KONDISI ekonomi Indonesia pada penghujung tahun 2016 yang terus mengalami kelesuan menuai ancaman tersendiri bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Reshuffle kabinet menteri yang dilakukan dinilai belum mampu mengatasi pelemahan pertumbuhan ekonomi negara. Badan Pusat Statistik mencatat pada kuartal kedua tahun 2016, ekonomi negara sempat tumbuh sebesar 5,18% karena adanya lonjakan konsumsi masyarakat, pengeluaran pemerintah, dan investasi pada momentum Ramadhan di bulan Juni. Namun, pertumbuhan ekonomi selepas Ramadhan kembali melemah sampai bulan Agustus dan akan terus turun hingga penghujung tahun. Sebabnya adalah sudden capital reversal akibat ekspektasi berlebihan terhadap pasar yang membuat investor menarik modalnya kembali.
Oleh karena itu, beberapa kebijakan sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi agar tumbuh sesuai dengan target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2016, yaitu 5,2%. Salah satunya ialah tax amnesty, suatu bentuk pengampunan pajak yang ditujukan kepada wajib pajak. Kebijakan tax amnesty diramalkan dapat menambal defisit APBN-P 2016 yang mencapai Rp 276,6 triliun atau 1,83% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai angka 5,7% lewat program tax amnesty pada tahun 2017 mendatang. Akan tetapi, program tax amnesty sangat bergantung pada penerimaan pendapatan negara lewat pajak, terutama wajib pajak kelas kakap di luar negeri.
Pemerintah menargetkan penerimaan APBN-P 2016 dari uang tebusan tax amnesty sebesar Rp 165 triliun. Namun, realitanya sampai awal September baru tercapai Rp 4,63 triliun atau 2,8% dari Rp 165 triliun. Dana repatriasi pun baru mencapai Rp 12,9 triliun dari perkiraan Rp 1000 triliun. Sedangkan bulan ini adalah akhir tahap pertama pemberlakuan tax amnesty, sebab pada bulan Oktober—Desember mendatang akan diberlakukan tahap kedua dan pada awal Januari—Maret 2017 diberlakukan tahap ketiga sekaligus momentum berakhirnya pemberlakuan tax amnesty. Alhasil, banyak pihak yang pesimis dengan implementasi dari tax amnesty yang tidak sesuai dengan perkiraan awal. Pertumbuhan ekonomi dalam Rancangan APBN 2017 jadi hanya ditargetkan pada angka 5,3% dari perkiraan awal 5,7%.
Kelesuan ekonomi yang terjadi juga menyebabkan beberapa pengusaha membatasi pengeluaran untuk membayar uang tebusan di akhir September. Akibatnya, sektor swasta seperti ritel dan usaha mikro lain anjlok, menyebabkan perputaran uang lambat dan konsumsi menurun. Selain itu, sektor properti juga mengalami kelesuan sebab para pemilik usaha masih menunggu penyelesaian proses birokrasi dalam tax amnesty. Padahal, properti merupakan penyumbang terbesar untuk pertumbuhan ekonomi dibandingkan sektor lainnya. Di sisi lain, faktor pelemahan ekonomi global dan masih lesunya komoditas andalan dalam negeri sejak awal tahun menjadi sebab utama pertumbuhan ekonomi menurun.
Stimulus dari Kebijakan Moneter Diperlukan
Instrumen pendapatan dalam negeri di APBN-P 2016 terdiri atas Penerimaan Perpajakan (PP) sebesar Rp 1.539,2 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 245,1 triliun, masing-masing turun sekitar Rp 7,5 triliun dan Rp 28,8 triliun dari APBN sebelum perubahan. Di sini terlihat bahwa PP tetap mengalami penurunan walaupun tidak sebesar PNBP karena didominasi oleh penerimaan pajak dari sektor non migas. Pemerintah berhasil menstimulasi sektor non migas lewat kebijakan untuk mendatangkan investasi asing di sektor industri, tapi tetap menaruh harapan tinggi terhadap tax amnesty. Padahal, realisasi kebijakan tax amnesty tidak sesuai dengan ekspektasi. Akibatnya, pada bulan Agustus terjadi deflasi sebesar 0,02% dibandingkan bulan Juli.
Deflasi terjadi bukan karena penurunan harga kebutuhan pokok yang disebabkan kelebihan pasokan, melainkan akibat adanya penurunan daya beli masyarakat dari bulan sebelumnya. Ini berarti tingkat penawaran lebih tinggi daripada permintaan di pasar barang. Maka, fenomena deflasi yang terjadi memang sangat berkaitan dengan kinerja konsumsi di mana 55,23% porsi PDB didominasi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Pemerintah harus keluar dari bauran fiskal yang sudah tidak memiliki daya tawar terhadap pertumbuhan ekonomi. Kontribusi belanja pemerintah menurun secara signifikan pasca kebijakan pemotongan anggaran belanja sebesar Rp 137 triliun di tahun 2016 disahkan. Langkah taktis untuk kegamangan yang terus berlangsung pada pertumbuhan ekonomi ini adalah dari sisi moneter. Pemerintah dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi melalui suku bunga acuan atau BI Rate. Meski sudah diturunkan sebanyak 6,5% atau 100 basis poin (bps) sejak awal tahun, langkah tersebut terbukti kurang efektif untuk meningkatkan kredit perbankan. Hal ini disebabkan pembagian suku bunga acuan hanya dititikberatkan pada suku bunga deposito yang mencapai 91 bps, bukan pada bunga kredit.
Kebijakan ini nantinya juga akan berpengaruh terhadap paket kebijakan ekonomi ke-13 yang baru disahkan oleh presiden terkait deregulasi kebijakan pembangunan rumah oleh pengembang. Kebijakan ini disasar untuk penduduk berpendapatan rendah agar memiliki rumah yang layak huni. Pasalnya, deregulasi yang diterapkan semula mencapai 33 perizinan dan tahapan dikurangi menjadi 11 perizinan dan tahapan. Jika kebijakan keramat ini berhasil mencapai ekspektasi, tentu kebutuhan primer rumah tangga akan terpenuhi. Hal ini secara otomatis akan membantu meretas penurunan konsumsi rumah tangga, sebab pengeluaran konsumsi rumah tangga akan meningkat ketika penduduk memiliki tempat tinggal baru. Di sisi lain, sektor properti juga akan mendapat angin segar sehingga bisa berkontribusi kembali terhadap pertumbuhan ekonomi. (Mohammad Bakhrul Fikri Suraya – Mahasiswa Ilmu Ekonomi 2012)