Melihat Indonesia dan Rahmatan lil ‘Alamin-nya

Dalam forum Maiyah dibahas bagaimana bangsa Indonesia mampu mengidentifikasi sejarahnya sendiri. Apakah Indonesia yang melahirkan bangsa? Atau sebaliknya bangsa yang melahirkan Indonesia? Dan pertanyaan lain yang saya pikir penting adalah siapa bangsa itu? Seperti kita ketahui Indonesia bukanlah sebutan yang ada dari suatu wilayah, suku, ras, atau bahkan agama. Indonesia adalah penamaan dari gabungan pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Papua. Indonesia adalah nama dari sebuah kesepakatan politik yang dibuat waktu itu.

Otomatis dengan deskripsi di atas Indonesia tidak berupa satu bangsa, tapi gabungan beberapa bangsa. Maka dari itu, jika ada pernyataan apa yang ada di negera Indonesia harus asli dari bangsa kita sendiri, maka saya akan balik tanya, bangsa yang mana?

Simpan dulu pertanyaan itu. Selanjutnya jika bicara keorisinilan tentu ada kaitannya dengan sejarah peradaban yang mendiami pulau-pulau yang ada di Indonesia ini. Di tanah kita pernah berdiri Kerajaan Hindu, Budha, dan Islam. Tidak cukup di situ, era kolonialisme dan imperialisme pun datang dengan Belanda dan Jepang sebagai agennya. Peradaban-peradaban yang dihasilkan pendudukan itu pastinya berbeda-beda. Dan pasti sekarang kita bisa melihat budaya Indonesia seperti ‘gado-gado’. Mau pilih yang mana?

Saya mencoba memecah peradaban bermacam-macam itu dengan bingkai rahmatan lil ‘alamin atau rahmatan semesta alam. Konsep ini datang ketika era Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam. Secara esensi, konsep rahmatan lil ‘alamin mengatakan bahwa agama Islam muncul memberikan efek positif bukan hanya umat Islam saja, tapi juga untuk umat di luar Islam. Bahkan Islam memberi rahmatnya tidak cukup bagi bumi, atau planet-planet di luar bumi, tetapi segala sesuatu di luar hal duniawi yakni akhirat.

Dengan visi yang wow seperti itu, konsep rahmat bagi semesta alam menjadi sangat luas. Keluasan ini memberikan mandat bagi yang ingin mengamalkan agar menginterpretasikannya sesuai pemahaman masing-masing.

Kembali soal bangsa. Setiap bangsa/suku mempunyai budaya masing-masing. Suku jawa yang dikenal kalem dan mengedepankan unggah-ungguh punya interpretasi rahmatan lil ‘alamin sendiri. Begitu pula suku-suku yang lain.

Sekarang kita lihat bagaimana negara kita, Indonesia. Indonesia mempunyai dasar hukum berupa Pancasila yang dibentuk berdasarkan hasil penyerapan nilai-nilai bangsa-bangsa yang ada di Indonesia, seperti; humanis, gotong royong, dan kekeluargaan. Ketiga nilai tersebut adalah hasil interpretasi para bapak pendiri terhadap konsep rahmatan lil ‘alamin.

Lantas pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia sudah rahmatan lil ‘alamin? Coba kita lihat kasus-kasus yang sudah ramai di media massa. Kasus KPK vs Polri jelas tidak mencerminkan asas kekeluargaan. Bagaimana dengan eksekusi mati kasus narkoba? Jika kita telaah lebih dalam dan membenturkannya dengan nilai humanis sepertinya kebijakan eksekusi tersebut malah merusak nilai tadi. Beberapa kalangan mungkin tahu, bahwa ketegasan dan keadilan hukum di Indonesia belum sempurna. Nenek-nenek dengan mudah diseret ke pengadilan sedangkan elit-elit di atas mesti pilih-pilih dulu untuk sekadar dijadikan tersangka. Dengan kenyataan seperti tidak menutup kemungkinan eksekusi mati bisa dilakukan pada orang yang salah. Dan jika sampai dikenakan pada orang yang salah apakah hukuman mati dapat menyelesaikan masalah, khususnya terkait kasus narkoba?

Nilai terakhir adalah gotong royong. Saya akan membenturkanya dengan kasus pendirian pabrik semen yang ada di daerah Rembang, Jawa Tengah. Pendirian pabrik di sana dapat memberi dampak terhadap kehidupan masyarakat. Masyarakat pedesaan di sekitar Pegunungan Kendeng yang mempunyai pekerjaan sebagai petani. Seperti halnya masyarakat pedesaan dan petani, di sana ada sebuah relasi kekeluargaan yang kuat. Masyarakat desa tidak hanya mempunyai orientasi uang saja, tapi juga mempertimbangkan kondisi yang lain; sosial dan lingkungan. Semua bahu membahu untuk menuju tujuan itu. Otomatis jika pihak pabrik mengeluarkan pernyataan bahwa masyarakat desa tetap bisa mencari penghasilan dengan bekerja di pabrik tentu sebuah tindak peremehan terhadap asas gotong royong.

Meski begitu, kita tidak bisa gegabah dalam menanggapi tindak penyelewengan oknum perusak rahmatan lil ‘alamin versi Indonesia. Kita mesti tetap menjunjung tinggi humanis, gotong royong, dan kekeluargan dalam membuat gerakan pembenaran nilai-nilai yang sudah rusak. Jangan bertindak radikal dan anarkis. Seperti kata Gus Mus, tetaplah dengan kesederhanaan. (Moch. Ary Naschiuddin – Mantan Pemimpin Umum LPM Himmah UII (2013-2015))

Skip to content