Judul: Semua untuk Hindia
Penulis: Iksaka Banu
Tahun Terbit: 2018
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tebal: xviii + 154
Semua untuk Hindia menceritakan tentang tiga belas cerita pendek dari sudut pandang yang berbeda. Dengan latar belakang sejarah pada masa Hindia, penulis secara tidak langsung menyadarkan kita untuk tidak melupakan bahwa kehidupan Indonesia sangat dekat sekali dengan sejarah Hindia. Dalam buku ini, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama yang membuat pembaca paham dan membuat cerita lebih menarik karena alur ceritanya.
Dimulai dari Selamat Tinggal Hindia, menceritakan tentang wartawan yang bernama Martinus Witkerk dari De Telegraaf mengagumi Maria Geertruida Welwillend atau sebutannya Geertje. Martinus ingin melihat keadaan Geertje lantaran untuk mengamankan keadaannya, tetapi Geertje menolak karena Hindia (Indonesia) sudah ia anggap sebagai ibu pertiwi. Namun kediaman Geertje digeledah oleh beberapa tentara NICA karena dianggap sebagai propaganda anti-NICA.
Stambul dua pedang, menceritakan tentang kisah cinta terlarang Nyai Sarni Van Rijk (Sarni) dengan Raden Adang Kartawiria (Adang). Mereka bertemu di kabin rias pria, di belakang tobong yang gelap setelah pementasan. Hal tersebut dilakukan karena Sarni beranggapan bahwa ia dan suami, Maathijs Adelaar van Rijk (Adelaar), banyak memiliki perbedaan dan kurang mendapat perhatian suaminya. Ia pun menyuap teman-temannya untuk tidak melaporkan kedatangannya dengan Adang pada suaminya. Namun seiring berjalannya waktu, berita itu terdengar sampai ke telinga Adelaar. Lalu Adelaar mengirim surat permohonan berduel pistol atau anggar. Adang memilih anggar sampai titik darah penghabisan untuk pengembalian penghormatan bagi pemenang akan menjadi suami Sarni.
Racun untuk tuan, menceritakan tentang Fred Aachenbach, seorang asisten administratur di sebuah perkebunan tembakau terpencil di Deli, dan Imah adalah seorang bumiputra. Hubungan mereka adalah tuan rumah dan pengurus rumah. Imah sebagai pengurus rumah menjalankan tugas melayani tuannya dengan baik sampai berujung di ranjang. Lalu pada tahun kedua dan ketiga Imah melahirkan anak-anaknya Fred. Tetapi setelah Fred naik pangkat menjadi administratur pada memasuki tahun kelima, ia mengambil cuti ke Spijkenisse, menengok ibunya yang hidup seorang diri sekaligus melamar Helena Theunis, teman masa kecilnya.
Gudang nomor 012B menceritakan tentang sebuah gudang di sekitar stasiun yang berisi tumpukan karung kopi, tapioka, gaplek, gula serta beras. Terdapat dua puluh karung beras disusun dalam posisi tidur, tetapi ada satu karung berdiri terpisah dan isinya sudah berkurang separuh. Saat gudang hendak diisi ulang, sekelompok kuli memergoki sosok berambut panjang bergaun putih, duduk di antara tumpukan karung, seperti sedang menakar beras. Saat beradu tatap, makhluk yang konon berwajah menyeramkan tadi lenyap disertai suara melengking. Sejak saat itu, gudag 012B dijauhi para kuli.
Hans Peter Verblekken, seorang inspektur polisi dibantu dengan Mang Acim dan anak buah Mang Acim, Irus, mengecek gudang 012B untuk membuktikan berita yang beredar benar atau salah, mereka malah menemukan kenyataan bahwa sosok berambut panjang tersebut bukan hantu, melainkan seorang wanita kurus kering dengan rambut panjang yang kotor hingga ke pangkal paha mengenakan gaun putih. Ketika rambutnya tersingkap, wajah wanita tersebut terjangkit penyakit lepra di tahap yang paling parah.
Semua untuk Hindia, menceritakan tentang seorang wartawan yang bernama Bastiaan de Wit dari De Locomotief, mendapat sebuah surat dari Bali oleh “adik kecilnya,” Anak Agung Istri Suandani, yang berharap perang dibatalkan. Tetapi itu mustahil terjadi karena peristiwa terdamparnya kapal Sri Koemala di Pantai Sanur yang memicu ketegangan besar ini. Keluarganya dijadikan sebagai narasumber tulisan De Wit tentang tradisi Mesatiya, yang memperbolehkan para janda raja melemparkan diri ke dalam kobaran api saat upacara pembakaran jenazah suami mereka sebagai tanda setia. Lalu, ia bertemu dengan Baart Rommeltje seorang dokumentasi Negara.
Masih ada cerita pendek lainnya yang temanya tidak jauh berbeda dengan cerita pendek yang sudah dijelaskan di atas seperti Tangan Ratu Adil, Pollux, Di Ujung Belati, Bintang Jatuh, Penunjuk Jalan, Mawar di Kanal Macan, dan Penabur Benih.
Kelebihan dari novel ini adalah penulis menulis cerita pendek ini dengan latar belakang yang baru yaitu yang bertemakan sejarah. Novel ini menunjukkan sudut pandang baru dari orang Belanda terhadap Hindia (Indonesia) saat itu. Bahasa yang digunakan bisa dimengerti untuk pembaca yang tidak terlalu memahami sejarah. Namun sayangnya kosakata asing dalam novel ini kurang banyak. Hal tersebut bisa saja menyebabkan pebaca kesulitan untuk memahami cerita dengan utuh.