Tebaran Stiker di Peta FTI

Stiker LEM FTI menjadi salah satu barang bawaan wajib bagi peserta Peta di Kampus FTI UII. Secara tidak langsung dan sekecil apapun, inilah ajang promosi lembaga yang ikut dibiayai konsumennya

Oleh: Ahmad Satria Budiman

Ada sesuatu yang baru dalam Pekan Ta’aruf (Peta) pada tanggal 9 Agustus 2011 lalu di Fakultas Teknologi Industri (FTI). Kegiatan yang bernama Pekta 2011 itu mewajibkan adanya stiker khusus dalam daftar barang bawaan peserta. Stiker yang dimaksud adalah stiker dengan warna latar biru dan gambar bangunan berwarna hitam. Di sana bertuliskan: Lembaga Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia (LEM FTI UII).

Di lingkungan kampus FTI, terdapat beberapa lembaga mahasiswa yang salah satunya adalah LEM FTI. Stiker tersebut bertujuan sebagai sarana perkenalan lembaga kepada para mahasiswa dan mahasiswi baru (maba-miba). Dengan kata lain, sebagai ajang promosi lembaga. “Intinya, biar mahasiswa tidak hanya kuliah saja, tetapi juga aktif berorganisasi,” demikian harapan Rendy Kurniawan selaku Ketua Organizing Committee (OC) Peta FTI 2011.

Para maba-miba tidak serta merta memperoleh stiker secara gratis. Stiker dijual secara paket dengan Jus Madu dan stempel. Mereka harus merogoh kocek sepuluh ribu rupiah demi mendapatkan keduanya. Harga tersebut akan jauh lebih mahal jika maba-miba membelinya di stan-stan atribut (agen) yang ada di sekitar area kampus. Ada yang Rp70.000 untuk satu hari Pekta dan Rp120.000 untuk tiga hari (satu paket biaya dengan atribut Pesta). Lebih lanjut, Rendy menyebutkan bahwa kesepakatan soal nominal harga ada di tangan Komisi C Steering Committee (SC) Peta 2011. Begitu juga kesepakatan dengan pihak LEM, ia menegaskan semuanya ditangani oleh Komisi C. Pihak OC hanya sebatas mengetahui fungsi barang bawaan yang dimaksud supaya jangan terlalu memberatkan peserta. “Asalkan barang tersebut benar, bagus, tidak mengganggu, tidak terlalu aneh, masuk akal, serta ada kegunaan dan manfaatnya,” tambah Rendy.

Komisi C adalah kepanitiaan Peta 2011 yang membidangi hal-hal terkait keuangan. Ditemui di Kantor LEM FTI, Hendia Ventri Ramadhani sebagai Koordinator Komisi C, menjelaskan bahwa pengadaan stiker dimaksudkan sebagai sarana mandiri bagi panitia dalam mencari dana kegiatan. Panitia bekerja sama dengan LEM FTI karena Peta merupakan program kerja dari LEM FTI. Panitia menawarkan kerja sama dalam bentuk promosi lembaga mahasiswa berupa barang.

Sumber pendanaan kegiatan Peta berasal dari lembaga dan fakultas. Lembaga di sini adalah LEM FTI dan DPM FTI, sedangkan fakultas adalah dekanat. Selain dua sumber tersebut, panitia juga mencari dana secara mandiri, di antaranya dari penjualan produk sponsor Jus Madu dan penjualan stiker lembaga. “Dari sekian juta total anggaran, hanya sekitar 70-80% saja yang turun,” terang Hendia.

Hendia yang juga menjadi Kepala Bidang Kajian Strategis LEM FTI mengatakan bahwa awalnya barang yang direncanakan adalah pin dan stiker. Akhirnya, yang disepakati bersama hanya stiker saja. “Stiker itu beli, dijualnya satu paket dengan Jus Madu dan stempel,” imbuh Hendia kemudian. Meskipun dijual secara paketan, maba-miba boleh membeli salah satunya saja. Misalkan, mereka hanya membeli stiker saja atau Jus Madu saja. Penjualan stiker yang satu paket dengan barang bawaan lainnya ini dilakukan agar panitia bisa menutupi kebutuhan, sehingga tidak tergantung pada penurunan dana dari Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Teknologi Industri (DPM FTI). “Kalau dari DPM mesti menunggu dari atas dan penurunannya bertahap,” katanya lagi.

Ketika dikonfirmasi mengenai teknis penurunan dana, Aditya Arifyandy membenarkannya. Ketua DPM FTI ini mengakui bahwa bertahapnya penurunan dana karena dari DPM Universitas juga demikian. “Stiker LEM memang benar menjadi salah satu pemasukan teman-teman panitia, dananya masuk ke LEM dan panitia,” tutur Aditya. Soal harapan stiker menjadi dorongan bagi maba-miba untuk juga aktif berorganisasi selain kuliah, Aditya menerangkan bahwa hal itu tergantung dari sudut pandang mana dulu. Sebab pandangan setiap orang berbeda-beda. “Siapa tahu ada yang penasaran dengan LEM,” ujarnya lagi. Begitu juga dengan anggapan adanya stiker menambah beban biaya bagi maba-miba dalam mengikuti kegiatan. Aditya menjawab bahwa hasil dari penjualan stiker tidak terlalu besar, hanya nol koma sekian persen saja.

Para maba-miba memiliki pendapat masing-masing, Niasari Utami Riskie misalnya. Miba Jurusan Teknik Industri ini mengaku keberatan karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit sehingga dinilai memberatkan untuk anak perantauan seperti dirinya. “Kalau bisa, diusahakan barang-barang untuk acara seperti itu yang bisa dicari sendiri atau yang mengeluarkan biaya tidak terlalu banyak,” kata Niasari. Begitu pula Muhammad Ulil Albab, maba Jurusan Teknik Industri. Ia mengaku keberatan karena harus membayar dengan sejumlah uang untuk mendapatkan barang-barang bawaan. Ia membeli barang di agen dengan harga Rp80.000. “Semua tergantung dari kebijakan lembaga itu sendiri. Kalau bisa, ya jangan mahal-mahal,” ujar Ulil kepada Tim KOBARkobari.

Lain lagi dengan Lisarinda dari Jurusan Teknik Informatika. Ia membeli stiker pada malam hari sebelum kegiatan dari agen yang ada di kampus. “Tapi tidak tahu kalau stiker itu sebagai syarat barang bawaan,” tambah Lisarinda.

Reportase bersama Bayu Putra P, Moch. Ari Nasichuddin, dan M. Alfan Pratama

Podcast

Skip to content