Ketika DPM Lebih Memilih di Balik Punggung Rektorat

Setelah lama tak terdengar suara aksi massa di dalam kampus Universitas Islam Indonesia (UII), 2 Mei 2019 menjadi catatan baru adanya gerakan mahasiswa dari berbagai fakultas yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli UII (AMPU). Mereka menuntut beberapa hal kepada pihak rektorat, di antaranya hentikan kapitalisasi pendidikan, ciptakan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel, terbukanya ruang untuk diskursus intelektual, dan kampus yang demokratis.

Aksi dimulai ketika massa aksi berjalan dari pelataran Masjid Ulil Albab menuju Gedung Rektorat H. GBPH Prabuningrat sekitar pukul 13.30 WIB. Mereka mengenakan jas almamater UII, menyanyikan lagu-lagu perjuangan, mengangkat tulisan yang berisi tuntutan seperti, “Syarat menjadi kampus terbaik: dilarang gondrong, kampus tutup jam 22.00 WIB, hingga ribetnya birokrasi surat dispensasi.”

Hari itu, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, menjadi menjadi momentum yang patut dirayakan oleh mahasiswa untuk menuntut permasalahan pendidikan, khususnya di UII. Sehari sebelumnya, kita tahu, para buruh merayakan Mayday dengan melakukan aksi untuk menuntut hak-haknya. Maka sudah menjadi kewajiban bersama bagi kita sebagai mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi, permasalahan, serta mengawal kebijakan-kebijakan kampus, demi terwujudnya kampus beriklim intelektual yang sehat. Sekali lagi, Hari Pendidikan Nasional pantas untuk kita rayakan.

Kesadaran mahasiswa akan pentingnya Hari Pendidikan Nasional merupakan bentuk refleksi bersama. Meninggalkan sejenak kegiatan adalah panggilan moral untuk merayakan dan menyuarakan tuntutan atas ketidakadilan yang terjadi di UII.

Aksi yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai fakultas merupakan wujud kesadaran, nalar kritis, kepedulian terhadap problematika yang terjadi di UII, serta komitmen memperjuangkan hak-hak mahasiswa. Aksi tersebut membuktikan bahwa tuduhan ‘mahasiswa apatis’ yang sering digaungkan oleh birokrat lembaga adalah omong kosong.

Refleksi yang dilakukan oleh AMPU merupakan langkah yang cepat dan tepat di hari besar bagi seorang terpelajar, yaitu Hari Pendidikan Nasional. Ketika selama ini mahasiswa dianggap apatis terhadap gerakan nyata, kini telah menggores catatan juang bahwa mahasiswa lebih tanggap daripada Lembaga Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) yang merupakan lembaga tertinggi di Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (KM UII). Sampai saat ini kedua lembaga tersebut belum menentukan sikap yang nyata atas apa yang disuarakan mahasiswa dalam massa aksi dan realita yang terjadi di UII.

Secara pribadi, saya melihat DPM selaku representasi mahasiswa tidak membantu ataupun tidak menunjukkan sikap yang mendukung massa aksi. Selama aksi berlangsung, terlihat bagaimana arogansi dan sikap elitis yang dimiliki beberapa anggota DPM yang tidak mau mendukung aksi mahasiswa. Mereka lebih memilih berteduh dengan menyilangkan kedua tangan mereka sambil menertawakan kerumunan aksi massa yang memperjuangkan hak-hak mahasiswa.

Salah satu masa aksi dalam orasinya di depan gedung rektorat menyampaikan, “Saya bertanya kepada kawan-kawan. Apakah DPM ini menjadi wakil mahasiswa atau sebagai Humas-nya Rektorat UII?” Serentak massa aksi menjawab, “Humas-nya Rektorat!!!”

Hal tersebut menunjukan ketidakberpihakan DPM kepada massa aksi dan lebih suka menempel di punggung jajaran rektorat dibandingkan mencium keringat dan melebur dengan mahasiswa yang sedang memperjuangkan hak-haknya. Tak hanya itu, ketika masa aksi melaksanakan audiensi dengan rektorat, tidak satu pun dari DPM yang ikut menyuarakan atas apa yang diperjuangkan oleh masa aksi.

Apabila keberpihakan DPM ditujukan kepada mahasiswa tentu tidak akan terjadi dentuman suara yang menampar wajah DPM seperti yang disampaikan peserta aksi tersebut. Ini menjadi catatan merah bagi DPM yang selama ini menyerukan jargon “Jangan sampai ada mahasiswa yang apatis”. Hal ini selalu diserukan ketika musim pemilihan wakil mahasiswa (pemilwa) datang. Namun, ketika pemilwa sudah usai, jargon tersebut senyap dan hanya bualan belaka.

Apakah dinamika yang terjadi sekarang sedang terbalik di dalam kampus UII? Mahasiswa yang mewakili DPM atau DPM yang mewakili mahasiswa? Perjuangan massa aksi dalam memperjuangkan keadilan atas hak-hak yang seharusnya disuarakan oleh DPM. Namun kini mahasiswa harus berjuang menyuarakan dengan lantang tanpa adanya dukungan dan sikap nyata dari DPM yang konon katanya sebagai representasi mahasiswa.

Kesetiaan masa aksi atas apa yang diperjuangkan tidak mengenal cuaca, mulai dari panasnya terik matahari hingga basah kuyub diguyur hujan, dengan semangat membara dan tak bergeser sedikit pun di depan mahasiswa. Namun lagi-lagi, dewan yang konon menjadi representasi mahasiswa lebih memilih untuk berteduh, menonton, dan melipat tanganya ketimbang mengepalkan tangan sebagai bentuk protes dan menyuarakan bersama dengan massa aksi. Tanpa bermaksud mengkerdilkan Dewan Legislatif yang terhormat, namun kenyataan di lapangan telah menjawab, atas perjuangan yang di lakukan oleh mahasiswa UII dari berbagai fakultas tersebut.

Hidup Mahasiswa!!!

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Skip to content