Media dan Wartawan Muslim Asia Tenggara

Judul : Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara

Penulis : Janet Steele

Penerjemah : Indradya Susanto Putra

Penerbit : Bentang

Tahun : 2018

Tebal      : xii/292 halaman

Awal-awal membaca buku Mediating Islam, saya teringat tulisan Andreas Harsono Quo vadis jurnalisme islami? dalam bukunya A9ama Saya Adalah Jurnalisme-yang merupakan kumpulan tulisannya di blog pribadi. Andreas tak sepakat penggunaan kata “Islam” di belakang “Jurnalisme”. Istilah jurnalisme islami hanya akan merugikan kepentingan dan makna “Jurnalisme” maupun “Islam”.

Andreas membandingkan dan memilih lebih tepat menggunakan kata dakwah islami dibanding jurnalisme islami dari pengertian yang dilontarkan seorang “pakar” dari Republika. Pada titik inilah buku Mediating Islam karya Janet Steele menjadi menarik.

Buku ini berbicara tentang jurnalisme, tetapi sekaligus tentang Islam. Tidak bicara tentang teologi Islam, tetapi lebih tentang serangkaian praktik media dan wartawan muslim. Hubungan tentang jurnalisme dan media yang mengaku islami maupun tidak, tetapi pada saat bersamaan sebagian besar wartawannya muslim. Sekaligus mengkorelasikannya dengan faktor sejarah, ekonomi, dan kondisi politik setempat.

Jika dihubungkan dengan dakwah, bagaimana nilai-nilai agama yang sudah terinternalisasi dalam wartawan muslim memahami dan menjelaskan pekerjaan mereka? Inilah yang coba dijawab Steele.

Beberapa poin kesimpulan yang Steele dapatkan setelah melakukan penelitian selama dua dekade di lima media di Indonesia dan Malaysia: Sabili, Republika, Tempo, Harakah, dan Malaysiakini.

Sabili adalah media paling konservatif dan politis dan mewakili sebuah perspektif yang dibelenggu oleh rezim Soeharto. Menurut Steele, Sabili, satu-satunya media dalam penelitiannya yang memiliki teori utuh tentang jurnalistik dan Islam, walaupun tidak selalu setia pada prinsip-prinsipnya sendiri.

Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang dikutip Steele yang menunjukkan ketidakberimbangan dalam pemberitaan Sabili. Atmakusumah Astraatmaja, Ketua Dewan Pers Indonesia tahun 2001, mengumpamakan Sabili seperti “pamflet”.

Sabili didirikan pada tahun 1984, tutup pada tahun 1993, dan kembali terbit pada 2002 lalu tutup untuk seterusnya pada 2013. Sejak awal dan selama masa bawah tanah, majalah ini terkait langsung dengan gerakan tarbiah. Wartawannya saat bertugas di lapangan biasa dipanggil ustaz.

Perspektif Sabili sudah jelas: Islam dan masyarakat muslim dikepung oleh banyak musuh, termasuk Kristen, pemerintah negara-negara barat seperti Amerika Serikat, para orientalis dan mereka yang berpendapat bahwa semua agama pada dasarnya sama.

Republika berfokus pada Islam sebagai ceruk pasar dan mencerminkan kesalehan populer yang menarik perhatian para pengiklan dan kelas menegah Indonesia yang sedang tumbuh.

Bagi Erick Thohir, Chief Executive Officer Mahaka Media, Republika adalah pasar dan pasarnya adalah komunitas muslim kalangan menengah ke atas. Lihat pernyataan Thohir yang dikutip Steele dalam buku ini:

”Saya ingat empat pesan yang saya sampaikan ketika masuk ke Republika. Pertama, Republika seharusnya berdiri di tengah, moderat. Kedua, saya tak ingin Islam dianggap bodoh, miskin, terbelakang. Saya tak menginginkan itu. Ketiga, kita tak boleh berprasangka. Ketika melihat sesuatu, kita tak bisa secara otomatis bersikap negatif. Kita harus berpikiran terbuka. Dan, terakhir, yang saya inginkan, adalah apa yang telah saya katakan sebelumnya. Anda harus memikirkan para pembaca, para pengamat, pasar, dan pasar yang besar”.

Meskipun tidak ada aturan yang ketat tentang hal-hal islami kepada wartawannya maupun liputan tentang hal yang mengkritik pemerintah, Republika tampak enggan mengambil posisi kontroversial yang berisiko membuat pembaca marah dan tersinggung. Misalnya, isu khitan perempuan dan hak-hak kaum LGBT. Semua itu kembali ke paradoks tengah: semua di Republika dikendalikan pasar.

Ade Armando, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia mengatakan: ”Saya pikir Islam Kosmopolitan Republika sekarang lebih terkait dengan topik memasak, gaya hidup, dan membangun ekonomi modern.”

Tempo, dikenal karena kosmopolitannya, yang tercermin dalam fokusnya pada gagasan-gagasan liberal/progresif yang berpusat kali pertama pada gerakan pembaruan cendekiawan muslim, Nurcholis Madjid, dan kemudian JIL.

Sementara itu, Tempo tetap bersikukuh tidak bisa disebut islami. Namun hampir semua narasumber yang ditemui Steele, mereka mengambil contoh dari Alquran dan hadis saat menjelaskan aspek-aspek tertentu dari jurnalisme (termasuk kebenaran, keseimbangan, verifikasi, dan independensi dari kekuasaan politik) mengenai pekerjaan mereka.

Saya agak kesulitan membaca media di Malaysia karena memang pengetahuan saya terbatas dengan kondisi politik yang ikut mempengaruhinya. Sepertinya, kondisi bermedia di Indonesia jauh lebih baik dibanding dengan Malaysia. Di Malaysia, masih ada kontrol pers, sensor, ditambah politisasi massa Islam, serta tafsir tunggal terkait Islam oleh ulama yang dilegitimasi negara.

Harakah, surat kabar milik Parti Islam se-Malaysia, berusaha untuk menyeimbangkan prinsip-prinsip jurnalisme, ajaran Islam, dan kepentingan elite partai yang sering silih berganti.

Namun, dari surat kabar Harakah yang berdirik sejak 1987, saya melihat bagaimana praktik jurnalisme bersinggungan dengan partai politik. Sejak awal para editor Harakah berjuang untuk melayani partai sekaligus menerapkan jurnalisme yang baik dan menjalani ajaran Islam.

Walaupun awalnya tampak mungkin mengakurkan ajaran Islam dengan jurnalisme yang baik, kepentingan politik akhirnya terbukti lebih sulit dimasukkan. Surat kabar itu biasanya menunggu hingga partai mencapai kesepakatan atau mufakat jika ada isu negatif yang mengenai partainya, kemudian mereka baru memberitakan hal itu.

Malaysiakini berjuang untuk menyimbangkan wacana ras dan agama, sekaligus menyediakan liputan kritis tentang pemerintah. Walaupun wartawan Melayu di Malaysiakini mungkin liberal dalam arti politik.

Hazlan Zakaria dari Malaysiakini misalnya mengatakan bahwa kenyatannya medianya bekerja sekuler dan tidak mendukung Islam, tetapi dalam beberapa hal tertentu sesuai dengan Islam.

Jadi, siapa yang seharusnya mendefinisikan media dan pendekatan jurnalisme semacam apa yang “islami”? Kendati sama-sama menolak gagasan tentang teori Jurnalisme islami seperti Andreas, Steele juga menolak pandangan “nalar wajar” dari para ahli teori barat, bahwa jurnalisme adalah pengelolaan yang sekuler.

Steele menemukan nilai-nilai yang disampaikan wartawan muslim yang sejalan dengan prinsip-prinsip dasar jurnalisme seperti verifikasi, kebenaran, keberimbangan, independensi, dan memantau kekuasaan. Istilah-istilah yang keluar seperti amar maruf nahi munkar, isnad, keadilan, aib, gibah, seringkali ditemukan dari narasumber-narasumber wartawan di buku ini.

Misalnya, wartawan Indonesia dan Malaysia kerap kali menyebut verifikasi dalam satu konteks tambahan: isnad, atau proses mengikuti mata rantai penyebaran ujaran dan tindakan nabi dan para sahabatnya.

Meskipun sebagian wartawan di Indonesia dan Malaysia mendukung prinsip yang sama ini, nilai-nilai tempat mereka berpijak tidak liberal. Bahkan, bagi kebanyakan wartawan yang bekerja di ruang redaksi yang Steele teliti, jurnalisme yang baik diletakkan dalam seperangkat nilai spesifik berdasar pada keadilan dan kewajiban mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang jahat.

Penting untuk dipahami bahwa wartawan muslim di Indonesia dan Malaysia yang menolak label liberal dan sekuler bisa saja pada saat yang sama mempromosikan toleransi dan demokrasi.

Tempat berpijak inilah yang menurut saya hal yang paling menarik, yang membedakan penerapan jurnalisme di Asia Tenggara, khususnya saya sebagai pembaca dari Indonesia.

Setelah menamatkan 292 halaman buku ini, saya membayangkan, jika memang ada nilai-nilai Islam yang sejalan dengan jurnalisme dan faktor agama tidak bisa dilepaskan dalam ruang-ruang redaksi bermedia di Indonesia dan Malaysia, bagaimana dengan kondisi media daring Indonesia, yang ada wartawan muslim saat ini yang hanya menjual sensasionalnya saja?

Tidak ada isnad atau verifikasi, tidak ada data atau keberimbangan. Disebut amar maruf dan nahi mungkar pun tidak sama sekali. Mereka hanya merugikan makna jurnalisme (atau memang tidak bisa diesbut jurnalisme) dan makna Islam itu sendiri.

Skip to content