Menilik Kisah Sepak Bola Kita

Judul: Bola Kita

Penulis: Fajar Junaedi dan Miftakhul F.S.

Penerbit: Fandom Indonesia

Tahun: 2020

Tebal: xii + 132 halaman

ISBN: 978-623-92156-2-0

Pada bulan Juni 2020 lalu, saat masa awal pandemi Covid-19 menghantam Indonesia, Fandom Indonesia menerbitkan sebuah buku bertema sepak bola yang berjudul Bola Kita.

Bagi saya, itu merupakan waktu penerbitan yang tepat. Bola Kita menjadi semacam obat penawar akan gundah gulana dan kerinduan akan jalannya sepak bola Indonesia yang mandek sejak pandemi. Apalagi tulisan di dalamnya banyak memuat berbagi kisah yang melingkupi sepak bola dan tidak terfokus pada olah bolanya. Hal tersebut membuat buku ini tidak membosankan saat dibaca.

Buku ini merupakan hasil kolaborasi dua penulis yang namanya sudah tidak asing lagi dalam ranah literasi sepak bola di Indonesia. Pertama Fajar Junaedi, seorang dosen. Lalu yang kedua, Miftakhul F.S., seorang jurnalis. Terlepas dari latarbelakangnya, kedua penulis sama-sama suporter yang turut menyaksikan sepak bola di tribun stadion. Hal tersebut mempengaruhi pendekatan tulisan-tulisannya.

Dalam buku yang hasil penjualannya disumbangkan untuk membantu penanganan Covid-19 ini terdapat tiga bab, yakni “Ekonomi Politik Sepak Bola”, “Sepak Bola dan Fans”, dan “Sepak Bola, Media, dan Kemanusiaan”. Dengan masing-masing bab berisi enam sampai delapan subbab.

Secara garis besar, buku ini berisi esai-esai tentang berbagai kisah dan permasalahan yang ada di sepak bola Indonesia. Mulai dari seputar ekonomi, politik, suporter, media, serta kemanusiaan.

Tidak hanya menguraikan permasalahannya saja, tetapi disajikan pula opsi-opsi penyelesaian yang dapat diterapkan oleh masing-masing pihak yang disinggung seperti pemilik klub, pemerintah, suporter, dan media.

Pada bab pertama yang berjudul “Ekonomi Politik Sepak Bola” (halaman 1), Fajar memulainya dengan menguraikan permasalahan masa lampau terkait penggabungan kompetisi Perserikatan dan Galatama pada tahun 1994.

Penggabungan tersebut pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan, seperti klub yang kelimpungan dalam pendanaan sehingga berakibat banyak klub yang merger, bahkan mati.

Dalam tulisan yang berjudul “Sepak Bola Profesional Tanpa APBD”, Fajar melanjutkan pembahasannya. Klub yang sebelumnya berhasil keluar dari jerat permasalahan pendanaan saat kompetisi Perserikatan dan Galatama digabung, sama-sama kelimpungan saat terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan Peraturan Daerah Nomor 58 Tahun 2006 yang melarang penggunaan APBD untuk membiayai klub sepak bola.

Korupsi dan protes oleh beberapa pihak yang menuntut APBD lebih baik dialihkan untuk hal lain, seperti pendidikan dan kesehatan, melatarbelakangi peraturan mengenai pelarangan penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola tersebut muncul.

Dalam hal ini, Fajar memberikan obat penawar agar profesionalisme dalam pengelolaan klub diorientasikan pada industrialisasi sepak bola. Jika sepak bola masih menggunakan APBD, menurutnya yang terjadi adalah manajemen yang sebenarnya amatir tapi dilabeli sebagai profesional.

Dari usulan Fajar, Mifta mencoba memberikan gambaran industrialisasi seperti apa yang bisa dilakukan oleh klub yang ada di Indonesia dalam tulisan yang berjudul “Ketika “Anak Baru” Itu Melantai di Bursa Saham”. Tulisan tersebut menceritakan beberapa hal yang dilakukan klub Bali United dalam mengelola roda ekonominya, seperti membuat restoran di bawah tribun hingga menawarkan klub Bali United di bursa saham.

Pada bab kedua (halaman 35), kedua penulis mengulas tentang berbagai hal yang berkaitan dengan suporter dan sepak bola. Terutama kekerasan dan konflik yang terjadi di dalamnya.

Di era digital seperti sekarang, konflik dan kekerasan banyak dipicu oleh sikap suporter yang kerap mengejar eksistensi semu. Banyak konflik antar suporter yang berawal dari sekadar unggahan foto maupun video dan perdebatan di dunia maya, namun pada akhirnya merembet ke kekerasan dalam dunia nyata.

Selain membahas konflik, kedua penulis juga menguraikan beberapa kisah haru perdamaiannya. Seperti yang terjadi antara suporter Persebaya Surabaya (Bonek) dan suporter dari Persis Solo (Pasoepati). Perdamaian kedua suporter itu ditandai melalui penanaman pohon bersama di Solo.

Ada perdamaian antara Curva Boys 1967 -suporter dari Persela Lamongan- dan Bonek dibuka melalui perantara nasi bungkus dan air mineral yang dibagikan Curva Boys 1967 kepada Bonek yang kala itu kebetulan hendak ke Jakarta dan melewati Lamongan.

Melihat rivalitas antar suporter yang belum sepenuhnya redam, dan konflik di stadion hampir terjadi setiap musim kompetisi melatarbelakangi Fajar untuk mengusulkan penerapan mitigasi bencana pada sepak bola. 

Terdapat tiga poin utama yang ia usulkan, yakni pembangunan fisik stadion yang baik, lalu pemberian informasi mitigasi bencana, dan yang terakhir penyediaan fasilitas medis yang cukup saat pertandingan.

Menginjak bab terakhir, pembaca akan disuguhkan delapan tulisan perihal keterkaitan “Sepak Bola, Media, dan Kemanusiaan” (halaman 75). Fajar mengawali bab tersebut dengan mengulas peran Jawa Pos dan beberapa media lain yang mempunyai kedekatan emosional dengan klub. Dari kedekatan tersebut mampu membentuk identitas anak muda perkotaan yang bersumber pada fanatisme terhadap sepak bola lokal.

Sedang dalam media televisi, Fajar menekankan mengenai urgensi televisi publik untuk menyiarkan siaran langsung pertandingan tim nasional (timnas). 

Selama ini, stasiun televisi swasta yang menyiarkan pertandingan timnas terlalu besar menampilkan pop-up iklan di layar. Tidak hanya itu, porsinya pun terlalu banyak sehingga mengganggu para penonton menikmati jalannya pertandingan.

Fajar kemudian menyarankan agar setiap pertandingan timnas sebaiknya ditayangkan melalui lembaga penyiaran publik, yang dalam ranah ini berarti TVRI. Hal ini didasari bahwa lembaga penyiaran publik tidak bersifat komersial. Sehingga dapat terhindar dari iklan yang mengganggu.

Selain membahas media, terdapat juga tulisan yang menyinggung kemanusiaan. Tema tersebut diwakili oleh dua tulisan Mifta yang sangat personal dan sentimental. Pertama, Mifta menuliskan kisah kemenangan Yunan Helmi, seorang asisten pelatih Barito Putera, atas Covid-19 yang menghinggapi dirinya.

Di tulisan kedua, Mifta berbagi kenangan dirinya dengan kiper legendaris Persela Lamongan, Chairul Huda, yang pada 15 Oktober 2017 menghembuskan nafas terakhirnya di Stadion Surajaya Lamongan. Selain itu, ia juga menggambarkan suasana stadion yang penuh sesak akan rasa haru saat pertandingan Persela melawan Persib di Stadion Surajaya dijadikan momentum untuk melepas kepergian Chairul Huda. “Tersenyumlah di Surgajayamu, Hud,” tutup Mifta.

Meskipun buku ini terbilang tipis dan hal tersebut menjadi kekurangan utama. Namun isi dari buku Bola Kita sangat kaya akan kisah dan cukup menunjukkan berbagai masalah yang ada di sepak bola Indonesia. Hal tersebut membuat buku ini perlu dibaca oleh siapapun yang mencintai sepak bola Indonesia. Salam!

Skip to content