SIDANG UMUM : REPRESENTASI POLITIK ETIS ATAU POLITIK APATIS

Pernyatan para mahasiswa itu bukan suatu pernyataan politik, melainkan suatu pernyataan etik.

(Jap Ki Hien)

Jalanan menjadi saksi bisu, di atasnya terekam jejak kaki anak muda yang berteriak dengan amarah dan protes. Terutama pada kekuasaan yang zalim dan mengabaikan suara keadilan. Tak aneh rasanya bila selalu saja para penguasa memiliki hak dan perlakuan istimewa atas fasilitas dan kewenangan yang mewah. Tengoklah Mesir yang berguncang karena suara massa kaum muda, kepalan tangan mereka menjadi pertanda bersatunya kekuatan untuk mengusir sang presiden. Lihat Tunisia yang bergolak dengan pemicu bakar diri, seorang pedagang kecil atas ketidakpuasan terhadap penguasanya.

Sedikit uraian di atas, menjadi pemantik utama dalam topik kini yang lazim untuk dibahas, yaitu mengenai mandeknya Sidang Umum Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (SU KM UII) yang ke XXXVII. Hal itu mempengaruhi stabilitas pergerakan kelembagaan di kampus yang identik dengan citra Rahamatan Lil Allamin. Secara historis lembaga kemahasiswaan UII menganut sistem Student Government yang lahir pada 21 September 1950. Sistem tersebut secara umum dapat digambarkan sebagai sistem yang mengedepankan independensi mahasiswa yang ketika itu tengah dilakukannya praktik normalisasi kampus oleh rezim orde baru yang dikenal dengan Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi. Hal tersebut yang menjadikan kini berjalannya roda kelembagaan kampus yang dapat dipandang menjadi mitra dengan pihak rektorat atau dekanat.

Melihat hari ini, dengan belum terpilihnya wakil bagi mahasiswa-mahasiswi menumbuhkan rasa ketidakpercayaan atas praktik kelembagan yang tengah dirundung kegelisahan karena belum tercapainya musyawarah mufakat di SU KM UII dalam menentukan struktural kelembagaan kampus yang berlainan dengan cita-cita awal para penggagas sistem Student Government untuk mengintegrasikan diri dalam satu barisan. Contoh kecil dari imbas tersebut yaitu terhadap Pesona Ta’aruf (Pesta), yang harusnya diprakarsai dan dilaksanakan oleh wakil-wakil dari mahasiswa UII.

Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan mendasar, “Matikah gerakan mahasiswa hari ini?”. Sejatinya kontradiksi yang terjadi didalam SU KM UII merupakan bentuk kemunduran yang ada di dalam kampus UII. Hal tersebut mengurangi esensial dari mahasiswa-mahasiswi yang seharusnya menjadi ­pioneer dalam menebar dan memberikan manfaat bagi hajat orang banyak, kini malah yang terjadi adalah menimbulkan kerugian bagi banyak orang.

Oleh karena itu, perlu dibutuhkan integrasi antar individu atau golongan untuk mengesampingkan egosentris pemikiran yang mengekang yaitu dengan memperlihatkan cara pandang terbuka dengan tidak menutup diri satu sama lain. Selain itu, kemauan dan kesadaran dari pihak-pihak yang terkait, adanya menjadi kunci dalam memajukan kelembagaan KM UII. (Muhammad Ibnu Prabowo – Mahasiswa Fakultas Hukum)

Skip to content