Judul: Pesta di Sarang Kelinci
Penulis: Juan Pablo Villalobos
Penerjemah: Gita Nanda
Penerbit: Labiri Buku
Cetakan: Pertama, September 2020
Tebal: vi + 80 Halaman
ISBN: 978-623-92983-1-9
Dalam kurun waktu tahun ‘80-an sampai 1993, dunia mengenal nama Pablo Emilio Escobar Gaviria sebagai salah satu gembong narkoba terkaya di dunia. Pada puncak kariernya, dari transaksi kokain, ia bisa menghasilkan US $21,9 miliar setahun. Sungguh hasil yang fantastis dari sebuah bisnis haram.
Tak heran, selain dikenal sebagai pemilik bisnis gelap yang tak kenal ampun dalam menggasak pesaingnya, Escobar juga dikenal sebagai sosok yang mudah sekali menghamburkan uangnya.
Satu hal yang unik, alih-alih menggunakannya untuk berfoya-foya, Escobar justru memakainya sebagai bakal api unggun. Adegan membakar uang itu bukan dongeng belaka, sebab mengutip laman Business Insider di Liputan6, Selasa (17/12/2019), saat anaknya kedinginan, Escobar tak segan membakar uang Rp 20 miliar untuk menghangatkan tubuh anaknya. Sekali lagi, berita ini tidak mengada-ngada. Fakta bahwa Escobar adalah gembong narkoba yang kaya dan terkenal sadis, itu bukan rahasia umum lagi.
Namun, sisi lain pun dimiliki oleh sosok satu ini, yakni rasa cintanya pada keluarga. Escobar tentu bukan satu-satunya orang yang mengutamakan urusan keluarga di atas segalanya.
Sebab di belahan dunia yang lain, di satu kota di Honduras, kita bisa menjumpai sosok serupa Escobar dalam diri Yalcaut. Hal yang membedakannya, sosok satu ini tidak nyata, ia lahir dari tangan seorang Juan Pablo Villalobos, yang ia torehkan dalam novela bertajuk Pesta di Sarang Kelinci.
Sebagai debut perdananya, Pablo jelas patut bersyukur mengingat novela ini mendapat sambutan baik di mata khalayak umum. Kali pertama ditulis dari bahasa Spanyol dan berjudul Fiesta en la madriguera, novela ini pun masuk ke dalam daftar pendek Guardian First Book Award 2011.
Capaian yang mengesankan untuk sebuah karya perdana. Lantas, apa yang membuat novela ini unik? Kiranya, pengisahan yang tak lazim atas dunia gelaplah yang bisa dianggap jawabannya.
Secara garis besar, novel ini berkisah mengenai kehidupan sebuah gembong narkoba dari kacamata seorang bocah bernama Tochtli. Sebagai anak gembong narkoba, kehidupan Tochtli tentu jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak lainnya.
Oleh sang ayah, Yalcaut, Tochtli disayang setengah mati. Apa pun yang diminta bocah itu akan dituruti oleh ayahnya. Namun, koridor kasih sayang Yalcaut bisa dibilang agak aneh. Di satu sisi, ia memang ingin yang terbaik untuk Tochli, tetapi di sisi lain, yang dilakukannya justru tampak ganjil.
Yalcaut ingin anaknya tetap tumbuh sebagai anak yang berpendidikan, tetapi alih-alih memasukkannya ke sekolah umum, ia justru menghadirkan seorang guru bernama Mazatzin ke kediamannya yang besarnya serupa istana itu. Begitu pula saat Tochtli ingin pergi ke kebun binatang dan melihat hewan-hewan di sana, Yalcaut justru mendatangkan hewan seperti burung dan singa ke kediaman mereka.
Atas perlakuan itulah, Tochtli menjadi pribadi yang lain daripada anak sesusianya. Memang, ia tergolong anak yang cerdas, bahkan Yalcaut sendiri mengakuinya. “Hei Tochtli, bocah tengik, jenius ya kau ini,” katanya.
Tochtli bahkan punya kebiasaan membaca kamus sebelum tidur. Ia juga penggemar topi, film-fim samurai, dan alat pemotong kepala khas Prancis yang disebut gilotin. Yang terakhir, kiranya bisa dipahami mengingat pemandangan seorang yang terbunuh di kediaman mereka bukan hal asing lagi. Yalcaut tak segan membinasakan orang-orang yang tak disukainya.
Kekejaman itu bukan omong-kosong belaka. Namun, lewat Tochtli selaku narator novela ini, kekejaman berikut hal gelap lainnya dinarasikanya dengan gaya yang biasa saja. Tak ubahnya celoteh seorang bocah dalam hal memandang dunia sekitarnya, dan ia tak mempermasalahkan hal tersebut.
Masalah lantas datang sewaktu Tochtli ingin memelihara kuda nil Liberia yang langka. Hewan satu ini sulit sekali didapatkan, sekalipun ayahnya sudah mengerahkan beragam cara dan koneksi yang ia miliki. Satu-satunya cara, hanya bisa ditempuh bila mereka mau memburu sendiri hewan tersebut di alam liarnya, di Liberia.
Tak patah arang, Tochtli bersama ayahnya bebeberapa orang pun memutuskan untuk pergi ke Liberia. Tochtli sangat ingin memelihara hewan itu, dan Yalcaut pun ingin mewujudkan keinginan anaknya. Maka, dimulailah petualangan berat dan melelahkan di belantara Afrika.
Petualangan itu tentu tak begitu saja membuahkan hasil, bahkan hampir-hampir mereka menyerah sebab selama beberapa hari mereka sama sekali tak menemukan keberadaan hewan itu. Hingga sewaktu mereka hendak benar-benar memutuskan untuk pulang, sepasang kuda nil tertangkap pandangan.
Apa selesai sampai di situ saja? Tidak, penemuan kuda nil itu bukan akhir dari novela ini. Sebab selanjutnya, masalah tak henti-henti datang. Ini pula yang membuat kisah menjadi sedemikian menyenangkan untuk diikuti.
Pablo secara baik menunjukkan kegelapan dan kekejaman dalam dunia hitam itu, tetapi secara halus memolesnya dengan balutan kepolosan dan kejujuran seorang anak kecil.
Satu hal yang paling kentara dari kisah novela ini, Pablo ingin melayangkan kritiknya terhadap sesuatu yang terenggutkan. Bahwa seorang anak seperti Tochtli yang semestinya menjalani kehidupan sebagaimana anak seusianya, justru tercerabut dari dunianya sebagai anak-anak.
Sekalipun kehidupan Tochtli penuh kegemerlapan, kelimpahan kebutuhan, dan kemudahan mencapai sesuatu hal, tapi Tochtli sesungguhnya terasingkan. Kebebasannya sebagai seorang anak diambil.
Ia terpaksa masuk ke dalam kehidupan yang tak semestinya menjadi dunia yang mengiringi pertumbuhannya. Oleh karena itu, judul yang dipilih penulis, yakni Pesta di Sarang Kelinci sesungguhnya mengandung ironi dalam susunanya: Tochtli terjebak dalam sarang yang membuatnya terasingkan, dan untuk menghadirkan sedikit kesenangan, pesta pun mesti digelar. Bagaimanapun, ia pantas mendapatkan kebahagiaannya kendati dunia yang tergelar di sekitarnya tak lazim bagi sebagian orang.