Dia Tak Pernah Berhenti Berlari

Setiap kali di tengah percakapan kami, ia selalu mengatakan bahwa ia harus berlari lagi. Pada saat itu berarti pembicaraan kami harus terhenti. Hal yang menjengkelkan adalah terkadang pembicaraan kami sedang seru-serunya, atau saat aku sedang sangat ingin melanjutkan cerita. Memang caranya mengakhiri pembicaraan sangat santun, namun tetap saja cara seperti itu menyisakan sesak. 

Aku sudah cukup lama mengenal lelaki itu. Seorang sahabatku memperkenalkan sosoknya dalam suatu acara pernikahan temanku yang lain. Perkenalan kami saat itu sangat berkesan dan cukup unik. 

Di acara pesta pernikahan itu, ia membacakan sebuah puisi sambil diiringi petikan gitar dan musik oleh band penghibur. Seusai penampilan baca puisi itu, aku lalu mengajaknya berbincang. Kau pasti sudah bisa menebak yang terjadi kemudian. Kami berbicara panjang lebar dan topik utamanya adalah puisi. 

Aku sangat menyukai puisi, dan sungguh sangat menakjubkan bagiku jika aku berkenalan dan berbincang dengan seorang lelaki tentang puisi pada acara suatu pernikahan yang penuh dengan lagu-lagu yang tentu saja kau bisa membayangkannya sendiri.

“Puisimu sangat indah. Aku sangat suka.” Aku tahu puisi itu ia tulis sendiri karena aku memperhatikan benar sejak awal penampilannya. 

“Terkadang puisi bukan semata soal keindahan, Noor. Itu juga soal kejujuran hati nurani dan daya inteligensi yang selalu dijaga dan diasah.”

“Ya, Kau benar. Selain ekspresif, puisimu penuh spirit. Aku bisa merasakannya.”

“Terima kasih. Perkataanmu penuh apresiasi, Noor.”

Aku sungguh sepakat dengan apa yang lelaki itu katakan. Firmansyah, demikian namanya, kurasa memang seorang tipikal pembelajar seperti kata Diana, sahabatku yang memperkenalkanku padanya. Ia seorang tenang, romantis, namun tampak rasionalis. Pandangannya tentang puisi dipengaruhi dengan tekhnik dan teori kontemporer. Itu sama seperti pandanganku, puisi bagiku juga suatu ilmu pengetahuan yang memiliki ukuran. 

Kesan awal memang menyenangkan. Aku merasa cepat akrab dengan Firmansyah. Namun suatu peristiwa yang menjengkelkan adalah saat aku sedang asyik berbincang dengannya, ia lalu berpamitan. Karakternya yang meurutku hangat dan tenang membuatku berani bertanya padanya saat itu.

“Ini akhir pekan. Kita libur. Kenapa terburu-buru?”

“Aku harus berlari,” jawabnya singkat namun bernada santun.

***

Setelah pertemuan itu, aku memang makin dekat dengan Firmansyah. Kami sering melakukan percakapan langsung via whatsapp, meski lebih sering kami melakukan via pesan. Pembicaraan pada awal-awal tentu berkisar soal puisi, itu agar aku juga punya alasan untuk menghubunginya. Tentu aku masih memiliki rasa gengsi juga untuk menghubunginya terlebih dahulu. Firmansyah jarang sekali atau bahkan tak pernah mau menyapaku dahulu. Itulah kenapa aku harus sering memulai percakapan. Puisi adalah pembicaraan pembuka, setelah itu tentu saja aku senang mengajaknya berbincang banyak hal. Aku memang sering merasa kesepian dalam hidup ini. Mungkin tepatnya, aku tak begitu memiliki banyak teman, tapi entah kenapa aku merasa sangat senang berbincang dengan Firmansyah. Aku merasa cocok. Naluri perempuanku mengatakan jika ia lelaki yang bisa dipercaya dan sangat dewasa. Tipikal seorang yang bisa menjaga ucapan dan rahasia orang lain. 

Memang ada beberapa hal yang cukup mengganjal di benakku tentangnya selama pertemanan kami yang telah berjalan beberapa bulan. Kau percaya, Firmansyah tak akan bercerita jika aku tak bertanya. Satu hal yang paling menonjol dari beberapa yang mengganjal tersebut adalah, ia sering mengakhiri pembicaraan kami karena ia harus berlari.

Awalnya aku tentu memaknai itu apa adanya, ia ingin berolah raga. Tapi beberapa kali hal itu terjadi, tentu naif juga jika aku memiliki anggapan seperti itu. Aku tahu ada hal lain yang ia lakukan. Entahlah apa itu, tapi sungguh aku kini menjadi akrab dengan istilah “lari” yang ia gunakan walau aku belum sepenuhnya mengerti.

“Noor, aku memang harus berlari. Aku tak boleh berhenti berlari.”

“Kenapa tak boleh?” Tanyaku.

“Sekali aku berhenti, akan sangat susah memulai lagi. Dan aku sudah begitu jauh tertinggal.” Aku kini perlahan mulai bisa mengerti dengan apa yang ia sampaikan walau semua memang masih berupa asumsi. Tapi tentulah aku cukup bisa menyimpulkan semua dari sekian lama pembicaraan kami.

Aku memang pernah bertanya apa yang ia maksudkan. Tapi Ia memang tak bisa atau lebih tepatnya tak mau menjawab dengan sejujurnya dan sebenarnya. 

***

Aku mencoba mencari informasi tentang Firmansyah. Aku membaca catatan-catatan di media sosialnya, pada akun fesbuk dan IG-nya. Ia banyak menulis puisi di sana. Aku juga melacak jejak rekam digitalnya. Menurutku ia dahulunya adalah seorang periang yang memiliki banyak teman dan interaksi sosial. Itu beda sekali dengan sekarang yang kukenal. Kesimpulanku, Firmansyah sebenarnya sedang mengalami fase buruk dalam hidupnya yang kemudian berpengaruh pada psikologisnya.

Ya, Firmansyah pernah gagal dalam rumah tangga. Ia juga gagal dalam hal pendidikan. Ia juga gagal dalam pekerjaan dan karir. Ia merasa gagal dalam hidup. Itu tentu asumsiku, tapi tentu aku telah melakukan analisis berdasar dari banyak puisi-puisinya. Firmansyah sedang menyembuyikan semua itu dari banyak orang kecuali ia hanya memberi isyarat dan narasi pada puisi-puisinya yang tak begitu dibaca atau diperhatikan banyak orang. Tapi aku merasa tahu persis apa yang sedang ia sembunyikan dan lakukan.

***

“Ini adalah waktu Akang harus berlari lagi.” Aku mendengar suara tarikan napas dan lenguh panjang di ujung, di seberang telepon. Aku tahu mungkin Firmansyah terkejut dengan yang aku ucapkan. Sebelumnya selalu dia yang mengakhiri pembicaraan, kali ini aku sengaja yang mengakhiri ceritaku meski baru sebentar. Ya, aku benar-benar belajar menahan semua pada Firmansyah; menahan rasa rindu, menahan rasa ketergantungan karena setiap hari aku sangat ingin menghubunginya dengan cerita-ceritaku yang seringkali tidak penting, menahan keinginan untuk tidak bertemu dan mengajaknya makan siang satu minggu sekali, meski pada kenyataannya kami hanya benar-benar makan siang, maksudku tanpa bincang-bincang panjang layaknya orang sedang kencan, dan menahan rasa penasaran untuk tak bertanya-tanya tentang hal yang bersifat pribadi karena ia memang tak akan bercerita. 

“Selamat berlari ya, Kang. Cukup dua atau tiga jam saja Kang, setelah itu tidur.”  

Begitulah aku benar-benar mencoba membatasi semuanya. Beberapa kali aku mengakhiri saling mengirim pesan atau pembicaraan untuk mengingatkan Firmansyah agar berlari. Bahkan kadang aku mencoba tak mengirim pesan pada Firmansyah. Tentu itu sungguh berat bagiku tapi aku memaksa melakukannya. Hasilnya, satu hari aku tak mengirim pesan, ia akan mengirim pesan padaku terlebih dahulu walau sekadar menanyakan kabar. Tapi sungguh ini cukup menyenangkan bagiku. Aku sesungguhnya telah menyimpan perasaan khusus dan dalam terhadapnya. Pembacaanku pada sosoknya sangat positif.

Meski perasaanku makin dalam pada Firmansyah, aku kini mencoba untuk lebih besikap matang padanya. Aku sering katakan padanya bahwa aku sangat mendukungnya berlari. Aku akan menemaninya.

“Ya, jangan pernah berhenti berlari ya, Kang.”

“Terima kasih, Noor.”

“Aku juga sekarang mulai senang berlari, Kang.”

***

Aku terkejut mendapat undangan dari Firmansyah. Ia memberikan undangan itu langsung padaku. Baru kali ini juga Firmansyah bercerita panjang lebar di rumahku, pada suatu hari libur. Awalnya aku sempat mengingatkan dirinya dan bertanya apakah ia tak berlari. Ia mengatakan jika hari itu ia ingin beristirahat barang sehari, dan aku bisa mengerti, bahkan sangat mengerti. Hari ini bahkan seperti hari yang paling indah dalam hidupku, hari di mana aku benar-benar menantinya.

“Kau harus datang besok ya, Noor.” Firmansyah merasa perlu memastikan lagi jawabanku meski aku telah menyatakan kesediaanku. Hari ini seperti sebuah penantian dan jawaban tentang sikap Firmansyah selama ini. Asumsiku selama ini hampir mendekati kebenaran setelah kami berteman lebih tiga tahun.

Ya, saat aku mengenal Firmansyah kala itu, ia memang benar-benar dalam kondisi pada titik nadir. Untungnya ia telah menyadari kesalahan dan kegagalannya. Firmansyah dalam usianya yang tak lagi muda, mencoba bangkit. Pertemuanku pertama di acara pernikahan tersebut, ternyata Firmansyah sedang menyelesaikan skripsinya. Setelah lulus S1, ia mendapat pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya namun ia memaksakan diri mengambil program magister demi peningkatan karir dan hidupnya. Perlahan ia bisa menata diri dalam pekerjaan dan hidup. Itulah kenapa ia merasa harus berlari dan berlari. Ia menghabiskan waktu dengan pekerjaan, pendidikan, dan buku pelajaran serta bacaan. Esok, aku akan mendampinginya dalam wisuda magisternya, dan ia berhasil sebagai peraih nilai tertinggi dan wisudawan terbaik. Aku pikir, itu harga yang sangat pantas atas usaha Firmansyah, karena ia memang tak pernah berhenti berlari.

Masih kuingat tadi saat ia berkata bahwa ia juga sebenarnya menahan kerinduan yang sangat, juga rasa sesak yang begitu berat di dada saat ia harus menghentikan pembicaraan denganku sambil mengatakan bahwa ia harus berlari lagi.

“Aku juga lelaki normal yang memiliki rasa rindu dan senang jika ada seseorang yang memiliki perhatian padaku sepertimu, Noor.” Aku tak bisa menanggapinya kecuali larut dalam perasaan. Firmansyah memang benar-benar tak seburuk yang aku sangkakan. Selain ia harus menahan rasa rindu dan sepi, ia juga ternyata benar-benar harus merasakan rasa kesakitan dan kelaparan saat ia sedang berlari. Ia benar-benar dalam kondisi yang sangat memprihatinkan demi sebuah impian. Ia merasakan dan menahan itu jauh sebelum aku mengenalnya. Tak sepertiku, ia lahir dari keluarga yang sangat sederhana.

“Aku pernah gagal, Noor. Semua itu karena kesalahanku sendiri. Aku belajar dari semua kegagalan itu.”

“Iya, Kang. Aku paham. Aku sendiri juga belajar dari semangat Akang dalam berrlari itu.”

“Nah, kini kau tahu kenapa aku harus berlari. Tapi jujur, sebelum aku mengenalmu, aku benar-benar ingin berlari karena mengejar mimpi. Setelah mengenalmu, ternyata aku harus berlari untuk sebuah pelarian juga, lari dari bayanganmu, haha….” Baru kali inilah aku melihat Firmansyah tertawa lepas. 

“Tapi setelah ini, aku harus berlari lagi, Noor.”

“Kau tak akan berlari sendiri, Kang. Kita akan lari bersama.” Tapi ucapanku itu ternyata tak mampu keluar dari bibirku, tapi aku yakin, Firmansyah telah mampu mendengarnya.*** 

Berita sebelumnya
Berita Selanjutnya

Podcast

Skip to content