Di kelas 2 SMA saya membaca dua tulisan AE Priyono di majalah Scientiae terbitan ITB, salah satu judulnya: “Nasionalisme Sehari-hari”. Bukan saja judul itu membuat saya penasaran, isinya pun hal yang sama sekali baru dan tidak pernah saya pikirkan sebelumnya (meski saya lupa pokok-pokok idenya).
Priyono waktu itu masih di tahun pertama kuliah di Fakultas Hukum UII, sehingga saya melacaknya melalui senior teman kos yang kuliah di Fakultas Ekonomi universitas yang sama. Kata teman itu, AEP dikenal sebagai mahasiswa yang menonjol, meski dia tak kenal pribadi.
Setelah saya sendiri masuk FH-UII dua tahun kemudian, saya bukan hanya mengenal AEP, tapi menjadi sahabat kentalnya. Ia menjadi pemimpin redaksi majalah kampus “Muhibbah”, dan saya dimintanya menjadi anggota dewan redaksi, setelah diajak masuk menjadi staf redaksi oleh pemimpin umum terpilih, Moh. Mahfud MD.
Semangat egaliter intelektual Priyono sangat mengesankan. Ketika saya menolak posisi di dewan redaksi itu, dengan alasan saya baru tiga bulan menjadi mahasiswa — sementara dewan itu lazimnya diisi oleh para senior — Priyono dalam rapat resmi berkata tegas: “Kita di sini tidak peduli dengan soal senioritas. Ukuran kita hanya satu: kemampuan!”
Belakangan saya baru mengerti bahwa yang dia gariskan itu disebut sistem meritokrasi. Dan sejak itu AEP diam-diam saya jadikan mentor informal; dia sendiri konsisten dalam hal ini: tidak pernah berperan atau merasa diri menjadi mentor atau berpretensi mengantungi kredensial superioritas intelektual, lalu memperlakukan juniornya sebagai anak buah atau “binaan”.
Padahal seandainya ia berpretensi demikian (sesuatu yang lumrah dalam kehidupan aktifis kampus), ia pantas. Dan memang tak sedikit mahasiswa yang ingin pintar yang berusaha menjadikannya sebagai pembimbing.
Apalagi Priyono sendiri pernah menjadi ketua komisariat HMI, sebuah lembaga pengkaderan ekstra universiter. Ia seolah menganggap mentor-mentoran dan pretensi senioritas itu bagian dari feodalisme yang sangat tidak disukainya.
Dengan sikapnya itu, saya, yang berasal dari keluarga yang egaliter dan demokratis, merasa nyaman bergaul dengan dia. Beda angkatan kuliah 3 tahun dan usia hampir 4 tahun, tak membuat jarak emosional di antara kami.
Dan kami sama-sama malas belajar ilmu hukum. Ilmu-ilmu sosial, yang di awal 1980an itu sedang meriah, jauh lebih memikat. Tentu saja saya dengan tertatih-tatih ikut membaca kitab suci ilmu-ilmu sosial Indonesia, jurnal Prisma, terbitan LP3ES.
Dalam keadaan konstan kekurangan uang, kami tetap berusaha memburu buku-buku, terutama di perpustakaan Gereja Katolik Kotabaru, tempat ajaib yang menyimpan puluhan ribu buku dalam belasan bahasa (tapi kami hanya berkepentingan dengan yang berbahasa Inggris).
Perpustakaan itu menyediakan jasa fotokopi berikut penjilidannya, yang mampu membuat fotokopian sangat mirip dengan buku aslinya. Ini sangat mengagumkan dan menyenangkan. Maka, misalnya, kami juga punya “buku” Orientalism karya Edward Said yang saat itu menghebohkan dunia akademis Amerika karena pendekatan Said yang radikal membongkar agenda-agenda minor Barat terhadap budaya Timur melalui karya sastra, film, studi antropologi dll.
Tidak ada pula tempat di Jogja selain perpustaan gereja itu yang menyediakan jurnal-jurnal seperti The Third World Quaterly, bahkan Afkar Inquiry, sebuah majalah hasil kolaborasi intelektual-intelektual Muslim seperti Ziauddin Sardar, Meryl Wyn Davies, Gulzar Haider dan para akademisi Muslim yang mengajar di Kanada, Amerika dll.
Kami juga selalu memburu South, majalah bulanan terbitan publisher Pakistan Humayun Gauhar dan ekonom-ekonom “alternatif” seperti Kurshid Ahmad ata dan Altaf Gauhar. Tentu saja kami juga menggandrungi Arabia, majalah bulanan yang konon dibiayai pemerintah Arab Saudi tapi punya kebebasan penuh dalam editorialnya. Belakangan terjadi konflik di antara mereka, dan Saudi menyetop pembiayaannya.
Sebagai mahasiswa yang meminati penerbitan, kami heran dan penasaran bagaimana majalah Afkar itu dikelola, dengan para editor yang tersebar di berbagai negara.
Afkar mengandung semangat bahwa ilmuwan sosial Islam mau dan mampu ikut bicara di forum akademis internasional dengan standar akademis setara, meski mereka skeptis dengan proyek Islamisasi sains ala Ismail Al Faruqi, akademisi Palestina yang mengajar di Amerika dan meninggal karena ditikam berkali-kali dengan pisau besar oleh sejumlah orang yang menerobos masuk ke rumahnya di tengah malam; Lamya Faruqi, isterinya yang menjadi profesor kebudayaan Islam, juga tertikam beberapa kali, tapi selamat. (Seingat saya kasus 1986 itu tetap gelap sampai sekarang, meski kecurigaan mengarah pada kelompok radikal Jewish Defence League).
Majalah “Muhibbah” yang sedang dengan antusias kami geluti siang-malam, dibredel Departemen Penerangan pada 9 Desember 1982; ironis: itu sehari sebelum Hari Hak Azasi Manusia Internasional. Surat pembredelan ditembuskan ke 26 instansi — seolah untuk memastikan bahwa semua celah bagi kami telah ditutup rapat, karena gerak kami pasti akan diawasi oleh 26 instansi itu.
Setelah serangkaian perundingan yang alot, majalah bisa terbit lagi, cukup dengan SK Rektor, tapi harus ganti nama. Terbitlah “Himmah”, dengan pemimpin umum tetap Mahfud MD dan saya ditunjuk menjadi pemimpin redaksi menggantikan AE Priyono.
Tak ada lagi kiriman wesel dari Jenderal A.H Nasution, Ali Sadikin atau mantan Menteri Pertanian Thoyib Hadiwijaya — merekalah antara lain yang konstan menyemangati kami dengan mengirim dana bulanan, meskipun anggaran kampus mencukupi untuk mencetak 10.000 eksemplar majalah tiap bulan (dan kami masih dapat tambahan dari penjualan bebas di kios-kios).
Priyono menikah sebelum lulus kuliah dan harus menghidupi keluarganya dengan cara-cara yang tidak bisa jauh dari minat utama dan kemampuan terbaiknya. Ia menjadi koresponden majalah ilmiah populer “Akutahu”, menerjemahkan buku-buku keislaman dan ilmu sosial.
Ia juga menjadi koresponden majalah “Kiblat”, dan memuat terjemahan saya atas ceramah Fazlur Rahman (idola kami waktu itu) di IAIN Sunan Kalijaga, dengan moderator eks Menteri Agama Mukti Ali. (Tak lama kemudian kami sama-sama “diimpor” ke Jakarta untuk bekerja di majalah Islam yang ingin melakukan rebranding itu — kami hanya sempat menanganinya satu edisi, karena konflik ide yang tak terdamaikan dengan pengurus lama serta tekanan eksternal, dan kami harus kembali ke Jogja).
Ia juga meyakinkan saya bahwa saya pasti mampu menerjemahkan buku-buku Inggris dengan baik, dan penerbit penampungnya sudah ada, terutama Shalahuddin Press (milik Mas Ahmad Fanani) dan P2M (Amrullah Ahmad), keduanya berpusat di Jogja.
“Dan kamu bisa dapat honor yang lumayan dari menerjemahkan buku-buku itu,” kata Priyono, yang dengan tepat memahami faktor pendorong terkuat untuk memotivasi saya (sebab saya pun sering pula menggunakan alat itu untuk mendorongnya).
Saya pun mulai mencoba dengan menerjemahkan “Capitalism Wakes Up?!”, buku kecil Ali Syariati, seorang intelektual Iran yang waktu itu menebar sihir di kalangan aktifis Islam, setelah terbit bukunya yang diterjemahkan Amien Rais, “Tugas Cendekiawan Muslim”. Saya juga menerjemahkan artikel panjang Syed Hossein Nasr, “Islamic Work Ethics”; semuanya diterbitkan Shalahuddin.
Priyono bekerja sama dengan saya antara lain menerjemahkan The Origin of Human Being (?) karya Maurice Bucaille (rasanya buku tebal yang cukup membosankan itu tak tuntas kami kerjakan).
Melihat tak banyak peluang bagi keahliannya di Jogja, ia hijrah ke LP3ES Jakarta, dan mengurus divisi buku. Ia selalu kagum pada Kuntowijoyo (siapa yang tidak?), dan berinisiatif mengumpulkan dan mengedit kumpulan tulisan-tulisan panjang Pak Kunto, menjadikannya buku “Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi”, terbitan Mizan, Bandung. Buku itu disambut hangat, hal yang sudah sepantasnya, dan dicetak ulang berkali-kali.
Priyono mengerjakan buku itu dengan sepenuh ketekunan, dan membuahkan karya yang membanggakan — dengan menekankan subjudul “Interpretasi untuk Aksi”, sebuah pesan terselubung terhadap mereka yang hanya suntuk melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam, tanpa program aksi yang operasional.
Kuntowijoyo adalah sejarawan didikan Prof Sartono Kartodirdjo di UGM, yang merambah pemanfaat teori-teori ilmu sosial dalam penulisan sejarah yang berwatak “Indonesia-sentris”, bukan lagi dari perspektif kolonial Belanda sebagaimana lazim di masa sebelumnya.
Namun dalam pemanfaatan teori-teori ilmu sosial ini, saya rasa Kuntowijoyo, seorang yang sangat pintar dan mendalam sekaligus sangat rendah hati, cukup jauh melampaui gurunya. Pak Kunto benar-benar mengamalkan semangat akademis dalam tingkat tertinggi: ia tak pernah menjadi plagiat, juga terhadap karyanya sendiri; ia tak pernah mengulang ide yang sama di forum mana pun.
Dan ia tak membedakan “kualitas” dan kebesaran forum; untuk diskusi di forum kecil HMI pun, ia selalu mengajukan ide-ide segarnya dengan penuh kesungguhan. AE Priyono turut berjasa menyebarkan banyak ide Pak Kunto yang terserak di berbagai sumber melalui buku “Paradigma Islam” yang ia beri pengantar singkat, selain pengantar M. Dawam Rahardjo yang sangat baik.
Kerjasama kami terakhir adalah di Republika, di awal pendirian koran itu di awal 90-an, sekeluar Priyono dari LP3ES. Kami berada di satu divisi, penelitian dan pengembangan. Sejak itu kami makin jarang berjumpa, meski saya selalu berusaha mengikuti berbagai aktifitasnya dari jauh. Ia kemudian bekerja di Demos, lembaga riset dan advokasi isu-isu HAM, minat abadinya, bersama intelektual Swedia Olle Tornquist dan lain-lain.
Ia terdengar mulai mengidap diabetes. Ia rupanya sempat menempuh pendidikan S2 di UGM, tak sampai selesai. Jantungnya mulai dipasangi ring. Ia juga sempat kembali ke LP3ES untuk menduduki jabatan penting di sana, tapi ketika saya menghadiri ulang tahun ke-45 lembaga itu beberapa tahun lalu, dan berharap ketemu dia di Hotel Shangrila, ia absen. Sayup-sayup saya mendengar hubungannya dengan lembaga itu berakhir dengan tak menggembirakan.
Kami belakangan hanya terhubung melalui beberapa grup WA, dan dari situ terlihat ia masih terus menekuni isu-isu favoritnya, dan tetap dengan lontaran-lontaran ide yang ia sajikan dengan tajam dan keras — sering dengan determinasi yang membuat saya heran dan terkejut. Ia terutama sangat garang menghantam ide-ide yang bersemangat ateistik, terutama dari khazanah Fisika; hal yang sangat mengherankan saya untuk seorang yang biasa bersikap open mind terhadap ide-ide.
Sejak dulu, di samping menekuni isu-isu “duniawi” yang berwatak progresif dan anti kemapanan, Priyono selalu menyisakan ruang kontemplasi spiritual dan meminati kajian-kajian sufisme. Ia selalu terpukau dan mengapresiasi Iqbal, Rumi dan Ibn Arabi.
Ia suka membaca karya-karya Louis Massignon dan, terutama, Henri Corbin tentang para sufi itu; ia menaruh perhatian khusus pada sufi Iran Mulla Sadra. Ia tak jarang menawari anggota grup WA buku-buku terbaik hasil kurasinya dalam format PDF.
Seminggu lalu Priyono dilarikan ke rumah sakit; setelah berkeliling ke beberapa, ia dirawat di RS Polri Kramat Jati, dan kami kawan-kawan lamanya langsung mencurigai wabah ini, karena dari info yang saya terima hampir semua cirinya terpenuhi.
Sudah dua hari ia tak sadarkan diri. Sebelumnya ia mengeluhkan telinganya yang sangat sakit, sampai memgeluarkan darah. Foto-foto yang saya terima hanya saya edarkan kepada beberapa sahabat. Beberapa hari kemudian ia mulai sadar, dan dipindahkan ke ruang standar di RS.
Kepada setiap kawan yang bertanya, selalu saya katakan: jangan kuatir, jika tak ada kabar dari anaknya, itu artinya kabar baik. No news is good news. Barangkali saya hanya menghibur diri.
Ketenteraman saya robek tengah hari tadi, ketika begitu banyak telepon dan pesan WA masuk ke HP saya, mengabarkan apa yang saya kuatiri sejak seminggu terakhir. Berulang-ulang saya menyaksikan apa yang kemudian saya curigai: sinyal tentang kepulihan cepat seakan isyarat bahwa itu adalah daya hidup terakhir sebelum lenyap.
Sambil menggigit bibir, saya menulis epitaf di dalam hati: Anang Eko Priyono, lahir di Temanggung 6 November 1958, wafat di Jakarta 12 April 2020; seorang intelektual sepanjang hayat, seorang penulis nonfiksi yang sangat baik dan selalu mampu mencapai formulasi kalimat-kalomat panjang yang bersih dan cerdas, yang tak henti gelisah dan merisaukan banyak hal tentang orang banyak, melampaui kerisauannya tentang dirinya sendiri.
Begitu lama kita tak bertemu, Nang, dan begitu banyak agenda baru yang hanya bisa saya inginkan untuk kita obrolkan, persis seperti kita memulainya pertama kali, 39 tahun silam.
*Tulisan pernah tayang sebelumnya di geotimes.id, republika.co.id, medcom.id, dan sudah seizin penerbit pertama Hamid Basyaib lewat laman Facebook pribadinya.