Membumikan Islam Rahmatan lil ‘Alamin dari Kampus

Wacana dan orientasi keislaman rahmatan lil ‘alamin yang dianut oleh UII merupakan indikasi bahwa perguruan tinggi tertua di Indonesia ini mengusung nilai-nilai Islam yang bersifat universal. Nilai Islam dalam arti universal menjadikan keberadaan UII diharapkan dapat memberi kebaikan dan menjadi rahmat bagi umat muslim khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Tak hanya UII, umat Islam, organisasi masyarakat (ormas) Islam dan perguruan tinggi Islam lainnya pun turut serta menggulirkan wacana rahmatan lil ‘alamin sebagai slogan pergerakannya. Istilah Islam Nusantara yang digagas oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Islam Berkemajuan yang digagas Muhammadiyah tak lain merupakan derivasi dari Islam rahmatan lil ‘alamin.

Jika dikontekstualisasikan dengan UII sebagai institusi yang bergerak dalam bidang pendidikan, maka penerapan wacana keislaman yang rahmatan lil ‘alamin dilakukan dengan perantara ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan harus ramah terhadap masyarakat serta mendatangkan kebaikan. Kemudian, hal lain yang perlu diperhatikan ialah bagaimana implementasi wacana tersebut ke dalam civitas akademika UII. Nilai-nilai keilahian yang turun dari langit sudah semestinya terelaborasikan di berbagai lini kampus, baik dalam bidang akademik, pendidikan agama maupun pelbagai kegiatan kemahasiswaan.

Ada beberapa telaah kritis untuk mengevaluasi wacana rahmatan lil ‘alamin UII dari studi kasus yang ada. Pertama, saat gagasan Islam Nusantara yang digelontorkan NU menghasilkan pro kontra bagi intelektual muslim di Indonesia, di mana beberapa kampus lain sudah mengadakan diskusi dan kajian mengenai gagasan tersebut. Akan tetapi, UII justru abstain dalam isu ini, bahkan untuk mengadakan kajiannya pun menjadi perdebatan. Padahal, sebagai kampus Islam yang lahir di Indonesia, kita memiliki posisi strategis untuk menyikapi isu-isu ‘basah’ seperti ini. Tetapi, nalar Islam UII malah terkesan dingin dan terisolasi dari hiruk-pikuk wacana pemikiran Islam warna-warni di Indonesia.

Kedua, pendidikan keagamaan yang berlangsung di UII belum mampu menyentuh sensitivitas mahasiswa terhadap dinamika mereka sendiri serta realitas sosial umat muslim yang ada. Kurikulum pendidikan keagamaan serta buku pedoman yang menjadi pegangan mahasiswa masih bersifat teosentris, yakni mengandung nilai pengabdian kepada Tuhan. Kegiatan-kegiatan yang mendukung pendidikan keagamaan mahasiswa masih berorientasi pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistik dan legal-formalistik. Padahal, substansi keagamaan semestinya memiliki dua nilai sekaligus. Di samping teosentris, juga harus antroposentis, yaitu merefleksikan fungsi-fungsi pembebasan manusia atas manusia yang lain dari struktur sosial yang menindas dan menzalimi sekaligus menegakkan kebenaran, keadilan dan kemakmuran manusia. Dengan begitu, orientasi pendidikan dan pembinaan keislaman mahasiswa didesain agar mereka dapat merespon pelbagai masalah sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Inilah bentuk perwujudan pengabdian manusia kepada Tuhan.

Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan sejumlah krisis lain yang tengah menghimpit bangsa tidak cukup hanya diatasi dengan mengajarkan ibadah-ibadah ritual-individual dalam dan luar kelas. Namun, perlu juga dilaksanakan elaborasi makna ibadah untuk perjuangan meningkatkan kecerdasan masyarakat, penegakan hukum dan keadilan, solidaritas sosial serta membebaskan penderitaan masyarakat sehingga terjadi keseimbangan antara ibadah individual dan ibadah sosial. Harapannya, setiap mahasiswa yang telah menyelesaikan studi di UII bisa mensosialisasikan nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin dalam wujud yang konkret.

Meskipun demikian, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa UII belum berhasil mencapai substansi rahmatan lil ‘alamin hanya dari dua studi kasus tersebut. Karena setiap kasus yang ada masih dapat dijelaskan dengan filsafat nilai yang menjadi fondasi institusi. Apabila suatu filsafat nilai belum terumuskan, persoalan yang begitu sistematis akan muncul. Kontekstualisasi dan orientasi  keilmuan yang akan dikembangkan menjadi hambar. Karena dari fondasi itu lahir kebijakan serta kegiatan-kegiatan yang menunjang tercapainya substansi rahmatan lil ‘alamin.

Rahmatan lil ‘alamin sebagai sebuah komitmen memang bagus, tapi sebagai sebuah nilai maka harus ditransformasikan dan diartikulasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dibumikan sesuai dengan ilmu sosial profetik yang digagas Kuntowijoyo. Ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja. Tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus pula mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. UII adalah sarana yang tepat untuk menerapkan gagasan tersebut.

Alquran surat Ali Imran ayat 110 menjadi pilar untuk menerapkan ilmu ini. Ada tiga langkah yang bisa diambil dari ayat tersebut. Pertama, amar ma’ruf yang disebut humanisasi, mengajarkan proses memanusiakan manusia yang sesungguhnya. Kedua, nahi munkar yang disebut liberasi. Ketiga, tu’minuuna billah yang disebut transendensi. Poin pertama dan kedua menjadi titik tolak terhadap poin yang terakhir.

Gagasan tersebut dapat digunakan untuk membumikan nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin. Implementasi nilai-nilai tadi harus sesuai dengan filsafat nilai sebagai fondasi dari rahmatan lil ‘alamin. Fondasi tersebut bisa diambil dari lima pilar maqasid syariah, yaitu memelihara agama, menjaga diri, memelihara akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Sehingga, dapat dipetakan empat langkah untuk merealisasikan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin yaitu langkah teologi (komitmen keilahian), perumusan filsafat nilai, strategi mewujudkannya, dan aksi nyata. (Nurcholis Ma’arif – Mahasiswa Ilmu Kimia 2014/Staf Divisi Penelitian dan Pustaka LPM HIMMAH UII)

Keterangan:

Tulisan di atas adalah dialog yang kami lakukan dengan Yusdani selaku Direktur PSI UII pada hari Selasa, 15 Desember 2015 tentang internalisasi rahmatan lil ‘alamin yang digulirkan UII, serta telaah kritis terhadap implementasinya. Dialog dan opini ini terinspirasi dari tulisan beliau pada rubrik komentar “Menguak Nalar Islam UII” yang dipublikasikan dalam majalah Himmah edisi 02/Thn. XXXVIII/Oktober 2005.

Skip to content