Hermeneutika Perempuan

Suatu sore ketika hendak membeli novel di toko buku, saya dikagetkan dengan kehadiran seorang perempuan muda (Sales Promotion Girl) yang mengenakan pakaian serba mini hingga memperlihatkan bagian lekuk tubuhnya sambil menawarkan produk rokok. Bagai tersihir berduyun-duyunlah para lelaki mendekati. Namun, para lelaki sepertinya tidak tertarik dengan promosi harga rokok, melainkan hanya terpukau oleh kemolekan tubuh perempuan muda itu.

Pemandangan serupa juga setiap hari kita saksikan; produk ‘iklan kecantikan’ di televisi selalu ‘mengemas’ model perempuan dengan mengeksploitasi ‘ketubuhannya’ untuk ‘kontes bisnis’. Akibatnya, mitos standar kecantikan ialah putih, langsing, dan tinggi telah menjadi kebenaran absolut di masyarakat. Jika meminjam teori JF. Lyotard dalam bukunya ‘Libidinal Economy‘ hal itu tidak lepas dari ‘logika hasrat’ (the logic of desire); lalu lintas ekonomi disertai lalu lintas hasrat (hasrat konsumen dirangsang lewat sensualitas komoditas).

Sudah menjadi rahasia umum dalam kebudayaan kita yang androsentrisme, bahwa tubuh perempuan selalu dijadikan ‘medan magnet’ dalam hal apapun; bisnis, korporasi, politik, hukum, pendidikan, dan teologi. Meminjam istilah Supartiningsih (2004), libidonomics; sistem pendistribusian rangsangan, rayuan, kesenangan, dan kegairahan dalam masyarakat. Libidonomics itulah yang disindir oleh Gadis Arivia, “Andaikata tubuh perempuan dapat dijadikan saham, maka saya anjurkan bermain saham agar cepat menjadi kaya sebab tubuh perempuan di seluruh dunia selalu laku untuk dijual,” (Jurnal Perempuan: 2011).

Di sisi lain, sepertinya lembaga publik juga ikut menikmati ‘perayaan tubuh’ perempuan. Bukti perayaan itu ialah masih terjadinya aturan diskriminasi terhadap perempuan. Perda-Perda misoginis bagai musim hujan: menjamur. RUU Ketahanan Keluarga tak luput dari sorotan; peran perempuan semakin dilembagakan di wilayah domestik. Sebaliknya, kekerasan terhadap perempuan justru banyak terjadi di ruang privat. Kampus juga ikut latahnya; mengatur mahasiswi berpakaian. Jika ruang akademis saja tidak mampu mengucapkan tata bahasa feminisme, apa yang diharapkan dari institusi-institusi hari ini. Ini bukan persoalan ketidakmampuan untuk mengolah kata, tapi lebih pada ketidaktahuan kita mengucapkan ketidakadilan yang melekat pada pengalaman perempuan.

Perempuan: Tubuh yang Tak Merdeka

Dalam peristiwa lain belum lama ini ada seorang suami yang tega menjual tubuh istrinya kepada teman-temannya. Dari peristiwa itu, kita tak dapat menyimpulkan ada persoalan serius di tengah masyarakat yang selalu menganggap perempuan sebagai objek-pasif. Ada ‘dorongan kebudayaan’ yang memaksa kita untuk melihat perempuan sebagai tubuh yang bertuan.

Tentu bukan perempuan itu sendiri yang dimaksud sebagai tuannya. Jika ia seorang istri, maka suaminya lah tuannya (pemilik ketubuhannya). Jika masih lajang tentu orangtuanya yang mempunyai kuasa untuk merestui anaknya dimiliki oleh tuannya (suaminya). Padahal, dalam etika feminisme kita mengenal ethics of care; harapan untuk memelihara kesetaraan. Tapi sepertinya konsep kesetaraan hanya berlaku di antara laki-laki: ethics of right.

Di sisi lain, kebudayaan patriarkis menjadi sponsor utama terjadinya diskriminasi atas tubuh perempuan. Senada dengan argumentasi Foucault yang mengatakan, “Bahwa kekuasaan tidak netral dari gender.Terma biopolitik menyembunyikan realitas kekuasaan laki-laki atas tubuh perempuan,” (Sejarah Seksualitas: 1997). Dengan demikian, baik di ruang privat maupun publik ada kekuasaan yang mengendalikan tubuh perempuan. Pendek kata, perempuan dilahirkan dalam keadaan tidak merdeka atas kepemilikan tubuhnya. Stigma itu masih berlangsung dalam kehidupan perempuan hari-hari ini.

Persoalan itu memberi pesan dan kesan, bahwa tubuh perempuan terikat di ruang privat dan terperangkap di ruang publik. Keduanya bersekutu sebagai ‘penebar moral’ atas tubuh perempuan untuk memberi label mana yang baik dan buruk. Akhirnya kita dibuat mengerti ada kekuasaan yang menentukan status sosial makhluk bernama perempuan. Ketidakadilan itu membuat perempuan hanya memiliki satu bahasa tubuh: mengangguk.

Bahasa juga tidak lepas dari kendali ‘watak patriarkis’. Lewat bahasa budaya patriarkis meringkus tubuh perempuan. Misalnya, perempuan ‘terjebak’ dalam pengendalian narasi atas nama ‘kesucian’, ‘mahkota’, dan ‘kehormatan’ sebagai suatu penghargaan atas tubuhnya. Pertanyaan jika perempuan telah kehilangan ‘kesuciannya’ apakah perempuan tidak lagi berharga?

Jelas ini penghinaan terhadap perempuan. Seakan-akan ‘gairah’ (desire) hanya dimiliki oleh lelaki. Perempuan harus submisif dalam seks. Bahwa kenikmatan (pleasure) hanya dalam kendali biologis lelaki: logos spermatikos. Jadi, perempuan yang terkungkung di sarang patriarkis hermeneutikanya menjadi pendek: menyoal ketubuhan perempuan. Padahal, kita mengenang Kartini karena ‘keindahan pikirannya’ bukan tentang pakaiannya.

Persoalan semacam itu sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer melukiskan kuasa tubuh perempuan lewat tokoh Nyai Ontosoroh. Coba kita tengok sisi lain kehidupan seorang ‘Nyai’ (gundik) yang luput dari mata publik. Seorang ‘Nyai’ hanya dijadikan ‘penghangat ranjang’ oleh para konglomerat laki-laki Belanda. Saat ‘Nyai’ melahirkan anak, maka akan diserahkan anaknya untuk dibawa pulang ke Belanda. Karena anak keturunan Belanda harus mendapatkan pendidikan ala Belanda.

Di situlah bekerja politik hukum yang dikotomis, hierarkis, dan hegemonis. Tentu ini bukan semata-mata persoalan kepentingan nasionalisme. Akan tetapi, di balik itu ada kepentingan patriarkis. Bahwa subjek hukum ditentukan berdasarkan status gender bukan kesetaraan gender. Apakah subjek hukum berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Seorang ‘Nyai’ tidak lebih dari sekadar ‘babu’ (pelayan kelamin), bukan semata-mata karena ia pribumi, melainkan ‘gundik’ (perempuan). 

Kendati zaman telah berubah, namun sampai hari ini penjajahan atas tubuh perempuan masih berlangsung. Dengan berbagai dalil diucapkan untuk menyelundupkan kepentingan ‘watak patriarkis’. Sejatinya pada tubuh perempuanlah melekat simbol perlawanan: equality gender. Di ruang privat kita mengenal Inggit Ganarsih, di ruang publik kita mengenang Marsinah. Begitulah sejarah mencatat dan peristiwa akan diingat.

Hanya dengan terus-menerus menggugat ketidakadilan yang menimpa perempuan kita menulis ulang hukum dan peradaban untuk menghasilkan legal theory feminist. Dengan cara itu kita merayakan separuh umat manusia untuk memperoleh kemerdekaan tubuhnya. Hanya dengan cara itu pula kita memperjuangkan perempuan untuk bebas. Bukan mengendalikan perempuan dengan bebas.

*Tulisan pernah tayang sebelumnya di malangvoice.com

Baca juga

Terbaru

Skip to content