Selama ini orang-orang mengira kehidupan rumah tangga Ningsih dan Jarwadi baik-baik saja. Mereka tampak harmonis meski belum dikaruniai momongan di usia pernikahan yang telah lebih dari tiga tahun. Terlebih dari pihak keluarga tak pernah mengusik atau mempermasalahkan buah hati yang tak kunjung hadir dalam perkawinan mereka.
“Santai saja, nggak perlu ngoyo, kalau sudah waktunya, Tuhan pasti akan menurunkan bakal janin ke dalam rahimmu,” hibur ibu mertua suatu hari saat melihat raut menantunya terlihat sedih karena perutnya tak jua membusung.
“Ibu nggak menuntut cucu darimu, Ibu percaya takdir setiap orang sudah ada yang mengatur, kalau pun seumpama nggak dikaruniai momongan, toh kamu dan suamimu bisa mengadopsi anak,” lanjut ibu mertua membuat hati Ningsih sangat lega dan bahagia. Jarang ada perempuan yang dapat memahami dengan sangat bijaksana ketika berbicara tentang momongan yang tak kunjung hadir dalam sebuah rumah tangga.
Begitu juga dengan kedua orangtua Ningsih. Mereka tak pernah mengungkit atau menekan dirinya agar lekas-lekas memiliki momongan. Bagi mereka, anak seperti rezeki. Bila sudah tiba waktunya, Tuhan pasti akan memberi.
“Ibu yakin kamu sudah berusaha dan berdoa, Ning. Tapi ingat, sekeras apa pun usahamu, kalau Tuhan belum ngasih, ya kita nggak bisa berbuat apa-apa. Tetap bersyukur, jangan mengeluh, jangan sedih, jalani saja kehidupan rumah tanggamu dengan santai,” tutur bijak ibu kandung Ningsih suatu hari. Ucapan beliau membuat Ningsih tersenyum bahagia karena memiliki orangtua yang pengertian dan arif bijaksana.
***
Mulanya, Ningsih memang merasakan kehidupan rumah tangga yang anteng, damai, dan cukup bahagia. Tak ada persoalan serius yang membuat ia dan suami terlibat cekcok meski momongan belum kunjung hadir di tengah-tengah mereka. Namun, ketika usia perkawinan mereka menapaki angka empat tahun, Ningsih mulai didera simalakama. Bukan lantaran momongan. Melainkan ada persoalan lain yang membuatnya tak nyaman.
Apa aku akan tetap mempertahankan pernikahanku dengan Kang Jarwadi? Begitu pertanyaan yang selalu bergema di benak ketika ia merasa kesakitan luar biasa usai memberikan nafkah batin pada suami. Dulu, ia tak pernah merasakan sakit semacam itu karena waktu itu Jarwadi belum berubah. Pada tahun keempat pernikahannya, Jarwadi memang berubah dalam hal hubungan ranjang. Ia selalu meminta Ningsih agar melakukan hubungan intim bukan lewat jalan depan, melainkan jalan belakang.
“Kang…., serius?” kaget Ningsih saat kali pertama diminta Jarwadi agar membalikkan tubuhnya.
Jarwadi menjawab dengan angguk dan senyum penuh berahi.
“Tapi, Kang…,”
Belum kelar Ningsih berkata-kata, Jarwadi langsung menarik dan menindih tubuhnya. Tak ia pedulikan rintihan istri yang menahan nyeri luar biasa saat melakukan hubungan yang tak wajar itu. Ningsih menangis sesenggukan saat melihat darah mengalir lewat jalan belakang. Ia juga merintih perih sampai mengeluarkan air mata ketika hendak buang air besar tapi merasa sangat kesakitan.
“Tenang, awalnya memang sakit, tapi percayalah padaku Ning, kalau sudah terbiasa, nanti sakitnya akan hilang dan yang tersisa adalah ketagihan,” ucap Jarwadi enteng saat mendengar keluhan Ningsih.
“Tapi aku maunya lewat jalan depan saja Kang, yang wajar-wajar saja,” Ningsih berkata lirih.
“Begini saja, kadang depan, kadang belakang, gimana?” Jarwadi menatap Ningsih dengan lembut. Ningsih diam mematung. Tak mengangguk. Tak juga mengiyakan. Ia hanya ingin suaminya kembali seperti dulu kala yang tak neko-neko dalam melakukan hubungan intim.
***
Ucapan Jarwadi memang ada benarnya. Sebulan berselang, rasa sakit itu perlahan sirna saat Ningsih beberapa kali melayani suaminya melalui jalan belakang. Namun tetap saja, Ningsih merasa sangat tak nyaman. Entah mengapa ia juga merasa ada yang aneh. Ia merasa ada yang salah. Nuraninya dengan tegas menolak melakukannya. Namun ia tak pernah kuasa menolak kehendak suami. Hal inilah yang membuatnya ditikam simalakama. Antara ingin mempertahankan rumah tangga atau mengakhirinya saja?
“Ning?”
Sebuah suara menyapa Ningsih dan langsung membuatnya tergagap dari lamunan di pagi itu. Akhir-akhir ini ia memang sering melamun. Dulu, ketika Jarwadi telah berangkat kerja sebagai supir taksi online, biasanya ia akan menghabiskan waktu dengan cara berkebun, membersihkan rumah, memasak, atau berkunjung ke rumah orangtua yang jaraknya hanya lima kilometer dari rumah kontrakannya. Tapi kini, tepatnya ketika Jarwadi kerap minta dilayani lewat jalan belakang, ia jadi sering melamun. Malas mau ngapa-ngapain. Malas pergi-pergi.
“Eh Ibu, apa kabar?” Ningsih langsung bangkit dari duduknya dan segera menyambut kedatangan ibu yang sedang berdiri di depan pintu. Barusan setelah suami berangkat kerja, ia memang duduk merenung lama di ruang tamu. Sengaja ia biarkan pintu rumah terbuka agar udara pagi bisa masuk ke dalam rumah dan membawa kesegaran baginya.
“Kamu melamun? Ada masalah, Ning?” bukannya menjawab pertanyaan Ningsih, ibu malah mencecar dengan kening berkerut dan sorot mata penuh selidik.
“Eh, eng… enggak, kok,” jawab Ningsih agak gugup.
“Kamu bisa bohongi Ibu, tapi raut wajahmu nggak setitik pun bisa berbohong. Ibu tahu kamu sedang punya masalah, makanya Ibu ke sini,”
Ningsih tiba-tiba tersadar dan merasa bersalah. Sudah seminggu ia tak mengunjungi ibu. Padahal sebelumnya, tiga hingga empat kali dalam sepekan ia rutin berkunjung ke rumah orangtua. Bahkan tiap berkunjung, Ningsih bisa nyaris seharian karena merasa kesepian di rumah kontrakan sendirian, sementara suami baru tiba di rumah malam hari. Ningsih yakin hal ini menjadi tanda tanya bagi ibu sehingga beliau akhirnya memutuskan datang ke rumahnya pagi ini.
“Ibu siap menampung keluh kesahmu, Ning. Percayalah, nggak ada persoalan yang nggak bisa diatasi,” ucapan ibu inilah yang akhirnya menguatkan Ningsih untuk menceritakan perihal ketakwajaran Jarwadi saat berhubungan di atas ranjang.
***
Kaget luar biasa saat ibu mendengar penuturan putri bungsunya itu. Sungguh ia tak mengira kalau menantunya ternyata memiliki kelainan seksual. Ibu memang bukan orang yang memiliki keluasan ilmu agama. Tapi paling tidak, ibu pernah mendengar dari seorang kiai dalam sebuah ceramah pernikahan yang pernah ia ikuti, bahwa melakukan hubungan intim lewat jalan belakang itu dilarang keras meski dilakukan terhadap pasangan yang sah. “Main lewat jalan belakang termasuk hal berlebihan yang mendatangkan mudarat, misalnya penyakit berbahaya” tegas kiai yang ibu lupa namanya itu.
“Apa kamu sudah mantap untuk berpisah darinya, Ning?” pertanyaan ibu kali ini membuat Ningsih terperangah. Ia tak mengira jika ibu sangat mendukung keinginannya untuk berpisah dari Jarwadi.
Ningsih mengangguk ragu. Jujur ia ragu karena pernah mendengar bahwa perceraian itu dibenci Tuhan. Belum lagi status janda yang pasti akan membuatnya sangat terbebani. Mengingat selama ini mayoritas masyarakat menganggap miring pada perempuan yang berpisah dari suaminya.
“Kamu nggak usah ragu, Ning, kalau memang suamimu nggak mau berubah, cerai bukan hal buruk, daripada terus bersama tapi kalian berdua menanggung dosa karena melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan,” perkataan ibu membuat Ningsih merasa mantap dan tak ragu dengan keputusannya.
“Tapi alangkah baiknya, kamu bicarakan lagi dengan suamimu, kalau dia mau berubah, pertahankan pernikahanmu, Ning,”
Ningsih tersenyum. Mengangguk. Ia berjanji, nanti malam saat suaminya pulang, ia akan mencoba mengajaknya bicara dari hati ke hati.
***
Hari sudah sore ketika Ningsih mengantarkan ibu pulang ke rumah. Sebelum kembali ke kontrakan, tiba-tiba ia teringat kebutuhan dapur yang mulai menipis. Akhirnya, ia memutuskan untuk berbelanja gula pasir, kopi, teh, mie instan, dan aneka cemilan di sebuah minimarket.
Ningsih tersenyum geli saat tengah berbelanja berpapasan dengan seseorang yang mulanya ia kira perempuan tapi ternyata seorang laki-laki. Waria, begitu orang-orang selama ini menyebutnya. Tawa Ningsih nyaris meledak saat mendengar laki-laki yang berambut sepunggung dan berdandan seperti gadis metropolis itu berbicara dengan nada genit pada kasir yang masih muda dan ganteng. Ningsih jadi teringat seorang artis laki-laki yang mengaku telah berganti kelamin perempuan tapi ketika bicara suaranya masih kentara laki-lakinya.
“Makasih ya, Abang ganteng,” ucapnya dengan tingkah dan intonasi manja sambil mengangkat kantong belanjaan.
“Sama-sama Neng, jangan lupa belanja ke sini lagi,” balas petugas kasir sambil tersenyum dan memang sengaja menggoda.
Saat lelaki itu keluar minimarket, tawa Ningsih pecah. Pemuda yang bertugas menjadi kasir itu juga tertawa terpingkal-pingkal. Tawa Ningsih baru benar-benar berhenti ketika pandangannya menangkap sesuatu di luar sana. Melalui kaca pintu minimarket ia bisa melihat dengan cukup jelas sosok lelaki yang duduk di depan setir sebuah mobil hitam yang terparkir di seberang jalan.
Kedua mata Ningsih langsung melebar saat melihat sosok lelaki gemulai itu masuk ke dalam mobil tersebut. Dari pintu kaca mobil depan yang terbuka separuh, Ningsih dapat melihat jelas sosok itu dengan genit melingkarkan kedua tangannya ke leher lelaki di belakang setir. Lelaki suami Ningsih.