Ketika Perempuan Melawan Adat

Judul : Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

Penulis : Dian Purnomo

Tahun Terbit : Pertama, 2020

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Halaman : 320 halaman

ISBN : 9786020648453

Peresensi : Haviv Isya Maulana ( Magang Himmah )

Jurusan : Ilmu Ekonomi (2019)

Buku ini menceritakan kisah seorang perempuan yang mengalami “yappa mawine”. Dalam kepercayaan adat Sumba sendiri Yappa mawine ini sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka. Yappa mawine sendiri secara harfiah berarti culik perempuan. Dalam adat Sumbawa  sendiri masyarakat lebih mengenal dengan sebutan Piti tambang yang artinya kawin tangkap.  

Kawin tangkap dulu menjadi salah satu upaya untuk menyingkat urusan adat agar tidak memakan biaya serta waktu yang lama. Pada umumnya keluarga kedua calon mempelai telah memiliki perjanjian jika akan menempuh cara ini. Ada yang mengatakan bahwa kawin tangkap juga bisa dijadikan sebagai salah satu solusi jika keluarga laki-laki gagal mencapai kesepakatan adat dengan keluarga perempuan. Jika ini penyebabnya, maka keluarga perempuan memang tidak mengetahui rencana tersebut sebelumnya. 

Hal inilah yang dialami oleh Magi Diela. Ia ditangkap ketika sedang menuju Wanukaka untuk memberikan pelatihan pertanian bagi warga desa sekitar sebagai salah satu tugas pertamanya di tempat ia bekerja. Namun, ditengah perjalanan ia ditangkap sekelompok orang dan kemudian dibawa ke sebuah pedesaan yang ia kenali. Kejadian itu bermula ketika Magi Diela tiba di pertigaan sebuah jalan menuju Wanukaka, kemudian ada sebuah motor yang mendekatinya dan si pengendara itu berkata kepada Magi bahwa tasnya terbuka. 

“Hei, Nona. Kam (bahasa daerah Sumba) punya tas terbuka. Awas dompet terjatuh!”

Mendengar perkataan pengendara itu Magi dengan sigap mengecek kondisi tasnya. Di saat Magi sedang memperhatikan tasnya tanpa ia sadari di sekitarnya sudah ada beberapa laki-laki beserta sebuah mobil pickup yang sudah siap membawanya pergi. Dalang dalam penculikan Magi Diela ialah Leba Ali. Sosok yang dikenal mata keranjang oleh masyarakat. 

Penculikan Magi yang dilakukan oleh Leba Ali membawa emosi yang memuncak bagi Dangu.  Dangu adalah sahabat laki-laki Magi yang sudah berteman sejak mereka kecil. Ia akhirnya memutuskan untuk mendatangi kediaman Leba Ali. Kedatangannya di sana membuat kericuhan yang cukup besar. Kedatangan Dangu ke kediaman Leba Ali memunculkan fitnah kepada dirinya serta Magi Diela. Pasalnya Dangu dianggap mencintai Magi dan berusaha untuk menggagalkan pernikahan itu. Terlebih ada beberapa orang yang pernah melihat Dangu sedang berpelukan dengan Magi Diela di rumah sakit ketika Magi dirawat sehabis mencoba bunuh diri dengan menggigit pergelangan tangannya. Ia melakukan perbuatan konyol itu semata untuk menghindari pernikahan dengan Leba Ali. Pernikahan dalam adat Sumba sendiri melarang untuk menikah dengan se “kabisu” atau sesama suku. Cinta sesama suku adalah pamali terbesar dalam adat mereka. Untuk itu fitnah yang dituduhkan oleh Leba Ali kepada Dangu dan Magi membuat berita heboh bagi seluruh desa. 

Membaca buku Dian Purnomo ini seolah membawa kita juga merasakan ikut terlibat dalam cerita yang disajikan. Mengambil tema cerita mengenai adat dari Indonesia timur tepatnya Sumba  juga memberikan kita pengetahuan baru mengenai budaya yang ada di Indonesia ini. Kemajuan teknologi dan zaman saat ini membuat sebagian masyarakat sadar akan sisi baik dan negatif suatu adat. Salah satunya yaitu Dangu. Menurut Dangu tidak semua adat perlu dilestarikan karena bukanlah sebuah adat yang mengandung sebuah kebaikan.  Yappa mawine pun menjadi salah satu adat yang menurutnya tidak perlu dilestarikan karena hanya akan menyiksa kaum perempuan karena dipaksa menikah oleh laki-laki yang tidak mereka cintai. Dangu pun sebenarnya bingung mengapa perbuatannya menyelamatkan sahabat sendiri dianggap dosa sementara perlakuan bejat Leba Ali dianggap sebagai memuliakan adat. 

Dalam buku ini juga menceritakan bagaimana seseorang yang mempunyai kekuasaan dan dekat dengan penegak hukum dapat dengan mudah mematahkan semua tuduhan pelanggaran hukum yang telah diperbuat. Seperti kasus Leba Ali yang dilaporkan oleh Dunga ke pihak kepolisian. Namun, pihak kepolisian akhirnya hanya memberikan surat peringatan 3 kepada Leba Ali dan tidak meneruskan kasus ini naik ke kejaksaan. 

Perjuangan Magi Diela untuk melawan adat yang berlaku kembali setelah ia sembuh dari sakitnya. Namun kali ini ia  dibantu oleh komunitas yang menamai diri mereka dengan sebutan Gema Perempuan. Bersama Gema Perempuan inilah Magi merasa hidup kembali. Kemanusiaan yang sebelumnya direnggut oleh adat daerahnya kini mulai tumbuh kembali setelah melihat perhatian dan upaya Gema Perempuan dalam membantu Magi menyelesaikan masalahnya. Untuk melawan rencana perkawinan itu, Magi Diela memutuskan untuk kabur dari rumah. Ia melarikan diri menuju Elopada untuk menginap di rumah Mama Mina. Dikala budaya menjadikan Magi sebagai binatang untuk memuaskan nafsu, hancur sudah harapannya untuk membangun Sumba, tempat di mana ia dilahirkan dengan kasih sayang. Kini ia harus melawan orang tua, masyarakat kampung ,serta adat yang merenggut kebebasan dirinya sebagai seorang perempuan. Menurut Ama dan Ina Magi, ia harus segera menikah dengan Leba Ali karena Magi sudah dianggap tidak perawan lagi dan itu menjadi sebuah aib bagi keluarga. Namun Magi memiliki pandangan yang berlawanan dengan adat yang ada selama ini. Ia menganggap adat ini hanya akan merenggut harga diri seorang perempuan.   

Nilai positif yang dapat kita ambil dari buku ini adalah menggunakan bahasa Sumba dalam menceritakan percakapan-percakapan nya. Sehingga kita juga lebih mengenal bahasa daerah Sumba dan lebih dapat menikmati jalan cerita. Selain itu juga ada beberapa istilah mengenai budaya di sumba sendiri. Contohnya adalah istilah “buku perut ayam” yaitu penganut Marapu menganggap bahwa pembacaan dari usus ayam menggambarkan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Kepercayaan yang tidak memiliki kitab ini percaya bahwa buku perut ayam adalah  kitab yang berbeda, mereka tidak berisi sejarah tetapi justru melihat apa yang akan terjadi kemudian  (Hal.125). Menurut kepercayaan mereka, jika tulang tempat  bulu2 ayam tubuh lebih banyak yang hitam maka ada keburukan yang bakal menimpa sesuatu yang sedang dibaca nasibnya. Tetapi jika tulang bulu itu berwarna putih maka lebih banyak hal baik. Malam itu hasil “nyoba ayam” menunjukkan lebih banyak warna hitam dibandingkan putihnya.

Selain itu, buku ini juga secara tidak langsung menjelaskan bahwa perempuan akan melakukan perlawanan jika mereka dilecehkan. Terlebih jika mereka berada di lingkungan yang dapat membantu mereka. Selama ini para perempuan yang mengalami pelecehan tidak berani untuk melaporkannya karena merasa malu dan tidak ada orang yang dapat mendengarkan dan memahami perasaan apa yang sedang mereka rasakan. 

Ada satu kalimat dari Magi yang sangat saya sukai, yaitu, “Wahai leluhur, ini rasanya tidak adil, tapi akan sa jalani. Ini tidak mudah, tapi tidak ada hal yang mudah di muka bumi ini, apalagi setelah kita menjadi dewasa..” Kalimat ini sangat sesuai dengan kehidupan kita. Untuk itu sebagai manusia yang mempunyai perasaan dan akal pikiran khususnya bagi seorang perempuan kita tidak boleh berpikir bahwa perempuan dan laki-laki itu berbeda. Apa yang bisa dilakukan oleh laki-laki juga bisa dilakukan oleh perempuan. 

Dibalik buku yang sangat apik ini tentunya ada sedikit kritikan serta masukan yang saya berikan. Pertama adalah kurang tajamnya atau kurang detailnya penjelasan mengenai balasan yang diterima Leba Ali di dalam penjara. Ya, Leba Ali akhirnya dijerumuskan ke dalam penjara setelah ia melakukan kekerasan dengan berbagai pukulan keras ke wajah Magi. Tentunya sebagai pembaca kita ingin lebih tahu balasan apa dan seberapa menderitanya Leba Ali menjalankan hukumannya setelah perbuatan keji nya terhadap Magi. 

Selain itu, ada beberapa kalimat yang kurang hurufnya, contohnya dalam kalimat “…. Mendaftar ke kampus-kampu”, dimana kurang huruf “S” (Hal. 198) serta dalam kalimat “Hari ini Dangu mesti konsentrasi memasang memasang muka dua…”. Menurut saya kata memasang cukup satu kali saja.

Novel karya Dian Purnomo dengan tebal 320 halaman ini membukakan pandangan mata kita bahwa masih banyak ketidakadilan gender yang terjadi serta banyaknya kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Melalui buku ini pula, Dian Purnomo mengajak kepada kita semua untuk tidak diam terhadap kejahatan terhadap perempuan yang terjadi. Sekecil apapun bantuan yang kita berikan itu akan sangat membantu penyintas kekerasan tersebut. 

Skip to content