Bahtera Negeri Kesatuan Republik Investor

Sebuah bahtera yang bernama NKRI yang bagi sebagian orang dianggap harga mati. Di tingkat paling atas ada segerombolan para elit kekuasaan yang dipimpin oleh kapten yang mengaku sebagai “Satria Piningit”, di era kekuasaannya ia mulai menerapkan sebuah sistem baru yang disebutnya sendiri sebagai “Pembangunan Nilai-Nilai Baru”. Entah apa maksudnya tapi satu hal yang sering didengungkan bahwa kita perlu “nilai-nilai baru” itu dan meninggalkan nilai-nilai lama, kita tinggalkan cara-cara lama. 

Apa yang disebut Si Kapten “Nilai-nilai Baru”, sesungguhnya merupakan kejahilan-kejahilan modern yang dikemas dalam kantong-kantong mayat investasi, dibungkus dengan keelokan narasi-narasi media sebagai sebuah “Orde-yang-Baru”. 

Cara-cara baru yang memberlakukan revolusi ekonomi neoliberal; menancapkan jangkarnya pada karang-karang kesuburan milik rakyat, mencaplok lahan-lahan garapan rakyat, kakus nya mencemari air laut kehidupan rakyat, merubah aturannya demi imunitas kepentingan dan tanpa ampun diterapkan oleh Si Kapten guna mengakhiri reformasi dan redistribusi agraria.

Beberapa waktu belakangan ini, bahtera yang bernama “Negeri Investor” telah menjadi sebuah tempat eksekusi mengerikan terhadap awak-awaknya sendiri. Menjadi kabin-kabin yang menampung darah, membungkam kritik, melarang pendapat, menolak perbedaan, mencederai sistem yang kita sepakati bersama; Demokrasi. 

Sebuah tempat di mana nisan berat penindasan yang telah berlangsung berabad-abad telah remuk dan membolehkan lewatnya arak-arakan manusia-manusia hidup yang baru dan berbeda, terlepas dari arak-arakan pembunuhan yang tiada akhir. 

Sekitar ribuan tentara dan polisi dikerahkan dengan dalih membela dan menegakkan ketertiban umum. Penganiayaan brutal, sistematis, dan membebal oleh kaki-tangan “Si Kapten” yang telah dipersenjatai dan pemilik lahan besar meningkat seiring dengan dan di bawah bayang-bayang kepentingan serta privilese keduanya. 

Para penganiaya ini dengan kejamnya mengusir rakyat dari tempat moyang mereka, samudera, pantai-pantai serta hutan rimba berulang kali menjadi tempat naungan terakhir orang-orang usiran itu. Di sana, di tengah kabut tebal kebakaran hutan-hutan dan lembah-lembah itulah, benih-benih moralitas dan martabat berkecambah.

Di tingkat paling bawah dari bahtera itu bersemayam sebuah semangat untuk segala sesuatu yang orientasinya adalah kebenaran dan keadilan. Di sini, masih ada mereka yang mampu memulihkan utuh-utuh martabat dan harga diri yang memang belum pernah sepenuhnya pupus.

Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang hadir di sini hanya menuntut penghargaan atas hak mereka, bukan cuma sebagai makhluk manusia dan bagian dari umat manusia, tapi juga sebagai rakyat yang ingin terus menjadi pemimpin demokrasi yang berkeadilan dan bermartabat.

Satu mantra pembangkit semangat mereka, yang tertulis dalam kitab alam semesta : 

“Mengapa kamu tidak mau berjuang di jalan Allah dan membela orang-orang lemah? Baik laki-laki, perempuan-perempuan, dan anak-anak yang semuanya berdoa; Yaa Tuhan kami, keluarkanlah kami dari Negeri ini yang dzalim penduduknya, dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu” (An-nisaa’ 75).

Mereka bangkit terutama dengan sebuah kekuatan moral yang hanya bisa dilahirkan dan dipupuk semangatnya oleh martabat dan harga diri itu sendiri, meski badan lebam oleh hantaman tongkat-tongkat meliterisme, tubuh menderita lapar, nyawa terusir peluru dari raga dan sengsara-sengsara umum lainnya. 

Tak peduli seberapa besar upaya telah dikerahkan untuk mereduksi permasalahan demokrasi, korupsi, serta pelanggaran HAM menjadi konflik lokal semata, yang solusinya akan ditemukan dalam batasan ketat penerapan undang-undang karet nasional, yang bisa ditarik ulur dan diselaraskan secara hipokrit sebagaimana telah disaksikan sekali lagi (sejak 20 tahun silam reformasi).

Seturut strategi dan taktik kekuasaan ekonomi-politik yang diwakilinya, apa yang sedang dimainkan di setiap tingkat bahtera itu menjangkau melewati tapal batas samudera menuju sanubari sebagian umat manusia yang belum menampik dan takkan pernah menampik impian dan harapan. Menjadi seruan sederhana yang berkumandang dari gubuk demokrasi berkeadilan buat semua penumpang sementara ini (didunia)..

Dari Pulau Rote,

Salam hormatku untuk semua yang menentang kezaliman di bahtera khatulistiwa.

Skip to content