Membantah Logika Sesat Kaprodi HI

Kebetulan si bapak sekarang tengah menduduki jabatan sementara yaitu Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (Kaprodi HI UII). Sebut saja namanya, Irawan Jati.

Beberapa hari yang lalu, beberapa mahasiswa HI terbelenggu oleh jabatan dan kewenangan si bapak. Mahasiswa dikasuskan dengan kebijakan sepihaknya bahwa yang gondorong tidak mendapat kartu ujian dalam syarat mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS). Niat beliau, sih, baik. Membentuk karakter mahasiswanya, apa tujuannya? Agar mahasiswanya sadar, “menjadi diplomat itu harus rapi”.

Lantas, apakah gondrongers ini berkeinginan menjadi diplomat? Kita perbaiki pertanyaannya yang lebih berkeadilan. Apakah semua mahasiswa HI ingin menjadi diplomat? Saya berani jamin kalau mahasiswa HI tidak semua bercita-cita menjadi diplomat di saat menempuh masa kuliahnya. Sebab, masih banyak preferensi pekerjaan yang bisa dicetak oleh jurusan ini. Bisa berkarir sebagai jurnalis, pemerintahan, wakil rakyat, MNC, NGO, dan sebagainya. Tidak dipungkiri, jurusan teknik elektro pun bisa menjadi diplomat.

Duh, sudah seperti zaman orde baru saja. Memang saat itu gondrong kerap dianggap kriminal. Sering kali dicap tidak baik dan urak-urakan. Berawal pada tahun 1960-an, gondrong bukan sekadar isu kaleng-kaleng. Buktinya, pemerintah secara serius melakukan pembasmian terhadap mereka. Pemerintah menilai dalam proses pembangunan negara, anak muda juga harus ditata. Agar citra negara dalam pembangunan nasional dipandang baik.

Logical Fallacy! Tau ga, Jokowi gondorong loh, semasa beliau menjadi mahasiswa. Berarti, Jokowi pun ikut menentang dari kegawatan doktrin negara tersebut. Sekarang jadi presiden, deh.

Begini ya, Pak! Kata Ali bin Abi Thalib itu, “Wahai Kaum Muslim, didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu.

Akan tetapi, si bapak masih terkunci di dalam kerangkeng orba. Mau menata mahasiswa tetapi dengan cara sekolahan. Lebih tepatnya, anak Sekolah Dasar (SD), sih. Mana tahu beliau sekalian mau buat kebijakan yang sama seperti orba, asyik juga.

Coba kita imajinasikan anak SD ini adalah mahasiswa. Bukan SD, sih, kalau di zaman orba, tetapi Sekolah Rakyat (SR). Mula-mula, Sebelum masuk kelas, mahasiswa berbaris dulu. Membentuk empat barisan yang menjulur ke belakang. Kemudian, dipimpin oleh satu mahasiswa yang bertugas mengatur barisan agar rapi.

Seluruhnya, “ASIAPPPP GERAKKKK!” Tegas, sahut keras pemimpin barisan. Lalu, satu per satu mahasiswa maju dan berhenti di bibir pintu, untuk mengecek terlebih dahulu kuku-kukunya. Jika kuku terbukti kotor dan menjulur panjang, maka penggaris berukuran satu meter siap menepuk punggung kedua tangan yang dijajarkan lurus ke depan. Begitu pun penerapan gondrong ini bisa disamakan dengan kuku-kuku tadi. Bedanya, si bapak nantinya membawa gunting.

Si Bapak dan Dasar Hukumnya

Kembali ke persoalan. Apakah teman-teman gondrong ini tidak bisa rapi? Bisa, menurut saya. Subjektif, kan, penilaian ini? Iya, dong! Bahkan, penilaian si bapak pun subjektif terkait mahasiswa gondorong itu tidak bisa rapi. Artinya, ini seharusnya masuk dalam meja perdebatan terlebih dahulu. Alasan beserta kesepakatan nanti dapat disepakati bersama. Jadi, tidak semena-mena kebijakan itu diambil secara sepihak.

Melalui hasil liputan Lembaga Pers Mahasiswa Kognisia, si bapak membantah kewenangan yang beliau ambil itu menyalahi regulasi. Menurut beliau, wewenangnya itu telah tercantum di Peraturan Universitas Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tugas dan Wewenang Ketua serta Sekertaris Program Studi pada pasal 3 poin f. Ada pun bunyi pasal tersebut seperti ini, “melakukan tindakan yang diperlukan untuk memelihara ketenteraman dan ketertiban suasana akademik dalam lingkup Program Studi”. Maksud dari kebijakan tersebut untuk membentuk karakter, terutama mencetak mahasiswa cendikiawan sekaligus diplomat. Namun, kejanggalan secara hukumnya mulai kelihatan.

Ini bukan pertama kali si bapak asal-asalan dalam kewenangannya. Terkait masalah gondrong, sudah kedua kali ini terjadi. Di tahun pertamanya, pada tanggal 20 Juli 2018, gondrongers ini dipaksa membuat pernyataan secara sepihak di atas materai 3000. Bunyi redaksionalnya berisi akan berjanji untuk memotong rambut. Sanksinya juga sama, tidak diperbolehkan mengikuti UTS dan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) mahasiswa yang gondrong ditahan. Ironisnya, si bapak terkesan mempertontonkan arogansinya sebagai kaprodi. Sebab, beliau lebih dahulu menggelar tikar untuk “menantang” korban malaporkan kasus ini ke dekanat dan lembaga.

Belajar Hukum Bersama Yuk Pak!

Mari kita bahas kejanggalan hukumnya. Muhamad Saleh, salah seorang Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum (PSHK FH) UII, mengatakan rumusan pasal 3 poin f terlalu umum untuk ditafsirkan. Pak Saleh juga mengkritik pasal tersebut. Menurutnya, salah satu syarat rumusan peraturan harus jelas dan tidak multitafsir. Lalu, dari definisi ketenteraman dan ketertiban pun tidak ada. Beliau juga mempertanyakan, apakah rambut itu dapat menyebabkan terwujudnya ketertiban? Menarik untuk dikorek.

Melalui sisi yang mana kah, gondrongers ini dapat menganggu kententraman dan ketertiban akademik? Tergelitik, melihat kesalahpahaman si bapak. Mungkin ini hanya sekedar cocokologi saja. Tidak pernah saya mendengar gondrong menyebabkan kerusakan kesehatan secara fisik, mental, dan pikiran serta terjadinya perselisihan antara kaum laki-laki dan perempuan selama proses perkuliahan.

Lucunya, hal tersebut diperkuat dengan alih-alih pembentukan karakter. Seharusnya beliau mendalami terlebih dahulu, nilai apa saja yang dapat menjadi indikator pembentukan karakter. Jika membaca pernyataan Profesor Muhaimin, dalam bukunya Pemikiran Pendidikan Islam, beliau mengatakan pembentukan karakter tersebut dibutuhkan sistem nilai dalam pelaksanaannya, sehingga berjalan dengan arah yang pasti. Karena berpedoman pada garis kebijaksanaan yang ditimbulkan dari nilai-nilai fundamental, misalnya nilai agama, ilmiah, sosial, ekonomi, kualitas, kecerdasan dan kerajinan. Lalu, apa gondrong sangat fundamental dijadikan indikator pembentukan karakter? No!

Huznudzon, si bapak sepertinya lupa. Jika pengaturan displin mahasiswa sudah diatur di Peraturan Universitas No 460/SK-Rek/Rek/X/2001 tentang Displin Mahasiswa Univesitas Islam Indonesia yang mengatur terkait hak, wewenang dan larangan mahasiswa. Sedangkan, gondrong tidak diatur. Tetapi tidak dipungkiri, hal tersebut dapat diatur di fakultas masing-masing. Contohnya terdapat di Fakultas Kedokteran UII. Aturan lebih lanjut mengenai displin mahasiswa diturunkan dalam peraturan fakultasnya. Hal itu disebabkan karena dekanat punya otoritas untuk mengatur lebih lanjut mengenai persoalan tersebut, diperkuat dengan Keputusan PHBW UII No 02/KPTS/PH/2006, pasal 2 ayat 2 tentang Tugas dan Wewenang serta Hak Dekan. Dalam putusan itu menyatakan, “dekan memiliki wewenang untuk membuat peraturan dan atau keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Catur Dharma”. Artinya, kewenangan dekan di dalam pasal tersebut jelas dan tidak multitafsir, tidak seperti pasal yang dikutip si bapak.

Sedangkan di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII (FPSB UII), aturan tidak boleh gondrong tidak dijelaskan di peraturan fakultasnya. Di sinilah, letak asal-asalan kewenangan Kaprodi HI. Beliau, melangkahi otoritas fakultas terutama dekanat. Ketua DPM FPSB UII, Ahmad Turmudzi mengatakan bahwa dekanat telah menegaskan kepada Kaprodi HI, jika aturan tata tertib ujian sepenuhnya tanggung jawab fakultas. Namun tidak tahu, hal tersebut dijalankan atau tidak. Seharusnya dekanat menjelaskan lebih konkret lagi mengenai larangan gondrong juga bukan kewenangan yang diatur oleh kaprodi, tidak hanya berkaitan dengan aturan ujian saja.

Mirisnya, tanpa angin dan hujan gondrongers ini dirampas haknya. Pertama, mereka telah memenuhi syarat pembayaran ujian. Kedua, haknya dirugikan sepihak tanpa duduk persoalan. Jika si bapak punya kewenangan dan ingin membuat kebijakan tanpa kompromi, seharusnya realistis. Misal, merokok di dalam kelas. Tidak ada pembenaran terkait hal ini. Jelas, ini merugikan orang banyak sekaligus menganggu kententeraman serta ketertiban.

Terakhir, karena kita kuliah di kampus islami, lebih baik tulisan ini diperkuat dengan napas Islam. Ternyata, Islam mengaturnya. Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “aku tidak pernah melihat rambut melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari (rambut) Rasulullah. Dalam suatu riwayat lain, “Rambut Rasulullah sampai mengenai kedua bahunya.” (HR Muslim Nomor 2337). Imam Ahmad berpendapat bahwa dalam meniru Rasulullah itu bagus dan dapat dihitung sebagai ibadah. Artinya, kampus kita seharusnya menjamin idealis terhadap mahasiswanya yang juga belandaskan nilai-nilai Islam.

Gondrong sendiri bagian idealis dari kehidupan mahasiswa, terjamin tidak merugikan pihak manapun. Si bapak juga seharusnya tidak sewenang-wenang menyepak, menginjak, atau membuang jauh-jauh idealisme mahasiswa ini. Kita juga harus menjamin, ini akan selesai. Jika jalur audiensi tidak diindahkan, jalur hukum pun tidak diselesaikan, maka ada satu kata, lawan!

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Skip to content