Mengenang Seorang Pejuang Bangsa Almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir

*Naskah “Mengenang Seorang Pejuang Bangsa Almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir” sebelumnya terbit di Majalah MUHIBBAH Nomor 7/Thn. IX/1975 halaman 4-8, 28, dan 32. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk memperingati 49 tahun kepulangan A. Kahar Muzakkir. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa merubah substansi maupun struktur naskah.

Dua tahun yang lalu, tepatnya 2 Desember 1973, kita bangsa Indonesia telah kehilangan salah seorang pemimpin, pejuang kemerdekaan yang dengan segala dayanya mempersiapkan kemerdekaan bangsa. Beliau adalah Prof. Abdul Kahar Muzakkir, salah seorang penanda tangan naskah Piagam Jakarta.

Ketika upacara mengantar jenazah beliau ke peristirahatannya yang terakhir, betapa kabut duka menutupi Kota Yogyakarta dengan puluhan ribu massa yang tersendat-sendat menahan tangis mengiringi kepergian beliau.

Tiada upacara kebesaran yang sebenarnya patut kita lakukan untuk menghormati kepergian beliau, juga tak ada sesuatu yang berarti yang dilakukan oleh pemerintah untuk melepas kepergian beliau. Tapi justru dalam upacara yang sederhana inilah kesan tentang kebesaran beliau semakin terasa.

Almarhum dilahirkan pada 1907 di Kampung Gading sebelah selatan Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta, dibesarkan di Kampung Selokraman, Kotagede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta. Pada waktu kecilnya beliau dikenal dengan nama Dalhar.

Ibu Almarhum bernama Khotijah dan ayahnya bernama H. Muzakkir–kakak dari H. Munawir seorang ulama dan pendiri Pondok Krapyak sebelah selatan Yogyakarta. Beliau adalah cicit dari Kyai Hasan Bashori seorang guru agama dan seorang pemimpin Tarekat Syattariyah yang pernah menjadi Komandan Laskar Pangeran Diponegoro dan ikut dibuang bersama Pangeran Diponegoro yang kemudian wafat di Tondano, Minahasa.

Mula-mula beliau disekolahkan di SD Muhammadiyah Selokraman, Kotagede. Setelah tamat, kemudian pindah ke Pondok Pesantren Gading dan Pondok Krapyak untuk mendapatkan pelajaran agama Islam masa itu.

Dari Pondok Krapyak, beliau melanjutkan dan menjadi santri Pondok Jamsaren di Sala, di bawah asuhan K.H. Muhammad Idrus, di samping menjadi siswa di Madrasah Mamba’ul ‘Ulum.

Selama di Sala, beliau selalu didorong-dorong oleh gurunya seorang tokoh Muhammadiyah, K.H. Mukti, agar setamatnya nanti mau meneruskan studinya ke Saudi Arabia atau ke Mesir. Rupanya saran gurunya tersebut ditanggapi beliau secara serius.

Tahun 1924 setelah beliau tamat di Sala, bersama dengan kakaknya, Makmur, meninggalkan tanah air untuk ibadah Haji. Selesai menunaikan ibadah haji beliau tetap bermukim di Mekkah guna menuntut ilmu. Akan tetapi karena pada masa itu terjadi perang saudara antara kerajaan Saudiyah dengan kerajaan Arab, maka beliau pun pindah studi ke Al Azhar, Kairo, Mesir.

Tahun 1927 Gerakan Pelajar Indonesia di Kairo mengadakan anjuran baru, agar para pelajar Indonesia yang di Kairo jangan hanya belajar di Al-Azhar saja, hendaknya mereka ada juga yang masuk sekolah atau perguruan lain agar dapat menyongsong hari depan Indonesia merdeka dalam segala bidang. Sejak adanya seruan inilah kemudian Prof. Kahar pindah dari Al-Azhar ke Universitas Darul Ulum.

Jenazah diusung menuju tempat peristirahatan terakhir. Foto: Muhibbah

Selama 13 tahun di Mesir, beliau termasuk pemuda yang aktif berjuang bagi kemerdekaan Indonesia dan bagi kebangkitan kembali dunia Islam. Beliau aktif di dalam perjuangan untuk Palestina, yang ketika itu masih berada dalam mandat Inggris bersama dengan Yordania.

Di Kairo beliau tinggal bersama pemuda sekotanya yaitu Rasyidi yang kini telah menjadi seorang profesor pula. Beliau tinggal dirumah pelayan suatu terrace building kepunyaan Kementrian Wakaf Mesir. Di rumah ini beliau sibuk menerima tamu dari segala bangsa seperti Mesir, Palestina, Syria, Polandia, dan Yugoslavia.

Tahun 1930 seakan-akan beliau menjadi lambang Indonesia di timur tengah. Beliau tidak saja aktif memperkenalkan perjuangan kemerdekaan Indonesia di luar negeri, tapi juga aktif mengikuti perkembangan di tanah air. Beliau mendirikan dan memimpin Perhimpunan Indonesia Raya yang sejajar kegiatannya dengan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda dan menjadi Sekretaris Jendral Jamaah Al-Khairiyah.

Atas persetujuan Pimpinan Partai Syarikat Islam Indonesia dalam kongres Islam sedunia di Baitul Maqdis. Kongres dipimpin oleh mufti besar Palestina Sayyid Amin Al Husaini dan Prof. Kahar Muzakkir sebagai sekretaris.

Pada tahun 1932 beliau bertindak sebagai anggota redaksi dan administrator surat kabar Ashoura yang dipimpin oleh Muhammad Ali al-Tahir. Mulai tahun ini beliau banyak menulis tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia pada beberapa surat kabar seperti Al-Ahram, Fajar Asia, Al Hajat, Sedio Tomo dan Aksi. Dan juga menerbitkan Seruan Azhar bersama sama dengan Fathurrahman dan Prof. Farid Ma’ruf.

Sebelum ada Duta Besar Indonesia di dunia Arab, maka pada tahun 1930-1936 beliau berperan sebagai duta besar di sana. Misalnya saja: ketika Dr. Soetomo datang ke Kairo pada 1934, beliaulah yang mempersiapkan segala sesuatunya laksana duta besar mempersiapkan kedatangan kepala negaranya.

Tahun 1936 beliau dan Prof. Rosyidi selesai dari studinya di Darul Ulum, lalu kembali ke Indonesia.

Sejak tahun 1938, beliau terus aktif di Muhammadiyah dan diangkat sebagai Direktur Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta, Pengurus Majlis Pemuda, Majlis PKU Muhammadiyah bersama Prof. Dr. Hamka dari 1953 hingga akhir hayatnya.

Di bidang politik, beliau pernah aktif bersama Prof. Dr. H.M. Rosyidi, K.H. Mas Mansoer dan Prof. K.H Farid Ma’ruf dalam Partai Islam Indonesia (PII) yang diketuai oleh Dr. Soekiman Wiryosanjoyo almarhum dan Sekretaris jendralnya bekas Rektor UII, Mr. Kasmat Bahuwinangun. Karena keaktifan ini, maka beliau diangkat untuk menjadi Ketua Delegasi Islam Indonesia ke Tokyo bersama Mr. Kasmat Bahuwinangun dan Abdullah al-Amudy dari Al-Irsyad Surabaya.

Bersama-sama dengan 8 orang temannya yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo Wachid Hasyim dan Mr. Muhammad Yamin, ia membuat pernyataan kepada pemerintah Jepang yang dikenal dengan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 di mana pernyataan ini kemudian dipakai sebagai dasar dari Undang-Undang Dasar 1945 yang kini kita pakai bersama.

Pecahnya Perang Pasifik 1941 dan jatuhnya Pemerintahan Hindia Belanda kepada Jepang (1942-1945), maka seluruh partai Indonesia dibubarkan, kecuali 4 organisasi Islam yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Perikatan Ummat Islam (PUI), dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII). Keempat organisasi ini merupakan anggota federatif Majelis Islam A’la Muslimin Indonesia (MIAMI) yang kemudian berubah jadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Dalam Musyawarah Masyumi dengan tokoh-tokoh keempat organisasi ini, terbentuklah panitia perencanaan berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) pada April 1945. Panitia ini diketuai oleh Drs. Moh. Hatta; Wakil Ketua Mr-Soewandi; Sekretaris Dr. Ahmad Ramli; anggotanya masing-masing KH. Mas Mansoer, KHA. Wachid Hasyim, KHA. Fathurrachman Kafrawi, Prof. K.H. Farid Ma’ruf, Prof. KHA. Kahar Muzakkir dan Karto Sudarmo.

Keluarga yang ditinggalkan. Foto: Muhibbah

Pada tanggal 8 Juli 1945 bertepatan dengan 27 Rajab 1364 (bertepatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad), bertempat di Gedung Kantor Imigrasi Pusat, Gondangdia, Menteng, Jakarta Selatan dibukalah dengan resmi Sekolah Tinggi Islam (STI) dengan rektornya Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir dan Bung Hatta sebagai ketua Dewan Kuraktor. Periode Jakarta (1945-1946) ini mempunyai dua fakultas yaitu Fakultas Agama dan Fakultas Ilmu Sosial.

Ketika Ibu Kota Pemerintah Indonesia pindah ke Yogyakarta tahun 1946, berdasarkan pertimbangan objektif, STI pun ikut berhijrah ke Yogyakarta pada 10 April 1946. Rektor dan Badan Kuraktornya tetap dijabat beliau dan Bung Hatta. Pada saat ini kuliah kurang lancar karena hampir seluruh pengurus, dosen, dan mahasiswanya ikut bergerilya.

Akhir November 1947 terbentuk Panitia Perbaikan STI di mana beliau bersama almarhum KHA Fathurrahman Kafrawi sebagai anggota. Dalam sidangnya akhir Februari 1948, panitia memutuskan untuk mengubah nama STI menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dan berkedudukan di Yogyakarta. Pada saat itu UII mempunyai empat fakultas yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ekonomi. Selain itu panitia telah berhasil menyusun Dewan Pengurus Pusat UII. Tahun 1947-1948 beliau selain rektor UII juga merangkap sebagai Dekan Fakultas Agama.

Akibat perang kedua UII terpaksa ditutup. Namun demikian beliau sebagai rektor UII tetap menyelenggarakan dies natalisnya yang ke-IV di Tegalayang, Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam suasana gerilya dan keprihatinan. Beliau sendiri membacakan sambutan dies natalisnya berjudul “Dasar-dasar Sosialisme Dalam Islam” dan Ustadz Sulaiman memberikan kuliah umum dengan judul “Sejarah Penyiar Aran Nasroni di Indonesia”. 

Setelah DIY kembali di tangan RI pada September 1949, kuliah-kuliah dibuka kembali di UII untuk semua fakultas.

Sementara itu pada 20 Februari 1951 terjadi penggabungan antara UII Yogyakarta dengan PTII Surakarta dengan nama UII di mana mempunyai lima fakultas yakni Fakultas Hukum, Agama, Pendidikan dan Ekonomi di Yogyakarta dan Fakultas Hukum di Surakarta.

Selanjutnya Fakultas Pendidikan UII Yogyakarta diambil alih oleh Universitas Gadjah Mada yang kemudian menjadi IKIP sekarang ini (Universitas Negeri Yogyakarta). Sedang untuk Fakultas Agama UII oleh Kementerian Agama pada 22 Agustus 1950 diambil alih yang selanjutnya 26 September 1951 menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan seterusnya 1960 menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga sekarang ini.

Almarhum Prof. Abdul Kahar Muzakir selalu aktif dalam kegiatan di UII. Atas nama UII beliau menghadiri pertemuan antar perguruan tinggi Islam se-Indonesia di Jakarta pada 12 sampai 15 Juni 1954. Selain itu aktif pula dalam panitia persiapan PTAIN tahun 1950 yang diketuai KHR Fathurrahman Kafrawi. Tahun 1955 menjadi presidium panitia penerbitan buku peringatan 10 tahun UII. Tahun 1957 menjadi ketua panitia perencana ijazah. Rencana UII bersama-sama Mr R. Santosa, Drs. Hindarsah Wiratmaja (mantan Rektor UNPAD Bandung) dan Moh. Fahrurozy.

Kemudian pada 1957 ini pula beliau menjadi anggota panitia pembentukan program studi di Fakultas Hukum UII yang diketuai Prof. Mr. Kasmat Bahuwinangun dan berhasil menetapkan jurusan: Ketatanegaraan, dengan ketua Drs. Lafran Pane; Kepindahan ketua Mr. Roeslan Saleh; Kepeperdataan ketua Mr. R. Soeroto; dan Hukum Islam ketua beliau sendiri. Selain itu pula berhasil disusun kurikulum yang disamakan dengan kurikulum Universitas Gadjah Mada ditambah dengan kekhususan UII.

Pada tahun 1956 beliau menjadi Ketua Panitia Usaha Pengakuan UII yang bertugas memperjuangkan ijazah UII kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan dipercayai sebagai Ketua Senat dan Rektor UII sejak 1955 sampai 1960. Setelah tahun 1960 beliau memangku jabatan Dekan Fakultas Hukum UII sampai akhir hayatnya.

Dalam masa perjuangan pernah menjadi pemimpin Angkatan Perang Sabil di Yogyakarta khusus dalam pembinaan mental anggotanya. Karena keberaniannya bertempur melawan Belanda, maka beliau diberi penghargaan dari almarhum Jendral Sudirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di bidang politik. Beliau aktif dalam Masyumi dan pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNIP); ketua umum Masyumi Wilayah Yogyakarta; dan menjadi anggota konstituante dari Fraksi Masyumi.

Berbincang-bincang antar Rektor Al-Azhar dengan Rektor UII di kampus UII. Foto: Muhibbah

Ketika Punjab University di Lahore mengadakan seminar Islam yang besar dan mengundang para orientalis, sarjana dan ahli fikir, beliau ikut menghadirinya bersama Prof. Hasbi Ashshiddeqy dan Prof. Dr .H.M. Rasyidi yang saat itu menjadi Duta Besar RI untuk Pakistan.

Atas undangan Universitas Al-Azhar, maka bulan Maret 1970 beliau menghadiri Mu’tamar Ulama Islam sedunia. Pulangnya beliau berkesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Yordania, Yaman Selatan, Saudi Arabia, Lybia, Kuwait, Thailand dan Malaysia, untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Islam setempat.

Di Saudi Arabia beliau sempat melaksanakan ibadah haji dan di Yordania bertemu dengan Yasse Arafat dan sempat meninjau dari dekat Front Yordania. Satu setengah tahun kemudian atau tepatnya 12 Desember 1971, beliau pergi ke Lybia untuk memberikan prasaranannya pada Mu’tamar Da’wah Islam, yang dihadiri ulama dan sarjana dari 20 negara. Dalam seminar ini beliau sempat berjumpa dengan pemimpin Islam Jepang Prof. Abdul Karim Saito, dll.

Pada tahun 1972 beliau mengunjungi Aljazair dan Maroko dan melanjutkan perjalanan ke Mekah untuk menghadiri Muktamar Organisasi Islam Internasional yang diadakan 13-16 Februari 1972.

Kehadiran beliau ini mewakili Muktamar Alam Islamy. Pulangnya ke tanah air melalui Malaysia untuk bertemu dengan bekas Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman, Sekretaris Jenderal Negara-negara Islam.

Beliau seorang yang lemah lembut, menghargai orang lain, setia kepada teman serta hormat kepada tamu, sekalipun jauh di bawah usianya dan jabatannya. Beliau sangat ulet dan setia serta amat sederhana. Tidak segan pulang pergi memberi kuliah, ke pertemuan-pertemuan naik andong bersama-sama dengan bakul (pedagang) pasar Beringharjo atau hanya naik Ducati (bromfiets) tua yang seharusnya pensiun.

Sampai saat meninggalnya beliau tetap menghuni rumah kuno peninggalan nenek beliau 75 tahun yang lalu dan tidak meninggalkan tabungan untuk keluarga yang ditinggalkan. Demikian pula beliau tidak canggung tidur di pondok tempat berkumpulnya para santri atau tidur di rumah yang sangat sederhana tempat beliau berdakwah.

Beliau tetap gembira walaupun tidak mempunyai tanda jasa yang disematkan di dadanya pada upacara-upacara. Salah satu kesukaan beliau adalah menziarahi teman-temannya, sehingga banyak sahabat-sahabatnya berasal dari berbagai golongan dan tingkatan. Ia menziarahi pondok-pondok pesantren di Jawa, Sumatera, dan sebagainya tanpa membedakan yang diasuh kyai Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah.

Beliau sangat senang sekali diziarahi taman-temannya, sangat senang menerima tamu. Hari Jumat adalah hari libur bagi beliau dan khusus digunakan untuk menerima tamu. Kalau tiba waktu makan, sang tamu belum boleh pulang sebelum ikut makan lebih dahulu. Apapun lauknya tak segan menghidangkan.

Beliau seorang pemimpin yang sangat berwibawa dan sangat dicintai mahasiswanya dan lagi pula beliau banyak humornya. Itulah sebabnya para mahasiswa sangat dekat sekali dengan beliau. Hubungan beliau dengan mahasiswa ibarat seperti bapak dan anak.

Khusus di UII beliau adalah satu-satunya orang yang paling setia membina, membimbing dan mengembangkan universitas dengan segala suka dan dukanya.

Karena hampir seluruh waktu beliau digunakan untuk aktivitas organisasi, maka tidak ada waktu untuk mengarang. Sebagai akibatnya, tidak banyak ilmu beliau yang sempat dicetak untuk bacaan umum sebagaimana yang dilakukan Prof. Dr. H.M. Rosyidi, Prof. Hasbi dan Prof. Hamka.

Massa yang mengantar almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir. Foto: Muhibbah

Yang ada hanyalah diktat dari mata pelajaran yang beliau berikan di Fakultas Hukum Ull mengenai Hukum Islam dan Kenegaraan Islam. Yang diketahui dengan pasti hanya lima buah buku terjemahan beliau. Pertama buku karangan Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa, guru besar Syari’ah Islamiyah Universitas Ainusyi-Syams, Kairo, berjudul Al Madkhal Li Dirasatil Fiqh Al Islami (Pengantar untuk mempelajari Syari’ah Islamiyah).

Kedua karangan Abdul Fatah Hasan, wakil hakim tinggi Majlis Daulat di Kairo berjudul Mitsaqatul Uman Asy-Syu’uh (piagam bangsa-bangsa dalam Islam). Ketiga buku Syah Muh. Abu Zaaroh berjudul Al-‘Alaqatul Dauliyah Lil Islamy (hubungan antar negara dalam Islam).

Keempat buku milik Prof. Sajjid Musthofa Darwisj, hakim pada Majlis Daulah di Mesir berjudul Islam dalam Menghadapi Kapitalisme dan Sosialisme. Lalu yang kelima oleh Dr. Ahmad Sjalabi, assisten guru besar di Fakultas Darul Ulum Universitas Cairo berjudul Politik dan Ekonomi dalam Pemikiran Islam. Kedua yang terakhir ini dipakai literatur di Fakultas Ekonomi UII.

Beliau telah pergi meninggalkan kita dalam usianya yang ke-67, dengan tanpa meninggalkan pesan apapun bagi kita yang ditinggalkan dan juga tanpa membawa apapun dari kita semua; tanpa bintang tanda jasa, tanpa gelar-gelar kehormatan; juga tanpa pangkat-pangkat sebagai tanda kebesaran.

Beliau telah pergi meninggalkan kita hanya dengan membawa amal ibadah beliau selama hidup di dunia yang fana ini, karena sesungguhnya beliau dan keluarganya tidaklah mengharapkan penghargaan apapun atas segala yang telah diperbuatnya untuk bangsa, negara yang dicintainya.

Akan tetapi kita sebagai bangsa yang besar, bangsa yang pandai menghargai jasa pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan bangsa tentunya tidak akan lupa untuk memberikan suatu penghormatan dan tanda rasa terima kasih atas jasa-jasa beliau.

Maka sewajarnyalah apa yang telah diusulkan oleh PII cabang Yogyakarta dan bapak Imam Suhadi S.H.–selaku anggota DPR RI–yang mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan gelar pahlawan nasional kepada Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir.

Memang bagi beliau itu tiada berarti apa-apa tetapi bagi kita yang masih hidup, juga bagi generasi yang mendatang, hal itu akan berarti besar: berupa kesan bahwa kita adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya.

Dua tahun sudah kita kehilangan beliau, kehilangan seorang pemimpin yang patut untuk digugu dan ditiru. Dan bagi keluarga besar UII kepergian beliau merupakan kehilangan seorang bapak, seorang pelopor pendiri universitas Islam tertua di bumi tercinta ini.

Semoga Allah SWT akan memberikan tempat di sisi-Nya sebagaimana Dia menempatkan seorang syuhada. Aamiin.

Penulis: MUHIBBAH/Harun Al-Rasyid

Pengalih media: HIMMAH/Zalsa Satyo Putri Utomo dan Pranoto

Baca juga

Terbaru

Skip to content