Romansa Cinta Sang Professor

Siapa yang tidak kenal dengan bapak B. J habibie dan Ibu Ainun? Semua orang pasti mengenal pasangan sejoli ini. Bapak Prof. DR. ing B. J Habibie atau Pak professor begitulah panggilannya adalah presiden ke-3 RI. Sedangkan Ibu Hasri Ainun adalah mantan the first lady Negara kita.
Buku Habibie & Ainun merupakan karya dari mantan presiden Republik Indonesia ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie. Buku ini berisi kisah-kisah dan pengungkapan tentang betapa besar rasa cinta dan kerinduan sang professor kepada almarhumah istrinya yang wafat pada tanggal 23 Mei 2010 lalu.
48 tahun 10 hari adalah waktu yang cukup lama apalagi dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Habibie sendiri mengakui jika penulisan buku ini menjadi terapi bagi dirinya untuk mengobati kerinduan, rasa tiba-tiba kehilangan Ibu Ainun sang belahan jiwa.
Buku yang telah diluncurkan pada November 2010 ini menceritakan tentang kisah romansa antara Pak Habibie dan Ibu Ainun mulai dari awal perjumpaan, yang pada saat itu Ibu Ainun dianggap tidak menarik. Gula Jawa, begitulah Pak Habibie menyebutnya, karena Ibu Ainun pada saat itu Pendek, hitam dan gendut. Tetapi hal itu berubah, tujuh tahun kemudian ketika Pak Habibie pulang dari Jerman ia terpesona dengan perubahan fisik Ibu Ainun. Menurutnya Ibu Ainun telah berubah menjadi seorang wanita yang mempesona. ”Ia laksana gula jawa yang berubah menjadi gula pasir”, ujarnya pada saat itu.
Di buku ini juga diceritakan bahwa Pak Habibie dan Ibu Ainun menikah, pada tanggal 13 Mei 1962 di Hotel Preanger, Bandung. Setelah menikah Pak Habibie pun memboyong Ibu Ainun ke Jerman. Saat itu, Pak Habibie bekerja sebagai Asisten dan tenaga peneliti untuk seorang Professor, bernama Hans Ebner, dengan gaji sekitar 680 Euro. Penghasilan ini tak jauh dari cukup untuk mereka berdua. Untuk menghemat, semua urusan rumah tangga dikerjakan sendiri (halaman 20).
Sepanjang membaca buku Habibie dan Ainun ini saya sangat merasakan betapa besarnya kedalaman cinta dari Pak Habibie kepada istrinya. Banyak ungkapan yang selalu didengungkan beliau tentang betapa bahagia dan beruntungnya mendapatkan istri yang selalu diliputi kesabaran dan tanggung jawab.
Dalam Buku Habibie dan Ainun ini Pak Habibie tidak hanya menceritakan tentang romansa cinta antara dirinya dan Ibu Ainun saja. Melainkan juga menceritakan tentang perjalanan kehidupannya, mulai dari awal kariernya hingga ia menjabat sebagai Presiden RI. Ia menceritakannya dengan gaya bahasa yang komunikatif, sehingga seolah-olah kita dibawa melihat bagaimana alur kehidupan Pak Habibie itu sebenarnya.
Dalam bukunya, Pak Habibie menuliskan periode terberat dalam kehidupannya, adalah ketika ia terpilih menjadi Menteri Riset dan Teknologi, menjadi Ketua Umum ICMI, dan terakhir menjadi Presiden RI. Disinilah dkungan moral dari Ibu Ainun tak henti-hentinya mengalir. Bahkan beliau sebagai first lady memegang peranan kunci dibalik kesuksesan seorang B.J. Habibie.
Sejak sang permaisuri menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 23 Mei 2010 di rumah sakit Ludwig Maximilian University (LMU) Muenchen, Jerman, Pak Habibie masih merasa jika Ibu Ainun tetap berada di sisinya. Memori akan kebersamaanya dengan sang permaisuri selalu membayangi. Oleh karena itu, hadirnya buku ini telah menutupi kekosongan jiwanya.
Buku Habibie dan Ainun terdiri dari 37 bab. Yang dikemas dengan gaya cerita yang sederhana dan cukup komunikatif. Masing-masing babnya sendiri mengandung hikmah tentang kehidupan dari sang profesor. Rasa cinta serta kasih sayang yang mendalam dari seorang suami pada Almarhumah istri yang senantiasa mendampinginya. Sehingga para pembaca menemukan suatu bacaan yang menarik sekaligus berbeda.
Tetapi dalam buku tersebut terdapat beberapa bagian yang agak membosankan dimana alur cerita yang disajikan cenderung monoton dan gaya bahasa yang digunakan terlalu puitis. Terlepas dari hal diatas tersebut buku ini seolah-olah membawa kita melihat alur kehidupan seorang B. J. habibie yang inspiratif.
Semoga hadirnya buku ini bisa menjadi refleksi atau pelajaran serta inspirasi bagi kita semua. Selamat membaca. (Zahrina Andini dan Diah Handayani)

Skip to content