Judul: Dark Waters
Genre: Biografi, Drama, Sejarah
Sutradara: Todd Haynes
Durasi: 126 Menit
Argumen bahwa pengusaha lebih berkuasa dari negara bisa jadi benar adanya. Para pengusaha yang menggerakkan berbagai industri atau perusahaan sering kali dapat mempengaruhi kebijakan atau keputusan suatu negara.
Misalnya peraturan tata kelola perizinan sampai dengan keputusan pengadilan apabila mereka berperkara. Ada semacam simbiosis mutualisme antara pengusaha dan negara.
Pengusaha dapat kemudahan dalam kegiatannya, negara (atau mungkin personal pejabat) akan mendapat kucuran dana berupa pajak.
Bahkan besarnya produksi suatu perusahaan atau industri menjadi satu di antara tolak ukur pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun saat kedua pihak mendapat keuntungan, selalu ada pihak ketiga yang menjadi korban, dalam hal ini adalah masyarakat.
Kita dapat melihat gambaran hubungan perusahaan atau industri dengan masyarakat sebagai korban dalam film Dark Waters (2019) karya Sutradara Todd Haynes.
Sebuah industri kimia besar bernama Dupont telah beroperasi selama puluhan tahun. Mereka membuat berbagai produk rumah tangga, bahkan menjadi pionir teflon. Sayangnya, selama puluhan tahun pula Dupont merahasiakan bahaya bahan baku yang mereka gunakan.
Tidak hanya menyembunyikan bahaya dari segi produk yang sudah dipasarkan, Dupont juga menyalahi pengelolaan limbah mereka. Polusi asap mereka terbang bebas di udara, limbah cair mereka mengalir di sungai dan terpendam di tanah.
Dampaknya, banyak ternak yang sakit dan meninggal. Salah satu peternak melaporkan bahwa sapinya yang keracunan dan meninggal sebanyak 190 ekor. Tidak hanya pada binatang, warga juga terkena dampak berupa penyakit kanker dan sejenisnya.
Dupont berdalih bahwa penggunaan bahan berbahaya PFOA atau C8 untuk produk mereka belum diatur kadar amannya oleh pemerintah.
Namun menyembunyikan dampak buruk yang telah mereka ketahui jelas hal yang salah. Apabila sudah seperti ini, apakah jargon-jargon pertumbuhan ekonomi lebih penting dari keselamatan masyarakat serta keseimbangan alam?
Dalam film ini, tokoh utama Robert Bilott (Mark Ruffalo) merupakan pengacara yang mengadvokasi korban pencemaran limbah Dupont.
Pendapatan ekonomi
Banyak negara, termasuk Indonesia, mengukur pertumbuhan ekonomi dengan banyaknya produksi dan konsumsi dalam negeri. Menurut Ekonom Sadono Sukirno, pertumbuhan ekonomi menggunakan model Gross Domestic Product (GDP) atau dalam istilah Indonesia Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan pendapatan yang dihasilkan dalam suatu negara, termasuk pendapatan orang asing yang bekerja di dalam negeri.
Metode GDP mengukur nilai barang dan jasa yang di produksi di suatu wilayah negara (domestik) tanpa membedakan kewarganegaraan, pada suatu periode tertentu.
Secara sederhananya, semakin banyak barang atau jasa yang diproduksi dan dikonsumsi menandakan suatu negara baik secara ekonomi. Dampak buruk metode ini bisa terlihat dari kekikukan negara saat Dupont sudah terlampau besar dan menjadi salah satu penyangga ekonomi negara.
Bahkan keadaan menjadi semakin sulit lantaran Dupont mempekerjakan banyak orang di negara itu, sesuatu yang dianggap berjasa pada pendapatan masyarakat.
Pertanyaannya, apakah sepadan mendapatkan beberapa miliar atau triliun dolar dengan kehilangan aset yang lebih tidak ternilai seperti keseimbangan alam?
Mungkin menjadi prestasi saat bisa ekspor bahan kimia atau batubara, namun bagaimana dengan laut atau hutan yang semakin merana?
Apabila dihitung, perbaikan lingkungan yang rusak jauh lebih mahal dibandingkan pendapatan yang diterima. Belum lagi kita berbicara kekayaan ekosistem yang hilang seperti tumbuhan dan hewan yang punah akibat pencemaran.
Dalam Dark Waters, air yang merupakan sumber penghidupan sudah mati secara fungsi.
“Itu seperti kau meminum ban karet,” kata salah seorang ahli dalam film, menganalogikan apabila meminum air yang telah tercemar industri Dupont. Matinya sumber air ini tentu tidak bisa dihitung secara nominal.
Orientasi suatu negara dalam perekonomian tercermin dengan metode yang mereka gunakan. Apabila melihat Indonesia yang menggunakan GDP, orientasinya jelas konsumsi dan produksi yang diharapkan semakin tinggi.
Sebenarnya ada alternatif metode penghitungan ekonomi lain seperti menggunakan Genuine Progress Indicator (GPI).
Apabila GDP menghitung baiknya pertumbuhan ekonomi dari pendapatan nasional saja, GPI menghitung pula kesejahteraan masyarakat serta dampak lingkungan.
Sebagai contoh, misal GDP menghitung kemacetan sebagai tanda yang bagus karena jumlah mobil yang meningkat dan sebagai tanda bahwa masyarakatnya berpenghasilan tinggi.
Namun GPI melihatnya sebagai hal yang tidak bagus karena membuat terbuangnya waktu di jalan dan bahan bakar serta polusi yang bertambah. Makin tinggi GDP semakin buruk GPI.
Dalam sebuah penelitian tahun 2014, Robert Constanza (Guru Besar Kebijakan Publik di Australia National University) melihat bahwa GDP merupakan mekanisme kuno yang mengabaikan dimensi sosial dan lingkungan.
Tujuan dari pertumbuhan ekonomi menurutnya adalah kesejahteraan manusia dan alam. Mungkin GDP meningkatkan pendapatan masyarakat, tetapi juga meningkatkan biaya mengatasi kejahatan, kerusakan keluarga, polusi, dan perubahan iklim (Kubiszewski et al., 2013).
Dalam penghitungannya, metode GPI memasukkan 26 indikator di tiga kategori: ekonomi, lingkungan dan sosial (Vemuri dan Costanza, 2006; Costanza et al., 2007; Costanza et al., 2014b).
Bahkan Bank Dunia juga mengakui kekurangan GDP dan mengusulkan ukuran alternatif kesejahteraan ekonomi dengan Genuine Saving Indeks (GSI).
Konsep yang mirip dengan GPI ini juga dikenal sebagai Adjusted National Savings (ANS). Metode GSI muncul dari kesadaran bahwa ‘keberlanjutan’ adalah konsep vital dalam ekonomi di seluruh dunia yang “bergantung pada sumber daya yang dapat habis”. (Hamilton, 2000; Bank Dunia, 2013).
Apabila alam menjadi prioritas suatu negara, pencemaran alam seperti yang dilakukan oleh Dupont seharusnya tidak akan dibiarkan dengan dalih pendapatan nasional.
Sayangnya, Indonesia masih jauh dari memprioritaskan alam sebagai indikator pertumbuhan ekonomi. Jangankan menerapkan dengan ketat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebelum menyetujui suatu industri, bahkan pernah ada wacana untuk menghapuskan Amdal dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk memudahkan investasi.
Kita Berhak Menuntut Ganti Rugi
Setiap ada industri di kawasan kita, maka kita juga berhak meminta ganti rugi atas alam dan tubuh yang tercemari. Efek pencemaran lingkungan yang kemudian berakibat buruk pada tubuh tidak terasa langsung, tetapi dalam jangka waktu yang lama dan seringnya tidak terasa.
Masyarakat di kawasan industri Dupont baru merasakan akibat pencemaran pada ternak dan tubuh mereka selama beberapa tahun setelah proyek teflon berjalan.
Di Indonesia juga tidak kekurangan kasus seperti ini, contoh paling besar adalah dampak pembangkit listrik yang menggunakan batu bara, salah satunya di Cilacap.
Mungkin meminta ganti rugi menjadi salah satu solusi, tetapi jauh lebih penting tetap menghentikan asal pencemaran dengan menutup industri yang nakal.
Banyak dalih industri untuk mencari “aman”. Bisa jadi dengan mempekerjakan masyarakat sekitar, memberikan dana-dana Corporate Social Responsibility (CSR), atau memberikan banyak hadiah untuk para karyawannya.
Dalam film terlihat bahwa karyawannya diberi katalog untuk memilih hadiah yang mereka inginkan. Karyawan merupakan orang yang sangat dekat dengan industri dan sangat mungkin yang terpapar lebih dahulu. Dampaknya, banyak yang terserang sakit bahkan meninggal sejak bekerja di Dupont.
Mungkin pemberian dana atau hadiah bahkan lapangan pekerjaan terasa menggiurkan. Namun tetap saja, itu tidak seberapa dengan kerugian yang alam dan manusia dapatkan.
Saat alam dan manusia sedang menuju proses pesakitan, para bos industri bersantai dan datang di acara amal dengan makanan enak dan tentunya jauh dari pusat pencemaran.
Terasa Datar dan Tidak Lengkap
Sedari awal masalah muncul, seakan jalan pengungkapan kasus pencemaran lingkungan lancar saja. Tidak ada kendala berarti yang Robert Bilott hadapi misal ancaman keselamatan. Penonton akan santai menerka bahwa Bilott pasti akan menang dalam menjalankan kasus ini.
Dark Waters juga menjadi semacam “berat sebelah” saat tidak menampilkan perspektif negara maupun industri. Sebenarnya memberikan pola dan hubungan bawah meja antara industri dan negara menjadi penting.
Hal itu agar kemudian masyarakat bisa mengontrol berbagai sektor yang mungkin mereka gunakan. Ketidakseimbangan ini dalam istilah jurnalisme disebut tidak cover both side.
Terlepas posisi industri dan negara yang bersalah, mereka perlu diberi porsi untuk “klarifikasi” dalam kegiatan sehari-hari, bukan hanya dalam pengadilan yang juga ditampilkan secara singkat-singkat itu.
Sebagai penggambaran bahwa masyarakat punya hak atas industri yang secara langsung atau tidak merugikan menjadi penting dan mudah diterima dalam penyampaian film ini. Walaupun banyak istilah kimia, penjelasan oleh para pemeran mempermudah pemahaman.
Mungkin saat ini tidak semua orang peduli akan isu lingkungan, karena tidak semua orang pernah mengalami atau dekat dengan perkara. Itu sah saja. Tapi jika kita hanya diam dan acuh, jangan terlalu marah juga apabila suatu saat justru kita yang diacuhkan.