Setidaknya sepanjang 2012-2014 masyarakat Yogyakarta merasa terdesak oleh pembangunan hotel, mall dan apartemen yang berada di lingkungan tempat tinggal masyarakat. Berdasarkan data Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (PHRI) pada tahun 2013 terdapat 1.160 hotel di wilayah DIY, yang terdiri dari 60 hotel berbintang dengan lebih dari 6.000 kamar, dan 1.100 hotel kelas melati dengan 12.660 kamar. Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik DIY, jumlah hotel di Yogyakarta sampai awal 2013 mencapai 401 unit, terdiri dari 39 hotel berbintang dan 362 hotel nonbintang.
Sudah jelas bahwa lahan di Yogyakarta semakin tergerus oleh proses pembangunan. Dampaknya, masalah lingkungan terutama masalah air dan limbah terjadi, walaupun sebenarnya Pemerintah Daerah (Pemda) telah menerbitkan Peraturan Walikota (Perwal) Yogyakarta Nomor 77 tahun 2013 Tentang Pengendalian Pembangunan Hotel. Sayangnya, langkah bijak Pemda terkesan terlambat, dan Peraturan ini hanya berlaku efektif tertanggal 1 Januari 2014. Sedangkan terkait masalah perizinan, ada 106 permohonan perizinan yang masuk ke Dinas Perizinan kota Yogyakarta per 31 Desember 2013, dan 11 izin pembangunan hotel baru telah dikeluarkan untuk dibangun di wilayah Wirobrajan, Pakualaman, Gondokusumanm, Jetis, Danurejan dan Gedongtengen.
Penulis memandang Perwal ini hanya sebagai penghibur bagi masyarakat yang gelisah akibat pembangunan hotel, mall, dan apartemen. Dengan berlaku peraturan ini seharusnya Pemda melakukan pembatal izin pendirian bagunan hotel, bisa saja para investor yang mengetahui peraturan ini akan diterbitkan dan berlomba-lomba untuk memasukan perizinan sebelum tenggat waktu. Jika terus dilakukan pembangunan, masalah akan bertambah. Bagaimana tidak, bangunan hotel yang berdiri sekarang saja masalahnya belum teratasi. Jika Pemda merasa serius menangani masalah pembangunan, tapi kenapa Perwal ini hanya berlaku 3 tahun sampai tanggal 31 Desember 2016? Sudah sepatutnya perencanaan pembangunan wilayah yang wewenangnya ada pada Pemda perlu kita pertanyakan, dampak kesalahan yang dilakukan Pemda bukan hanya berhenti di masalah lingkungan, tetapi masalah sosiokultural masyarakat Yogyakarta juga akan tergerus oleh pembangunan wilayah yang perencanaanya kurang matang.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, jumlah kamar hotel di Yogyakarta mengalami peningkatan hingga 3000 kamar, masing-masing kamar membutuhkan 380 liter air, namun untuk kebutuhan rumah tangga hanya dibutuhkan 300 liter air. Hal ini yang menyebabkan sumur warga kering akibat hotel yang menyedot air secara berlebihan, dan akibat pengelolaan air hotel yang tidak dijalankan dengan baik. Warga sekitar Miliran, Semaki, Umbulharjo Kota Yogyakarta merasakan dampak kekeringan tersebut. Selain itu potensi kerusakan akan terus berlangsung, karena hotel yang dibangun di lingkungan warga akan merusak fungsi air tanah dangkal yang sebetulnya menjadi kebutuhan utama untuk dimanfaatkan warga. Pada struktur bangunan hotel bagian basement akan membelokkan aliran air tanah dangkal, selain itu karena perhotelan menggunakan air tanah dalam, sehingga akan menyebabkan air tanah dangkal akan merembes ke tanah air dalam.
Badan Lingkungan Hidup (BLH) yang dibentuk dan memiliki wewenangan mengatasi masalah lingkungan hidup, seharusnya memahami struktur lahan bangunan hotel berdiri, dan memberikan pertimbangan-pertimbangan faktor lingkungan dan akibat yang ditimbulkan kepada Pemda atas izin pembangunan hotel di wilayah tempat tinggal warga. Seperti yang terjadi belakangan, peran BLH tidak terlalu signifikan, sehingga timbulah permasalahan dan berdampak lingkungan ditempat tinggal masyarakat Yogyakarta.
Bukan hanya masalah air tetapi juga limbah hotel yang sedemikian banyaknya dibuang ke sungai, akibatnya air tanah dan sungai di Yogyakarta memiliki potensi terkontaminasi nitrat dan bakteri e-coli. Dampak lain dari pembangunan hotel yang berlebihan di wilayah Yogyakarta, mengakibatkan penurunan hunian hotel hingga 10%, hal ini terjadi karena pembangunan hotel di wilayah Yogyakarta sudah overlapping, kondisi ini terjadi karena pertumbuhan hotel yang pesat tidak sebanding dengan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Selain itu hotel kelas melati tersingkirkan karena kalah saing dengan para pemodal besar yang mendirikan hotel berbintang di Yogyakarta.
Selain itu pembangunan hotel dan mall juga berdampak pada sosiokultural masyarakat Yogyakarta, yang semakin risih dengan pembangunan yang telah dilakukan. Masyarakat khawatir pembangunan tersebut akan menggerus dan merubah tantanan kebudayaan Yogyakarta. Bukan hanya kebudayaan yang akan tergerus, jika pembangunan terus dilakukan, potensi konflik bisa terjadi dan pecah antara kubu yang pro dan kontra dengan pembangunan hotel, dan mall.
Sebagai masyarakat yang berbudaya yang mengistimewakan pemimpinnya, rakyat berhak untuk mengontrol pembangunan, suara masyarakat Yogyakarta perlu menjadi pertimbangan oleh Pemda dan para investor dalam melakukan pembangunan. Jika pembangunan tersebut digunakan hanya untuk menguntungkan beberapa golongan, lalu masyarakat Yogyakarta akan dikemanakan. Seharusnya gubernur dan Pemda melakukan evaluasi kerja untuk merencakan secara matang terkait pembangunan wilayah Yogyakarta. Diharapkan Pemda Yogyakarta tidak hanya memikirkan semata-mata tentang laba, melainkan berkewajiban juga untuk menjaga masyarakatnya dan tidak mengkhianati mereka dengan melunturkan nilai-nilai budaya yang menjadi ciri khas Yogyakarta. (Arieo Prakoso – Staf Redaksi LPM HIMMAH UII/ Mahasiswa Teknik Informatika UII 2012)