Little Women: Pernikahan Bukan Sekadar Menaikkan Ekonomi Keluarga

Judul: Little Women

Genre: Drama, Percintaan

Sutradara: Greta Gerwig

Durasi: 135 Menit

Pertama kali melihat cuplikan film Little Women, kesan pertama saya tentu saja tidak jauh dari kata feminis dengan latar waktu kuno di Barat sana. Benar saja, ternyata film ini adaptasi novel klasik karya Louisa May Alcott sejak 1868. Penyajian yang apik oleh Greta Gerwig berhasil membawa Little Women meraih enam nominasi Piala Oscar 2020. 

Disambut latar waktu natal penuh kehangatan keluarga, cerita ini sebagian besar menyuguhkan konflik keluarga serta perdebatan empat remaja perempuan menuju dewasanya. 

Jo March merupakan tokoh utamanya. Ia merupakan anak kedua keluarga March yang penuh semangat menjadi seorang penulis. Kakaknya, Meg, sosok yang selalu Jo ingatkan untuk bisa meraih cita-citanya menjadi aktris opera ditengah keadaan keluarga yang tak seberuntung bibinya. 

Putri ketiga March, Beth sangatlah baik hati, lemah lembut, serta pianis terbaik keluarga. Terakhir, anak bungsu March, Amy, membawa sifat manja dan egois namun tak patah arang menjadi seorang pelukis. 

Sejak awal cerita saya menyukai Jo. Tanpa saya duga, Jo dengan lantang mengatakan “Aku tidak suka menjadi perempuan.” Frasa yang cukup menggambarkan bagaimana dirinya dan ketiga saudaranya dibesarkan dalam lingkungan yang merepresi peran wanita. 

Saat novel tersebut dibuat, gerakan dan ideologi yang bernafaskan feminis tentu saja belum muncul, mengingat kata feminisme baru diperkenalkan pertama kali pada 1872. Tokoh Jo telah melampaui pemikiran gadis pada masanya kala itu. Jika saja novel tersebut muncul beberapa tahun kemudian, Jo tentulah akan dicap seorang feminis sembari membakar pergerakan yang ada. 

Jo menentang pernikahan. Baginya, menikah akan menghancurkan mimpi-mimpi yang telah ia susun. Jo memegang teguh dengan kuat hingga ia menyadari masanya bahwa pernikahan tidak seburuk itu. 

Menikah dengan lelaki kaya adalah jalan keluar seorang wanita untuk menikmati kehidupan glamour serta membantu keluarganya terlilit belenggu ekonomi pas-pasan. Setidaknya itu yang diyakini oleh Bibi March. Seorang wanita kaya yang memiliki obsesi menikahkan salah satu putri March dengan lelaki bangsawan, beradab, dan tentunya bergelimang harta. 

Jo menjadi kesayangan bibi March. Jo pun selalu mengikuti arahan bibinya itu. Bukan berarti ia menyetujui pendapat bibinya itu, namun semua ia lakukan semata-mata agar bisa berkeliling Eropa bersama bibi March menjadi penulis terkenal.  

Nahas, hanya karena Jo memotong rambutnya untuk dijual demi mendapatkan dolar membiayai Ibunya pergi guna merawat ayahnya yang sakit setelah berperang, bibi March membuangnya. Rambut adalah mahkota. Rambut panjang menandakan status sosial wanita yang tinggi pula kala itu.

Bagaimana seorang wanita akan terlihat anggun, berkelas, dan cukup menarik dihadapan lelaki bangsawan jika rambutnya terpotong cepak. Mungkin begitu yang ada dalam otak bibi March ini.

Lucunya, wejangan menikahi orang kaya dari bibi March masih kita temukan hari ini. 19 Februari 2020 lalu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy memberikan saran kepada Menteri Agama, Fachrul Razi untuk mengeluarkan fatwa warga kaya menikahi warga miskin.

Dalih ekonomi kembali menjadi alasan serta beliau mengamati fenomena kecenderungan seseorang menikah dengan pasangan yang ekonominya setara. 

Jika saja Jo March tidak hanya tokoh fiksi, ia pasti telah menjadi aktivis garda terdepan masyarakat Indonesia yang menentang pernyataan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode lalu tersebut. 

Jo tidak akan rela mempercantik fisiknya hanya untuk dinikahi lelaki konglomerat. Fisik seorang wanita bukan sebuah komoditas ekonomi, fisik wanita adalah harga diri, kualitas, serta kekuatan dirinya.

Dalam film Little Women, lambat laun diceritakan kehidupan empat gadis itu menuju dewasa. Tentu saja dunia semakin kompleks dibarengi perpecahan dalam rumahnya. 

Beth, pianis berbakat itu jatuh sakit. Bertahun-tahun ia menghadapi penyakit demam berdarah, hingga suatu ketika ia menjadi orang pertama yang pergi meninggalkan rumah untuk selama-lamanya.

Tak lama setelah itu, Meg memutuskan menikah bersama John, seorang pengajar di rumah tetangganya, Laurie. Menentang prinsip Bibi March, Meg tidak menikahi seorang pria kaya. Untuk menjahit sebuah kain sutra saja, John tidak bisa menghidupi Meg. 

Sebelum pemberkatan pernikahan, Jo memohon kepada Meg untuk memertimbangkan kembali keputusannya. Tapi Meg dengan halus mengatakan pernikahan adalah kebahagiaannya. Meg meyakinkan Jo jika mimpinya bisa ia raih suatu saat nanti bersama John. Pernikahan tidak akan membuatnya berhenti menginjak panggung opera suatu saat ini. 

Sama seperti Jo, saya pun yakin dari penggalan film di atas. Jika Meg hidup di Indonesia sekarang, Meg akan menentang pernyataan Bapak Muhadjir Effendy. 

Pernikahan bukan hanya sekadar masalah ekonomi, rasa sayang antar pasangan adalah yang utama. Meg dengan senang hati akan membangkang nasihat itu sebagaimana Ia yang tak mengindahkan anjuran Bibi March. 

Niscaya, kemiskinan yang melilit keluarga March, pun dirinya, akan menghilang dengan pernikahan berlandaskan cinta dan cita. Menikahnya Meg ialah awal perjuangan menjemput kemakmuran tanpa perlu menjadi parasit kepada salah satunya. 

Mendekati akhir cerita, Amy yang sejak awal beradu menandingi Jo menjadi pusat perhatian, mendapatkan tempat. Akhirnya bibi March memilih Amy berkeliling Eropa bersamanya dan mengembangkan sayap menjadi seorang pelukis. 

Amy tumbuh meninggalkan keluarga sederhananya, menjadi sosok wanita bangsawan yang patuh kepada bibinya. Tak hanya itu, Amy mendapatkan Laurie, tetangga sekaligus lelaki yang ia cintai sejak remaja. Mendapatkan cinta Laurie tidak semudah membalikkan tangan bagi Amy. 

Laurie tak pernah memandang Amy, ia hanya melihat Jo. Kala itu hanya tertinggal Jo dan Ibunya di rumah. Kesempatan ini diambil Laurie untuk menyatakan cintanya serta mengajaknya menikah.  Dengan prinsipnya yang kuat, Jo menolak Laurie seketika. Jo tidak ingin menikah. 

Jo yakin mampu menghidupi dirinya sendiri. Pernikahan ia yakini hanya akan menghambatnya meraih mimpi. Hingga akhirnya Laurie benar-benar meninggalkan Jo menuju Eropa menyusul Amy. 

Lambat laun, Jo merasa kesepian. Titik itulah ia menyadari kebenaran ucapan Meg. Pernikahan masih ia butuhkan. Ia berusaha meraih Laurie kembali. Namun terlambat, Amy telah dipinang Laurie kala itu. 

Seorang rekan kerja Jo, Friedrich, di akhir cerita secara mengejutkan menjadi penutup manis akhir kisah Little Woman ini. Jo memilih bersama Friedrich dan membuat cerita berakhir happy ending sesuai keinginan pasar katanya.  

Saya merasa tokoh Amy yang memiliki perangai manja, terkesan lebih mementingkan penampilan dibanding saudaranya. Amy akan melakukan hal apapun demi mencapai mimpinya, termasuk mengikuti saran bibi March menikahi laki-laki kaya raya, nyatanya masih memiliki jiwa feminis dan dewasa. 

Sebelum menikah dengan Laurie, Amy dekat dengan bangsawan Eropa, Fred Vaughn. Ia dekat pun karena mematuhi saran bibinya. Mendekati hari lamarannya, perangai buruk lelaki itu semakin terlihat. Amy menerima perlakuan buruk itu demi menyukseskan ambisinya. 

Lambat laun, saat Laurie mulai mendekati Amy, ia tersadar. Ia merasa akan lebih bahagia saat semua tidak dipaksakan. Sama seperti Meg, perasaan cinta yang telah ia pupuk sejak remaja kepada Laurie mengalahkan hasrat ambisi menikahi bangsawan. 

Sejatinya Jo juga tidak pernah merubah prinsipnya. Entah ia menikah atau tidak, prinsipnya ialah menjadi mandiri, berambisi penuh meraih cita-cita, tanpa mau direpotkan dengan stigma masyarakat yang ada.

Jo menikah bukan untuk mendapatkan harta. Bukan pula untuk berpangku tangan kepada penghasilan suaminya. Ia menikah untuk memenuhi kebutuhan batinnya. Mencari teman untuk berjalan bersama menyusuri setiap mimpi yang akan ia raih.

Jo sejak awal menentang pernikahan karena ia ingin membuktikan seorang perempuan mampu menaikkan derajat keluarganya sendiri. Ia ingin mengaktualisasikan diri sepenuhnya, dipandang, dan dihormati secara utuh. 

Jika dia tidak mampu menopang ekonomi keluarganya, itu karena ia tidak diberikan kesempatan untuk berkarya secara optimal, bukan karena ia perempuan. 

Menikahi bangsawan kaya memang ampuh untuk menaikkan ekonomi keluarga. Tak perlu susah payah berpikir dan mengorbankan waktu bekerja keras, semuanya tiba-tiba akan membaik. 

Namun, menikahi lelaki kaya tidak akan menaikkan value seorang perempuan dan menjadikannya berdiri di atas dirinya sendiri. Sebaliknya, ia akan terus-menerus bergantung tanpa tau cara bertahan dan tentu saja bisa terhuyung cepat.

Serial Laporan Khusus:

Skip to content