Selamat Jalan, Mas AE

Begitu mendengar kumandang azan Zuhur, Minggu siang, 12 April 2020, saya terbangun dari tidur. Seperti biasa, saya membuka handphone untuk melihat pesan-pesan WhatsApp. Ternyata ada pesan dari kawan mantan anggota DPR Erwin Muslimin dengan isi yang mengejutkan, ”Inna lillah wa inna ilaihi raji’un. Telah meninggal dunia teman, sahabat kita AE Priyono hari ini, Minggu 12 April 2020…”

Saya menerawang. Dua hari yang lalu saya bermimpi membuka album keeper, album plastik penyimpan kartu-kartu kecil seperti KTP dan kartu nama.

Saya tak membaca firasat apa pun dari mimpi itu. Tapi, setelah mendengar berita meninggalnya A.E. Priyono, saya jadi ingat bahwa di album kecil itu saya menyimpan beberapa kartu identitas lama seperti KTP lama, kartu PNS, kartu ATM lama, dan lain-lain.

Di album kecil itu juga ada satu kartu pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum UII Jogjakarta yang ditandatangani oleh A.E. Priyono. Ya, pada 1980‒1981 itu A.E. Priyono adalah ketua Komisariat HMI Fakultas Hukum UII dan saya adalah salah seorang anggota pengurus. Kami bersahabat sebagai aktivis. Sering begadang sampai pagi sambil menikmati balok (singkong goreng), tempe, dan bajigur khas nyamikan malam untuk para aktivis di Jogja.

Saya mengagumi AE (panggilan akrab A.E. Priyono) yang tampak cerdas sejak tahun-tahun awal kami menjadi mahasiswa. Bayangkan, pada 1978‒1979, ketika masih mahasiswa tingkat I pada Fakultas Hukum UII, dia sudah menulis di majalah Pustaka yang diterbitkan oleh ITB. Tulisannya berjudul ”Nasionalisme Sehari-hari”. Dialah yang mendorong saya menjadi penulis. ”Kalau AE yang orang Temanggung bisa, saya yang orang Madura harus juga bisa.” Demikian saat itu saya membatin untuk berkompetisi dengan A.E. Priyono. Saat itu kami sama-sama berusia sekitar 21 tahun. Ya, sekitar 40 tahun yang lalu.

Di saat-saat mahasiswa itu A.E. Priyono selalu mengajak berdiskusi tentang isi buku-buku keislaman yang terkait dengan filsafat, politik, dan sosiologi yang penting seperti karya-karya Muhammad Iqbal, Ali Shariati, Abul A’la al-Maududi, dan sebagainya. Setiap ada buku baru, AE langsung membeli dan mengajak mendiskusikan. AE pernah berdiskusi agak panas dengan saya ketika membedah buku Al-Ikhwan Al-Muslimun. Ketika masih mahasiswa junior, AE selalu membawa majalah Prisma dan majalah Tempo terbaru, dua majalah yang dianggap menjadi bacaan kaum intelektual dan warga kampus yang maju saat itu.

Dengan basis HMI sebagai organisasi ekstra-universiter kami memilih aktif di jalur lembaga kemahasiswaan yang sama, yakni dunia pers atau dunia tulis-menulis. Pada 1981‒1982 saya menjadi pemimpin umum majalah tingkat universitas Muhibbah dan AE menjadi pemimpin redaksinya. Di tingkat fakultas hukum AE menjadi pemimpin umum majalah Keadilan, sedangkan saya menjadi pemimpin redaksinya.

Selain banyak teman seangkatan dari berbagai fakultas di UII, saya dan AE mempunyai kader-kader (tepatnya kawan main) yang adalah adik-adik kelas dari Fakultas Hukum UII yang kami ajak aktif di dunia tulis-menulis seperti Hamid Basyaib, Fadhil Munawar, dan lain-lain yang kemudian termasuk menjadi penulis-penulis bagus dan terkenal. Hamid Basyaib menjadi penulis andal yang kemudian menjadi Komut PT Balai Pustaka. Fadhil Munawar sekarang menjadi guru besar di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).

Saat saya menikah di Semboro (Jember), 1982, AE dan kawan-kawan aktivis kampus hadir. Pun saat AE menikah dengan seorang putri Jogja, 1983, saya hadir di Temanggung. Sampai kami berpisah karena sama-sama lulus dari Fakultas Hukum UII (1983), saya masih mengagumi AE karena kegilaannya pada buku-buku berat. Terutama terkait dengan demokrasi dan Islam modern. Ketika lulus dari Fakultas Hukum UII, saya memilih menjadi dosen di almamater, sedangkan AE pergi ke Jakarta.

Di Jakarta AE mengembangkan bakatnya dalam menulis dan meneliti. Dia aktif di berbagai civil society organizations (CSO), termasuk di LP3ES yang bergengsi itu. Dia juga melanjutkan studi tingkat doktor di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta. Sekitar seminggu yang lalu saya mendengar kabar, melalui tulisan Saifuddin Simon, bahwa AE dirawat di rumah sakit dan Minggu kemarin siang saya mendapat kabar duka bahwa Mas AE meninggal dunia.

Kita ada karena Allah, kita kembali kepada Allah sesuai dengan waktu dan cara yang juga ditentukan oleh Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Selamat jalan, Mas AE.

*Tulisan pernah tayang sebelumnya di jawapos.com dan sudah seizin Redaksi Jawa Pos serta penulis Mahfud MD untuk diunggah kembali di laman himmahonline.id.

Skip to content