Pada tahun ini, Sidang Umum Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (SU KM UII) memasuki sidang yang ke XXXVII. Sidang tersebut mulai dibuka pada tanggal 23 Mei 2016. Sidang sudah berlangsung sekitar empat bulan lebih, namun tidak kunjung selesai. Hal ini menuai banyak kritik terutama kepada legislatif terpilih universitas. Berdasarkan liputan yang dilakukan oleh Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH pada berita “Pesta Tanpa Ketua DPM dan LEM” Abdul Jamil selaku Wakil Rektor III bagian kemahasiswaan menanggapi keterlambatan SU tersebut. “Saya sedih berarti mahasiswa tidak bisa memikirkan dirinya sendiri, mahasiswa masih egois. Masa sudah berbulan-bulan belum terbentuk. Dalam sejarah mungkin ini yang terburuk,” tuturJamil.
Setelah pernyataan Jamil, mulai bermunculan pandangan maupun komentar tentang SU KM UII ke XXXVII, seperti salah satu postingan yang dimuat oleh akun Line Mahasiswa UII, “Ada apa dengan SU KM UII?”. Selain itu, terdapat juga komentar dalam akun tersebut,“Ngurus diri sendiri aja segitu lamanya, gimana ngurus Mahasiswa UII?”. Apakah pernyataan tersebut merupakan suatu kritik yang hendak menggugah serta membangun kepada para pelaku SU KM UII ke XXXVII?. Bahkan, sampai ada yang mempertanyakan tentang perlunya kelembagaan mahasiswa, jika keadaannya seperti ini.
Menanggapi kritik-kritik yang ditujukan atas keterlambatan SU KM UII dari berbagai pihak. Dimana dalam pandangan saya, kritik-kritik tersebut memiliki kerancuan dalam penilainnya. Hal tersebut dikarenakan dalam mengkritik atau menilai harus melihat peristiwa itu secara kompleks dan menyeluruh. Sedangkan, sebagai kaum intelektual, tentunya kita harus kritis dan tidak begitu saja menerima informasi atau kritikan tanpa mengkonfirmasikannya kembali dengan sumber lain.
Bagi penulis, ada beberapa hal yang harus kita pahami dan sadari dalam menilai suatu peristiwa. Karena dalam suatu penilaian peristiwa apapun bentuknya selalu terdiri dari fakta dan interpretasi. Fakta peristiwa dalam realitas tertentu bersifat objektif. Sedangakan, interpretasi peristiwa adalah tafsiran atau subjektif.
Edi Riyanto dalam bukunya Sejarah di Tengah Dinamika Politik (2006:01), menyebutkan bahwa setiap kita hendak menilai suatu peristiwa. Berdasarkan ungkapan dari Edi, maka hal pertama yang harus dilakukan dalam menilai suatu peristiwa adalah membaca konteks itu sendiri, dengan mengambil data atau memperoleh pengetahuan mengenai apa yang terjadi pada peristiwa itu. Bagaimana terjadinya dan mengapa peristiwa itu terjadi. Tetapi sebenarnya, penilaian yang kita nilai terhadap suatu peristiwa bukanlah kejadian peristiwa itu sendiri, melainkan hanya sekadar penggambaran ulang atau rekonstruksinya. Sehingga, penilai yang kritis dan bijaksana akan senantiasa sadar bahwa peristiwa yang aktual dan objektif, tidak bisa disamakan begitu saja dengan rekonstruksinya. Hal itu dikarenakan di sana ada proses mental tertentu (unsur subjektif) pada diri si penilai dalam melakukan rekonstruksinya. Sehingga, unsur subjektifitas menyusup kedalam penilaiannya.
Fakta sebuah peristiwa tidak begitu saja berbicara dan dimana fakta peristiwa tersebut akan bermakna setelah diinterpretasikan, serta sepenuhnya bersifat subjektif. Maka, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mungkinkah penilai peristiwa mampu mengatasi nilai baik dan buruk terhadap konteks peristiwa dan pelaku peristiwa? Mampukah dia (sebagai penilai peristiwa) memisahkan dirinya dari afiliasi politik, ideologi, keyakinan agama, dan semangat zaman yang melingkupinya?
Anggaplah dinamika para legislatif terpilih universitas di SU KM UII tahun ini menjadi sejarah terburuk seperti yang dikatakan oleh Wakil Rektor III. Akan tetapi, apakah bijaksana bila kita nilai peristiwa itu sebagai kesalahan besar yang harus dilekatkan kepada legislatif terpilih? Karena menurut saya, bila kita menilai sejarah (peristiwa), maka kuranglah bijak bila kita nilai keadaan sekarang ini hanya dengan melihatnya dalam kerangka ruang dan waktu yang ada di akhir-akhir ini saja. Sebagai penilai peristiwa, kita harus membaca dan melihat dengan mundur kebelakang terkait bagaimana pengaderan dan keadaannya di masa itu, karena proses terjadinya masa sekarang tidak bisa lepas oleh masa sebelumnya.
Pandangan di atas ini juga senada menurut Filosof G.W.F. Hegel yang menyatakan, bahwa:
Sejarah bukanlah sembarang deretan peristiwa biasa, melainkan suatu proses yang dapat dimengerti, dikuasai oleh hukum-hukum objektif, yang hanya dapat dipahami dengan memandang sejarah sebagai suatu keseluruhan. Karena, ia (sejarah) bukannya sebuah kisah kemajuan unifrom satu arah, tetapi suatu proses yang dialektis. Sejarah hanya merukunkan kembali dari dialektis-pertentengan thesa dan anti thesa- tersebuat dalam suatu proses menghimpun menuju sinstesis.
Jadi menurut Penulis adalah, jika kita hendak menilai suatu peristiwa atau sejarah, maka lihat dan bacalah peristiwa atau sejarah tersebut secara mendalam dan kompleks. Jika tidak, maka pembahasan atau penilaian terhadap dinamika SU KM UII ke XXXVII hanya menjadi ketegangan isu yang kurang filosofis dan pembahasan yang tidak epistemologis. Selain itu, kita harus bersikap hati-hati atas kritikan atau penilaian seseorang terhadap sesuatu, karena itu tidak terlepas dari kepentingan yang berdiri di belakangnyadan subjektifitas penilai.
Adapun, kericuhan isu yang berimplikasi besar terhadap khalayak (Mahasiswa UII) juga perlu dievaluasi oleh Wakil Rektor III sendiri, karena dia juga yang memiliki tanggung jawab terhadap kegiatan kemahasiswaan, seperti, apa yang menjadi langkah konkret bagian kemahasiswaan dalam menyikapi isu ini agar tidak semakin larut? Atau jangan-jangan terjadi gap komunikasi yang cukup lebar antara Wakil Rektor III dengan pejabat mahasiswa sehingga, hanya ada respon arogan di tengah publik? (Sirojul Lutfi – Mahasiswa Teknik Industri 2012)