. Namun sebaliknya, untuk memframing kemegahan atas ambisi hilirisasi yang semu. Tentu, hal ini menimbulkan akumulasi derita yang tumbuh dari smelter.

Logika kapitalisme dan obsesi oligarki menyebabkan mereka merampas habis sumber daya alam sampai tidak ada yang tersisa. Begitulah sedikit gambaran posisi Halmahera yang terletak di Maluku Utara saat ini.

Dalam kacamata dunia, mereka mungkin memandang Halmahera sebagai sebuah pulau kecil yang masuk dalam kawasan Garis Wallace. Data Adlun Fiqri menunjukkan kawasan biogeografis ini menjadi hunian bagi 10.000 jenis tumbuhan. Sejumlah 15% diantaranya tumbuhan endemik, serta 126 mamalia, 99 reptil dan 58 amfibi.

Lantas akankah 10.000 populasi keanekaragaman hayati tersebut dapat menurun drastis mempercepat kepunahan hingga 99% dan hanya menyisakan angka 1%?

Melihat kondisi Halmahera sebagai daerah teritori yang ramah terhadap industri-ekstraktif, masyarakat pesisir harus menanggung derita berkepanjangan. Hal ini merupakan dampak operasi penambangan nikel di Halmahera, yang berskala besar. Sehingga menyebabkan kerusakan dan fragmentasi habitat secara signifikan, yang berefek pada berkurangnya keanekaragaman hayati dan menurunnya kesehatan ekosistem.

Rempah Jadi Incaran, Tambang Jadi Rebutan

Perlu diketahui, di puncak kejayaan kolonialisme Belanda, Jepang, dan Portugis, pulau ini dikenal sebagai kepulauan rempah. Kala itu, terdapat suatu lokasi yang penuh rempah bagaikan surga. Dengan berbagai cara, mereka mencoba masuk ke tempat itu, meskipun harus menempuh berbagai resiko.

Hanya di pulau Halmahera dan mayoritas Kepulauan Maluku, tanaman pala dan cengkih dapat tumbuh sangat subur dan makmur, sedangkan di tempat lain tidak ditemukan kedua tanaman tersebut. Ini dapat ditelisik dalam buku Suma Oriental yang ditulis Tomé Pires menyatakan bahwa: 

“Pedagang-pedagang melayu mengatakan kepada saya, Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk buah pala dan Maluku untuk cengkeh, dan barang perdagangan ini tidak dikenal di lain tempat di dunia ini, kecuali di tempat-tempat yang disebut tadi. Dan saya telah tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini terdapat di tempat lain, semua orang mengatakan tidak”.

Mulailah mata para bangsa asing melirik Halmahera dengan tatapan rakusnya. Mereka berlomba-lomba menjarah kekayaan alam. Halmahera telah menjadi saksi kunci antara bangsa asing seperti Portugis, Belanda, dan Jepang. Membuat panggung yang mempertontonkan penjajahan: sebuah kejahatan yang tidak akan pernah hilang dari sejarah Indonesia.

Dampak Penambangan dan Penderitaan Masyarakat

Pasca imperialisme Belanda, Jepang, dan Portugis berakhir, setelah kemerdekaan Indonesia, Halmahera kembali bernasib sial. Seluas 142.964,79 hektar wilayah kabupaten Halmahera Tengah dikepung oleh  berbagai izin usaha pertambangan (IUP) dengan total 66 iup. Empat sungai di Teluk Weda sudah tercemar. Airnya yang sebelumnya berwarna putih jernih berubah coklat kekuningan akibat sebuah industri kotor yang beroperasi di sana sejak 2018. 

Salah satunya adalah Indonesian Weda Bay Industrial Park (IWIP), sebuah perusahaan yang baru berdiri ini membutuhkan lahan sebesar 5.000 hektar. Penambangan dan pengolahan bijih nikel dapat melepaskan logam berat dan polutan ke dalam tanah dan sumber air di sekitarnya (Köleli et al., 2015).

Kontaminasi ini dapat membahayakan kehidupan tumbuhan dan hewan serta berpotensi mempengaruhi kesehatan manusia melalui rantai makanan. (Korzeniowska & Stanisławska-Glubiak, 2018).

Kembali pada empat sungai di Teluk Weda yang sudah tercemar, di antaranya Sungai Kobe, Akejira, Waleh, dan Sagea. Empat sungai ini menjadi titik vital bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat. Ketika sungai tersebut mulai tercemar masyarakat sulit menemukan air bersih, bisa Anda bayangkan betapa ironisnya.Secara geografis luas Kabupaten Halmahera Tengah mencapai 227.6 83 hektar. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebutkan terdapat 23 izin usaha pertambangan nikel, empat izin di antaranya melintasi batas administratif Halmahera Tengah dan Timur dengan luas konsesi mencapai 95.736,56 hektar. Terdapat wilayah sekitar 65%  yang belum ditambang, sisanya habis dimakan tambang.

Ironisnya dari data di atas masyarakat harus menerima satu kenyataan pahit. Pada tahun 2022 Halmahera kehilangan 274 ribu hektar tutupan hutan dan itu setara dengan 211 metric ton emisi CO²e. Beberapa senyawa nikel, khususnya nikel sub sulfida, diklasifikasikan sebagai karsinogenik bagi manusia. (Meshram dkk., 2018).

Pembukaan lahan besar-besaran ini menimbulkan teriak kesakitan dari bawah perut bumi Halmahera. Namun hal itu tidak membuat para korporasi tambang berhenti mengeksploitasi pulau sekecil ini. Ekspansi demi ekspansi dilakukan tanpa ada rasa bersalah.

Kendaraan Listrik Melawan Masyarakat Pesisir

Tren kendaraan listrik di dunia menjadi kunci mengapa Indonesia saat ini terus mengekspor nikel besar-besaran. Pulau Obi, kabupaten Halmahera Selatan, menjadi yang pertama memproduksi dan mengekspor bahan baku baterai kendaraan listrik. Kendaraan yang diklaim sebagai kendaraan ramah lingkungan yang dapat menekan emisi karbon. 

Pada tahun 2022, penjualan electric vehicle (EV) baru di Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 700% dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan, hingga bulan Agustus 2023, kendaraan listrik terjual sebanyak 8.200 unit.

Pencapaian ini meningkat lima kali lipat di tahun sebelumnya. Presiden Jokowi juga gencar menekankan beberapa kementerian atau lembaga pemerintah, perusahaan milik negara, pemerintah daerah, dan beberapa pemain sektor swasta untuk beralih ke EV sebagai kendaraan operasional mereka. 

Pada Tahun 2025 mendatang, lembaga-lembaga tersebut akan menggunakan mobil listrik sebanyak 19.220 unit, sepeda motor  757.139 unit, dan bus 10.227 unit. Pemerintah Indonesia memberikan mandat kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN)  untuk membangun infrastruktur pengisian daya EV, dengan perkiraan pengeluaran sebesar satu miliar dolar AS di tahun 2030. Pada tahun 2025, Indonesia berencana harus memiliki 6.318 stasiun pengisian EV dan 10.000 stasiun penukaran baterai secara mandiri.

Memang kendaraan listrik jauh lebih ekonomis dibanding kendaraan konvensional. Sementara kendaraan konvensional membutuhkan 15.000 rupiah/liter, kendaraan listrik hanya membutuhkan 2.000 rupiah/liter.

Selain itu, berdasarkan tingkat emisi karbon, kendaraan listrik berkontribusi setengah dari emisi yang dilepaskan oleh kendaraan konvensional, sebanyak sekitar 1,2 kg karbon jika dikonversikan per liter emisi listrik. Namun sayangnya kendaraan listrik yang beroperasi dan diproduksi hari ini bersumber energi listrik kotor, yakni batu bara.

Gencarnya hilirisasi kendaraan listrik yang diwacanakan pemerintah hanya sekedar business as usual atau bertajuk pada political agenda saja.  Sumber listriknya tetap tidak menggunakan energi baru terbarukan (EBT) serta masih bersikeras meningkatkan penetrasi dan wacana produksi jangka panjang menggunakan energi fosil.

Tidak dapat dipungkiri, saat ini Indonesia masih menjadi produsen batu bara terbesar ketiga dunia dengan kemampuan produksi sebanyak 687 metrik ton pertahun, terdapat 234 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang beroperasi. Serta total kapasitas sebanyak 4,3 gigawatt, dengan cadangan sumber hingga tahun 2080 dari data yang didapat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KeSDM).

Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) dan Just Energy Transition Partnership  (JETP), yang diselesaikan pada bulan November 2023, menyatakan bahwa pembangkit listrik tenaga batubara off-grid (tidak terhubung ke jaringan umum) masih berada di luar cakupan. Puncak emisi sektor ketenagalistrikan sebesar 290 MTCO2 pada tahun 2030 akan sangat sulit dicapai berdasarkan lanskap captive power plant (Sekretariat JETP,2 Mixed Hydroxide/Sulfide Precipitate (MHP/MSP), nikel sulfat, nikel matte, dan nikel murni 2023).

Pulau Obi, kampung Kawasi sedang terhimpit oleh  industri pertambangan nikel, hutan yang berada di dekat kampung Kawasi sudah dibabat habis dan yang tertinggal hanya bijih nikel atau ore nikel. Bijih nikel adalah jenis mineral dari bahan baku alami ketika logam nikel diekstraksi. Menurut Norgate & Jahanshahi, . Secara historis bijih nikel merupakan sumber utama nikel dan lebih murah untuk diproses.

Kepingan bijih nikel dan limbah lainnya perlahan-lahan mengotori satu persatu sungai di sana. Cerobong asap dan kebisingan perusahaan akibat alat berat berlalu-lalang sudah menjadi teman sehari-hari masyarakat dan udara segar sudah menjadi hal yang langka. 

Indonesia selaku pemilik cadangan nikel terbesar di dunia dengan deposit sebesar 52%, juga memegang kunci dari tren kendaraan listrik. Indonesia dapat menghentikan peluang kehancuran lebih besar di daerah kawasan pesisir terutama daerah kawasan industri pertambangan.

Namun, selama ini sudah berulang kali masyarakat pesisir Halmahera meminta pertanggungjawaban Negara berupa melancarkan aksi demonstrasi dengan berbagai tuntutan atas kerusakan lingkungan tetapi nyatanya negara masih membiarkan perusahaan tetap aktif dalam menambang. Terlepas dari kerangka regulasi yang berlaku, pertumbuhan pesat pertambangan dan pengolahan nikel telah menyebabkan peningkatan polusi udara, tanah, dan air dalam beberapa tahun terakhir.

Beberapa di antaranya adalah pembuangan limbah di lepas pantai Pulau Obi yang mengubah air laut menjadi merah. Sementara Teluk Weda dan Teluk Buli terancam oleh pencemaran logam berat. Limbah bawah laut dari Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) juga menambah daftar tantangan.  Di Konawe Utara, degradasi lahan pasca-tambang dan polusi dari pembangkit batu bara serta transportasi batubara berdampak serius pada kesehatan masyarakat setempat.  (Mongabay  Environmental  News,  2022; Kompas, 2023; Ginting & Moor 2021; Barus dkk, 2022).

Ruang hidup semakin sempit. Hasil tangkapan ikan juga sudah mulai menurun. Artikel yang berjudul Tambang Datang Pesisir Halmahera Binasa menceritakan tentang curhatan salah seorang nelayan di pulau Kawasi “Dulu, rata-rata 1500 kg bisa dapat teri kering. Itu dari 1995 sampai pada 2000-an awal. Lima tahun terakhir, rata-rata cuma 300an kilogram dalam sebulan,”

Dampak dari industri ekstraktif ini membuat kesehatan masyarakat juga semakin hari semakin menurun. Kabupaten Halmahera Tengah, terdapat puskesmas yang tidak jauh dari lokasi perusahaan IWIP, puskesmas lelilef mencatat di tahun 2023 lebih dari 10.579 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Jumlah kematian diperkirakan akan melonjak pesat dari 215 kasus  pada tahun 2020 akibat dampak dari penambangan nikel di Indonesia menjadi 3.833 kasus pada tahun 2025. Hampir 18 kali lipat dalam lima tahun kedepan. Jika hal ini tidak dimitigasi dengan tepat, penutupan jumlah kematian diperkirakan akan terus meningkat menjadi 4.982 pada tahun 2030, dan 8.325 pada tahun 2060. 

Beban ekonomi yang diakibatkan oleh polusi udara juga dihitung dari seluruh dampak kesehatan yang berkorelasi dengan peningkatan tingkat konsentrasi polusi udara. Pada orang dewasa, polusi udara menyebabkan penyakit pernapasan, seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik, serta peningkatan risiko stroke dan diabetes. 

Total kerugian ekonomi tahunan Indonesia akibat polusi udara di provinsi Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara diperkirakan mencapai USD 148 juta (Rp2,29 triliun) pada tahun 2020, dan diproyeksikan meningkat hampir 18 kali lipat menjadi USD2,63 miliar (Rp40,7 triliun) pada tahun 2025. Beban perekonomian akan terus meningkat mencapai hampir USD3,42 miliar (Rp53,0 triliun) pada tahun 2030, dan USD5,69 miliar (Rp88,2 triliun) pada tahun 2060.

Apa Dampaknya di Tahun 2030?

Estimasi dampak kesehatan pada tahun 2030 menunjukkan besarnya dampak negatif terhadap produktivitas, dengan perkiraan total lebih dari satu juta hari cuti kerja akan berpengaruh pada produktivitas provinsi penghasil emisi dan juga provinsi tetangga. 

Dampak polusi udara terhadap bayi baru lahir dan balita terbilang memprihatinkan, dengan total 1.145 kasus anak menderita asma per tahun dan hampir 500 kasus kelahiran dengan berat badan rendah dan kelahiran prematur per tahun pada tahun 2030. 

Sedangkan faktor dekarbonisasi industri logam di Indonesia dipandang sebagai sebuah trilemma, menimbang persaingan strategi ekonomi nasional, kurangnya energi alternatif hemat biaya, dan sistem jaringan listrik yang belum bisa diandalkan (Zhu et al., 2023).

Seluruh masyarakat yang terpapar nitrogen dioksida dan sulfur dioksida yang dihasilkan dari fasilitas pengolahan logam, penambangan nikel, dan pembangkit listrik tenaga batu bara mungkin harus menanggung total 6.400 tahun nyawa hilang. Belum lagi peningkatan risiko penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), diabetes, dan stroke setiap tahunnya. 

Perkiraan ini juga digunakan dalam pemodelan ekonomi di tingkat provinsi. Fasilitas yang berlokasi atau dekat dengan populasi yang lebih tinggi diperkirakan akan menimbulkan dampak dan biaya kesehatan yang lebih tinggi. 

Selain kondisi meteorologi, suhu, dan kecepatan angin, skala kapasitas nominal produksi juga menentukan tingkat dampak terhadap kualitas udara dan dampak kesehatan yang terkait. Sebanyak 3.700 kg merkuri dan 715.000 ton bahan partikulat akan diendapkan setiap tahun di Sulawesi dan Maluku Utara pada tahun 2030. Endapan merkuri tahunan akan meningkat hampir 6 kali lipat dalam satu dekade dibandingkan dengan nilai pada tahun 2020, dan lebih dari 10 kali lipat untuk materi partikulat.

Penutup

Jika kendaraan listrik digadang-gadang menjadi kendaraan abad ini, maka harus dilihat dari transisi lain secara lebih serius. Tinjauan ekonomi kendaraan listrik  mungkin sangat ekonomis, selain mendapatkan perlakuan khusus seperti pembebasan beban pajak, subsidi pada pembelian, diprioritaskan pada akses ganjil- genap, dan rata rata efisiensi jarak dari pengisian bahan bakar yang lebih ringan. 

Namun yang perlu disoroti adalah faktor-faktor yang menjadi sisi gelap, seperti faktor lingkungan dan kesehatan. Yang sebenarnya masih menggunakan sumber energi tidak terbarukan  berasal dari nikel dan batu bara. 

Dengan demikian wacana keberlanjutan kendaraan listrik tidak hanya tergantung pada kendaraan itu sendiri, tetapi juga pada sumber bahan bakar yang digunakan. Sumber bahan bakar yang seharusnya  menghasilkan energi malah merugikan bahkan mematikan masyarakat Maluku Utara dan eksotisitas pulau Halmahera.

Pohon-pohon ditebang, buah kelapa, pala, cengkeh dan coklat digusur. Pisang, ubi kayu, dan tanaman pangan lain dilibas alat berat. Diganti dengan satu sistem ekonomi yang tidak pernah sebelumnya mereka lihat. Matahari serasa satu jengkal di atas kepala. Tiap hari mendengar kebisingan. Debu bertebaran di udara dan di jalanan. 

Air sungai  berubah coklat kekuningan. Kental. Anak-anak kecil tak lagi bermain di sungai dan mandi di pantai tiap petang. Nyaris, tiap hari tak tampak lagi seorang ibu menggendong saloi (ransel khas Maluku) dan bapak mengikat parang di pinggang. Kehidupan di sini bahkan lebih buruk dari kota. Desa tanpa kebun, Nelayan tanpa ikan, dan petani tanpa tanah.

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.