Catatan Cacat Kelola Pertanian di Indonesia

Himmah Online Pertanian merupakan persoalan yang seharusnya menjadi dasar dari semua konsep pembangunan yang ada di Indonesia. Sektor pertanian di Indonesia menjadi salah satu penyumbang terbesar pada pertumbuhan ekonomi dan devisa negara. Namun, kondisi pertanian di Indonesia menemui berbagai macam permasalahan, seperti jumlah petani yang menurun, angka impor pangan yang tinggi, dan sistem food estate yang kurang baik.

Penyusutan jumlah petani di Indonesia telah sampai pada situasi darurat dan harus segera diantisipasi oleh pemerintah.  Data Bank Dunia menunjukkan bahwa terjadi penyusutan penduduk Indonesia yang bekerja sebagai petani pada 2019, yakni sebesar 28,5%. Padahal, tiga dekade sebelumnya dari total angkatan kerja jumlahnya mencapai 55,5%.

Sementara itu, berdasarkan hasil sensus pertanian oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan setiap 10 tahun sekali, terdapat pengurangan jumlah petani di Indonesia pada periode 2003-2013, yakni  sebanyak 5,04 juta. Jumlahnya fluktuatif sejak pertama kali dilakukan sensus pertanian di Indonesia. 

Dandhy Laksono, anggota tim Ekspedisi Indonesia Baru, dalam talk show bertajuk “Perampasan Ruang Hidup dengan Dalih Pembangunan Berkelanjutan” pada Minggu (24/09) mengatakan, jika merujuk pada data BPS setiap tahunnya, Indonesia kehilangan 70 persen petani, di mana rata-rata usianya di atas 40 tahun.

“Menurut Bappenas (red-Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) kalo tren ini terus dilanjutkan, dalam 40 tahun profesi petani punah di Indonesia,” ujar Dandhy.

Fenomena penyusutan jumlah petani dan rendahnya minat generasi muda menjadi petani sehingga hanya menyisakan petani berusia tua merupakan situasi darurat dan mengkhawatirkan. Keadaan semacam ini rentan terhadap memburuknya pemenuhan gizi masyarakat, keamanan pangan, dan impor pangan.

“Pangan impor masih menjadi masalah kita. Semua bahan utama kita relatif khas impor,” ujar Dandhy.

Produksi produk pangan dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kenaikan pesat konsumsi pangan di Indonesia sehingga mendorong kegiatan impor terus dilakukan. Bahkan, enam dari sembilan bahan pokok masyarakat Indonesia, seperti beras, bawang, susu, daging, garam, dan gula dipenuhi dari pasar Internasional. Beras yang menjadi bahan pangan pokok masyarakat Indonesia harus bergantung pada beberapa negara, yakni India, Pakistan, Thailand, Jepang, Myanmar, Tiongkok, dan Vietnam untuk dapat memenuhi stok beras nasional.

Berdasarkan data dari BPS, angka impor beras Indonesia masih tinggi dan bersifat fluktuatif. Pada tahun 2018 angka impor beras menjadi yang tertinggi dalam delapan tahun terakhir,  yakni mencapai 2.253.824,4 ton. Kemudian jumlah impor beras menurun 1,8 juta ton pada 2019. Pada tahun 2020,  jumlahnya menurun sebanyak 88.222,6 ton. Namun, terjadi peningkatan pada tahun-tahun berikutnya, yakni pada tahun 2021 jumlah impor beras meningkat sebanyak 51.455 ton dan tahun 2022 meningkat sebanyak 21.465 ton beras. 

Selain itu, kedelai yang menjadi bahan utama tempe dan tahu—makanan paling populer dan terjangkau oleh masyarakat Indonesia—juga harus impor dari Amerika Serikat sebesar 71%, Kanada sebesar 16%, dan Argentina sebesar 13%. 

Sedangkan produksi kedelai dalam negeri hanya dapat menutupi tidak sampai 10% dari total kebutuhan nasional pada tahun 2022. Pada tahun 2021, produksi lokal hanya mencapai 200.315 ton, sedangkan kebutuhan konsumsi sebanyak 2.983.511 ton.

Kemudian, gandum yang menjadi bahan pokok bagi produk turunan makanan juga impor dari berbagai negara, seperti Australia, Kanada, Ukraina, Brazil, dan Lithuania. Impor gandum dilakukan karena Indonesia memiliki keterbatasan kualitas lahan yang diduga tidak memadai untuk ditanami gandum.

Kegagalan Peningkatan Pangan Nasional pada Proyek Food Estate

Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya bertambah sebesar empat juta jiwa. Apabila pertumbuhan penduduk tidak disertai dengan kenaikan pangan, pada masa yang akan datang akan menghadapi persoalan pemenuhan kebutuhan pangan.

Indonesia lemah dalam permodalan dan teknologi pada sektor pertanian, khususnya pada subsektor tanaman pangan. Keterbatasan anggaran membuat subsektor ini tidak terurus dengan maksimal. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan yang belum ditangani, sektor swasta dilibatkan, salah satunya dalam program food estate atau yang biasa dikenal dengan program lumbung pangan.

Namun setelah diterapkannya program lumbung pangan, petani justru merasakan beberapa dampak negatifnya. Pertama, tidak adanya kejelasan regulasi terkait distribusi pangan pada food estate. Dimana 24 juta petani masih membutuhkan pangan berupa beras. Kedua, memperburuk kesenjangan pemilik lahan. Seringkali pengusaha menghadapi petani kecil dengan ketidakadilan. Ketiga, dalam pola kemitraan,

tidak ada posisi setara bagi petani.  Keempat, kepemilikan modal bias kepentingan asing. Walhasil food estate hanya menjadi jawaban bagi negara dan investor, bukan bagi puluhan petani dan mayoritas rakyat di tengah melambungnya harga pangan dunia.

Selain itu juga, berdasarkan pemaparan dari Dandhy Laksono, program food estate selalu mengalami kegagalan dari rezim ke rezim. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerapkan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia  (MP3EI) yang gagal dalam menerapkan food estate di Merauke. Kemudian diteruskan oleh Joko Widodo dan dilipatgandakan di Kalimantan Tengah.

“Dua presiden ini adalah meng-copy paste kegagalan yang sama yang dilakukan Soeharto dengan proyek lahan gambut 1 juta hektar per-90,” pungkas Dandhy.

Hal tersebut semakin diperparah dengan adanya upaya pemerintah untuk menjadikan korporasi sebagai pelaksana program peningkatan produksi pangan. Di mana rumah tangga tani seolah tak dianggap lagi dalam pelaksanaan kegiatan produksi pangan yang diklaim akan menghadapi kondisi “rentan”.

Korporasi telah mengambil alih lahan-lahan adat yang menjadi sumber pangan dari penduduk setempat dan semakin diperparah dengan kondisi kerawanan pangan yang harus dialami oleh penduduk lokal. Kemudian pinjaman modal dan anggaran subsidi dengan bunga rendah juga dialihkan untuk diberikan kepada korporasi besar yang akan berinvestasi dalam proyek food estate.

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), terdapat empat kriteria pengukur ketahanan pangan, apabila food estate ingin benar-benar dijadikan sebagai proyek ketahanan pangan dalam negeri. Pertama stability, yakni mengukur apakah masyarakat mampu mengakses pangan yang dibutuhkan setiap saat. Kedua utility, yakni terkait dengan pengukuran apakah masyarakat memiliki cukup asupan nutrisi dari pangan yang dikonsumsi. Ketiga availability, yakni mengukur ketersediaan pasokan pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat. Keempat access, yakni mengukur kemampuan masyarakat dalam memperoleh bahan pangan yang dibutuhkan.

Program food estate yang diniatkan untuk meningkatkan pasokan pangan nasional, nyatanya  telah meminggirkan sumber-sumber pangan penduduk lokal. Di mana hal tersebut berdampak pada ancaman kehidupan masyarakat. Pengelolaan food estate oleh korporasi juga memunculkan ruang untuk makelar yang hanya menguntungkan lapisan elit sosial dan merugikan posisi masyarakat secara keseluruhan dengan memperbesar ketimpangan sosial, serta memunculkan berbagai macam praktik korupsi yang merugikan negara.

Reporter: Himmah/Jihan Nabilah

Editor: R. Aria Chandra Prakosa

Skip to content