Himmah Online — Perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja rumahan masih dipertanyakan, khususnya bagi para pekerja perempuan. Selain mengurus rumah tangga, mereka pun menanggung beban sebagai pencari nafkah tambahan.
Menurut International Labour Organization (ILO); kondisi, hubungan, metode, dan status kerja dari pekerja rumahan mengalami fenomena yang cenderung eksploitatif.
Permasalahan tersebut dibahas pada diskusi bertema “Perempuan Pekerja Rumahan dalam Produksi Rantai Pasokan Global dengan Perspektif ILO dan UNGP” yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) bersama dengan Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan melalui Zoom dan live streaming Youtube pada Kamis (1/04).
Acara siang itu diisi oleh tiga narasumber yakni Majda El Muhtaj sebagai Ketua Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan; Juliani dari Serikat Pekerja Rumahan Sejahtera (SPRS); dan Hawari Hasibuan selaku Manager Advokasi Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA Indonesia).
Majda menjelaskan perlindungan kepada pekerja rumahan dalam Konvensi ILO Nomor 177 tahun 1996 memiliki karakter khusus dibandingkan terhadap pekerja lainnya.
Maksud dari ‘memiliki karakter khusus’ dalam konvensi tersebut adalah pihak perusahaan tidak secara langsung memberikan pekerjaan kepada para pekerja rumahan, melainkan pemberian kerja dilakukan melalui kontraktor ataupun perantara.
Relasi pekerja rumahan dengan pemberi kerjanya yang sangat terbatas menyebabkan perlindungan yang didapatkan para pekerja rumahan pun semakin sulit.
“Mungkin juga pekerjanya tidak tahu siapa perusahaan sesungguhnya atau perusahaan prinsipalnya,” tambah Majda.
Kemudian ia menjelaskan bahwa pekerja rumahan pun tidak bisa dilepaskan dari konteks pasar nasional bahkan pasar global karena memberikan kontribusi yang cukup signifikan.
Menurutnya, andil pekerja rumahan pun menjadi penting. Terlebih karena target yang dimiliki suatu perusahaan akhirnya dapat terpenuhi atas jerih payah pekerja rumahan.
Melalui seorang perantara perusahaan, target yang harus diselesaikan pun diberikan kepada pekerja rumahan agar mereka nantinya mendapatkan upah berdasarkan target yang sudah terpenuhi.
Majda menilai pemberian target tersebut merupakan usaha perusahaan dalam memangkas jumlah biaya produksi agar menjadi lebih murah.
Target yang ditetapkan perusahaan tidak jarang terhitung besar tanpa memikirkan kondisi pekerja rumahan yang minimalis akan fasilitas dari perusahaan tersebut.
Hal tersebut akhirnya mempengaruhi perlindungan para pekerja rumahan yang dapat dikatakan kurang memadai. Sehingga menurutnya, pekerjaan tersebut bisa dikategorikan sebagai pekerjaan yang tidak cukup layak.
“Pekerjaan (pekerja rumahan-red) dengan proteksi yang sangat minimalis tapi produksinya maksimalis,” imbuh Majda.
Permasalahan lain yang dihadapi oleh pekerja rumahan adalah relasi yang terbangun dengan pemberi kerja tidak berdasarkan kontrak.
“Dan ini yang membuat menjadi sangat invisible, tidak bisa dilihat pekerjaannya. Dan akhirnya proteksinya menjadi minimalis,” sambung Majda.
Meskipun sudah dituangkan dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan di Bab 4 Undang-Undang Cipta Kerja, namun ini pun belum mencerminkan kebijakan nasional yang pro terhadap perlindungan pekerja rumahan.
“Karena memang sifat dari pekerja rumahan ini sesungguhnya juga masih belum bisa dipahami oleh para pengambil kebijakan kita,” Majda lalu melanjutkan.
Hawari Hasibuan menyampaikan bahwa di beberapa negara lain juga ditemukan keberadaan dari para pekerja rumahan yang kondisinya seperti di Indonesia. Meski menurutnya, dalam segi regulasi di negara lain dapat dikatakan sudah lebih baik.
Sedangkan di Indonesia, ia melihat negara belum hadir dalam rangka memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyatnya, terutama masyarakat marginal seperti pekerja rumahan atau pekerja informal.
“Regulasi yang ada saat ini, baik itu Undang-Undang Ketenagakerjaan, maupun Undang-Undang Cipta Kerja juga semakin membuat perlindungan terhadap pekerja rumahan semakin menjauh,” Hawari menambahkan.
Juliani menjelaskan bahwa pekerja rumahan tidak diberikan tunjangan serta jaminan keselamatan kerja oleh perusahaan. Hanya bahan baku pokok saja yang difasilitasi oleh perusahaan.
“ … kecelakaan kerja kita yang tanggung, tidak ada fasilitas kerja dari perusahaan, hanya bahan baku (pokok). Tidak ada THR, atau BPJS kesehatan, dan (jaminan) kecelakaan kerja itu tidak sama sekali,” tutur Juliani.
Terakhir, Ia berharap kepada pemerintah agar segera mengeluarkan kebijakan yang mengakomodasi perlindungan serta kesejahteraan pekerja rumahan.
“Agar temen-temen pekerja rumahan … tidak merengek lagi meminta ke pengusahanya agar dapat THR, jaminan sosial, atau jaminan kecelakaan. Itu sama sekali tidak pernah dipedulikan,” pungkasnya.
Editor: M. Rizqy Rosi M.