Menjelajah Puisi Lima Bahasa

Judul: Melankolia 

Penulis: Naning Scheid 

Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya

Cetakan: pertama, 2020

Tebal: 135 halaman

IISBN: 978-623-221-691-4   978-623-221-721-8 (PDF)

Mempertaruhan sosok puisi yang terdiri dari lima bahasa dalam sebuah buku segera kita sadari bahwa kelemahan utamanya akan terletak pada hilangnya unsur bunyi. Tidak hanya di tengah baris tetapi juga di akhir baris. 

Pilihan kata – sekalipun sudah njlimet dilacak padanannya yang paling plastis – belum juga ketemu capaian persajakan  paling estetis. Sebuah kata yang suku kata terakhirnya mengandung vokal “a” misalnya, jika diterjemahkan belum ketemu kata dalam bahasa terjemahan yang mengandung vokal “a” pada suku kata akhirnya. 

Gejala demikian juga terjadi pada upaya eksplorasi capaian konsonan. Tidak sebatas di akhir baris tetapi juga sembunyi berpotensi di tengah baris.

Begitu juga dalam urusan nosi/makna, harkat persajakan sudah kepegang, padanan diksi justru bukan dari kata yang kita yang kita harapkan. Kosa kata yang berlimpah ternyata bisa gagal memfasilitasi kebutuhan gairah estetika manakala kita suntuk bergulat dengan urusan penerjemahan puisi.

Persoalan ini tidak hanya terjadi pada puisi Naning, puisi-puisi terjemahan yang lain juga akan mengalami nasib serupa. Apalagi, Naning berani mencebur dalam lima bahasa sekaligus, tentu sebuah keberanian kreatif yang layak diacungi jempol. 

Siapa tahu justru dia ingin menegaskan interpretasi tersebut sebagai konsekuensi yang harus lebih dahulu dipahami?! Jika kesadaran kolektif demikian sudah muncul: Biarkan puisi-puisi itu terbang mengangkasa menemui apresiasi pembaca sastra dunia. Sekalipun jumlahnya tidak seberapa.

Dari sandaran parameter itu, jika kemudian kita melegitimasi tafsir mana puisi yang paling berkualitas–tidak dapat dipukul rata dari sampel kemolekan judul. Puisi yang hebat dalam bahasa Indonesia, bukan berarti terus hebat jika diaktualisasikan dalam bahasa yang lain. 

Meski penyairnya mulai terasa keranjingan tergejala dengan judul kata-kata serapan. Simak saja judul “Alter Ego”, “Dedukasi Rasa”, “Eden, Melankolia”, “Kapital Sentimental”, “Pathetiques”, “Stansa Sianida”. Seorang guru bahasa culun yang berpikiran normatif pasti akan mengernyitkan jidat sebelum tertatih membuka kamus.

Bandingkan dengan sederet judul yang bernapas klangenan “Bulan dari Balik Dinding Jakarta”, “Getir Malam di Stasiun Lempuyangan”, “Pemakaman”, “Semarang dalam Ingatan”, “Soewarni” – menegaskan gambaran itu.

Dua puluh sajak yang diusung dalam lima bahasa sehingga mekar menjadi seratus judul, menyimpan narasi yang pekat. Beragam persoalan yang menikam rasa di pikiran penyair dipaparkan dalam fungtuasi lengkap. 

Naning Scheid, penyair kelahiran Semarang yang kini tinggal di Brussel,  kampiun dalam bermain rincian ide, sehingga menyokong kekuatan puisi dalam meraih tataran komunikasi. Unik, meletup-letup, mengundang gairah baca berulang.

Paparan Naning yang terkesan lugu, telanjang, menggiring pada tafsir tunggal–bisa menempatkan pembaca langsung melahap pesan yang ingin disampaikan. Utamanya pesan-pesan filosofis. Penyair terasa bebas berlenggang dari batas-batas epistemologis untuk menyeruak kebutuhan daya ungkap yang khas. 

Simak penggalan puisinya berikut: 

3/Kurinci jalan kenangan seperti fakta/Penuh tagar dan tanda/- tentang pengungkapan, keraguan/obsesi, komplikasi – jejak sejarah/dalam campur tangan Tuhan… (Deduksi Rasa: hlm.22). 

Kejujuran menarasikan informasi dapat kita petik bagian puisinya yang lain:

Sepetak tanah/– di Bergota/satu kali dua setengah/tempat tinggal Ayah//Sebidang tanah/–di Kaligawe/enam kali tiga koma lima/tempat tua Bunda// (Semarang dalam Ingatan: hlm.36). 

Terjemahan yang paling mengharukan dalam konteks bahasa Jawa, paling terasa terungkap pada deretan larik berikut: 

“Aku kangen,” jareku marang aku kala semana/– rikala dadi lintang wengimu, srengenge esukmu,/mawar abang kang mekar ing paturonmu//Surup-surtup takampiri sliramu/Rasane getun sliramu tak tinggal bali/langit mangsa semi isih biru/Kudune sliramu isih ing sisihku!… (hlm. 41).

Naluri empirik Naning yang terkandung dalam puisi di atas, tidak bisa dilepaskan kodratnya sebagai wanita Jawa (Semarang) yang kini bermukim di Belgia. Rasa terenyuh, terharu, merasa kedekatan dengan suami terekam jelas dalam nukilan tersebut. Dia mampu berpikir secara kompleks, dalam arti menyelam lautan perasaan.

Keunggulan yang harus diapresiasi pembaca adalah banyaknya idiom yang bertebaran dalam puisi-puisinya. Idiom yang memvisualkan kekuatan masing-masing bahasa. Pembaca juga bisa belajar secara idiomatikal tidak hanya dalam waktu dekat, tetapi juga dalam rentang waktu panjang. 

Ini lompatan berpikir yang boleh dibilang langka kalau bukan kelebihan khusus. Terobosan menggeluti serpihan bahasa puisi yang tidak habis-habis. Tidak sebatas pada konteks puisi tetapi geliat kosa kata pada umumnya.  

Meski terasa kental mejumput persoalan personalitas lewat setting Simpang Lima, Stasiun Lempuyangan, hingga Jakarta, dengan dialihbahasakan dalam bahasa Jawa, Inggris, Perancis dan Belanda, diharapkan akan menjadi daya tarik bagi konsumen puisi luar negeri. 

Mari kita singgah sejenak pada “Trieste Nacht in Het Stasion van Lempuyangan”

In het licht naast een locet/beroert alleen het lawaai van de wind onze stilte/Een stuk van mijn hart is kortgeleden/aan scherven gevallen op de gebarsten keramimiek…(hlm. 123)

Sebait puisi bahasa Belanda tersebut barangkali bisa menghadirkan bayangan nostalgia bagi sinyo-sinyo yang kangen stasiun Yogyakarta. Saya berharap penyairnya akan terus berupaya mengeksplorasi denyut-denyut eksotisme bagian kota yang barangkali merupakan ekosistem yang tidak bisa dipisahkan dengan kebutuhan pariwisata. Bahkan dalam skala yang lebih prospektif bisa digiring dalam mendukung gaung semaraknya gelora ekonomi kreatif. 

Begitulah, taburan puisi yang banyak menggunakan kata-kata pendek, kekuatan frasa, penjelajahan idiom dalam rimbun kata, menunjukkan kecermatan penyairnya  merekonstruksi puisi-puisinya mampu tampil utuh, gagah, membaur dalam konteks kebutuhan kekinian.

Baca juga

Terbaru

Skip to content