Judul: Mendidik Anak-Anak Berbahaya
Penulis: Arif Saifudin Yudistira
Penerbit: Penerbit Diomedia
Cetakan: 1, 2020
Tebal: 116 halaman
ISBN: 978-623-92312-9-3
Sekolah telah menjelma menjadi destinasi wajib bagi setiap anak yang berdiri di atas bumi, meskipun tidak semuanya mendapatkan keberuntungan untuk terus melanjutkannya hingga ke tingkat tertinggi. Di pundak sekolah, terpikul pelbagai harapan tentang pengetahuan; masa depan; kebahagiaan; kesuksesan; hingga kesantunan.
Dengan pelbagai beban berat tersebut, mampukah sekolah mewujudkannya? Paling tidak, sudahkah sekolah memiliki modal awal untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut? Meminjam istilah yang digunakan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa sekolah diibaratkan sebagai sebuah taman, maka modal awal yang sudah seyogianya dimiliki oleh sekolah adalah suasana yang menyenangkan dan membuat nyaman seperti taman.
Oleh sebab itu, syarat utama sekolah menurut Ki Hadjar Dewantara adalah harus menyenangkan, minimal sekolah menjadi satu di antara tempat yang selalu dirindukan oleh siswanya, bukan menjadi tempat yang membuat siswanya merasa terpenjara.
Atas dasar hal tersebut, seorang pengasuh di Pondok MBS Yogya, Arif Saifudin Yudistira menulis beberapa kritikan terkait sistem pendidikan di Indonesia (sekolah) yang kurang laik disebut sebagai sebuah taman lewat bukunya yang berjudul Mendidik Anak-Anak Berbahaya.
Kritikan-kritikan dalam buku ini secara garis besar terbagi ke dalam tiga hal, yakni kritik terhadap pendidikan anak; kritik terhadap cara mendidik anak; dan refleksi terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Kritikan-kritikan tersebut disampaikan oleh Yudistira lewat esai-esai ringan dengan kalimat-kalimat yang lugas, sehingga lebih mudah dipahami.
Satu hal yang perlu ditegaskan dari sebuah kritikan adalah kritik dilakukan bukan atas dasar kebencian, tetapi atas dasar kepedulian. Kritik bisa terjadi karena masih ada orang-orang yang peduli. Hanya orang-orang yang peduli yang rela meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk merenungi sistem pendidikan bangsanya.
Di antara kritikan Yudistira terkait sekolah sebagai taman adalah pembatasan aktivitas permainan terhadap anak-anak (halaman 13). Hal ini dianggap oleh Yudistira sebagai hal yang menyalahi kodrat, sebab permainan adalah dunia anak-anak.
Membatasi anak dari dunianya dengan hanya menyuruh mereka untuk membaca materi, mengerjakan tugas, menghapalkan rumus, dan sejenisnya adalah ‘pembunuhan’ secara akademis. Bukankah seorang pendidik itu membimbing? Lalu mengapa pendidik merampas dunia anak didiknya serta menghancurkannya hingga berkeping-keping? Bukankah seorang pendidik itu menuntun? Lalu mengapa pendidik memaksa anak didiknya mengerjakan pekerjaan rumah hingga berduyun-duyun?
Seorang pendidik sudah sepatutnya mengolah materi dan tugas untuk anak-anak dengan cara-cara yang kreatif dan inovatif, sehingga anak-anak tetap tidak kehilangan dunianya (bermain) meskipun sedang berada di dalam kelas.
Sebut saja seperti penggunaan media pembelajaran yang asyik, pembuatan slide presentasi yang menarik, dan praktik game-game edukatif yang sesuai dengan materi pembelajaran dapat diterapkan oleh para pendidik untuk membuat suasana kelas yang laik disebut sebagai “taman”.
Kritikan lain dari Yudistira tentang sekolah yang tidak menyenangkan seperti taman yakni penyebutan “siswa gagal” bagi anak-anak yang tidak naik kelas saat ujian akhir tahun (halaman 33). Siswa yang seharusnya ditenangkan, malah disudutkan dengan sebutan “gagal”. Sekolah telanjur menganut sistem bahwa anak yang cerdas atau pintar/berhasil/calon sukses adalah anak-anak yang berhasil menyelesaikan ujian sekolah dengan nilai-nilai yang memuaskan.
Agaknya tidak berlebihan jika ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa sekolah hanya mau menerima anak-anak yang pintar. Sekolah telah mengalami penyempitan makna dari tempat belajar-mengajar yang menerima dan memberi pelajaran, menjadi tempat memintarkan anak-anak yang sudah pintar.
Sekolah tak lagi menjadi taman yang mampu menerima setiap pengunjungnya. Padahal Pablo Picasso telah menyebutkan bahwa setiap anak adalah seniman, sehingga pendidik harus mampu menemukan bakat dan minat pada setiap seniman tersebut. Beberapa mungkin memiliki suara yang merusak gendang telinga, namun memiliki sentuhan tangan yang luar biasa di hadapan kanvas.
Buku ini memang menarik untuk dinikmati. Namun sebagaimana yang telah peribahasa sebutkan, tak ada gading yang tak retak. Topik yang menarik dan bahasa yang mudah dimengerti tidak diimbangi dengan penggunaan ejaan yang sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Terdapat beberapa kalimat yang masih menggunakan kata tidak baku, seperti ‘aktifitas’ yang seharusnya ‘aktivitas’ (halaman 12 dan 46); ‘memotifasi’ yang seharusnya ‘memotivasi’ (halaman 30); dan ‘standarisasi’ yang seharusnya ‘standardisasi’ (halaman 85). Tak hanya penggunaan kata tak baku, penulisan ‘di-’ sebagai kata depan dan ‘di’ sebagai imbuhan juga banyak ditemui kekeliruan. Seperti pada kalimat ‘Disanalah’ yang seharusnya ‘Di sanalah’ (halaman 20), ‘Diwaktu’ yang seharusnya ‘Di waktu’ (halaman 27), dan beberapa kalimat lain (halaman 43, 44, 46, dan seterusnya). Kekeliruan-kekeliruan ini adalah bukti bahwa penulis memang seorang manusia, bukan seorang malaikat.
Akhir kata, membaca adalah anugerah yang diberikan Sang Pemilik Semesta untuk manusia yang ingin mengetahui tanpa mengalami terlebih dahulu. Dengan membaca Amerika, manusia telah mengetahui tentang Amerika, meski tak pernah menginjakkan kaki di sana. Jadi, selamat membaca.