Menilik Kehidupan Perempuan di Tengah Pandemi

Himmah Online – Munculnya Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) berdampak besar ke segala lini kehidupan. Salah satunya terhadap kondisi perempuan. Pandemi dinilai turut menjadi pemicu kerentanan perempuan terhadap kekerasan berbasis gender.

Fenomena meningkatnya kekerasan terhadap perempuan selama pandemi mendorong Laskar Mahasiswa Republik Indonesia menyelenggarakan diskusi “Yang Terjadi Pada Perempuan Di Tengah Pandemi” pada Minggu, (07/03) malam melalui aplikasi Zoom.

Diskusi tersebut diisi oleh Nining Elitos selaku Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia; Siti Sugiarti selaku Warga Rukun Tani Pakel; Ajeng Adinda Putri dari Lingkar Studi Gender Mahasiswa UNAIR; dan Sofa dari Persatuan Waria Kota Surabaya.

Sofa menyampaikan kondisi pandemi memberikan dampak secara ekonomi terhadap teman-teman transpuan. “Kami banyak kehilangan pekerjaan, banyak berkurangnya penghasilan, yang misal sehari dapat Rp100.000,00, karena Covid-19 hanya dapat Rp25.000,00 atau Rp20.000,00,” ujarnya.

Hal tersebut dikarenakan kebanyakan pekerjaan mereka memerlukan kontak secara langsung dengan pelanggan, seperti usaha salon, perias pengantin, penyanyi acara hajatan, dan pengamen.

Peraturan pemerintah yang mengharuskan untuk saling menjaga jarak alias social distancing juga semakin membuat teman-teman transpuan khawatir akan usaha mereka.“Teman-teman banyak yang takut, khawatir salonnya berakhir tidak dibuka, dan mungkin untuk bertahan hidup dia akan jual yang dia punya,” ungkap Sofa.

Sofa juga menceritakan ketika ia mengikuti sebuah acara webinar banyak sekali keluhan-keluhan yang disampaikan oleh teman-teman transpuan terkait bagaimana was-wasnya mereka akan Covid-19. Namun, setelah diberikan masukan-masukan tentang apa saja yang harus diperhatikan terkait Covid-19, kekhawatiran teman-teman transpuan mulai berkurang.

“Alhamdulillah belakangan ini dengan mematuhi protokol kesehatan, teman-teman transpuan sudah mulai kembali menjalankan pekerjaan masing-masing, walaupun penghasilannya belum sepenuhnya kembali seperti dulu,” sambungnya.    

Siti Sugiarti menjelaskan kondisi Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi di mana selama pandemi ini tidak jauh berbeda dengan sebelum pandemi. Di desa tersebut masih saja terjadi ketimpangan penguasaan lahan. “Kami sudah menanam, tapi dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tanaman kami itu rusak, seperti ditebang dengan seenaknya saja,” ungkapnya.

Perjuangan terkait lahan di Desa Pakel sudah terjadi sejak dahulu, antara tahun 1926 atau 1936.  Siti Sugiarti mengibaratkan perjuangan kala itu sebagaimana video dokumenter G30SPKI.

Sejak dahulu hingga sekarang, tidak banyak laki-laki yang tinggal di Desa Pakel. Kebanyakan dari mereka lebih memilih meninggalkan dasa, sebab sudah tidak ada lagi lahan yang bisa dikelola. Selain itu juga karena mereka ketakutan jika nantinya justru ditangkap oleh oknum-oknum yang merampas lahan.

“Waktu itu saya masih belum berkeluarga, ada tetangga saya yang meninggal, bahkan yang memikul mayatnya ke tempat pemakaman terakhir itu adalah seorang perempuan,” ucap Siti.

Untuk itu, Siti berharap agar lahan Desa Pakel dapat ditempati secara utuh tanpa harus diganggu, supaya tidak kesulitan secara ekonomi. Sehingga, mereka bisa bertahan hidup dan juga mampu menyekolahkan anak mereka agar memiliki kesetaraan pendidikan dengan anak-anak yang lainnya.

Dari segi realita, Nining Elitos memaparkan bahwasanya dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, sama saja pemerintah tidak turut mendukung keadilan bagi kaum buruh. Karena ketidakadilan itu, selama pandemi, buruh turut turun ke jalan melakukan aksi untuk menyuarakan keresahannya perihal kepastian kerja.

Kemudian, ia menilai UU Cipta Kerja semakin memperburuk perlindungan, peningkatan kesejahteraan, bahkan ruang demokrasi. Bentuk perlakuan semena-mena dan perampasan hak tersebut bagi buruh perempuan misalnya adalah cuti haid.

“Sampai saat ini banyak buruh perempuan tidak cuti haid karena mereka harus diperiksa oleh dokter, terus kemudian mereka harus diperlihatkan begitu, sebenarnya itu juga bentuk kekerasan dan pelecehan seksual juga terhadap para pekerja perempuan,” ungkapnya.

Dalam pemaparannya, Nining Elitos juga mengatakan kalau kondisi pekerja buruh karena UU Cipta Kerja sebenarnya semakin tidak baik. Namun, lagi-lagi pemerintah hanya berdiam diri. Pemerintah melakukan pembiaran.

“Sampai hari ini, kita masih merasakan perampasan, tidak hanya di sektor buruh saja, tetapi juga sektor pertanian seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan,” terang Nining.  

Di masa pandemi, semua terhubung secara digital. Ajeng Adinda Putri lantas menyatakan bahwa situasi demikian menyebabkan peningkatan kekerasan seksual yang menyasar ke kelompok-kelompok orang tua, anak, dan LGBT.

Pada tahun 2020 diketahui bahwa terjadi lebih dari 1300 kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan, tetapi faktanya kurang dari 10% yang berani melaporkan kasus mereka. Hal itu karena kebanyakan korban yang melapor justru mendapat stigma sosial, bukan malah dilindungi.

“Hal ini lah kemudian mengapa banyak terjadi pergerakan-pergerakan untuk melindungi korban salah satunya yakni kekerasan berbasis gender untuk menanggulangi kasus seperti ini,” ujar Ajeng.

Ajeng mengatakan dampak dari kekerasan seksual tidak hanya secara fisik, tetapi juga psikis, bahkan ekonomi. Ajeng juga menambahkan bahwa psikiater menganggap kekerasan seksual ternyata berdampak secara serius terhadap hilangnya masa depan korban. Oleh karena itu, kekerasan seksual tidak seharusnya dianggap remeh. 

“Bahkan, ini bisa menjadi isu nasional bila tidak segera diatasi,” pungkas Ajeng.

Reporter: Afvia Diyun Duhita

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Skip to content