Bukan Ekonomi Islam, Tapi Kapitalisme Religius

Dewasa ini, tampaknya kapitalisme dan semangat religius dianggap sebagai pasangan ganjil. Sesuatu yang kontradiktif dan tak mungkin dapat disintesiskan. Layaknya hubungan politik dan moral yang dibandingkan oleh Machiavelli, begitu pula dengan kapitalisme. Telah menjadi sebuah kata yang sangat buruk, sebagaimana politik. Konotasi menghina ini tidak begitu jelas. Paling tidak, serangan-serangan Karl Marx yang menjurus terhadap kapitalisme merupakan penyebab penting penghinaan itu muncul. Beda halnya dengan semangat religiusitas yang melekat pada kebatinan dan ketuhanan, merupakan hal yang dipandang sakral dan suci, sehingga tidak bisa dicampur adukkan dengan kehidupan dunia yang penuh kekotoran.

Dua hal yang sangat berbeda dalam ranah pemaknaannya. Jika yang satu memperlihatkan kedekatannya dengan ajaran materialistik, yang lainnya mengajarkan spritualitas yang berhubungan dengan realitas tertinggi. Sifatnya pun bertolak belakang, yang satu mengutamakan rasionalitas, yang kedua dianggap intuitif. Sama halnya dengan ilmu positif dan ilmu negatif.

Tetapi keduanya dapat saja disintesakan. Memasuki dunia Hegel, kita meminjam istilahnya tentang tesis antitesis untuk mengkaji hal tersebut. Kapitalisme sebagai sebagai tesis dan semangat religious sebagai antitesisnya. Ketika dipadukan, maka akan menghasilkan kapitalisme religious.

Filsafat I Ching, tentang realitas Tao juga bisa dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Tao sebagai suatu proses kosmik aliran dan perubahan yang terus menerus. Di mana terdapat dua kutub yang membatasi perubahan tersebut. Keduanya adalah sebuah kesatuan tunggal yang membentuk keseimbangan dinamis, dikenal dengan Yin dan Yang. Sesuatu yang baik bukanlah yin ataupun yang, tetapi keseimbangan dinamis antar keduanya. Sementara yang buruk atau yang mengganggu adalah ketidakseimbangan antara yin dan yang. Maka kapitalisme religious, semestinya adalah keseimbangan anatara intuisi (yin) dan rasional (yang), antara normatif (yin) dan positif (yang).

Menurut Iggi Achsien di dalam jurnalnya yang berjudul Menuju Kapitalisme Religius, pengertian ekonomi religius adalah sebuah free market enterprise system di mana aktivitas ekonomi para pelakunya –yang meliputi produksi, alokasi, konsumsi, dan distribusi kekayaan– dituntun oleh etika, moral, dan semangat keagamaan. (Achsien, 1999)

Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kapitalisme religius adalah sistem ekonomi holistik yang dituntun oleh prinsip, nilai, dan norma etika beragama yang dibangun atas dasar keadilan dan kebaikan (al-adl wal ihsan) bagi kemanusiaan. Tidak sekedar mekanisme aktivitas ekonomi yang mengatur sumber daya untuk memenuhi kebutuhan material dan fisik masyarakat, tetapi juga untuk melengkapi kebutuhan spiritual dan intelektual. Dalam kapitalisme religius pun diupayakan suatu optimasi dengan penggunaan sistem yang berkelanjutan (sustainable system). Sistem ini memperhitungkan keadaan ataupun situasi generasi mendatang, manajemen fiskal yang disiplin, dan adanya agenda kepeduliaan sosial yang melembaga sebagai bahan pertimbangan.

Dari sini, dapat ditemukan prinsip yang kemudian terefleksikan pada kapitalisme religius yang akan diuraikan. Hal ini meliputi pandangan tentang manusia dan hubungannya dengan Tuhan sebagai dasar filosofis, pandangan atas kepemilikan pribadi, insentif yang mendorong tindakan, mekanisme alokasi, serta peran pemerintah dalam hal pemerataan keadilan (distributive justice).

Karena sejatinya, sistem ekonomi pun tak lepas dari filosofi kemanusiaan yang melatarinya. Sebuah fakta bahwa sumber fenomena ekonomi dan sosial adalah manusia. Di mana kondisi sosio-ekonomis diturunkan dari tindakan individu dengan individu lainnya dalam masyarakat. Dan tindakan individu dengan masyarakat merupakan manifestasi dari moralitas, serta penampakan kasat mata tidak terpisahkan dengan kesadaran nilai dari dalam.  Jelas, kapitalisme religius memiliki filosofi pengembangan kemanusiaan yang sekaligus menjadi asumsi yang melatarinya.

Manusia dalam bahasa confusianism sendiri disebut sebagai chun tzu (perfect man) atau jen (superior man) yang loyal terhadap moral dan memperlakukan yang lain seperti memperlakukan dirinya sendiri. Sedangkan dalam tradisi Islam, dikenal konsep insan salih atau insan kamil (the virtuous/perfect man) sebagai wakil Tuhan di muka bumi, khalifah Allah Fil-ard (God vicegerent on earth). Asumsi ini adalah cita-cita untuk mencapai kemuliaan kemanusiaan, dignitiy of man, sebagai sebuah keindahan yang tidak terbandingkan. Seperti yang diekspresikan Shakespeare dalam Hamlet :

What piece of work is a man! How noble in reason! How infinite in faculty! In form, in moving, how express and admirable! In action how like an angel, in apprehension how like a god! The beauty of the world! The paragon of animal! (Act II, scene ii).

Aspek lain yang perlu dikemukakan adalah bahwa manusia memiliki pula etika kehendak bebas sebagai individu maupun secara kolektif. Manusia berhak untuk memilih berbuat baik atau buruk. Etika kehendak bebas ini diimbangi dengan pertanggungjawaban, amanah atau akuntabilitas.

Ekonomi Islam dan Kapitalisme Religius di Indonesia

            Menurut Bahtiar Effendy, pemikiran ekonomi adalah bidang yang paling sedikit menjadi perhatian dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Bukan hanya karena tak banyak orang yang ahli tentang masalah ini, tapi juga karena isu ekonomi tidak menjadi perhatian utama para pemikir Islam. Selain itu, wacana ekonomi dalam pemikiran Islam kontemporer telah terdistorsi sedemikian rupa dalam wacana ‘islamisasi ekonomi’ yang lebih bersifat ideologi ketimbang ilmu.

            Dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, pemikiran ekonomi memang selalu dikaitkan dengan sosialisme, yang akrab dikenal sebagai ekonomi Islam. Hal ini pertama-tama terkait erat dengan akar pemikiran Islam itu sendiri yang penuh dengan sejarah sosialisme, atau malah juga terkait erat dengan sejarah pemikiran ekonomi di Indonesia secara keseluruhan, yang memang sangat didominasi oleh pemikiran kiri (baca; sosialis).

Citra bahwa Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan tak terpisahkan telah disemai sejak zaman Tjokroaminoto, bapak pemikiran Islam modern. Tjokroaminoto ialah seorang intelektual Islam pendukung sosialisme. Setelah Tjokroaminoto, sejarah pemikiran keekonomian dalam Islam hampir tak bisa keluar dari paradigma sosialisme. Apalagi disokong oleh intelektual seperti Sjafruddin Prawiranegara atau Muhammad Roem, yang kerap dianggap sebagai pemikir garda depan Masyumi, adalah seorang ‘sosialis religius’. Mungkin karena alasan historis ini, banyak generasi pemikir dan intelektual Islam yang lebih belakangan, menganggap Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan yang tak terpisah, dan ujungnya kembali lagi pada ekonomi Islam.

Namun dari sekian banyak pemikir Islam kontemporer yang ada di Indonesia,  adalah Nurcholis Madjid, salah seorang tokoh pemikir liberal muslim dalam hal politik-keagamaan yang juga bersikap liberal dalam masalah-masalah ekonomi. Meski tak banyak berbicara tentang pemikiran ekonomi karena memang bukan bidangnya, pandangan-pandangan keekonomian Cak Nur boleh dibilang lebih dekat kepada liberalisme ketimbang sosialisme.

Dalam bukunya yang berjudul Indonesia Kita, dirinya banyak membahas persoalan politik dan kenegaraan. Cak Nur menguraikan pentingnya peran keterbukaan dan liberalisasi ekonomi. Privatisasi dan kegiatan ekonomi bebas, menurutnya, bukan hanya akan melahirkan dan mendorong ekonomi yang sehat, tapi juga dapat mempercepat dan memperkuat konsolidasi demokrasi.

Kritik Terhadap Kapitalisme Religius

Jika kemudian muncul kritik bahwa sebenarnya kapitalisme dan sosialisme pun dapat melalui sintesa hegelian maupun realitas Tao, sehingga katakanlah menghasilkan mixed system atau market socialism, maka argumen balasan yang bisa dikedepankan adalah bahwa sintesa macam tersebut bukanlah bentuk ideal yang bisa dicapai. Alasannya adalah bahwa under capitalism man exploits man, under socialims it’s just the reverse (Galberth, 1958). Apa yang harus disintesakan dari hal yang tidak berbeda? Kemudian, keduanya masih mengedepankan rasionalitas karena yang melandasinya adalah sekulerisme. Sintesa tersebut masih belum bisa menghubungkan manusia kepada tujuan tertingginya, realitas tunggal.

Maka bila kita bicara tentang tujuan masyarakat yang lebih luas, kita benar-benar bicara tentang pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menyangkut masalah-masalah manusia, masyarakat, dan arti kehidupan dalam hubungannya dengan agama. Kemampuan terbatas dari ideologi-ideologi keduniawian yang secara efektif digunakan untuk mengerahkan tenaga-tenaga pendorong di dalam bagian masyarakat tradisional kita ini, memiliki syarat yang berupa hubungan-hubungan tak terpisahkan dari nilai-nilai dan sikap budaya di dalam masyarakat kita dengan kepercayaan agama yang kompleks itu (Soedjatmoko, 1984).

Sehingga untuk meningkatkan pembangunan ekonomi yang didasari oleh sistem ekonomi yang kokoh, diperlukan penggiatan dorongan-dorongan yang mendasar. Dorongan mendasar tersebut tertanam dalam acuan budaya beragama. Lagi pula, agama diturunkan untuk menjawab persoalan manusia di dunia, baik dalam persoalan makro maupun mikro. Karena itu diperlukan “pembumian” ajaran langit mencakup pengamalan agama dalam segenap aspek kehidupan manusia, termasuk persoalan ekonomi. Dengan demikian, sekulerisme sudah jelas ditolak karena hanya akan menimbulkan alienasi (keterasingan) secara individual maupun masyarakat.

Jika mengkajinya secara filosofis, kapitalisme religius adalah proses dialektika dari sistem bumi dan sistem langit. Harmonisasi rasionalisme dan spiritualisme. Yang positif dengan Yin normatif. Pembahasan futuristik menunjukkan bahwa kapitalisme bisa jadi sebagai end of history. Tapi tidak lantas memberhentikan tantangan-tantangan sosial yang muncul. Kapitalisme yang mengalami perubahan, dan goncangan-goncangan. Semangat religius bisa jadi yang membuat perubahan-perubahan tersebut. Sejalan kebangkitannya di milenium ketiga ini.

Sebenarnya, kita yang menentukan apa yang kita inginkan dapat diwujudkan atau tidak. Sistem apa pun itu kalau dinilai baik, perlu diupayakan untuk direalisasikan. Tentunya dengan memperhitungkan keterkaitannya dengan faktor-faktor lain yang juga signifikan dalam membawa transformasi sosial, yang dalam hal ini perkembangan ekonomi secara kualitatif maupun kuantitatif. Alternatif lain kita menempatkan diri kita di dalam le strategy de fatale Baudrillard yang penuh paradoks: tidak menerima, tidak menolak, tidak mengkritik, tidak menyanjung situasi yang ada, tidak berbuat apa-apa! Peduli amat! (Zikra W. Nazir – Mahasiswa Teknik Industri International Program 2015/Staf Jaringan Kerja LPM HIMMAH UII 2016/2017)

Referensi

Achsien, I. H. (1999). Menuju Kapitalisme Religius? Journal Bank Indonesia , 3.

Naqvi, N. H. (1981). Ethics and Economics: an Islamic Synthesis. London: Islamic Foundation.

Rahardjo, Dawam, ed., Pembangunan Ekonomi Nasional, Jakarta:Intermasa, 1997.

Soedjatmoko. (1984). Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES.

Speechler, M. C. (1990). Perspective In Economic Thought. Singapore: McGraw Hill.

Skip to content