Negara Masih Represif Terhadap Kebebasan Akademik di Kampus

Diskusi publik Menyoal Kebebasan Akademik di Kampus yang diselenggarakan oleh Forum Kajian dan Penulisan Hukum (FKPH) UII, Senin (1/6), bertujuan untuk menanggapi pembatalan diskusi yang diadakan oleh Constitutional Law Society (CLS) UGM pada Minggu (31/5).

Menghadirkan Dr. Suparman Marzuki selaku dosen hukum dan hak asasi manusia, Haris Azhar selaku Founder and Executive Director Lokataru, serta  dipandu oleh Ketua DPM Fakultas Hukum.

“Situasi yang terjadi terhadap kebebasan berpendapat akhir-akhir ini menjadi semakin buruk. Meskipun demikian, hal ini juga diimbangi dengan kesadaran masyarakat yang meningkat pada diskusi-diskusi publik. Hal ini menunjukkan bukan hanya sekedar ada yang panik, tetapi juga ada yang bodoh dalam artian melarang dengan cara yang kasar terkait dengan kegiatan (red: diskusi) yang wajar,” ungkap Haris. 

Haris sebagai pembicara pertama menguraikan beberapa peristiwa pelarangan diskusi serta pelanggaran privasi yang terjadi belakangan ini. Menurutnya, pembatasan kebebasan akademik ini banyak menjadikan mahasiswa sebagai korban. Seperti pada peristiwa reformasi dikorupsi 2019 atau mahasiswa yang diintimidasi secara administratif oleh kampusnya.

Haris juga menilai, kasus pembatalan diskusi yang diadakan oleh CLS UGM merupakan pelanggaran secara hukum apabila ditinjau dari Undang-undang Pendidikan yang menjamin kebebasan akademiknya. 

Selain itu, berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terdapat dua unsur pelanggaran HAM. Pertama, jika pelanggaran tersebut haknya dijamin dan yang kedua jika pelanggaran tersebut tidak mendapat pemulihan atau berpotensi tidak mendapat pemulihan.

“Oleh karena itu apabila menengok kasus-kasus serupa yang pernah terjadi selama ini, tidak pernah kemudian diproses secara hukum. Sehingga itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM,” ujar Haris.

Menanggapi pembatasan kebebasan mimbar akademik, Suparman menilai hal tersebut merupakan suatu cara baru yang dilakukan oleh negara pada era reformasi. Ketika seharusnya negara membuka seluas-luasnya kajian akademik. 

“Ini harusnya menjadi teguran langsung kepada negara karena negara harus memastikan dirinya mencegah tindakan semacam ini dan melindungi hak-hak sipil melalui aparat negara,” tutur Suparman.

Suparman menambahkan dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini, hukum sudah keluar dari tujuan utamanya, yaitu untuk melindungi dan menegakkan keadilan.  Tetapi justru mendatangkan ketakutan dan menebar ancaman bagi masyarakat.

“Saya khawatir yang terjadi hukum besi. Kalau rakyat sudah sampai pada tingkat kepanikan tertentu dan tidak percaya pada pemerintah, kekuatan-kekuatan sipil akan berubah menjadi kekuatan yang mengancam keselamatan bangsa itu sendiri,” jelas Suparman.

Negara Tak Memberikan Kepastian Hukum

Dalam lanjutan diskusi, Suparman menjelaskan pemerintah sebetulnya tidak anti terhadap kritik mengingat beberapa pernyataan yang pernah disampaikan oleh pemerintah. Namun apabila pemerintah diam atas tindakan yang dilakukan oleh pembantu di bawahnya, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai crime by omission.

“Kalau pemerintah diam dan membiarkan, ini termasuk crime by omission di masa depan sebagai salah satu kejahatan di masa lalu. Jangan sampai negara menabung tindakan-tindakan yang masa depan yang nantinya akan ditagih orang,” ujar Suparman.

Selanjutnya Haris merespon dengan mengatakan bahwa untuk di level hukum, rakyat dapat mendokumentasikan peristiwa-peristiwa seperti ini. Ia juga optimis ketika sudah tidak ada yang bisa diharapkan dari penegakkan hukum oleh pemerintah, namun rakyat semakin sadar untuk dapat berkumpul, bergerak dan mendiskusikan.

“Peristiwa-peristiwa ini memang pada dasarnya proses, apabila pemerintah tiba-tiba pro dengan hak asasi manusia kita bisa jadi belum siap, dan selagi ada waktu kita dapat mempersiapkannya dengan cara yang lebih baik,” imbuh Haris.

Penulis: Yustisia Andhini L.

Reporter: Yustisia Andhini L.

Editor: Muhammad Prasetyo 

Skip to content