Ikhlas dalam kehendakNya

Judul : “Ikhlaskanlah Allah,” Candra Malik |Penulis : Candra Malik | Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) | Tahun terbit : 2014 | Halaman : 162

Buku Ikhlaskanlah Allah merupakan buku keempat Candra Malik setelah Makrifat CintaMenyambut Kematian, Antologi#Fatwa Rindu dan Cinta 1001 Rindu. Buku ini merupakan sekumpulan artikel sang penulis yang pernah diterbitkan di koran Tempo dan Solopos. Artikel-artikel tersebut dikumpulkan oleh santrinya kemudian ditulis ulang oleh Gus Candra, panggilan Candra Malik dan menghiasinya dengan perumpamaan-perumpamaan serta menyesuaikan untuk menjadi sebuah buku.

Sebagian besar buku ini membahas tentang nilai-nilai transendental yang dipahami melalui jiwa manusia. Penulis memandang ada permasalahan yang lebih kompleks dibanding dengan pemahaman keagamaan yang terlihat secara kasat mata, yaitu hubungan manusia itu sendiri dengan Tuhannya. Hal itu yang seharusnya dimengerti oleh setiap manusia terlebih dahulu sebelum menghadapi segala hal di luar dirinya. Sifat ikhlas dipilih Gus Candra untuk menyampaikan pesan-pesan ilahiah dalam buku ini. Tema mahabbah (cinta) yang selalu diusung dalam karya-karyanya, tak ketinggalan juga dalam buku ini. Ia mempertautkan keikhlasan dan cinta serta membungkusnya dengan bahasa yang indah penuh sentuhan perasaan yang tumpah ruah, sehingga mudah membuat pembacanya terbenam dan hanyut.

Salah satu konteks yang marak terjadi saat ini misalnya perbedaan pemahaman keagaamaan yang berujung pada perselisihan sampai penyerangan, apalagi perilaku tersebut mereka nyatakan sebagai kebenaran atas nama Tuhan. Ada sesuatu yang menjadi paradoks antara agama, Tuhan dan kebenaran saat ini. Klaim kebenaran menurut satu kelompok menjadi hal yang mutlak yang tak bisa dibantah, malah melahirkan kelompok-kelompok intoleran.

Gus Candra memandang jika agama adalah kebenaran, maka selayaknya umat berhenti saling menyalahkan. Padahal kebenaran itu sendiri hanya milik Tuhan, buat apa diperebutkan? Satu-satunya perintah adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Fastabiqu ‘l-khairat.

Ia juga memandang pada dasarnya setiap manusia itu berbeda, oleh karena itu tidak perlu saling menyamai dan menyamakan. Allah Maha Esa, dan pandangan setiap manusia tentangNya boleh tidak sama. Pandangan terhadapaNya memang selayaknya berbeda. Tuhan itu satu, manusia saja yang bersekutu. Tuhan itu sama, manusia saja yang berbeda. Sudah selayaknya manusia ikhlas terhadap perbedaan tersebut dan mengikhlaskan Allah bertindak semauNya.

Lukman Hakim Saifuddin, menteri agama kabinet kerja dalam kata pengantar buku tersebut juga menyatakan bahwa sudah menjadi ketentuan Tuhan manusia diciptakan berbeda. Tetapi harus pula disadari, justru dengan perbedaan itu ada kerukunan. Sesengit apapun melawan untuk menghapusnya, manusia tak akan pernah bisa menang, karena sama saja dengan melawan Tuhan.

Buku ini hadir bukan sebagai kritik sosial terhadap contoh fenomena tersebut. Sang penulis melalui buku tersebut hanya menghadirkan tulisan yang menanamkan keselarasan pemahaman keagamaan dengan pendekatan para sufi. Ketaatan yang dimiliki kaum sufi dalam menjalankan agama lahir dari pemahaman akan kekariban diri dengan Tuhan, sebagaimana dikatakan Tuhan sendiri bahwa Dia adalah karib, teman dekat bagi hamba-hambaNya.

Pembahasan dalam bab empat menjadi benang merah dari buku ini. Konsep ikhlas diajarkan melalui surat Al-Ikhlas, dimana kata ikhlas tak dijumpai dalam setiap ayatnya. Untuk ikhlas, manusia tak perlu mengucapkannya. Hal yang paling awal wajib diikhlaskan ialah tentang keesaan Allah. Gus Candra membiarkan pembaca untuk mendalami kepasrahan keilahian secara komprehensif.

Barangkali buku dengan 162 halaman ini bisa menjadi sekadar refleksi khusus di tengah gaduhnya paham-paham keagamaan yang justru saling menjatuhkan. Dalam memahami itu semua seringkali manusia justru luput dari semesta yang lebih luas dalam dirinya, yaitu tentang kedamaian hati dan ketentraman jiwa yang didambakan. Tak ada istilah menghakimi ataupun menggurui, lebih dari itu ia mengajak kita berdialektika memahami nilai-nilai transendental tanpa mengindahkan keadaan sosial yang terjadi. Penafsiran terhadap ayat-ayat juga dikontekskan secara perlahan penuh arti. Jika  ternyata buku ini jauh dari harapan, ya sudah, ikhlaskan saja.

Skip to content