Himmah Online, Yogyakarta — Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta bersama Forum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, melakukan aksi menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada Senin (17/04). Aksi tersebut dimulai dengan longmars dari Taman Parkir Abu Bakar Ali, Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Aksi dengan tajuk “Perkuat Persatuan, Rebut Kedaulatan Rakyat, dan Cabut UU Cipta Kerja” ini melayangkan 20 tuntutan. Salah satunya pencabutan UU Cipta Kerja, di mana keterlibatan partisipasi masyarakat dalam regulasi tersebut dianggap minim dan dapat merugikan masyarakat.
Becky (23) selaku perwakilan dari Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta, mengatakan bahwa apabila Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja dijadikan UU Cipta kerja, maka dinilai akan merugikan dan tidak berpihak pada buruh serta rakyat.
“Banyak yang kerja lembur tanpa dibayar, di-PHK secara sepihak, ada pasal-pasal yang mengatur tentang cuti hamil dan cuti melahirkan, tapi itu tidak direalisasikan,” ujar Becky.
Hal lain yang dapat merugikan buruh dan rakyat, menurut pemaparan Becky, adalah penambahan jam kerja yang pada awalnya 8 jam per hari selama 5 hari dalam seminggu, menjadi 6 hari dalam seminggu.
“Itu 6 hari kerja dengan UMR yang segitu dan bahkan UMR juga tidak ada peraturan yang benar-benar secara eksplisit mengatur itu dengan baik,” tegas Becky.
Montaba (23) selaku koordinator lapangan dalam aksi ini mengatakan bahwa di dalam UU Cipta Kerja juga membahas terkait dengan bank tanah, dimana itu terhubung langsung dengan reforma agraria Joko Widodo (Jokowi) yang sarat dengan hutang.
“Nah, di dalamnya mengatur bahwa bank tanah ini bertugas bagaimana mengkonsolidasi tanah-tanah untuk kepentingan investasi,” ujar Montaba.
Montaba juga menambahkan bahwa apabila aturan tersebut dimuat, maka akan mempermudah korporasi ataupun berbagai investasi mengambil alih fungsi lahan rakyat. Alih-alih reforma agraria Jokowi yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan agraria, ternyata hal tersebut tidak tercapai.
“Justru yang terjadi adalah perampasan tanah dan ketimpangan struktur permasalahan tanah makin menajam, dan kemiskinan secara struktural juga terjadi di pedesaan,” tutur Montaba.
Becky juga mengatakan bahwa Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta meyakinkan perjuangan aksi ini akan menempuh waktu jangka panjang–melakukan konsolidasi lanjutan, diskusi, dan melakukan aksi kembali pada Hari Buruh Internasional.
“Nah, di sini kita ada aksi hari ini dan kemudian besok di akhir bulan itu akan mengadakan kegiatan, seperti konsolidasi lanjutan untuk menuju Hari Buruh Sedunia dan juga Hari Pendidikan Nasional,” ujar Becky.
Senada dengan Becky, Montaba juga mengatakan gerakan ini akan berkelanjutan sampai lingkup nasional mulai dari Sumatera, Jakarta, hingga Sulawesi.
“Targetnya adalah melakukan pembangkangan sipil atas protes dan tidak percaya terhadap kekuasaan,” tegas Montaba.
Di samping melakukan aksi tolak UU Cipta Kerja, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta juga membawa isu-isu genting lainnya, seperti korban salah tangkap kasus klitih di Gedongkuning, hak menentukan nasib sendiri di West Papua, UU Minerba, dan isu lainnya yang masih berkaitan dengan UU Cipta Kerja, seperti Reforma Agraria Sejati ala Jokowi.
Terlepas dari berbagai tuntutan tersebut, Becky berharap masyarakat dalam aksi ini dapat bersatu dan melawan pemerintah.
“Misalnya pemerintah, mereka itu hanya 1 persen dan menindas seluruh masyarakat yang 99 persen ini. Kami ingin mengabarkan kepada masyarakat bahwa kita 99 persen ini, bisa merebut kekuasaan ketika kita bersatu dan mengguling kekuasaan itu,” jelas Becky.
Reporter: Himmah/Muhammad Mufeed Al Bareeq, Mutiara Alya Adifa, Qothrunnada Anindya Perwitasari
Editor: Jihan Nabilah