FPSB (Tetap) Menolak Surat Izin Dokter

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) tidak menerima surat izin dokter dari mahasiswa. Mengapa demikian?

Oleh: Riesky Diyanti P.

Kampus Terpadu, Kobar

Sesuai dengan yang diutarakan Edi Sutapa selaku Ketua Divisi Perkuliahan dan Ujian FPSB, surat izin dokter tidak diterima karena sudah menjadi ketentuan fakultas. Edi menuturkan, surat izin dokter diterima apabila mahasiswa mengalami penyakit menular seperti cacar. Menurutnya, surat izin dokter semakin mudah diperoleh dan semakin besar kemungkinan adanya surat izin dokter palsu. “Kalau mahasiswa sejak sekarang saja sudah bisa berbohong, bagaimana kalau dia menjadi pemimpin yang jelas-jelas uang di depan mata,” tukas Edi. Ia menambahkan bahwa kebijakan ini sekaligus untuk menjaga amanah mahasiswa sebagai seorang pelajar. 

Dekan FPSB Sus Budiarto memaparkan penjelasannya terkait hal tersebut. Menurut pria yang akrab disapa Sus ini, tanpa surat izin dokter, mahasiswa masih dapat menggunakan keringanan 25% boleh tidak masuk yang diberikan fakultas. Namun, untuk mahasiswa yang sering mengalami sakit hingga rawat inap, Sus menyatakan akan bertemu dan bertanya lebih dulu kepada yang bersangkutan. “Kalau memang kasusnya dia selalu sakit, saya akan tanda tangan (memberi izin-red), berarti sakitnya parah kan kalau sering begitu,” tanggap Sus. 

Ia melanjutkan bahwa selama ini kasus seperti itu belum terjadi di FPSB. Sus menilai peraturan yang ada sangat adil bagi mahasiswa, termasuk bagi mahasiswa yang sibuk sebagai aktivis kampus. Di UII, memang ada fakultas lain yang menerima surat izin dokter. Tetapi menurutnya, peraturan yang berlaku di FPSB adalah baik dan punya kekuatan hukum. 

Peraturan terkait surat izin dokter sudah berlaku sejak sebelum UII memberlakukan presensi 75% kehadiran mahasiswa. Sus mengklaim jika FPSB termasuk fakultas yang konsisten melaksanakannya. “Jadi, semisal ada peraturan yang harus diubah, fakultas lain itulah yang harus mengikuti FPSB,” kata Sus. Ia pun menghimbau mahasiswa untuk bercermin pada hal baik, jangan hanya bercermin berdasarkan pandangan pribadi. 

Salah seorang dosen di program studi Ilmu Komunikasi, Irawan Jati, turut angkat bicara. Bagi Irawan, sistem perizinan yang demikian sudah cukup adil bagi seluruh mahasiswa. Tidak semua peraturan harus dilihat berdasarkan hitam dan putih. Hukum dibuat untuk keadilan, sementara pembatasan bertujuan untuk melindungi kepentingan mahasiswa. Tidak ada keuntungan tersendiri bagi fakultas ataupun universitas. 

Menurut Irawan, dosen pun sebenarnya memiliki pertimbangan lain mengenai pemberian izin kepada mahasiswa. “Mahasiswa yang sering masuk dianggap lebih bisa menguasai materi. Mahasiswa yang sering datang saja belum tentu bisa menguasai materi, apalagi yang jarang masuk. At the end, dosen punya pertimbangan dapat mengizinkan mahasiswa tersebut untuk tidak masuk, dosen punya hak pertimbangan moral,” ujar Irawan. 

Tidak diterimanya surat izin dokter oleh pihak fakultas dirasa memberatkan mahasiswa. Hal tersebut terlihat dari beberapa komentar mahasiswa. Mereka merasa bahwa peraturan itu tidak manusiawi dan tidak adil. Seperti yang dialami Ika Fujiana, mahasiswi Ilmu Komunikasi 2012. Saat itu, ia mengantarkan surat izin istirahat ke Divisi Perkuliahan dan Ujian FPSB. Namun, pihak yang terkait tidak menerimanya karena dalam peraturan izin sakit, mahasiswa harus menyertakan surat keterangan opname. 

“Saya merasa dirugikan karena terkadang harus tetap memaksakan diri masuk kuliah, padahal dokter sudah menyarankan istirahat. Tapi dari pada nanti absen saya pas-pasan di akhir dan susah kalau ada keperluan mendadak, terpaksa saya paksakan ke kampus. Padahal sebenarnya percuma saja, karena toh saya nggak konsen juga belajar di kelas karena kondisi badan yang tidak fit,” keluh Ika. 

Pendapat serupa dikemukakan oleh Wardiani Priyanto, mahasiswi Psikologi 2011. “Peraturan ini dibuat mungkin dengan tujuan positif, tetapi dalam prakteknya peraturan ini sedikit memberatkan mahasiswa. Tidak semua orang sakit yang istirahat di rumah lebih baik dari yang diopname di rumah sakit,” ucap Wardiani. Sedangkan Galuh Sekar Tanjung, mahasiswi Ilmu Komunikasi 2012 menganggap, sebaiknya pemegang absensi kehadiran mahasiswa adalah dosen yang bersangkutan karena dianggap lebih tahu bagaimana kondisi mahasiswa. 

Reportase bersama: Ruhul Auliya

Berita sebelumnya
Berita Selanjutnya

Podcast

Baca juga

Terbaru

Skip to content