Beranda blog Halaman 5

Konflik Kepentingan Tahap Awal Terjadinya Korupsi

0

Himmah Online – Konflik kepentingan disinyalir menjadi tangga awal dari munculnya kasus korupsi. Oleh karenanya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyelenggarakan acara peluncuran modul akademik antikorupsi, berjudul “Korupsi & Konflik Kepentingan” dan diskusi publik bertajuk “Konflik Kepentingan Sebagai Pintu Masuk Korupsi” melalui Zoom Meeting pada pukul 9 pagi, Selasa (24/09).

Diskusi tersebut menghadirkan Almas Sjafrina, Peneliti ICW, Zainal Arifin Mochtar, Pakar Hukum Tata Negara UGM, Rivana Pratiwi, News Anchor CNN TV, Nawawi Pamolango, Komisioner KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan Agus Uji Hantara, Asisten Deputi I Kemenpan RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi).

Dalam sambutannya, Nina Rizkia, Koordinator ICW, mengutarakan bahwa konflik kepentingan sering dianggap bukan bagian dari korupsi. Padahal, konflik kepentingan merupakan tahap awal dari terjadinya praktik korupsi. Mencegah konflik kepentingan terjadi sama dengan mencegah korupsi.

“Kita harus bersama-sama bergerak untuk mencegah dan melawan korupsi, termasuk mencegah konflik kepentingan,” ujar Nina.

Zainal Arifin Mochtar menjelaskan konflik kepentingan berangkat dari kesadaran diri. Masyarakat harus menyatakan untuk tidak terlibat dalam konflik kepentingan. Karena peemasalahan saat ini adalah ketidakmauan dan ketidakmampuan diri dalam membangun sistem konflik kepentingan.

“Kita harus declare bahwa kita mengalami konflik kepentingan, karena tidak mungkin bisa diteropong terus menerus ini konflik kepentingan ga

Ilustrasi konflik kepentingan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat dalam konteks pembuatan surat izin mengemudi (SIM). Ia mempertanyakan oleh siapa kartu SIM milik Kapolres ditandatangani. Ia menyampaikan bahwa penandatanganan SIM Kapolres oleh Kapolres merupakan celah untuk melihat bagaimana regulasi konflik kepentingan.

“Sesederhana itu. Sebenarnya untuk melihat betapa kita ga pernah membangun prinsip-prinsip konflik kepentingan,” ucapnya.

Nawawi Pamolango menjelaskan, tugas KPK pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasal 8 memuat kewenangan KPK dalam pencegahan korupsi. “Ada di dalam ketentuan UU KPK, tugas KPK dalam kaitannya pencegahan korupsi,” ujar Nawawi.

Ia menyebut bahwa KPK memiliki instrumen-instrumen untuk pencegahan korupsi, salah satunya dengan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). LHKPN berfungsi untuk mengawasi sekaligus menjaga akuntabilitas kepemilikan harta pejabat negara.

Nawawi menambahkan, KPK memiliki keinginan untuk menambah instrumen mengenai pengelolaan konflik kepentingan yang diberikan oleh DPR kepada KPK. 

“Jadi KPK lah yang menjadi sentral induk dalam regulator pengaturan mengenai konflik kepentingan,” jelas Nawawi.

Sementara itu, Almas Sjafrina menyebut bahwa konflik kepentingan tidak muncul begitu saja. Hal tersebut bisa dilandasi oleh gratifikasi serta rangkap jabatan. 

“Misalnya Rektor, terus ditunjuk sebagai komisaris BUMN. Wah, rentan sekali dia punya konflik kepentingan,” ujar Almas.

Ia menambahkan, sulitnya pencegahan konflik kepentingan dikarenakan regulasi yang sudah tidak relevan. Selain dari itu, tidak adanya role model dari pemimpin juga menjadi penyebab sulitnya pencegahan konflik kepentingan.

“Kepala Dinas, Bupati, Gubernur, bahkan Presiden tidak menunjukkan sikap ‘hitam-putih’ terhadap konflik kepentingan,” pungkas Almas.

Reporter: Himmah/Queena Chandra, Abraham Kindi, R. Aria Chandra Prakosa, Septi Afifah 

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Menelisik Kontroversi Akun Fufufafa, Dugaan Gibran Pemilik Akun

Himmah Online – Pusat Studi Agama & Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan diskusi dengan tajuk “Fufufafa: Pemilik, Implikasi Hukum dan Etik?” melalui Zoom Meeting pada pukul 13.00, Kamis (19/09).

Diskusi tersebut menghadirkan Eko Prasetyo, Dosen Fakultas Hukum UII, Titi Anggraini, Dewan Pembina PERLUDEM (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), dan Ismail Fahmi, Pendiri Drone Emprit.

Akhir-akhir ini, akun platform Kaskus bernama Fufufafa menjadi topik hangat masyarakat Indonesia di media sosial. Akun tersebut viral disebabkan oleh tiga hal: pertama, adanya dugaan pemilik akun tersebut adalah wakil presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka. 

Kedua, konten-konten yang diunggah mengandung unsur pelecehan seksual. Ketiga terdapat unggahan penghinaan terhadap tokoh politik, salah satunya terhadap presiden terpilih, Prabowo Subianto.

“Oleh karena itu, dia menjadi langsung mendapatkan perhatian publik semenjak pertama kali muncul,” ujar Despan Heryansyah, Perwakilan Direktur PSAD.

Ismail Fahmi menyampaikan, munculnya masalah ini berawal ketika ditemukan jejak digital akun tersebut yang berisi penghinaan kepada Prabowo Subianto. Masyarakat merespon hal tersebut dengan memviralkan pagar #FufufafaAdalahGibran.

Ismail menambahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan bahwa pemilik akun tersebut bukanlah Gibran. Namun, hingga kini belum ada konfirmasi resmi dari Kominfo mengenai siapa sebenarnya pemilik akun tersebut.

“Ketika ada pernyataan itu, malah publik menunjukan ketidakpuasan terhadap informasi transparansi,” ujar Ismail

Selain itu, jika ditilik dari bagaimana cara Gibran menjawab pertanyaan terkait siapa pemilik akun Fufufafa, Gibran menghindar dengan dalih “tanya langsung ke pemilik akunnya saja,” ucap Gibran mengutip dari Tempo.

Hal tersebut menjadikan masyarakat semakin ramai memperbincangkan akun tersebut di sosial media.“Biasanya kalau ada isu itu sebentar, ya. Seminggu dua minggu itu  selesai,” ujar Ismail.

Titi Anggraini menyampaikan, bahwa akun Fufufafa ini disebut tuna digital.Hal tersebut dilihat dari bagaimana akun Fufufafa merespon permasalahan orientasi seksual, kondisi pernikahan seseorang, kondisi tubuh perempuan hingga merespon kontestasi pemilu yang menimbulkan berbagai kontroversi dengan etika dan moral negatif.

“Apa yang diposting di dalam screenshoot atau potongan-potongan gambar itu, itu merefleksikan literasi digital yang sangat buruk,” ujar Titi.

Titi juga menambahkan, bila ditinjau dari segi demokrasi yang bermoral dan etis, pemilik akun Fufufafa dianjurkan untuk mengakui dan meminta maaf secara terus terang di depan publik. Hal ini dilakukan agar perdebatan mengenai pemilik akun tersebut bisa terselesaikan dan tidak menimbulkan banyak korban yang dirugikan.

“Dilakukan rekonsiliasi terhadap pihak-pihak yang menjadi korban dan dirugikan. Supaya apa? supaya juga tidak terus menerus jadi rongrongan belaka panjang (kontroversi jangka panjang di kalangan masyarakat),” pungkas Titi.

Reporter: Himmah/Tazkiyani Himatussoba, Giffara Fayza Muhlisa, Sofwan Fajar Arrasyid, Ibrahim

Editor: Abraham Kindi

Keraton Yogyakarta Gelar Grebeg Maulud dan Hajad Dalem Sekaten 2024

Polisi menggelar apel untuk memastikan keamanan dan ketertiban acara Grebeg Maulud dan Hajad Dalem Sekaten Keraton Yogyakarta, di depan Masjid Gedhe Kauman, pada Senin (8/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Kuda-kuda keraton digiring masuk oleh pawangnya ke dalam Keraton Yogyakarta, pada acara Grebeg Maulud dan Hajad Dalem Sekaten Keraton Yogyakarta, Senin (8/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Cucu dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, RM Drasthya Wironegoro dikawal keluar keraton oleh pasukan Keraton Yogyakarta, sebagai pertanda dimulainya prosesi Grebeg Maulud dan Hajad Dalem Sekaten Keraton Yogyakarta, pada Senin (8/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Pasukan Keraton Yogyakarta melakukan pawai di sepanjang jalan keraton menuju Masjid Gedhe Kauman hingga Pura Pakualaman, pada acara Grebeg Maulud dan Hajad Dalem Sekaten Keraton Yogyakarta, Senin (8/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Abdi dalem membawa masuk tiga gunungan ke dalam Masjid Gedhe Kauman, sebagai simbol sedekah raja kepada rakyat sekaligus wujud syukur Keraton Yogyakarta, pada acara Grebeg Maulud dan Hajad Dalem Sekaten, Senin (8/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Iring-iringan Pasukan Gajah Keraton mengawal arak-arakan gunungan, pada cara Grebeg Maulud dan Hajad Dalem Sekaten Keraton Yogyakarta, Senin (8/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Abdi dalem mengarak gunungan untuk dibawa ke Pura Pakualaman, pada acara Grebeg Maulud dan Hajad Dalem Sekaten Keraton Yogyakarta, Senin (8/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Masyarakat Yogyakarta memperebutkan isi gunungan pada acara Grebeg Maulud dan Hajad Dalem Sekaten Keraton Yogyakarta, di depan Pura Pakualaman, Senin (8/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Tampak isi gunungan ludes diambil oleh warga pada acara Grebeg Maulud dan Hajad Dalem Sekaten Keraton Yogyakarta, di depan Pura Pakualaman, Senin (8/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Salah seorang masyarakat Yogyakarta menunjukkan cabai dan kacang panjang sebagai hasil yang didapat dari gunungan pada acara Grebeg Maulud dan Hajad Dalem Sekaten Keraton Yogyakarta, di depan Pura Pakualaman, Senin (8/9). Foto: Himmah/Subulu Salam

Ketika Musisi Menyingkat Judul Lagunya

Setiap musisi pada dasarnya ingin menonjolkan kekhasannya masing-masing, baik dari segi genre musik yang dinyanyikan; nama grup yang digunakan, bahkan dari lagu yang diciptakan. Lagu yang diciptakan oleh musisi Indonesia sangat bervariasi dimulai dengan lagu yang berbau nasihat, kritikan, bahkan sampai percintaan. Hal yang menarik dari musisi indonesia adalah pemakaian judul lagu yang dipendekkan atau diabreviasi, satu di antaranya  dilakukan oleh grup band ST 12  dalam dua albumnya. Sayangnya, pada umumnya pengabreviasian terhadap judul lagu dilakukan tanpa melihat kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Hal ini dilandasi atas pandangan bahwa membuat penikmat musik tertarik jauh lebih penting daripada menghasilkan judul lagu yang baik dan benar. 

Bahkan pemendekan judul lagu terkadang berseberangan dengan arti kata yang telah ada sebelumnya, seperti judul lagu “Tomat” yang pada dasarnya bermakna satu di antara nama buah yang mengandung vitamin yang dalam blantika musik Indonesia mengalami perubahan makna menjadi singkatan dari “Tobat Maksiat”. Berdasarkan fenomena tersebut, abreviasi judul lagu perlu untuk ditelaah lebih hati-hati lagi. 

Dalam fenomena kebahasaan, singkatan judul lagu dapat disebut sebagai pemendekan kata atau abreviasi. Pemendekan kata dimaknai oleh Abdul Chaer (2015) dalam Morfologi Bahasa Indonesia sebagai proses penggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya. Harimurti Kridalaksana (1996) dalam Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa bentuk abreviasi terbagi menjadi empat, yaitu pemenggalan; kontradiksi; akronim; dan penyingkatan. 

Pemenggalan dapat diartikan sebagai proses pemendekan dengan cara menghilangkan bagian dari leksem, seperti “dokter” yang dipenggal menjadi “dok”. Selanjutnya kontradiksi adalah pemendekan dengan cara menghilangkan kelompok kata, seperti “tidak” menjadi “tak”. Sementara akronim dapat dimaknai sebagai proses pemendekan dengan cara menggabungkan huruf/suku kata/bagian lain yang ditulis serta diucapkan selayaknya kata, seperti ABRI. Terakhir adalah penyingkatan yang dapat diartikan sebagai proses pemendekan dengan cara memenggal huruf bagian depan saja, seperti BEJ untuk menyingkat Bursa Efek Jakarta.

Di dalam album band ST 12, terdapat empat judul lagu yang mengalami abreviasi. Empat judul lagu yang mengalami abreviasi adalah “ATSL”, “AMS”, “P.U.S.P.A”, dan “SKJ”. Dari empat judul lagu tersebut, maka dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan kelompok abreviasi singkatan, yaitu “ATSL”; “AMS”; dan “SKJ”. Sementara bagian yang kedua termasuk abreviasi akronim, yakni “P.U.S.P.A”.

Pada judul lagu “ATSL” (Aku Tak Sanggup Lagi), “AMS” (Aku Masih Sayang), dan “SKJ” (Saat Kau Jauh) termasuk jenis singkatan, karena tiga lagu tersebut mengalami proses pemendekan yang berupa huruf/gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf; dibaca sebagai kata; maupun tidak dieja huruf demi huruf. Pada judul [ATSL] terjadi proses pemendekan yang berupa gabungan huruf A, T, S, dan L yang dieja huruf demi huruf serta merupakan kependekan dari (Aku Tak Sanggup Lagi). Selanjutnya pada judul lagu “AMS” terjadi proses pemendekan yang berupa gabungan huruf A, M, dan S yang dieja huruf demi huruf serta merupakan kependekan dari (Aku Masih Sayang). Sementara pada judul lagu “SKJ” terjadi proses pemendekan huruf yang berupa gabungan dari huruf S, K, dan J yang dieja huruf demi huruf serta merupakan kependekan dari (Saat Kau Jauh).

Judul lagu terakhir yang mengalami abreviasi adalah “P.U.S.P.A” (Putuskan Saja Pacarmu) yang termasuk jenis akronim, karena pada judul lagu tersebut mengalami proses pemendekan yang berupa suku kata [Pus] dan [Pa] yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. 

Setelah dianalisis, ternyata cara pemendekan judul-judul lagu tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Misalnya saja pada judul lagu “ATSL”; “AMS”; dan “SKJ” seharusnya diakhiri dengan tanda titik, karena menurut Buku Pintar EYD (2011) singkatan gabungan kata yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diakhiri dengan tanda titik. Penulisan yang benar adalah “atsl.”, “ams.”, dan “skj.” dengan tidak memakai huruf kapital seluruhnya. 

Sementara pada judul lagu “P.U.S.P.A” pada dasarnya telah memenuhi dua persyaratan dalam membentuk akronim menurut Buku Pintar EYD (2011), yakni jumlah suku kata akronim tidak melebihi suku kata yang lazim pada kata indonesia (tidak lebih dari tiga suku kata) dan akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata bahasa indonesia yang lazim agar mudah diucapkan dan diingat. 

Judul lagu “P.U.S.P.A” telah memenuhi syarat di atas, yakni jumlah suku kata akronim pada “P.U.S.P.A” hanya dua suku kata dan ada keserasian antara vokal serta konsonan. Namun, kesalahan yang mendasar pada judul lagu tersebut adalah penggunaan tanda titik, padahal seharusnya pada akronim tidak boleh disertai dengan tanda titik pada tiap–tiap hurufnya sebab harus dilafalkan seperti kata. Penulisan yang benar adalah “Puspa” tanpa menggunakan tanda titik. Jika merujuk pada pendapat Harimurti Kridalaksana, bahwa satu di antara cara membuat akronim adalah dengan cara pengekalan dua huruf pertama tiap komponen, maka “Putuskan Saja Pacarmu” menjadi “Pusapa”. Seperti itulah abreviasi yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Akhir kata, album grup band ST 12 ini memang album yang sudah lama, namun pembahasan ini dapat dimanfaatkan oleh para musisi masa kini sebagai materi evaluasi untuk membuat judul-judul lagu baru. Bukankah akan lebih baik jika judul lagu diciptakan dengan baik sekaligus menarik? Tak hanya sekadar menarik?

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.

Istana Presiden di Nusantara: Sebuah Kritik Arsitektur

Istana Presiden baru di Nusantara mengundang debat. Tak mengherankan, sebuah produk arsitektural secara semiotika adalah manifesto, sebuah teks terbuka dibaca publik, tak membedakan awam maupun cendekia. Pendapat perancang akan “bisu” setelah imaji karya tersebut tersebar atau bangunan terbangun. Pembacaan publik seakan selalu benar, karena itu hak subyektif publik. Kritik arsitektur lumrah, baik cacian atau pujian. Semua pihak perlu ikhlas, legowo, termasuk inisiator ataupun perancangnya.

Namun demikian, kritik arsitektur yang baik akan mendasari diri pada norma tertentu. Sebuah buku lama Architecture and Critical Imagination karya Wayne Attoe (1978) menunjukkan bahwa kritik arsitektur sebenarnya akan efektif untuk menghasilkan karya yang bagus apabila dilakukan pada tahap perancangan. Artinya, sebelum bangunan terbangun. Kritik menjadi media bagi banyak pihak untuk berbagi perspektif.

Kritik yang dilakukan setelah bangunan terbangun biasanya akan berupa interpretasi (interpretive criticism) yang dapat dilakukan individu atau kelompok. Akan ada pula “interpretasi resmi” yang dibuat oleh pihak yang mempunyai otoritas atau perancang.

Jelas pula, tidak semua kritik harus bersifat menghakimi. Untuk meluncurkan kritik yang menghakimi, kritikus harus melandasi diri dengan norma sebagai basis pandangannya (normative criticism). Kritik dapat pula sekadar memberi penjelasan apa adanya (descriptive criticism).

Untuk melakukan kritik arsitektur yang baik terhadap Istana Presiden di Nusantara tentu tidak cukup hanya dengan melihat foto atau video media sosial sekelebat. Pengamatan mendalam baik dokumen perancangan maupun pengalaman langsung akan sangat mendukung. Sayangnya, tulisan ini tidak dilandasi keduanya. Jadi, anggap saja ini sebagai tulisan yang tidak terlalu serius dan mungkin salah.

Melacak Sumber Bentuk

Domain kritik yang marak ada di ranah bentuk. Mengapa garuda? mengapa “begitu”? Mungkin kalau kita runut pakai teorinya Mark Gelernter berjudul Source of Western Architectural Forms (2005) bisa terpetakan lebih baik. Gelernter mengelaborasi bahwa bentuk dapat diproduksi berbasis lima alasan.

Pertama, bentuk arsitektural diproduksi berbasis fungsi laten. Berdasarkan teori ini dipercaya bahwa bentuk arsitektur yang bagus adalah yang berdasarkan fungsi-fungsi secara fisik, psikologis, serta simbolik.

Kedua, ia mengatakan bahwa rupa arsitektur dihasilkan dari suatu proses imajinasi kreatif. Artinya kemampuan perancanglah yang dominan memproduksi bentuk tersebut. 

Ketiga, bentuk arsitektural dihasilkan oleh pengaruh semangat zaman (spirit of ages) yang saat itu berlaku. 

Keempat, bentuk arsitektur ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi tertentu yang berlaku saat itu.

Dan kelima, bentuk arsitektural diturunkan dari prinsip-prinsip yang abadi atau kanonik yang dihasilkan oleh para perancang, budaya, maupun kondisi klimatik tertentu.

Walau teori ini dibangun dalam konteks peradaban barat, kita tetap dapat menyusun pemahaman untuk istana presiden. Nyoman Nuarta mengambil sumber inspirasi bentuk arsitektur ini dari burung mitologis garuda. Wujudnya muncul dari tradisi kanonik berbasis budaya. 

Pilihan ini tidak salah karena rujukan ini telah disepakati sebagai lambang negara. Namun, beliau mentransformasi bentuk itu melalui teknologi. Sebagai seniman yang berasal dari Bali beliau tentu tidak asing dengan manifestasi garuda ini dalam tataran kekriyaan patung dan gambar (craftsmanship) sebagaimana para undagi menatah batu menjadi bentuk tertentu.

Ketika mengubah skala dari patung menjadi arsitektur, beliau menggunakan teknologi prafabrikasi. Alih-alih menatah, beliau meng-assembling banyak bagian, misalnya bentuk bilah ‘bulu garuda’ yang dirupa menjadi selubung bangunan.

Beliau memang maestro di bidang ini. Terbukti karya besarnya Garuda Wisnu Kencana dan Monumen Jalesveva Jayamahe. Tak ada yang salah di aspek ini. Bahkan, teknologi ini perlu dipelajari oleh para arsitek terutama dalam membesarkan skala (scale-up) bentuk-bentuk organik.

Sebagai sebuah pameran teknologi dan cara membangun, istana presiden adalah sebuah pencapaian yang luar biasa penting bagi arsitektur. Namun, bagaimana “patung besar” ini berkinerja sebagai bangunan atau karakter building performance ke depan, waktu yang akan menjawabnya.

Metafora dan Metamorfosis

Bagaimanapun, perubahan skala dari patung ke arsitektur menjadikan bentuk garuda yang detail di skala patung harus diabstraksi di skala arsitektur. Karya yang terbangun adalah abstraksi gagasan bentuk garuda dan bukan merepresentasikan realitas garuda. Sekali lagi, tak ada yang salah dengan hal ini, namun hal ini membuka pemaknaan yang silang sengkarut.

Sebagaimana dalam teks, ada makna literal atau apa adanya dan ada yang perlu penafsiran. Bentuk arsitektur yang abstrak menghasilkan pemaknaan yang sangat terbuka. Bentuk yang terlalu wantah atau literal (apa adanya) akan dianggap buruk. Sedang bentuk yang interpretatif berpotensi kehilangan tautan dengan rujukan aslinya. Bisa serba salah, memang. Produksi bentuk interpretasi semacam ini membutuhkan proses metamorfosis.

Upaya menciptakan simbol melalui arsitektur memang biasa dilakukan melalui metafora, meminjam bentuk lain untuk mengembangkan ide.

Istana presiden yang terinspirasi bentuk burung garuda tampaknya merupakan upaya membangun simbol keindonesiaan yang diterima semua pihak. Tugu Monumen Nasional di Jakarta meminjam gagasan sakral lingga-yoni diolah dengan semangat modernisme beton yang menghasilkan lingga tugu beton langsing dan yoni lengkung menaungi yang elegan. Lengkungan menara Eiffel sejatinya meniru kangkangan tulang paha dalam menyalurkan beban namun dalam bentuk rangka baja yang canggih di era itu. 

Metafora mengandalkan metamorfosis untuk mempertebal persepsi realitas dengan menghancurkan rasa nyata kita. Metamorfosis adalah perubahan bentuk atau susunan, peralihan bentuk, misalnya dari ulat menjadi kupu-kupu. Bentuk asal hilang kemudian bentuk baru dikemas dengan semangat zaman atau Zeitgeist.

Metafora dan proses metamorfosis adalah alat desain yang unik bertugas menyampaikan rasionalitas imajinatif agar memudahkan komunikasi sebuah objek yang sejatinya mempunyai derajat kompleksitas tinggi. Namun demikian metafora yang kurang hati-hati dapat jatuh ke sekedar peniruan bentuk wantah.

Metafora tanpa metamorfosis berpotensi gagal. Bangunan seperti ini banyak dibangun: Big Duck di Long Island dan Longaberger Building di Newark USA, Museum of Tea Culture / Meitan China, atau Mr. Toilet House di Suwon Korea Selatan sebagai sekadar contoh. 

Dalam pilihan cara desain ini pendidik arsitektur biasanya mengarahkan para arsitek ataupun mahasiswa mengembangkan metamorfosis, mencari unsur desain yang dapat mewakili semangat zaman dan menghindari jatuh ke peniruan wantah.

Dari kacamata teori di atas, Istana Presiden tampak merupakan upaya untuk menyampaikan Zeitgeist melalui prafabrikasi bilah-bilah baja dan kuningan yang akan memberi efek antara ada dan tidak ada ketika dipandang dari sudut tertentu.

Namun demikian sosok bentangan sayap dan “kepala menunduk” berada di simpang jalan metamorfosis: dapat dianggap terlalu abstrak (kurang mirip, kurang wantah) atau justru merangsang ingatan pada sosok lain, misalnya kelelawar (apalagi karena saat ini masih berwarna gelap). 

Karya arsitektur yang bagus sering pula menimbulkan kontroversi pada awalnya namun diterima publik di masa tertentu. Memang beda tipis dengan arsitektur yang buruk yang juga pasti menimbulkan kontroversi, walau mungkin selamanya.

Dari Simbol ke Panoptikon

Dalam sebuah desain arsitektur ikonik seperti Istana Negara, gagasan arsitektural perlu sandaran filosofis. Menggunakan narasi Garuda Pancasila tidaklah salah, karena filsafatnya memang agung dan terbukti mampu menyatukan negeri ini. Namun, kita perlu memahami bahwa keunggulan narasi filsafat adalah pada posisinya sebagai teks bukan konteks.

Garuda Pancasila sebagai teks tidak bercerita tentang realitas burung tertentu. Ia burung mitologis, sekedar simbol. Namun demikian, narasi yang diterjemahkan menjadi bangunan gedung akan memberikan nuansa yang berbeda. Ia tidak lagi mitologis, melainkan konteks yang sarat makna dan sekaligus pelintiran.

Dalam media massa, peringatan upacara 17 Agustus 2024 menampilkan posisi istana presiden sebagai latar belakang dan berada di ketinggian. Istana Negara menjadi latar depan dominan di level mata manusia. Lapangan menjadi ruang publik. Patut diduga—karena publikasi resmi tapak istana presiden tampaknya tidak beredar—publik hanya bisa mengakses dari sudut pandang ini. Interpretasi kontekstual dari situasi ini bisa sangat berbeda. 

Tradisi Jawa memiliki alun-alun yang menyatukan istana (atau kantor pejabat) dengan masjid dan kadang pasar. Lapangan Medan Merdeka Jakarta menyatukan Istana Presiden, masjid Istiqlal, stasiun kereta api, dan banyak perangkat negara lain. Istana Negara menjadi satu dari sekian banyak elemen kota. Walaupun konfigurasi kota Jawa merupakan tradisi feodal dan Jakarta merupakan peninggalan kolonial, suasana ini tampak lebih egaliter dan menimbulkan makna saling mengawasi. 

Berbeda makna bagi Istana Negara dan Istana Presiden Ibu Kota Nusantara. Istana Garuda tersebut bisa dimaknai —dalam bahasa Michel Foucault—sebagai ‘aparatus panoptikon’: pengawasan konstan kepada aparat negara (baca: kementerian) dan juga publik yang berada di “bawah.”

Foucault mensitir diagram Jeremy Bentham untuk desain penjara. Banyak ahli menganggap panoptikon merupakan strategi untuk rekayasa sosial dengan menciptakan ketakutan yang konstan. Foucault dalam bukunya Discipline and Punish (1995) mengungkap cara kerjanya sebagai mekanisme institusional untuk mendisiplinkan dan menjinakkan warga.

Panoptikon tidak dapat dipahami sebagai bangunan belaka, namun sejatinya mekanisme kekuasaan dan politik. Arsitektur memang alat politik yang efektif. Banyak contoh penguasa yang menggunakan arsitektur dan arsitek sebagai pertunjukan kekuasaan: mulai dari Firaun dengan piramida dan Haman sebagai arsiteknya hingga Hitler dengan kota Germania dengan arsitek Albert Speer untuk menyebut contoh yang sangat ekstrem. Sayangnya, mereka semua mempertunjukkan otoritarianisme bahkan totalitarianisme, bukan demokrasi.

Epilog

Berada di batas metafor—dengan atau tanpa metamorfosis dan potensi peluruhan makna dari simbolis ke panoptikon—akan menjadi problematik dalam konteks pemaknaan arsitektur bagi publik. Sebagai ikon Indonesia baru, Istana Presiden idealnya menarasikan gagasan yang imajinatif rasional: gagasan yang kaya metamorfosis (kreativitas) dan mengalir dari praktis (rendah karbon, teknologi informasi, teknologi membangun) ke simbolik abstrak yang melampaui zaman. 

Dari pendekatan ini maka Istana Presiden pada tataran maksud (intention) memang telah menunjukkan karakter tersebut. Namun demikian, di tataran pemaknaan yang liar masyarakat belum menunjukkan tanda sepakat menerimanya dan ada potensi menjadi simbol mekanisme politik yang mengarah pada otoritarianisme.

Apakah masih ada harapan? Ada! Kita dapat membalik narasinya. Istana Presiden dipakai menjadi domain publik. Masyarakat mendapat keleluasaan untuk berkunjung dan sejenak menjadi “pengawas” presiden dan seluruh aparat negara sembari menikmati suguhan inovasi teknologi yang memang kampiun

Seperti Reichstag, rumah dewan perwakilan rakyat Jerman di Berlin, kubah besar yang dahulunya hancur, dirancang ulang menjadi transparan dengan ramp memutar dan menjadi tempat bagi rakyat melihat sepak terjang para wakil rakyat. Ada simbol kedaulatan rakyat di sana.

Referensi

Attoe, W. (1978). Architecture and Critical Imagination. John Wiley & Sons.

Foucault, M. (1995). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books.

Gelernter, M. (1995). Sources of Architectural Form: A Critical History of Western Design Theory. Manchester: Manchester University Press.

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.

Sosialisasi Nihil, Anggota Pers Kena Cegat Panitia Keamanan PESTA 2024

Himmah Online – Komisi B tidak mengadakan sosialisasi mengenai peraturan ketentuan pers pada Pesona Ta’aruf (PESTA) tahun 2024. Tidak adanya sosialisasi tersebut membuat beberapa awak media harus berhadapan dengan petugas keamanan karena dianggap tak sesuai dengan peraturan.

Nasya, Pemimpin Redaksi LPM Ekonomika, mengungkapkan bahwa ketiadaan sosialisasi terkait peraturan ketentuan pers akan memunculkan miskomunikasi antar pihak terkait.

“Udah pasti itu bakal bikin bingung dan miskomunikasi antara lembaga pers dan panitia PESTA sendiri,” jawab Nasya, saat dihubungi awak Himmah melalui telepon Whatsapp, Kamis (5/9).

Nawad Jamunnasyath, Koordinator Komisi B, mengungkapkan bahwa sosialisasi tak sempat digelar karena waktu persiapan yang mepet dengan acara PESTA. “Makanya itu, juga ada inisiasi dari kita supaya sosialisasi lewat grup wa (Whatsapp) saja,” ujarnya saat dihubungi awak Himmah melalui telepon Whatsapp, Senin (9/9).

Grup Whatsapp yang dimaksud merupakan grup antara Komisi B dengan perwakilan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang ada di Universitas Islam Indonesia (UII). Grup tersebut berfungsi sebagai ruang koordinasi, juga penyebaran informasi mengenai peraturan ketentuan pers PESTA 2024.

Tidak ada sosialisasi, Komisi B tetiba membagikan peraturan ketentuan pers tepat pada hari pelaksanaan PESTA, pada hari Rabu (4/9), pukul 07.31 pagi melalui pesan di grup Whatsapp seluruh perwakilan LPM UII.

Pada hari yang sama, pukul 11.22 siang, Sofwan, awak Himmah, dan dua awak magang Himmah hendak melakukan liputan Pra PESTA. Mereka dicegat oleh keamanan PESTA di depan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP).

Awak Himmah dilarang masuk dengan tiga alasan: Pertama, tidak menggunakan pakaian dinas lapangan (PDL) lembaga. Kedua, dilarang masuk karena anak magang. Ketiga, karena yang diperbolehkan masuk hanya dua orang.

“Selain itu juga, yang boleh masuk itu hanya berdua saja, sedangkan waktu itu saya bertiga,” ujar Sofwan.

Dalam dokumen yang dibagikan sebelumnya, tidak ada aturan tertulis bahwa awak LPM diharuskan memakai atribut PDL bagi reporter yang akan melaksanakan liputan. Juga, tak ada aturan yang melarang awak magang LPM untuk melakukan liputan. Jumlah yang diperbolehkan pun tidak sesuai dengan yang ada di aturan tersebut.

Dari kejadian itu, awak Himmah melayangkan protes di grup Whatsapp yang berisi perwakilan seluruh LPM UII beserta Komisi B. Protes tersebut mengenai larangan yang diutarakan pihak keamanan kepada awak Himmah yang tidak sesuai dengan peraturan ketentuan pers yang dibagikan.

Komisi B mengklarifikasi bahwa peraturan yang dibagikan secara mendadak itu belum terverifikasi. Akhirnya mereka membagikan tangkapan layar peraturan ketentuan pers yang telah terverifikasi. Tangkapan layar tersebut hanya memotret peraturan mengenai ketentuan busana.

Sampai hari terakhir rangkaian PESTA 2024 pada Jumat (6/9), LPM yang ada di UII hanya menerima peraturan ketentuan pers yang tidak terverifikasi.

Dalam wawancara via telepon pada Senin (9/9), Nawad tidak menjelaskan mengapa pihaknya tidak membagikan peraturan yang terverifikasi kepada perwakilan LPM seluruh UII. Pihaknya hanya menyebutkan bahwa sosialisasi mengenai peraturan ketentuan pers yang terverifikasi dilakukan secara tatap muka saat bertemu di rangkaian kegiatan PESTA 2024.

“Misalkan ada LPM yang ingin melakukan liputan itu supaya disosialisasikan secara offline, secara bertemu saja,” ucap Nawad.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Komisi B yang memegang urusan mengenai regulasi selalu melakukan sosialisasi ketentuan pers pada LPM  yang ada di kampus UII.

Koordinasi Kurang

Tidak hanya awak Himmah, awak Ekonomika mengalami pencegatan oleh pihak keamanan PESTA sebanyak lima kali saat hendak meliput acara PESTA, pada Kamis (05/09). Dalam hal ini, pihak keamanan mencegat dan memberikan beberapa pertanyaan.

Setelah lolos, awak Ekonomika dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan. Namun, Awak Ekonomika kembali dicegat kembali dan diberi pertanyaan yang sama. Awak Ekonomika terus mengalami pencegatan ketika berpapasan dengan pihak keamanan PESTA selama di area acara.

“Lebih ke kurang koordinasi aja (antar panitia keamanan PESTA). Walaupun mereka jaga di titik plottingannya, tapi tentang ngarahin tamu mereka masih agak bingung,” ujar Nasya.

Hal yang sama terjadi pada awak LPM Kognisia, mereka dicegat sampai tiga kali oleh pihak keamanan. Paramitha, Pemimpin Redaksi Kognisia mengeluhkan bahwa pihak keamanan PESTA 2024 tidak mengetahui bahwa Kognisia merupakan salah satu LPM yang ada di UII.

“Padahal kan udah ditunjukin ya kalau aku sama teman-temanku tuh pakai PDL, tapi mereka kaya nggak ngeh,” ujar Paramitha saat diwawancarai awak Himmah, Senin (9/9).

Reporter: Himmah/Abraham Kindi, Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Nurul Wahidah, Magang Himmah/Latifah Dwi Maharani.

Editor: R. Aria Chandra Prakosa

Fasilitas Kesehatan Kurang, Divisi Kesehatan Kewalahan

Himmah Online – Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menggelar Pesona Taaruf (PESTA) 2024 dengan lebih dari 4.000 peserta terdaftar. Acara berlangsung selama tiga hari, sejak Rabu (04/09) hingga Jum’at (06/09). Selama acara berlangsung, mahasiswa dan mahasiswi baru (maba-miba) sempat jatuh sakit.

Febbi (19), salah seorang staf Divisi Kesehatan, menyebutkan bahwa kasus gangguan kesehatan yang paling banyak dirasakan oleh maba-miba adalah gangguan pencernaan dan maag.

Menurutnya, hal ini disebabkan oleh maba-miba yang tidak sempat sarapan pagi. Selain itu, beberapa maba-miba juga mempunyai penyakit bawaan. Sementara itu, kasus paling berat yang ditemukan berkaitan dengan gangguan pernapasan.

“Sesak. Sama, maaf, ada yang TBC (Tuberculosis) juga, ada yang jantung”, pungkas Narin.

Dalam proses evakuasi, Narin (21) staf Divisi Kesehatan menyatakan terdapat tiga tempat evakuasi bagi maba-miba yang sakit. Tiga tempat tersebut adalah tenda pos kesehatan, ruang mini hospital (minhos), dan rumah sakit (RS).

Penempatan lokasi evakuasi disesuaikan dengan kondisi yang dialami oleh maba-miba. Apabila maba-miba masih kuat untuk melanjutkan kegiatan, divisi kesehatan akan datang dan memberi obat tanpa dievakuasi. Sedangkan apabila sudah tidak kuat, maba-miba tersebut akan dibawa ke posko tenda.

“Habis itu, kalau misalnya memang darurat sekali, kita bisa ke Minhos atau ke RS”, terang Narin.

Staf Divisi Kesehatan Kewalahan

Total seluruh anggota divisi kesehatan berjumlah 55 staf. Dihadapkan dengan sekitar 4000 maba-miba, Narin mengaku kewalahan dalam menangani maba-miba yang jatuh sakit. Jumlah staf divisi kesehatan terlalu sedikit dibanding dengan jumlah maba-miba yang ada.

”Waktu itu, (Divisi Kesehatan) minta untuk tambahan (anggota) lagi, tapi waktunya udah mepet. Gak bisa”, terang Narin.

Sebagai perbandingannya, Narin menjelaskan bahwa dua staf divisi kesehatan bertanggung jawab atas enam jamaah yang terdiri atas 300 maba-miba. “Satu orang harusnya pegang 100 aja, tuh, udah bisa. Kalau lebih dari itu, tuh, emang benar-benar kewalahan banget”, keluh Narin.

Selain jumlah tenaga medis yang kurang mencukupi, terdapat miss communication antar staf. Banyaknya maba-miba yang jatuh sakit membuat komunikasi antar staf terputus, “Karena banyak orang, pasti ada miskom-miskom (miss communication)”, ujar Narin.

Fasilitas kesehatan juga terbatas. Tenda yang digunakan untuk proses evakuasi dinilai terlalu kecil dan sempit. Narin menyebut adanya tenda yang minimalis itu disebabkan karena keterbatasan dana. Juga, dana untuk kebutuhan penyediaan obat-obatan dan sewa ambulance terlampau besar. Sehingga mereka terpaksa setuju dengan ukuran tenda yang minimalis tersebut.

“Terus kan kemarin juga sempat ada masukan untuk tendanya agak gede dan segala macam itu, tapi ternyata nggak di-acc (baca: disetujui) karena terhimpit dana”, jelas Narin.

Akibatnya, dalam tenda tersebut hanya ada kursi untuk menampung maba-miba yang sakit. Bagi maba-miba yang butuh tempat berbaring, mereka akan dilarikan ke minhos.

Kondisi-kondisi di atas membuat Narin berharap agar pihak kampus dan panitia tidak menyepelekan persiapan akan penanganan kesehatan maba-miba. “Sebenarnya lebih aware lagi ya, sama kesehatan. Karena ini kan terkait nyawa orang, ya,” pungkasnya.

Akmel (18), salah satu  miba yang sempat dievakuasi tim kesehatan, mengungkapkan hal senada. Ia berharap kinerja Kesehatan dapat ditingkatkan. 

“Semoga kedepannya di tiap unit kesehatan itu mungkin agak dilebihin. Terus, kayak, jangan cuma di gerombol itu aja. Soalnya, kan, maba sama miba juga nggak sedikit. Terus kalau bisa jangan miskom gitu. Takutnya malah, kayak, memperkeruh suasana”, tuturnya.

Reporter: Himmah/Nurul Wahidah, Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Agil Hafiz

Editor: R. Aria Chandra Prakosa

Malam Inagurasi, Pesta UII 2024 hadirkan Band Dara dan Band Utopia

Vokalis band Dara bernyanyi sambil melambaikan tangan kepada mahasiswa baru dan mahasiswi baru (maba-miba) pada malam inagurasi, sebagai penutup rangkaian acara Pesona Ta’aruf (PESTA) UII 2024, di panggung utama PESTA, Kampus Terpadu UII, pada Jumat (6/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Penampilan band Utopia di malam inagurasi, sebagai penutup rangkaian acara Pesona Ta’aruf (PESTA) UII 2024, di panggung utama PESTA, Kampus Terpadu UII pada Jumat (6/9) Foto: Himmah/Agil Hafiz
Penampilan band Utopia di malam inagurasi, sebagai penutup rangkaian acara Pesona Ta’aruf (PESTA) UII 2024, di panggung utama PESTA, Kampus Terpadu UII pada Jumat (6/9) Foto: Magang Himmah/Fauzan Febrivo Azonde
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Mahasiswa baru (maba) dan satpam kampus ikut menikmati penampilan band di malam inagurasi, sebagai penutup rangkaian acara Pesona Ta’aruf (PESTA) UII 2024, Kampus Terpadu UII, pada Jumat (6/9). Foto: Magang Himmah/Fauzan Febrivo Azonde

Pesta UII 2024 Resmi ditutup, Maba-Miba Mengucapkan Sumpah Mahasiswa

Penutupan Pesona Ta’aruf (PESTA) UII 2024 secara resmi ditandai dengan prosesi pencabutan replika pena bulu merak oleh Wakil Rektor III, Wakil Ketua II Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM), Sekretaris Umum Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM), dan Ketua Organizing Committee (OC) di panggung utama PESTA, Kampus Terpadu UII pada Jumat (6/9). Foto: Magang Himmah/Hana Mufidah
Mahasiswi baru sedang menyanyikan lagu hymne UII, di depan panggung utama Pesona Ta’aruf (PESTA) UII 2024, sebagai penutup rangkaian acara PESTA UII 2024, pada Jum’at (6/9). Foto: Magang Himmah/Felita Nur Safira
Mahasiswa baru dan mahasiswi baru (maba-miba) berdiri dengan mengangkat lilin pada acara penutupan Pesona Ta’aruf (PESTA) UII 2024, pada Jumat (6/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
M. Rafsan Jzani, Ketua Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas (DPM U) memimpin sumpah mahasiswa dibarengi dengan seremonial pengangkatan lilin oleh mahasiswa baru dan mahasiswi baru (maba-miba), pada penghujung rangkaian acara Pesona Ta’aruf (PESTA) UII 2024, di panggung utama PESTA, Jumat (6/9). Foto: Himmah/Subulu Salam

Show Up LK dalam PESTA UII 2024

Penampilan Lembaga Khusus (LK) Marching Band UII pada show up LK, sebagai rangkaian acara di hari kedua Pesona Ta’aruf (PESTA) 2024, di panggung utama PESTA 2024, Jumat (6/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Mayoret Marching Band UII tengah menampilkan pertunjukan tari pada show up LK sebagai rangkaian acara di hari kedua Pesona Ta’aruf (PESTA) 2024, di panggung utama PESTA 2024, Jumat (6/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Salah satu anggota LK (Lembaga Khusus) Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Islam Indonesia (MAPALA UNISI) bersiap-siap untuk mendemonstrasikan penyelamatan menggunakan tali, dari atas gedung Fakultas Kedokteran (FK), kampus terpadu UII, pada Jumat (6/9). Foto: Himmah/Subulu Salam
Daliman (60) salah satu pemungut sampah untuk pakan lele sedang meneduh sambil mengangkat tongkat sampah. Foto: Himmah/Eka Ayu Safitri
Salah satu anggota LK (Lembaga Khusus) Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Islam Indonesia (MAPALA UNISI) sedang mendemonstrasikan penyelamatan menggunakan tali di hadapan mahasiswa baru dan mahasiswi baru (maba-miba) pada acara Show up LK, sebagai rentetan acara di hari kedua Pesona Ta’aruf (PESTA) 2024, dari atas gedung Fakultas Kedokteran (FK), Jumat (6/9). Foto: Himmah/Subulu Salam

Penampilan rappelling oleh dua orang mahasiswi anggota LK (Lembaga Khusus) MAPALA UNISI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Islam Indonesia) dalam acara show up LK, sebagai rangkaian acara di hari kedua Pesona Ta’aruf (PESTA) 2024, di depan gedung Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB), pada Jumat (6/9). Foto: Magang Himmah/Zahrah Ibnu Salim