14 Tahun Kejahatan Lumpur Lapindo dan Dampak Kegiatan Ekstraktif yang Belum Usai

Memperingati Hari Anti Tambang (HATAM) yang bertepatan pada 29 Mei 2020, Wahana Lingkungan Hijau (WALHI) Jawa Timur beserta Jaringan Anti Tambang Nasional (JATAMNAS) dan Komunitas Pejuang Lapindo hendak kembali mengorek ingatan masyarakat Indonesia tentang tragedi semburan lumpur Lapindo. 

Konferensi pers yang disiarkan langsung melalui Facebook, Twitter, Youtube, dan Zoom ini juga membahas bahaya aktivitas ekstraktif yang bertajuk Empat Belas Tahun Lumpur Lapindo dan Hari Anti Tambang 2020: Hentikan Bencana Industri oleh Tambang, Batalkan Omnibus Law Cilaka dan RUU Minerba.

29 Mei 2006,  merupakan awal semburan lumpur Lapindo berlangsung tanpa henti. Kini, 14 tahun kemudian, dampak dari bencana tersebut masih mengancam keselamatan warga secara luas, terlebih dikala pandemi seperti saat ini. 

Berdasarkan penuturan Ki Bagus selaku anggota JATAMNAS, tidak hanya peristiwa Lumpur Lapindo, namun di banyak daerah-daerah di Indonesia juga ikut terdampak akibat industri pertambangan. 

Pada tahun 2019, bencana seperti banjir menerpa di sekitar daerah tambang seperti Kutai Kartanegara, banjir bandang dan lumpur di Bengkulu, serta di Konawe Utara di Sulawesi Tengah juga terkena banjir berminggu-minggu yang tidak lepas dari konsesi tambang. 

Hal tersebut menjadi potret bagaimana bencana industri yang diakibatkan oleh tambang mendatangkan kesengsaraan serta bangkrutnya infrastruktur sosial-ekologis.

Meluasnya industri ekstraktif terus memicu laju krisis sosial-ekologis semakin meningkat dalam bentuk yang lebih rumit. Hal ini salah satunya disebabkan oleh lahirnya regulasi yang tidak berpihak terhadap keselamatan ruang hidup rakyat.

Rere Christanto, selaku Direktur WALHI Jawa Timur, beranggapan bahwa semburan lumpur Lapindo merupakan salah satu tragedi ekologi sosial paling nyata yang berdampak pada keselamatan rakyat. 

Hasil pemeriksaan kesehatan pada bulan Maret 2020 terhadap 30 warga yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo ditemukan indikasi kuat buruknya kualitas air. Hal itu menjadikan warga rentan terhadap infeksi saluran kencing.

Pada data dalam siaran pers HATAM 2020, pemeriksaan kualitas air di sungai dan irigasi yang dilakukan oleh Pos Koordinasi dan Keselamatan Lumpur Lapindo di sembilan titik  menunjukkan telah tercemar oleh timbal dan kadmium di atas ambang baku kesehatan.

Bahkan dengan indikator biologi makhluk invertebrata air, menunjukkan hampir tercemar berat secara keseluruhan. Penyakit infeksi saluran pernafasan juga menempati peringkat pertama penyakit paling banyak di tiga puskesmas sekitar semburan lumpur: Tanggulangin, Jabon, Porong. 

“Logam berat yang ditimbulkan dapat mengancam kesehatan warga di sana, terlebih ketika pandemi.  Tidak hanya di lingkungan, tapi juga sudah ada di tubuh biota. Kalau biota ini termasuk dalam rantai makanan, maka kandungan logam tersebut dapat masuk ke tubuh manusia,” ujar Rere.

Ki Bagus, juga mengatakan bahwa tambang, dengan daya rusaknya sudah masuk ke dalam bencana industri. Begitu pula menurut Rere, bahwa kejadian semburan lumpur Lapindo sudah dapat dikatakan sebagai sebuah bencana industri. 

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan bencana-bukan-alami salah satunya berupa gagal teknologi dan gagal modernisasi. Selain itu, United Nation of International Strategies for Disaster Reduction mendefinisikan kegagalan teknologi sebagai: “Semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi dan atau industri,” sehingga bencana industri merupakan bagian dari bencana yang disebabkan oleh tangan manusia, yang termasuk socio technical disaster.

Namun, pemerintah sendiri belum menetapkan semburan lumpur Lapindo sebagai bencana industri. Rere juga mengatakan kalau BNPB pun belum pernah melakukan penanganan terhadap bencana industrial, hanya bencana alam.

“WALHI telah melakukan diskusi serta advokasi, tapi belum ada tindakan apapun dari pemerintah. Pemerintah seharusnya melakukan penelitian sendiri sejauh apa logam berat yang muncul dari semburan tersebut yang diakibatkan dari pengeboran tersebut dan apa dampaknya bagi masyarakat,” kata Rere.  

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah bersama dengan PT Lapindo Brantas dengan memberikan kompensasi ganti rugi, dinilai merupakan upaya pengerdilan kasus yang hanya semata-mata soal tenggelamnya tanah dan bangunan. 

Pemerintah pun dinilai telah abai terhadap keselamatan rakyat dari ancaman dampak bencana industri pada aktivitas ekstraktif serta mengabaikan permasalahan yang mendasar, yakni hilangnya hak-hak warga akibat semburan lumpur Lapindo.

“Kejadian di Lapindo sudah termasuk sebagai bencana industri. Namun pemerintah tidak menggunakan kekuasaannya untuk memikirkan keselamatan masyarakat dari investasi,” kata Rere.

Melalui siaran pers HATAM 2020, pembahasan UU Cipta Kerja dan pengesahan UU Minerba yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa negara lebih mementingkan perlindungan bisnis ekstraktif ketimbang memastikan keselamatan rakyat.

Revisi UU Minerba lebih berisi tentang kepentingan perluasan investasi dan perusahaan pertambangan. Tidak ada aspek yang melindungi keselamatan rakyat, pembatasan ekspansi dan hak veto rakyat. Sebaliknya RUU Minerba akan makin menguatkan oligarki tambang, melindungi korupsi dan memberangus dengan cara mengkriminalkan rakyat.

WALHI Jawa Timur, JATAMNAS, dan Komunitas Pejuang Lapindo mengajak untuk menghentikan pertumbuhan dan penyebaran sektor pertambangan di seluruh kepulauan Indonesia demi menjamin keselamatan kehidupan. 

“Harapannya di tahun ini kita mendesak pemerintah untuk menetapkan lapindo sebagai bencana industri,” tutur Bagus. 

Penulis: M. Rizqy Rosi M.

Reporter: M. Rizqy Rosi M.

Editor: Hersa Ajeng Priska

Skip to content